Jimly Asshidiqi mengemukakan bahwa istilah konstitusi pada mulanya berasal dari kata dalam bahasa latin “constitutio” yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip, konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar tertulis.
,
konstitusi negara Republik Indonesia bermula dengan pergerakan kemerdekaan dan posisi Jepang yang sedang terdesak pada masa Perang Dunia II membuat Jepang membutuhkan Indonesia dan menjanjikan Kemerdekaan dengan dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (独立準備委員会 Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), kemudian dinamika berlanjut hingga peristiwa Rengasdengklok yang dilanjutkan dengan Proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno selaku ketua PPKI dalam rapat besar yang mengesahkan UUD mengemukakan hal berikut dalam pidato nya “Sidang yang terhormat. Pada hari ini kita berada pada suatu saat yang mengandung sejarah. Pada hari ini kita menyusun Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang kemerdekaannya kemarin, menurut kehendak rakyat, telah dipermaklumkan dengan proklamasi yang telah diumumkan pula kepada rakyat kira-kira jam setengah 12 (Nippon).
Tuan-tuan sekalian tentu mengetahui dan mengakui, bahwa kita duduk di dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya. Maka berhubung dengan itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, supaya kitapun bertindak di dalam sidang sekarang ini dengan kecepatan kilat. Janganlah kita terlalu tertarik oleh kehendak yang kecil-kecil, tetapi marilah kita menurut garis-garis besar saja yang mengandung sejarah.
Saya minta lagi kepada Tuan-tuansekalian,supaya misalnya mengenai Undang-undang Dasar, sedapat mungkin kita mengikuti garis-garis besar yang telah dirancangkan oleh Dokuritu Zyunbi Tyoosakai dalam sidangnya yang kedua. Perubahan yang penting-penting saja kita adakan dalam sidang kita sekarang ini. Urusan yang kecil-kecil hendaknya kita kesampingkan, agar supaya kita sedapat mungkin pada hari ini pula kita selesai dengan pekerjaan menyusun Undang-undang Dasar dan memilih Presiden dan Wakil Presiden”
Dalam sidang yang sama turut dikemukakan bahwa “Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar Kilat, bahwa barang kali dapat dikatakan pula, inilah revolutiegrrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
,
Berdasarkan fakta diatas Undang-Undang Dasar 1945 semula merupakan Undang-Undang Dasar yang sifatnya sementara saja, dengan demikan unsur organisasi nya pun secara tidak langsung mengikuti tujuan awalnya tersebut, pemerintahan dimulai sistem demokrasi dengan kabinet Presidensiil yaitu terdiri atas 12 Departemen dengan 4 Menteri Negara, dan terdapat 8 Pemerintah Propinsi yang masing-masing dipimpin oleh Gubernur, saat itu hanya terdapat satu partai yaitu Partai Nasional Indonesia sebagai akibat gagasan partai tunggal dimana pada 22 Agustus 1945 PPKI menyelenggarakan rapat yang salah satunya membentuk Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal atau partai negara namun usia Kabinet Presidensiil ini tidak lama yaitu pada 12 September 1945 hingga 14 November 1945. Kemudian sejak 14 November 1945 Indonesia menggunakan sistem kabinet parlementer dengan Perdana Menteri Pertamanya yaitu Sutan Syahrir yang mana Perdana Menteri bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Pada masa ini Menteri diangkat dari partai politik yaitu Partai Sosialis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Masyumi, Persatuan Wanita Republik Indonesia, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Partai Nasionalis Indonesia, dan sebagainya. Selain itu pada masa ini telah terdapat parlemen dalam hal ini KNIP, pada periode ini terdapat lebih dari 20 partai politik sebagian merupakan partai kelanjutan yang telah ada dan partai baru meliputi Partai Indonesia Raya (PIR), Partau Rakyat Indonesia (PRI), Partai Banteng Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Wanita Rakyat (Perwari), Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Sosialis Indonesia di bawah Pimpinan Mr. Amir Sjarifudin (PARSI), Partai Murba, Partai Buruh Indonesia, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai Demokrat Tionghoa, Partai Indo Nasional, dan lain-lain.
,
Berdasarkan maklumat Presiden, KNIP sebagaimana disebutkan diserahi kekuasaan legislatif sebagai MPRS sebelum terbentuknya MPR dan DPR sehingga ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, komposisi KNIP terdiri dari unsur partai politik diantaranya Masyumi terdiri dari 35 anggota, PNI 45 anggota, Partai Sosialis 35 anggota, PBI 6 anggota, Parkindo 4 anggota, PKRI 2 anggota, dan PKI 2 anggota. Kemudian meningkat berdasarkan PP Nomor 6 tahun 1946 menjadi Masyumi 60 anggota, PNI 45 anggota, Partai Sosialis 35 anggota, PBI 35 anggota, Parkindo 8 anggota, PKRI 4 anggota, dan PKI 35 anggota. Kurang lebih hampir bersamaan dengan dinamika ini berlangsung pembahasan yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar yang akhirnya melahirkan kesepakatan antara Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda melalui Persetujuan Linggarjati. Dinamika politik dalam dan luar negeri ini berjalan beriringan dan pada akhirnya KNIP yang terdiri lebih dari 20 Partai Politik pada sidang pleno tanggal 13 Desember 1949 menerima Rancangan Undang-Undang hasil Konferensi Meja Bundar dengan 226 suara enerima dan 62 suara menolak sehingga dilanjutkan dengan pengesahan Konstitusi Republik Indoensia Serikat tanggal 31 Januari 1950.
,
Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat satu demi satu daerah bagian membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia, Sukarjo Wirjopranoto dalam tulisannya di Mimbar Indonesia 21 Januari 1950 mengemukakan bahwa gerakan rakyat untuk kembali menjadi satu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin besar, hal ini di dasarkan bahwa konsep negara serikat ditolak karena merupakan usulan dari Van Mook dan digunakan untuk memusuhi Negara Kesatuan RI bahkan untuk mematikan revolusi dan membatalkan Proklamasi 17 Agustus 1945, pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 Peran Partai Politik tetap besar baik di tubuh parlemen maupun eksekutif, dimana parlemen pada masa Konstitusi RIS adalah DPR dan senat yang terdiri 60 anggota DPR dan 6 anggota senat, dimana tiap tiap anggota dari masing-masing partai diserahkan kepada partai yang bersangkutan atas jumlah keanggotaan dalam KNIP diberikan jatah 1 wakil dalam DPR RIS dan jika tidak mencapai 12 anggota dalam KNIP dapat digabungkan dengan partai atau golongan lain, jatah ini diberikan kepada partai / gabungan partai/golongan lain dengan nama yang penentuannya diserahkan kepada partai/gabungan partai/golongan lain namun yang tidak berkedudukan dalam KNIP. Pada masa itu berdasarkan penetapan KNIP keanggotaan DPR RIS terdiri dari Masyumi 5 anggota, PNI 4 anggota, PSI 2 anggota, PKI 2 anggota, PBI 2 anggota, BTI 2 anggota, dan partai lainnya yaitu PSII, Murba, STII, PKRI, Parkindo, Partai Sosialis, dan Partai Buruh masing-masing 1 anggota, pada masa itu parlemen menanggapi positif dorongan menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana pada tanggal 2 Maret 1950 DPR menyetujui usul mosi gabungan sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Natsir pada tanggal 15 April 1950 yang memberikan pemikiran agar semua negera bagian meleburkan diri ke dalam negara baru bernama negara kesatuan republik Indonesia, kemudian setelah dilanjutkan dengan perancangan piagam persetujuan Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia dan dilanjutkan dengan perancangan bersama Konstitusi UUD Sementara RI (UUDS RI).
,
UUDS RI menggariskan sistem pemerintahan dengan sistem semi parlementer dimana kabinet dibentuk oleh beberapa orang pembentuk kabinet yang ditunjuk oleh Presiden dimana salah satu diantaranya adalah Perdana Menteri. UUDS ini berlaku sementara konstituante melahirkan Konstitusi baru dan pada saat masa ini stabilitas politik sempat membaik, adapun stabilitas politik yang membaik dibandingkan kondisi sebelumnya ini tidak langsung bertahan lama, hal ini dikarenakan pertarungan ideologi dan persaingan antarkabinet dalam parlemen sebagai akibat sistem multipartai tanpa partai dominan memicu konflik antar PNI dan Masyumi yang terus berlanjut dalam kabinet membuat kabient dianggap lemah. Konstituante terpilih pun gagal dalam melahrikan Undang-Undang Konstitusi sehingga memicu kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga timbul krisis politik dan berujung pada gagalnya model demokrasi parlementer, walaupun upaya pemisahan kekuasaan telah dilaksanakan, namun partai yang ada kala itu belum mampu mengintegrasikan ideologi berupa berjalannya fungsi dan peranannya sebagaimana mestinya dikarenakan partai-partai tersebut justru mengedepankan kepentingan internal semata dan hubungan partai dan masyarakat hanya sebatas kepentingan elektoral semata, peningkatan jumlah keanggotaan dan pemberian dukungan suara untuk partai dalam pemilu lebih dikedepankan dan masyarakat tidak memahami betul esensi substantif dari partisipasi mereka dalam pemilu sehingga masyarakat tidak mengetahui bahwa pemilu merupakan sarana untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, sehingga kekacauan politik era demokrasi parlementer ini disadari oleh beberapa tokoh bahwa sistem demokrasi ala barat ini tidak cocok untuk Indonesia sehingga ditetapkan kondisi darurat pada tahun 1957 dimana militer menjadi memiliki wewenang dalam Dekrit Presiden Tahun 1959 yang menandai berakhirnya era demokrasi parlementer di Indonesia.
,
Era Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap demokrasi multi partai dan sistem pemerintahan parlementer yang dijalankan sebelumnya sebagai akibat dari banyaknya partai politik yang dipandang meerupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa, terutama tidak berhasilnya Konstituante yang hingga 1959 yang gagal melahirkan UU Konstitusi. Kelanjutan dari krisis politik ini adalah terjadinya penguburan partai-partai yang terlampau banyak dengan dikubur Zonder pandang bulu dimana Presiden Soekarno menyerahkan pada pimpinan partai politik untuk membentuk satu partai saja, tidak membentuk partai tetapi suatu gerakan massa, atau membentuk beberapa partai politik yang rasional. Pada masa ini upaya pemisahan kekuasaan juga semakin didorong dimana pembentukan Kabinet dan Dewan Nasional menjadi suatu konsepsi yang di dorong. Dalam kabinet itu duduk semua partai-partai atau fraksi yang ada dalam parlemen dan memiliki banyak wakil termasuk partai kecil sekalipun sebagai bentuk perwujudan gotong royong Indonesia. Konsepsi berikutnya adalah Dewan Nasional yang beranggotakan 60 orang dan berfungsi memberi nasihat kepada kabinet baik diminta atau tidak terdiri dari seluruh perwakilan bangsa Indonesia dan terdapat anggota dari golongan fungsional meliputi wakil-wakil kamum buruh, petani, cendekiawan, pengusaha, agama, angkatan 45, kepala staf angkatan darat, kepala staf angkatan udara, kepala kepolisian negara, jaksa agung, dan beberapa menteri yang dipandang penting.
,
Konsepsi dari presiden ini selanjutnya ditolak oleh partai-partai politik dan menentang penguburan partai dan konsep restrukturisasi, melainkan dengan mengupayakan kembalinya kepercayaan rakyat. Konsep restrukturisasi baik penguburan partai maupun dewan nasional berarti pemerintahan akan menjadi pemerintahan diktator baik oleh satu orang atau oleh partai tunggal. Penolakan ini dilaksanakan oleh lima partai besar pada 2 maret 1957 dimana lima partai yaitu Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI. Tanggal 14 Maret 1957 Soekarno menyatakan negara dalam keadaan darurat perang dan memaksakan terbentuknya Kabinet Juanda sebagai Kabinet karya yang bersifat non-partai politik, walaupun masih melibatkan sebagian wakil partai politik sebagai menteri yang berasal dari partai selain Masyumi, Partai Katolik, dan PSI.
,
Pembentukan kabinet Juanda ini justru menimbulkan kekecewaan dan gejolak pemberontakan yang dengan cepat ditangani oleh militer. Kondisi ini menimbulkan susunan politik yang baru yang dikuasai oleh Presiden Ssoekarno dan pimpinan militer. Kekuasaan itu semakin besar dengan telah dilakukannya pengambilalihan semua milik Belanda pada Desember 1957. Kondisi ini menandai mulai berakhirnya demokrasi parlementer yang digantikan Demokrasi terpimpin, keputusan ini mendorong ditinggalkannya UUDS 1950 yang menganut Demokrasi Parlementer dan kembali nya pemberlakuan UUD 1945 yang diwujudkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
,
Dekrit Presiden tersebut secara aklamasi diterima pada sidang 22 Juli 1959 oleh DPR, kembalinya UUD 1945 turut mengembalikan peran, tugas, dan fungsi DPR menurut UUD 1945. Kemudian selanjutnya DPR hasil pemilu 1955 dihentikan tugas dan pekerjaannya melalui Penpres Nomor 3 tahun 1960 dan dilakukan pembaharuan susunan DPR yang baru yang disebut dengan DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang pembentukannya dibentuk berdasarkan Penpres 4 tahun 1960 yang keanggotaannya tidak lagi didasarkan atas kekuatan partai politik melainkan kerjasama gotong royong yang terdiri atas wakil-wakil dari golongan politik dan golongan karya serta seorang wakil Irian Barat yang menyetujui UUD 1945, pengaturan ini merupakan Sosialisme ala Indonesia dimana Demokrasi dilaksanakan secara terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian sendiri dan bersedia turut serta melaksankan manifesto politik 17 Agustus 1959 dengan anggota-anggota DPR-GR diangkat dan diberhentikan Presiden.
,
UUD 1945 terus digunakan hingga tanggal 21 Mei 1998 menandai era reformasi, dan terdapat tuntutan reformasi yang mendorong adanya amandemen, amandemen ini merupakan perubahan dari UUD 1945 dan bukan mengganti konstitusi secara keseluruhan seperti sejarah yang disebutkan kronologisnya diatas.
Referensi
Hukum Tata Negara, Fatmawati, Universitas Terbuka, 2018
Ilmu Negara, Aminoto, Tanggerang Selatan, Universitas Terbuka, 2015