Pendidikan di Indonesia sejak lama terbiasa membentuk pola pikir berdasarkan hafalan. Kita diajarkan bahwa satu pernyataan harus benar secara mutlak dan berlaku universal, tanpa memperhitungkan konteks, waktu, atau audiens. Akibatnya, ketika seseorang menyampaikan dua hal berbeda dalam dua situasi berbeda, publik sering terjebak pada pertanyaan simplistik: “Yang benar yang mana, A atau B?”
Ambil contoh pembahasan tentang kecerdasan buatan (AI). Seseorang menyampaikan bahwa penggunaan Generative AI adalah masa depan, dan bahwa saat ini teknologi tersebut memungkinkan siapa saja untuk menggambar atau membuat animasi hanya dengan prompting. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks edukasi di sekolah, untuk membuka wawasan para siswa mengenai keterampilan digital masa depan dan menumbuhkan rasa ingin tahu mereka terhadap AI. Tentu saja dalam forum ini, contoh menggambar dan membuat animasi adalah pendekatan yang relevan, kontekstual, dan memudahkan pemahaman.
Di kesempatan berbeda, orang yang sama mengapresiasi sebuah film animasi karya anak bangsa yang tidak dibuat dengan generative AI, melainkan hasil kerja keras animator konvensional. Ia menyebut ini sebagai era baru animasi Indonesia dan mendukung kemajuan industri kreatif lokal. Namun publik yang terbiasa dengan nalar hitam-putih langsung menganggap pernyataan ini bertolak belakang dengan ucapan sebelumnya: “Jadi yang benar yang mana, pak? AI atau animator lokal?”
Masalahnya bukan pada inkonsistensi, melainkan pada ketidakmampuan memahami konteks. Kedua pernyataan itu benar, karena ditujukan untuk audiens yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda. Yang satu adalah bentuk edukasi terhadap keterampilan digital masa depan, yang lain adalah bentuk apresiasi terhadap hasil karya nyata di industri kreatif saat ini. Keduanya bukan saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.
Sayangnya, kemampuan berpikir kritis atau critical thinking masih belum menjadi kebiasaan dalam sistem pendidikan kita. Kita lebih sering diajak untuk menghafal jawaban, bukan mengajukan pertanyaan. Kita lebih sering disuruh memilih satu “kebenaran” tunggal, daripada diajak memahami keberagaman perspektif yang sah dalam ruang diskusi.
Padahal dalam dunia yang semakin kompleks seperti sekarang, kemampuan memahami konteks, membaca situasi, dan melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang adalah keterampilan esensial. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam debat kusir, saling mencurigai, dan mudah tersulut oleh potongan-potongan ucapan yang dicabut dari akar konteksnya.
Mungkin sudah saatnya kita mulai bertanya bukan hanya “apa yang dikatakan?”, tetapi juga “kepada siapa, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa?” Karena dalam dunia yang plural, kebenaran bukan hanya soal isi pesan—tapi juga soal tempat, waktu, dan siapa yang diajak bicara.