pada pekerjaan konstruksi, keselamatan dan kesejahteraan pekerja bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Berbagai peraturan perundangan yang berlaku telah ditetapkan untuk memastikan bahwa setiap individu yang terlibat dalam proyek konstruksi mendapatkan perlindungan yang layak. Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan dan asuransi dalam sektor ini.
-
Regulasi Terkait Jaminan Sosial dan Asuransi dalam Pekerjaan Konstruksi
Pada 21 Februari 2025, Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri mengeluarkan Surat Nomor 400.5.7/765/Keuda. Surat ini menekankan pentingnya perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pekerja sektor jasa konstruksi di daerah. Intinya, penyedia atau sub-penyedia jasa konstruksi diwajibkan untuk:
-
Mengikutsertakan pekerjanya dalam program JKK & JKM BPJS Ketenagakerjaan.
-
Melakukan pembayaran iuran JKK & JKM maksimal 14 hari kerja setelah kontrak diterbitkan.
-
Pemberi kerja (PA/KPA/PPK) harus memastikan kepatuhan penyedia jasa konstruksi dan mencantumkan ketentuan ini dalam spesifikasi teknis (Spek) dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK).
-
-
Peraturan Menteri PUPR Nomor 8 Tahun 2023
PermenPUPR 8/2023 memberikan pengecualian asuransi dalam pekerjaan konstruksi dengan ketentuan sebagai berikut:
-
Pekerjaan konstruksi dengan nilai di bawah Rp10 miliar tidak wajib memiliki asuransi.
-
Pengecualian asuransi hanya berlaku untuk proyek dengan risiko keselamatan konstruksi yang kecil.
-
-
SE Dirjen Bina Konstruksi No. 68/SE/Dk/2024 tentang Tata Cara Penyusunan Biaya Konstruksi
Dalam surat edaran ini, disebutkan bahwa:
-
Asuransi tidak bersifat wajib untuk pekerjaan konstruksi dengan tingkat risiko kecil.
-
Namun, untuk proyek dengan risiko tinggi, asuransi tetap wajib untuk melindungi pekerja dan aset proyek.
-
-
Evaluasi Kepatuhan Daerah terhadap Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Hasil monitoring dan evaluasi Kementerian Dalam Negeri bersama BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2024 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan masih rendah:
-
Dari 91.620 proyek jasa konstruksi dalam APBD 2024, hanya 15.493 proyek (16,87%) yang telah terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan.
-
Dengan demikian masih ada sebagian besar proyek yang belum memenuhi kewajiban perlindungan tenaga kerja.
-
- Perbedaan Asuransi CAR SMKK dan BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM) :
Meskipun keduanya bertujuan memberikan perlindungan dalam sektor konstruksi, terdapat perbedaan mendasar antara Asuransi CAR SMKK dan BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM). Dari sisi cakupan perlindungan, Asuransi CAR SMKK berfungsi untuk melindungi proyek konstruksi secara keseluruhan, termasuk kerusakan fisik terhadap bangunan atau material proyek dan cedera fisik pekerja akibat kecelakaan kerja. Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM) secara khusus memberikan perlindungan kepada pekerja dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan kematian. Dari sisi sumber pendanaan, Asuransi CAR SMKK merupakan tanggung jawab penyedia jasa konstruksi, yang membayar premi sebagai bagian dari perlindungan proyek. Sebaliknya, BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM) adalah skema jaminan sosial di mana iuran dibayarkan oleh pemberi kerja atau penyedia jasa konstruksi untuk memastikan kesejahteraan pekerja. Dalam hal tujuan penggunaan, Asuransi CAR SMKK bertujuan untuk menutupi kerugian akibat kecelakaan proyek, baik dari segi material maupun keselamatan pekerja, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM) berfokus pada pemberian jaminan sosial bagi pekerja, termasuk manfaat finansial jika terjadi kecelakaan kerja atau kematian. Adapun kewajiban penerapannya, Asuransi CAR SMKK hanya diwajibkan untuk proyek dengan nilai di atas Rp10 miliar atau memiliki risiko tinggi, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan (JKK & JKM) wajib diterapkan di semua proyek, tanpa memandang nilai proyek.
-
Risiko Jika Tidak Mendaftarkan Pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan
-
Jika pekerja mengalami kecelakaan kerja atau kematian, dan tidak memiliki JKK & JKM, maka pemberi kerja harus membayar manfaat JKK & JKM sesuai ketentuan dalam PP.
-
Jika terjadi kecelakaan fatal, pejabat yang menandatangani kontrak dapat terkena sanksi pidana berdasarkan UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 Pasal 86 ayat (3), yang mengatur tentang hilangnya nyawa dalam pekerjaan konstruksi.
-
-
Mitigasi Risiko Hukum bagi Pejabat dan Pemberi Kerja
-
Jika terjadi kecelakaan di proyek konstruksi yang tidak dilindungi asuransi atau JKK & JKM, PA/KPA/PPK bisa dituntut secara hukum.
- PA/KPA harus memastikan seluruh pekerja proyek APBD menjadi peserta aktif JKK & JKM.
- Menyusun kebijakan daerah guna mencapai Universal Coverage Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (UCJ).
-
- Memastikan Kepatuhan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
8. Kesimpulan
- JKK & JKM BPJS Ketenagakerjaan wajib diterapkan di semua proyek konstruksi, tanpa memandang nilai proyek.
- Asuransi CAR SMKK hanya diwajibkan untuk proyek dengan nilai di atas Rp10 miliar atau memiliki risiko tinggi.
- Jika pekerja mengalami kecelakaan dan tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, maka pemberi kerja harus membayar kompensasi penuh.
- Kontrak konstruksi harus mencantumkan anggaran untuk JKK & JKM, dan PPK bertanggung jawab atas kepatuhan penyedia jasa konstruksi.
- Pejabat yang lalai dalam menerapkan regulasi dapat terkena sanksi pidana jika terjadi kecelakaan fatal di proyek konstruksi.