Sungai |
(Karya Nugroho Notosusanto |
|
Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasim merasakan sesuatu keharuan yang mendenyutkan jantungnya. Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu dalam hidupnya. Makin besar sungai itu, makin besar pula keharuan yang menggetarkan sanubarinya.
Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salah satu sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.
Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencetan senjata telah dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.
Jam satu malam cuaca gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun namun cukup membasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anak buahnya menuruni tebing yang curam dan licin. Ia sendiri berjalan dengan sangat hati-hati, menggendong bayi pada panggulnya sebelah kiri. Dari bahu kanan bergantung sebuah sten. Hanya samar-samar matanya yang terlatih melihat orang yang berjalan di depannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiap-tiap prajurit yng kurang baik penglihatannya, memasang sepotong cendawan yang berpijar pada punggung kawan yang berjalan di depannya.
Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari 1948, Sersan Kasim juga menyeberangi Sungai Serayu dengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arah timur. Persetujuan Renville telah ditandatangani dan pasukan-pasukan TNI harus hijrah ke kantong-kantong dalam wilayah de facto Belanda. Banyak diantara bintara dan prajurit yng membawa serta anak istrinya.
Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahun menikah. Istrinya yang belia sudah lima bulan mengandung. Namun, ia memaksa mengikuti suaminya ke wilayah kekuasaan Republik. Pernah terpikir oleh Kasim untuk menitipkan istrinya kepada mertuanya di Pager Ageung. Tapi tidak sempat, lagipula Aminah tidak mau ditinggalkan. Ia bersitegang hendak ikut. Dan siapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepala wanita yang sedang mengandung?
Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acep dilahirkan. Matanya hitam tajam, meskipun badannya sangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan di Priangan. Tapi untuk melahirkan anaknya, Aminah telah menggunakan sisa-sisa tenaga rapuhnya yang terakhir. Ia meninggal sehari kemudian karena kepayahan. Acep dapat dipertahankan hidupnya berkat rawatan khusus para dokter dan juru rawat di rumah sakit tentara.
Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat. Kali ini jarak antara Yogya dan Priangan Timur harus mereka tempuh dengan berjalan. Tidak ada truk Belanda yang mengangkut, tidak ada kereta api Republik yang menjemput. Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar.
Akhirnya mereka kembali di tepian Sungai Serayu, akan tetapi jauh kesebelah hulu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiada titian. Mereka harus terjun ke dalam air.
Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebing yang curam. Ia menggigil dilanda angin pegunungan dari sebelah lembah. Dengan cermat ia perbaiki letak selimut berlapis dua yang menutupi Acep dalam gendongan. Acep, biji matanya, harapan idamannya. Kemudian, dengan satu gerakan ia usap air hujan pada wajahnya sendiri. Ia menggigil lagi. Iring-iringan sekonyong-konyong berhenti. Prajurit di depannya juga menggigil. Mereka menggigil berdekat-dekatan.
Kemudian ada pesan dari depan.
“Kepala Regu, kumpul!” dibisikkan dari mulut ke mulut. Kasim berjalan ke muka. Komandan Peleton sudah menanti di depan Regu I. Mereka menerima instruksi mengenai penyeberangan.
Menurut intelligence, musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi. Sungai diawasi mulai bagian yang airnya setinggi perut. Karena itu pasukan akan menyeberangi lebih ke hilir. Ada kemungkinan air mencapai dada. Perintis telah menyiapkan tali untuk berpegangan.
”Ada pertanyaan?” tanya Komandan Peleton.
Tidak ada yang menyahut. Samar-samar Sersan Kasim melihat pandangan Komandan tertuju kepadanya.
”Bagaimana bayimu?” tanya Komandan.
“Tidur Pak,” jawab Kasim singkat.
”Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktu untuk menitipkannya pada barisan keluarga.”
Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannya melayang kepada para wanita dan kanak-kanak yang dititipkan kepada Pak Lurah dan penduduk Karangboga. Kalau situasi aman, mereka akan diseberangkan sedikit demi sedikit oleh rakyat. Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberang sungai setelah
diberitahu oleh kurir.
”Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar!” kata Komandan menembus kesepian. Kepala regu lainnya kembali kepada anak buahnya.
Lagi Kasim merasa pandangan mata Komandan tertuju kepadanya dan kepada anaknya. Kasim tahu apa arti pandangan itu. Ya, ia tahu sebenarnya Komandan ingin bertanya, apakah ia menyadari bahwa tangisan seorang bayi dapat membawa kebinasaan bagi lebih dari seluruh kompi. Bahwa bayinya, si Acep, dapat mmbahayakan jiwa lebih dari seratus orang prajurit. Itulah yang tersirat dalam pandangan Komandan.
Pandangan Komandan itu seolah-olah berkata, ”Ingatlah Kompi 3 batalyon B yang kehilangan 16 prajurit dan 10 keluarga, karena serangan mendadak oleh musuh. Hanya karena seorang bayi yang menangis. Tangis yang dengan cepat menular pada beberapa anak kecil lainnya”.
Samar-samar Sersan Kasim mendengar derau sungai di bawah. Dia bayangkan kesunyian malam yang aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Dia bayangkan kompinya terjebak di tengah-tengah sungai, tak berdaya.
Tatkala itu Acep bergerak-gerak dalam gendongan bapaknya. Kasim merasa anaknya menyusup-nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya, seakan-akan mencari perlindungan yang lebih aman. Rasa sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim. Anakku yang tak sempat mengenal ibunya, pikirnya. Anakku yang disusui oleh botol. Dan kini dia harus dititipkan pada orang lain! Untuk berapa lama? Dan amankah dia dalam asuhan orang lain? Akan selamatkah dibawa orang asing dalam penyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya, pusat rasa yang sehalus-halusnya, peninggalan istri yang setia dan keras hati. Cucu yang akan dibawanya sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya di Garut, untuk mertuanya di Pager Ageung, sebagai tanda mata anak dan menantu dari istrinya tercinta yang telah meninggal.
Sersan Kasim membelai anaknya yang dalam gendongan, ”Saya minta izin untuk membawanya,” katanya.
”Kau yakin dia tidak menangis?”
”Insya Allah, tidak.”
”Baik kalau begitu. Hati-hati saja.”
”Siap Pak. Terima kasih.”
Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras lagi. Bukan hanya karena hujan tambah keras turun. Bukan hanya karena angin pegunungan yang menembus sela-sela rusuknya. Ia juga menggigil karena Acep mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah merembes masuk mengenai kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.
Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya, membasahi celananya, membasahi sebagian bajunya, menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai repot meninggikan anak dan senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubang pada alas sungai dan ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air mencapai dada, merendam anaknya. Dan tiba-tiba Acep menangis….
Acep menangis.
Melolong-lolong.
Merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing. Suaranya tajam menyayat hati. Menyayat hati bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapat bernapas.
Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi terang-benderang. Seluruh kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada tempatnya. Peleton 1 di seberang sana. Peleton 3 di seberang sini, sedangkan Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep menangis pada dada bapaknya.
Tak ada orang yng mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit, yang terasa seperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar. Ia hanya tahu anaknya menangis, setiap saat musuh dapat menumpas mereka dengan senapan mesin dan mortir di bawah peluru cahaya kembang api yang telah mereka tembakkan. Seluruh kompi memandang kepada dia, bergantung kepada dia. Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.
Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lenyap sama sekali.
Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini yang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkahi oleh kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit kemudian kompi menghela napas lega dan selamat tiba di seberang.
Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah, kompi menunda perjalanannya sementara waktu, meskipun masih terlalu dekat kepada kedudukan musuh. Mereka berhenti pada sebuah desa. Dengan bersama Pak Lurah dan banyak diantara penduduk, mereka berkumpul di pinggir desa. Di sana, dalam upacara yang singkat, Acep diturunkan ke liang kubur. Kemudian semua mata tertuju kepada sosok tubuh Sersan Kasim yang berjongkok di hadapan pusara kecil yng baru ditimbun. Kepalanya terkulai, menunduk.
Akhirnya, ia berdiri dan memandang ragu-ragu sekeliling. Kesedihan yang dalam, jelas terukir pada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga lehernya. Komandan kompi tampil ke muka. Ia menghampiri Kasim. Ia menggenggam tangan kanan sersannya dalam kedua belah tangan. Matanya merah, tidak hanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.
Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit yng sejajar dengan tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh hujan semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten tergantung sunyi pada bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-sayup menderau. Keharuan yang luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir, menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Rasa Sayange, 1998)
Judul Buku : Cerita Pendek (Cerpen) Sungai
Pengarang : Nugroho Notosusanto
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun Terbit : Majalah Budaya Edisi 8 Agustus 1959 hal 276-279, Cetakan PT. Pembangunan Djakarta Tahun 1961 (Rilis Pertama), dan Cetakan Pustaka Jaya Tahun 1983
Tebal Buku : PT. Pembangunan Djakarta (1961) 136 halaman, Pustaka Jaya (1983) 132 halaman