Pembangunan patung dalam proyek konstruksi sering kali dihitung dan di rancang dengan jenis kontrak Harga Satuan seperti Pekerjaan Konstruksi lainnya. Padahal patung memiliki aspek seni yang hasilnya di lihat dari keluaran yang lebih cocok menggunakan kontrak lumsum.
Dengan demikian dapat saja pembangunan tugu/patung menggunakan jenis kontrak lumsum, namun tetap memerlukan detail spesifikasi teknis yang jelas. Ini karena patung atau monumen memiliki bentuk unik yang sulit dihitung dengan pendekatan berbasis volume seperti bangunan biasa.
Dalam menentukan biaya, pendekatan cost-based rate kurang efektif karena elemen seni tidak memiliki harga satuan pasti. Sebagai gantinya, pendekatan market-based rate (berdasarkan proyek serupa di tempat lain) atau value-based rate (berdasarkan nilai estetika dan dampak sosial) lebih sesuai.
Kasus Tugu Pesut Mahakam menunjukkan pentingnya pemahaman dalam estimasi biaya pada produk keluaran seni. Kritik yang muncul bukan hanya soal desainnya, tetapi juga terkait bagaimana anggaran dihitung. Jika pendekatan biaya dijelaskan sejak awal, resistensi publik bisa diminimalisir. Transparansi dan komunikasi dengan masyarakat adalah kunci agar proyek seni publik lebih diterima.