Ketika proses pemilihan penyedia mencantumkan penggunaan produk dalam negeri, maka saat pelaku usaha ditetapkan sebagai penyedia dan berkontrak, pelaksanaan kontraktualnya wajib mematuhi penawaran.
Kesinambungan ini telah memiliki ayat dalam Pasal 52 yang memayungi dan menjadikan hal ini kewajiban sebagaimana tercantum dalam Perpres 46/2025, dengan bunyi ayat (3) Pasal 52, maka pelaksanaan kontrak terikat pada ayat sebagai berikut :
Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan membutuhkan material/bahan/alat, maka wajib menggunakan material/ bahan/alat yang merupakan Produk Dalam Negeri dan/atau Produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri sesuai yang tercantum dalam dokumen penawaran.
Dengan demikian dalam penyusunan Spesifikasi Teknis, PPK dapat menyusun perencanaan dengan mengedepankan penggunaan produk dalam negeri, hal ini sebelumnya sudah dituliskan dalam Pasal 19 ayat (1) yang meminta PPK dalam menyusun spesifikasi teknis/kerangka acuan kerja Barang/jasa menggunakan : a. Produk Dalam Negeri.
Namun dorongan untuk menegaskan agar PPK ini semakin mendetilkan penggunaan produk dalam negeri ditambahkan dalam Pasal 19 ayat (1a) yang berbunyi :
PPK dalam menyusun spesifikasi teknis/kerangka acuan kerja Barang/jasa menggunakan Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyesuaikan dengan kemampuan industri dalam negeri sebagaimana tercantum dalam daftar inventarisasi Barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Jadi PPK menyusun spesifikasi teknis/KAK pada dasarnya sudah memperkirakan minimal TKDN dalam daftar inventarisasi Barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian yaitu dalam tkdn.kemenperin.go.id.
Kemudian spesifikasi teknis/KAK itu “dilempar” dalam SPSE pada proses pemilihan dan dibaca oleh para pelaku usaha, para pelaku usaha kemudian menawarkan barang/jasa dalam penawarannya.
Bila menjadi pemenang, maka pelaku usaha tersebut menjadi penyedia dan berkontrak.
Ketika berkontrak maka pelaksanaan kontraknya harus tetap berkomitmen pada penawaran yang diajukan. Dengan demikian semakin terang-benderang bahwa Pasal 52 ayat (3) dalam Perpres 46/2025 ini menjadi penegas bahwa penyedia tidak sekedar formalitas menawar saja dalam proses pemilihan namun berkewajiban mematuhi dokumen penawarannya.
Dengan penguatan Pasal 52 ayat (3) Perpres 46/2025, maka pengadaan barang/jasa tidak lagi semata-mata berorientasi pada pemenuhan administrasi saat pemilihan penyedia. Setiap penawaran yang diajukan oleh pelaku usaha bukan sekadar dokumen formal, tetapi menjadi dasar komitmen hukum dalam pelaksanaan kontrak. PPK sejak awal harus memastikan bahwa spesifikasi teknis yang disusun sudah selaras dengan potensi industri dalam negeri, sebagaimana data TKDN yang tersedia, sementara penyedia berkewajiban menjaga konsistensi realisasi kontrak sesuai dengan apa yang ditawarkannya. Inilah wujud integritas pengadaan: dari perencanaan yang terukur, pemilihan yang transparan, hingga pelaksanaan kontrak yang akuntabel.