Dalam Ketenagakerjaan, ada konsep “Upah Luncuran”, menurut saya Kontrak Payung Bersyarat dalam 2 tahun anggaran, tidak perlu diberlakukan penyesuaian karena menyesuaikan UMP tiap tahun… sejak awal menyusun HPS berlakukan saja ketentuan Upah UMP ditambah Upah Luncuran….
Keberpihakan dengan Pekerja, khususnya di masa pandemi ini penting bila dilihat dari Perspektif PBJP….. sejak awal patok minimal saja UMP dengan ditambahkan upah luncuran, ingat UMP itu patokan minimal pembayaran….. bukan jumlah maksimal…..
Misal UMP Kaltim di tahun 2022 adalah 3juta perbulan, kontrak Payung 2022-2023 yang dilakukan tendernya di 2021 saat penetapan UMP Kaltim tersebut ya langsung saja ditambah Upah Luncuran, misal Upah Luncurannya berdasar rataan inflasi 7persen, kebijakan nya diambil untuk upah luncuran 10 persen, maka UMP + Upah Luncuran untuk penyusunan HPS 2022-2023 menjadi Rp3juta + Rp300ribu, total Rp3,3juta, jadikan dan cantumkan dalam rancangan kontrak!
Kalau ditanya, dasar hukum nya apa memberikan Upah Luncuran? setahu saya tidak ada….. murni hanya punya niatan baik saja….
Kalau pakai cocoklogi ya gunakan Perpres, mendukung Perekonomian Nasional….
Ini tulisan saya bukan untuk menjanjikan apa-apa, murni perspektif saya sebagai Praktisi PBJ yang kebetulan sudah belajar Hukum Ketenagakerjaan, dan sedikit remah-remah rasa empati.
Tetap semangat, tetap sehat, dan salam Pengadaan!
One comment
Pingback: Pemerintah Bukan Badan Privat (Swasta) dan Bukan Penjajah - Optimalisasi Pengadaan demi Memajukan Bangsa