Pada ramai ya soal makanan atlit nilai sebesar Rp50ribu tapi kualitas nya jomplang?
Langsung nuduh korupsi?
Saya engga berani demikian…..
Selain Bisa jadi fitnah, mari coba rasionalisasi dulu dari sisi keilmuan Pengadaan dan Rantai Pasok.
Pertama, soal supply and demamd….. apakah kuantitas supply nya ini setara dengan netizen yang membandingkan? Terutama di daerah ya, tidak semua daerah memiliki vendor yang kuat di bidang kuliner, andai vendor nya perusahaan ternama sekalipun, lonjakan biaya bila melihat lokasi pelaksanaan event sangat mungkin terjadi.
Maksud saya akan berbeda ya biaya untuk menghadirkan 1 paket makanan segar dengan 1000 paket makanan segar dalam waktu singkat. Bila dilakukan di daerah yang tidak terbiasa melakukan penerimaan permintaan sebanyak itu, dengan kompleksitas yang memerlukan usaha ekstra, maka akan muncul peningkatan biaya, apalagi ini sifat nya hanya hit and run pada sebuah event saja.
Kedua, soal pasokan bahan baku. Apakah daerah yang melaksanakan kegiatan tersebut kekuatan ketahanan pangannya diatas rata-rata? Maksud saya apakah surplus dari kebutuhan bahan pangan itu memadai untuk event ini? Kalau tidak, maka untuk mendapatkan sumber bahan baku kemungkinan diambil dari daerah lain, hal ini meningkatkan biaya juga.
Ketiga, bahan makanan itu volatilitas harga nya berfluktuasi sangat tinggi dengan nilai tukar kita karena banyak yang impor, contoh, beras itu impor, kedele juga impor, terigu impor. Belakangan ini nilai tukar kita tidak sedang baik-baik saja sehingga estimasi harga di saat berkontrak kemungkinan terlalu optimis sehingga pada saat eksekusi nya jadi nya meringis.
Keempat, identifikasi value for money, tepat kualitas, tepat kuantitas, tepat lokasi, tepat waktu, dan tepat penyedia, bagaimana proses perencanaannya? Persiapan pengadaan? Pelaksanaan pengadaan? Termasuk di dalamnya keputusan cara Pengadaan? Keputusan Metode Pemilihan Penyedia/Tipe Swakelola? Bila saat ini bermasalah dibanding PON sebelumnya apa yang membedakan? Jangan-jangan metode pemilihan penyedia nya menggunakan metode yang lagi ngetrend itu….. atau kalaupun metode pemilihan penyedia itu sudah sesuai bagaimana penetapan syarat penyedianya? Kualifikasi, teknis, maupun administrasinya?
Masalah-masalah diatas itu tidak mudah menyelesaikannya karena kita memang tidak pernah memikirkan dan mengelola rantai pasok yang strategis itu secara terintegrasi, jadi saya pribadi tidak buru-buru menjudge bahwa kualitas makanan tersebut kurang karena korupsi, simply karena pasar memang tidak berpihak dan hal ini berpengaruh pada kualitas.
Tidak sedang membela siapa-siapa, saya pribadi cuma memperhatikan kondisi pengadaan tersebut untuk belajar membayangkan kerumitannya, boleh deh penyelenggaraannya nanti di audit kemudian di buka bersama untuk dipelajari titik kritisnya, karena selepas ini kita semua di seluruh Indonesia perlu belajar hal ini agar tidak terulang lagi mengingat habis ini kita akan melaksanakan makan siang bergizi yang visi nya akan membantu mencapai Indonesia Emas.
Bila memang masalahnya di rantai pasok makanan, maka Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, dan Dinas Perikanan dan Kelautan di seluruh Indonesia perlu diperkuat agar pasokan bahan pangan kita memadai dan standarisasi makanan yang bergizi dan kaya protein ini dapat tercukupi dan semoga informasi karena pengalaman tersebut bisa di formulasikan dengan indeks standarisasi penganggaran yang memadai, saya khawatir kelak kalau program makan siang bergizi itu dipukul rata secara nasional per-porsi tanpa indexing atau gradasi kualitas, eksekusinya nanti akan terjadi asimetri informasi yang langsung menuduh pengelola nya dengan hal negatif yang akan menjadi de-motivasi sehingga menurunkan moral dalam pelaksanaan kegiatan.
Semoga kita bisa belajar dari peristiwa ini dan semoga peristiwa pada PON 2024 ini bukan cuma lewat saja di sosial media, kritik yang muncul harus ditindaklanjuti jadi pembelajaran berkelanjutan.