Penyusunan Harga Perkiraan dan Segmentasi Pelaku Usaha berbasiskan pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jenis pengadaan : Barang

Materi Webinar dari Bagian Pengadaan barang dan Jasa tanggal 24 April 2020

 

Membahas penyusunan kebutuhan biaya dalam kontrak Pengadaan Barang tentunya berkaitan dengan perencanaan anggaran yang merupakan proses yang mendahului proses penyusunan Harga Perkiraan Sendiri untuk memenuhi kebutuhan Organisasi Pemerintah, secara sederhana logika ini selaras dengan analogi dengan uang pribadi semisal saya sebagai pribadi memandang kebutuhan saya untuk makanan adalah sehari-hari membutuhkan makanan dari restoran seafood, dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan tersebut saya setiap hari menyediakan anggaran saya untuk makan sebut saja sebesar 1 juta.

Darimana anggaran 1 juta tersebut saya perkirakan nilai nya? ada beberapa macam cara salah satunya adalah berdasarkan kebiasaan yang saya tentukan dalam belanja seafood, namun selain berdasarkan kebiasaan, saya juga dapat melakukan perkiraan anggaran tersebut dari rata-rata belanja saya yang sudah saya lakukan sebelumnya dan dengan demikian kami bisa memperkirakan anggaran tersebut.

Dengan demikian setelah mengetahui anggaran maka saya dapat mulai memilih mau makan apa saya malam ini, apakah saya mau makan di restoran A, restoran B, atau Restoran C malam ini, restoran seafood itu memiliki beberapa menu, contoh  dalam hal ini saya mulai menentukan menu apa yang perlu saya beli, dalam hal ini saya ingin makan lobster saus padang, harga menu restoran A untuk menu lengkap lobster saus padang senilai Rp785ribu, restoran B menyediakan menu serupa dengan nilai Rp755ribu, dan restoran C adalah Rp815ribu, rata-rata dari 3 Resto itu adalah Rp785ribu maka berdasarkan rata-rata tersebut nilai Rp785ribu itu adalah nilai yang wajar dari menu Lobster Saus Padang bagi saya untuk memperhitungkan kewajaran menu, sehingga bila saya menemukan Resto D yang dalam buku menu mencantumkan harga menu tersebut senilai Rp740ribu maka selain karena pagu anggaran saya masih dapat menanggulangi kebutuhan tersebut, maka saya dapat menilai juga bahwa harga menu Lobster Saus Padang pada restoran seafood D merupakan harga yang wajar, sehingga saya dapat memilih makan di Resto A, Resto B, dan Resto D yang ketiganya merupakan resto seafood karena secara rataan hitung ketiga nya adalah wajar berdasarkan sesama restoran seafood.

Ketika saya makan di resto D dengan nilai Rp740ribu dan potongan lobster tersebut saya sisakan dan bawa ke laboratorium ditemukan bahwa Lobster dari Resto A ternyata bukan Lobster dari Laut melainkan Lobster dari tambak air tawar (yang jelas berbeda harga pasarnya dari Lobster dari laut), berdasarkan hal ini perlu diperhatikan lagi kelaziman di pasar, apakah lazim Resto Seafood menjual dan mencantumkan menu Lobster Saus Padang ini merujuk kepada Lobster Air Tawar? hal ini akan menjadi debatable, namun bila kelaziman yang berlaku di pasar adalah mencantumkan Lobster Saus Padang itu merujuk kepada bukan Lobster Air Tawar dan secara lazim seharusnya Lobster Saus Padang dalam hal ini yang menggunakan Lobster Air Tawar lazimnya ditulis di menu adalah “Lobster Saus Padang (Lobster Air Tawar)” maka tentunya dapat dipandang saya mengalami kerugian uang pribadi,terlebih lagi setelah di kemudian hari saya mengetahui bahwa rata-rata hargaLobster Saus Padang (Lobster Air Tawar) ternyata Rp300ribu maka saya mengalami kerugian Rp440ribu bila dibandingkan harga pasar untuk Lobster Saus Padang (Lobster Air Tawar), namun kerugian ini tadi dalam hal analogi ini dimaknai kerugian baru timbul ketika saya telah selesai bertransaksi, bukan ketika saya menentukan anggaran maupun ketika saya memperkirakan penilaian harga yang wajar.

Adapun dari analogi diatas penentuan adalah perkiraan anggaran sebesar Rp1juta adalah analogi penyusunan anggaran, kemudian menilai harga menu Lobster Saus Padang senilai Rp785ribu merupakan analogi Penetapan Harga Perkiraan Sendiri, sedangkan nilai transaksi saya senilai Rp740ribu adalah Nilai Kontrak. Analogi ini tentunya bila diberlakukan pada proses pengadaan barang/jasa Pemerintah tentu saja tetap perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, hanya saja logika dari analogi ini kiranya dapat memberikan gambaran perbedaan penyusunan anggaran, penyusunan harga perkiraan, dan nilai kontrak.

Fungsi HPS dan pengaturan bahwa HPS bukan menjadi dasar perhitungan besaran kerugian sebagaimana kutipan pada gambar diatas tentunya bila dibandingkan dengan analogi diatas harapan saya dapat mempermudah pemahaman filosofi bahwa kesalahan menyusun HPS itu tadi tidaklah menjadi “sumber” masalah penyebab kerugian negara terlepas dari kerugian negara muncul atas nilai kontrak yang membuat negara tersebut rugi merupakan nilai yang diperoleh karena batas tertinggi penawaran.

Berkaitan dengan segmentasi usaha, mengapa HPS memiliki pengaruh yang erat dengan segmentasi pelaku usaha yang diatur dalam Perpres 16/2018? Kembali kita lihat dari sisi tujuan, kebijakan, dan larangan dalam pemaketan pada Perpres 16/2018 terlihat bahwa “roh” dari Perpres 16/2018 adalah memberi kesempatan untuk kemajuan usaha mikro dan usaha kecil, memberikan kesempatan dalam hal ini adalah memberikan “handicap” yang menguntungkan usaha kecil dengan membatasi secara regulasi.

Dalam Pengadaan barang pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagaimana cara menyusun HPS? umum nya yang kami lihat praktiknya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

Cara diatas adalah mengelompokkan data pasar berdasarkn persamaan dan kemiripan, kemudian menetapkan HPS berdasarkan analisis sederhana.

Bila memperhatikan pedoman dalam PerLKPP 9/2018 memungkinkan menyusun HPS dengan memperhatikan salah satunya inflasi dan membandingkan kontrak yang pernah atau sedang dilakukan, dalam contoh diatas bila sebuah kontrak pengadaan 2 bus medium senilai Rp 1.925.000.000,00 di exposure dengn inflasi bulanan akan menghasilkan angka bervariasi tiap bulannya, pemikiran saya adalah inflasi tidak mencerminkan posisi riil bagi sektor penjualan bus karena dalam kondisi ekonomi yang secara makro berfluktuasi tidak semua menerima dampak inflasi semudah perhitungan diatas, sehingga perkiraan saya adalah menggunakan pendekatan rataan hitung atas hasil cascading dari inflasi bulanan diatas dalam rentang waktu antara Agustus 2019 (saat kontrak eksisting serupa) hingga Maret 2020 atas kemungkinan nilai kontrak yang semakin meningkat karena tergerus inflasi bulanan, dalam hal ini diharapkan ketika April 2020 melakukan tender maka rataan hitung exposure inflasi sejak Agustus 2019 hingga Maret 2020 menjadi pertimbangan untuk memperkirakan HPS Tender 2020 yang bernilai Rp1.983.592.187,50 atau naik sebesar Rp58.592.187,50 untuk kontrak 2 bus medium dengan spesifikasi sama (kenaikan masing-masing bus adalah Rp 29.296.093,75.).

 

HPS Pengadaan Barang bukan bertujuan untuk mencari harga paling mendekati secara pasti dari nilai kontrak nya, salah satu fungsi HPS menjadi batasan tertinggi penawaran untuk di kompetisikan, dalam hal kompetisi ini tentunya memperhatikan pasar dari barang tersebut, dan kondisi pasar tersebut akan berpengaruh pada pengadaan barang / jasa Pemerintah yang selanjutnya menjadi pertimbangan pada metode pemilihan yang relevan.

 

Pasal 38 ayat (1) Perpres 16/2018 untuk pengadaan barang terdiri mulai dari E-Purchasing, Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, Tender Cepat, dan Tender. Dalam hal ini memilih metode pemilihan penyedia yang tepat tentunya harus memperhatikan karakteristik dari pengadaan barang yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh dalam Webinar tanggal 24 April 2020 ini terdapat dialog bahwa Pengadaan Barang untuk komponen satelit yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah tersebut dalam hal nilai yang relatif besar memiliki preferensi terhadap produksi keluaran negara tertentu guna produksi satelit, dalam hal ini walaupun nilai nya diatas Rp200juta namun barang tersebut tidak mencapai nilai Rp2.5Milyard karena barang yang ada tersebut tidak dicantumkan dalam Katalog, dan ketersediaan penyedia nya minim maka proses tender cepat dan tender bukan menjadi sebuah pilihan, yang dilakukan lembaga tersebut pada akhirnya adalah Penunjukan Langsung dan tidak diberikan pada Pelaku Usaha Kecil.

Dalam ilustrasi contoh diatas merupakan salah satu contoh pelaksanaan Pengadaan barang yang menggunakan prinsip supply chain management (SCM), yang definisinya adalah sebagai berikut :

Supply Chain Management adalah pengelolaan informasi, barang dan jasa mulai dari pemasok paling awal (hulu) sampai ke konsumen paling akhir (hilir) dengan menggunakan pendekatan sistem yang terintegrasi dengan tujuan yang sama (Said, 2006)

Rantai Suplai Hulu adalah: Meliputi aktivitas dari suatu organisasi korporasi atau institusi dengan para rekanan pemasok (dapat berupa manufaktur, agen tunggal, distributor, perantara, pedagang eceran, hingga penyedia layanan jasa), di dalam upstream supply chain. Aktivitas yang utama adalah proses pengadaan barang atau jasa.

 

Rantai Suplai Internal : Meliputi semua proses penerimaan barang ke gudang atau jasa yang disediakan rekanan pemasok, agar dapat digunakan untuk keperluan proses rantai supai internal, baik proses penggunaan, produksi, atau rencana alokasi persediaan, di dalam rantai suplai internal. Perhatian yang utama adalah manajemen penyimpanan dan pengendalian persediaan, serta manajemen pengendalian mutu.

 

Rantai Suplai Hilir: Meliputi semua aktivitas yang melibatkan proses transportasi dan distribusi dari alokasi persediaan atau barang yang tersedia dalam proses rantai suplai internal, ke para penerima akhir, di dalam rantai suplai hilir. Perhatian diarahkan pada proses transportasi, distribusi, serah terima, dan layanan purna jual.

Sehingga bila diperhatikan dari hulu, internal, hingga hilir, maka proses SCM memiliki komponen sebagai berikut :

  • Pengembangan
  • Pengadaan
  • Perencanaan dan Pengendalian
  • Operasional/Produksi
  • Pengiriman/Distribusi
  • Disposal

 

Bila berfokus pada Komponen SCM tersebut, khususnya pada rantai suplai hulu maka merencanakan Anggaran dan Harga Perkiraan pada pengadaan Barang khususnya pada :

  • Spesifikasi Tepat (Right Product)
  • Kebutuhan Jumlah (Right Quantity)
  • Kualitas (right quality)
  • Transport (right place)
  • Tepat waktu (right time)
  • Harga (right price)

 

Praktek best practice SCM telah menjadi tujuan dari Pengadaan Barang Jasa Pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres 16/2018 pasal 4 huruf a yang berbunyi sebagai berikut :

menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan Penyedia;

Perhatikan kalimat kunci nya, “dari setiap uang yang dibelanjakan” atas tiap-tiap komponen yang di fokuskan pada SCM diatas, maka boleh lah kita simpulkan bahwa Perpres 16/2018 sebenarnya memberikan peluang untuk melakukan riset dan pengembangan mendalam dalam proses pengadaan barang/jasa untuk diterapkan secara komprehensif dan bukan dijalankan secara parsial dari satu sisi semata, apabila tidak dilaksanakan dengan komprehensif dan hanya diterapkan sepenggal-sepenggal maka seharusnya bila memperhatikan hanya dari nilai anggaran semata, maka komponen satelit pada ilustrasi diatas akan dijalankan dengan menggunakan hanya proses tender/tender cepat semata, itupun pada paket dengan segmentasi usaha kecil, pada akhirnya proses pengadaan tersebut , bila dikembalikan pada konsep SCM maka Spesifikasi Tepat (Right Product),Kebutuhan, Jumlah (Right Quantity), Kualitas (right quality), Transport (right place), Tepat waktu (right time), dan Harga (right price) pada rantai suplai hulu yang menajdi lingkup dilaksanakan Pengadaan Barang/Jasa dengan para rekanan pemasok (dapat berupa manufaktur, agen tunggal, distributor, perantara, pedagang eceran, hingga penyedia layanan jasa) tidak dapat terwujud, maka dengan demikian salah satu tujuan yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf a Perpres 16/2018 menjadi tidak terpenuhi.

 

Dengan demikian proses bisnis antara Organisasi Pemerintah dan Konsep SCM perlu sinkron, bagaimana cara nya? dapat dilihat pada bagan dalam bentuk tabel berikut ini :

Pelaksanaan sinkronisasi tersebut diatas harus dilakukan secara inklusif sebagaimana arah panah yang ditujukan sebagai berikut :

Inklusif dalam hal ini artinya arah strategis jangka panjang yang ditentukan oleh kepemimpinan manajemen puncak sesuai tanggung jawab selanjutnya ditetapkan dan secara komprehensif diturunkan pada lingkup “Taktis”

Dalam Level Taktis menerjemahkan Kebijakan Strategis kemudian dibentuk taktik oleh kepemimpinan Manajemen Menengah untuk selanjutnya diturunkan pada lingkup “Operasional”

Pada level Operasional maka aktifitas dilaksanakan dengan kepemimpinan Manajemen tingkat bawah.

Proses inklusif ini dalam kaitannya pada Pemerintah Daerah dilakukan dengan harmonisasi pada penyusunan anggaran dan perencanaan pengadaan sebagai berikut :

 

Sinkronisasi dan harmonisasi antara proses pengadaan dan proses penyusunan anggaran ini wajib dilaksanakan sebagai satu kesatuan terintegrasi dalam kerangka pikir SCM, melakukan secara terpisah tentu akan membuat tujuan pengadaan tidak tercapai, dan bila tujuan pengadaan tidak tercapai maka besar kemungkinan tujuan organisasi tidak akan tercapai, dengan demikian dalam menyusun HPS maupun anggaran tentunya wajib berdasarkan Identifikasi Kebutuhan sebagai titik permulaan alias ground zero aktifitas pengadaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Perpres 16/2018 :

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

Sebagai Contoh dalam kaitannya pada Identifikasi Kebutuhan diatas maka dapat diperhatikan ilustrasi kasus sebagai berikut :

Diatas kertas (atau diatas layar monitor :D) “otak” dari kedua barang diatas adalah sama-sama Intel Xeon (terlepas dari spesifikasi minor prosesor yang jelas berbeda). Namun mana yang harus dibeli?

Jawaban nya adalah bergantung pada Organisasi yang akan menggunakan barang tersebut, sehingga harus dapat dibedakan kebutuhan atau keinginan dalam organisasi dengan mengacu pada karakteristik organisasi yang menjadi aspek tujuan strategis.

Produk yang kiri dapat dikatakan cocok bagi “Organisasi Pemerintah untuk Pengelola Aplikasi” dengan tujuan sebagai berikut :

Aspek Tujuan Strategis : misal organisasi pemerintah untuk pengelola aplikasi ini merupakan pusat dari aplikasi-aplikasi yang digunakan diseluruh unit kerja dalam Pemerintah tersebut (Pemda X), sehingga yang perlu dijamin adalah reachavailibilitas nya tinggi, intensitas lalu lintas dan kecepatan proses data yang tinggi karena jumlah pengguna relatif banyak yang sebisa mungkin jangan sampai ada crash karena itu spesifikasi untuk pengelolaan data diharapkan prima, sehingga memerlukan server. Dalam hal ini maka 5-7 tahun daya tahannya diharapkan tinggi, secara bertahap diperlukan penambahan server untuk menampung kebutuhan selama kurun waktu tersebut.

Aspek Tujuan Strategis ini ditetapkan agar Pemda X semakin efektif dalam pekerjaan clerical dengan memanfaatkan teknologi informasi sehingga pekerjaan tidak lagi disibukkan secara konvensional menggunakan kertas dan sumber daya untuk mendistribusikan dokumen dan dapat lebih berfokus pada tugas dan fungsi yang menjadi indikator keberhasilan Pemda X secara keseluruhan.

Kemudian Aspek Tujuan Strategis diatas yang telah disusun manajemen puncak kemudian disampaikan kepada manajemen menengah, manajemen menengah mengetahui kondisi sumber daya salah satunya sumber keuangan, dengan demikian secara teknis selain pengadaan barang juga dilakukan hal lain seperti pelatihan (yang tidak dibahas disini agar penjelasan lebih lanjut tetap fokus pada pengadaan Barang), dalam mencapai tujuan strategis dibutuhkan 10 (sepuluh) server untuk mencapai tujuan selama 5 tahun, sehingga dalam 3 tahun perlu dipenuhi kebutuhan Barang Server tersebut, oleh karena itu manajemen tingkat menengah menyusun :

Tahun ke-1 : 5 Server

Tahun ke-2 : 3 Server

Tahun ke-3 : 2 Server

 

Kemudian kebutuhan pemenuhan selama 3 tahun diatas disampaikan kepada manajemen menengah kepada operasional sebagai hal yang harus dipenuhi tiap-tiap tahunnya, dalam hal ini Manajemen tingkat bawah melakukan penerjemahan kebutuhan tersebut untuk dapat memenuhi Aspek Tujuan Strategis dari pimpinan yang berada di hirarki diatasnya dengan melakukan Pengadaan Barang sebagai sarana penunjang untuk mencapai tujuan strategis.

Dengan demikian kebutuhan telah teridentifikasi, selanjutnya setelah dilakukan pembahasan secara inklusif diatas maka penganggaran menjadi hal yang telah selaras dengan kebutuhan Barang untuk 10 server diatas, dalam eksekusinya maka selanjutnya Pengadaan Barang dilakukan dengan melihat siapa penyedia nya, dalam hal diatas telah terdaftar di e-Purchasing maka Pemda X menganggarkan untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana e-Purchasing diatas, dengan demikian penganggaran nya perlu dilakukan selama 3 tahun dengan memperkirakan ongkos kirim, fluktuasi nilai rupiah dan kemungkinan kenaikan harga lainnya.

Terlihat disini dengan mengidentifikasi kebutuhan yang selaras dengan tujuan Organisasi, berpengaruh pada bagaimana melakukan pengadaan, pengaruh ini mendorong efisiensi karena ketersediaan pelaku usaha memungkinkan dilakukan dengan efisien sehingga cukup melakukan proses Perkiraan Anggaran dan tidak perlu dilanjutkan kepada proses penyusunan HPS. Dalam ilustrasi contoh Pengadaan Server diatas kita melihat kembali contoh lain yang berbeda keputusan metode pemilihan penyedia sebagai hal positif menerapkan konsep SCM.

Tentu saja dalam penerapan konsep SCM untuk mengidentifikasi kebutuhan bukanlah hal wajib/mandatory dengan logika sederhana seperti pada artikel kami di November 2019 silam pun bisa mendistinctivekan/membedakan mana kebutuhan dan keinginan, silahkan cek artikel : berikut ini  <link> untuk memperoleh perspektif lainnya berkaitan dengan kebutuhan vs keinginan yang sederhana dalam proses identifikasi kebutuhan.

Bagaimana dengan penerapan proses pengadaan barang serupa pada Organisasi Pemerintah Pengelola Konten Media? bila organisasi Pemda X memiliki unit kerja yang mendokumentasikan dan mengolah konten dokumentasi kegiatan Pemda X dalam membangun dan mempertahankan tradisi kebudayaan lokal yang akan mulai dilaksanakan pada tahun 2021, dokumentasi direkam dengan kamera yang memiliki keluaran konten resolusi tinggi, maka diperlukan komputer yang memerlukan kemampuan pengolahan grafis yang baik, sehingga diperlukan komputer tertentu yang memang dirancang sejak awal untuk mengolah konten media.

Dalam hal ini kebutuhan Pemda X untuk mendokumentasikan hal ini merupakan upaya untuk mendorong kearifan lokal Daerahnya untuk dapat memperkenalkan budaya ke publik secara luas melalui media elektronik dan diharapkan dapat mendorong peningkatan daya tarik kebudayaan dan meningkatkan ekonomi dari sektor ekonomi kreatif. Berdasarkan hal ini maka Pemda X menyusun kebijakan strategis, taktis, dan operasional sebagai berikut :

Dalam lingkup PBJP dapat dilakukan penelitian terlebih dahulu, bagaimana cara melakukan pengadaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut? ternyata diperoleh informasi produk versi 2020 yang dimaksud belum tersedia di pasaran Indonesia namun akan tersedia secara umum di tahun 2021, dari website produsen wilayah Indonesia produk nya tidak tersedia saat ini, bagaimana memenuhi kebutuhan penyusunan anggarannya?bagaimana proses pengadaannya?

Sebelum melangkah lebih lanjut ke pengadaan untuk tahun 2021 ini, manajemen hendaknya memperhitungkan apakah dapat menggunakan alternatif substitusi lain? ternyata tidak (asumsi), karena peralatan yaitu kamera yang ada menggunakan standar teknologi yang hanya kompatibel dengan perangkat komputer ini, bila dipaksakan penggunaannya dengan komputer sistem operasi lain akan menghasilkan proses kerja yang lebih lama karena perlu dilakukan konversi terlebih dahulu, dari sisi identifikasi kebutuhan ini dipandang secara strategis penggunaan produk lain akan menghasilkan hambatan waktu yang tidak dapat digantikan, sehingga keberadaan komputer pengolah media grafis ini menjadi sebuah kebutuhan, secara kuantitas diperlukan 5 unit komputer ini.

Permasalahannya adalah bagaimana pengadaannya dan cara memproses pengadaan untuk mendapatkan barang tersebut? mengingat informasi harga di Indonesia tidak tersedia? Apakah menunggu hingga 2021 terlebih dahulu baru kemudian memperhitungkan harga nya? dengan demikian bila hal ini yang dipilih maka penggunaan perangkat baru dapat dilakukan di tahun 2022 (terlambat), karena risiko optimalisasi anggaran yang salah perhitungan mungkin tidak dapat menghasilkan jumlah anggaran tersedia yang dibutuhkan.

Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan untuk menghitung anggaran dan memperkirakan HPS yang berdaya guna, mari kita perhatikan bahwa ketentuan HPS sudah sangat fleksibel diatur dalam Perpres 16/2018 sebagai berikut :

Dengan kata lain perhitungan HPS dengan menggunakan keahlian dan data yang dapat dipertanggungjawabkan bila dilihat dari filosofis dan hakikatnya, Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tengah di dorong untuk terbiasa menghitung secara keahlian dan dapat dipertanggung-jawabkan alias melakukan riset dan keahlian metodologikal, metode nya bebas, bila di contoh diatas menggunakan metode-metode simpel, maka untuk case ini akan menjadi sedikit tricky karena informasi barang hanya bersifat keberadaan barang baru diketahui akan masuk nanti di tahun 2021 tanpa ada kemungkinan harga jual nya. Dengan demikian maka yang perlu diketahui adalah proses importir utama melakukan impor, beruntung harga di publikasikan di website negara asal dan terpajang konfigurasi harga spesifikasi terendah yang dibutuhkan adalah $5.999 per unit.

Mengkonversi harga dengan kurs rupiah saat melihat informasi ini diperoleh nilai Rp93.564.303, apakah nilai ini langsung menjadi anggaran/HPS? kalau melihat barang mengalami proses impor maka nilai ini belum memenuhi keseluruhan aspek informasi yang memadai. Spesifikasi teknis terlihat berat barang ini adalah 15kg, anggap dengan kemasan menjadi 18kg, maka perlu diperhitungkan biaya kirim ke Indonesia.

Berdasarkan informasi diatas maka dengan menggunakan biaya impor diperoleh Freight on Board dengan nilai $6.179,99 atau di konversi ke Rupiah setara dengan Rp96.386.296,08, proses impor memerlukan biaya yang bisa di cek dengan menggunakan aplikasi dari Bea Cukai sebagai berikut :

Diperoleh nilai FOB $6.179,99 atau di konversi ke Rupiah setara dengan Rp96.386.296,08 bila ditambah dengan kewajiban Bea Masuk dan PPN maka diperoleh nilai impor yang perlu dikeluarkan adalah Rp‭115.057.296,08‬, secara wajar pelaku usaha Importir Utama pasti mengambil keuntungan dan tidak mungkin menjual dengan harga setelah kewajiban-kewajiban, perlu kita perhatikan bersama pada contoh diatas asumsi ekstrim adalah tidak memperhitungkan pph dari impor dengan asumsi keuntungan mampu mengakomodir.

Dalam contoh pada Perpres 54/2010 disebutkan keuntungan untuk pekerjaan konstruksi dan dilanjutkan dengan PerLKPP 9/2018 disebutkan keuntungan maksimum adalah 15%

Apakah asumsi ini diperbolehkan digunakan? untuk hal ini bergantung pada asumsi dari penyusun harga perkiraan, untuk contoh ini saya menggunakan asumsi profit adalah setara dengan suku bunga tahunan dan untuk overhead cost digunakan perhitungan tingkat inflasi, asumsi ini bisa jadi sebenarnya tidak layak digunakan dalam perhitungan riil karena melakukan kegiatan impor tidak semudah menabung di Bank, hanya saja saya menggunakan informasi tersebut karena toh ini hanya sebuah ilustrasi contoh (kami mengharapkan akan ada pengembangan yang lebih baik dari pembaca setelah membaca dengan kritis artikel ini). Total profit + overhead cost = 7,46% dengan ilustrasi perhitungan sebagai berikut :

Kembali kami mengingatkan keuntungan profit dan overhead dengan asumsi diatas tidak layak, bisa dilihat dari keuntungan yang diperoleh hanya Rp8.583.274,29 sedangkan ditilik dari PPh dari aplikasi bea cukai pada slide sebelumnya saja Rp9.780.000, kembali kami mengharapkan akan ada pengembangan yang lebih baik dari pembaca setelah membaca dengan kritis artikel ini.

Berdasarkan perhitungan diatas maka diketahui harga jual dari importir utama kepada pembeli selanjutnya pada rantai distribusi adalah Rp ‭123.595.570,37‬. Adapun proses perhitungan Importir Utama diatas belum dapat digunakan sebagai dasar perkiraan anggaran dan kelak kedepan anggaran tersebut belum diketahui untuk menyusun HPS mengingat kondisi segmentasi pasar yang tidak mungkin menyasar pada Usaha Non-Kecil, hal ini dikarenakan kuantitasnya “cuma” sebatas 5 (lima) unit, sedangkan importir utama memiliki kebijakan untuk menjual kepada pengecer dalam kuantitas minimal 100 unit (asumsi).

Bila menggunakan kuantitas diatas apabila diperhitungkan penjualan 100 unit maka diperoleh nilai pengadaan Rp 12.359.557.037,00 maka segmentasi usaha bila merujuk Pasal 65 ayat (4) Perpres 6/2018 hanya dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Non-Kecil, bila menilik lagi kebutuhan Organisasi Pemda X diatas yang hanya 5 unit, dengan harga satuan Rp ‭123.595.570,37 berjumlah Rp617.977.851,85, pertanyaan yang perlu di batini adalah apakah perusahaan importir utama yang jelas memiliki kemampuan non-kecil dengan penjualan minimal 100 unit pada simpul rantai distribusi selanjutnya apakah mau menjual dengan kuantitas 5 unit? selain karena menggunakan kebijakan penjualan minimal 100 unit, kita dapat mengetahui jawabannya adalah “tidak” dengan menggunakan konsep Supplier Perception Model di bawah ini :

Mengasumsikan selemah lesunya ekonomi di tahun 2021 bahwa importir utama hanya mampu menjual 100 unit, maka paket dari Pemda X hanya 5% dari omzet Importir Utama, atau berada pada kondisi tepat pada ambang batas kategori “sedang”, besar kemungkinan persepsi Importir Utama lebih tepat dikatakan pada Rendah, dengan demikian “memaksakan” pemilihan penyedia pada segmen non-kecil untuk 5 unit barang ini beresiko tidak berhasil.

Ketidak berhasilan ini menjadi sebuah potensi risiko karena dengan volume yang kecil, besar kemungkinan persepsi pelaku usaha kepada Pemda X hanya bersifat develop atau malah marginal. Sehingga harga Rp ‭123.595.570,37 per-unit bila digunakan belumlah tepat bila dipaksakan dilakukan, terlebih lagi bila menggunakan harga tersebut sekalipun sebenarnya segmentasi usaha paket adalah “Usaha Kecil” (Nilai = Rp617.977.851,85).

Maka perlu dilakukan perhitungan kembali dengan asumsi-asumsi serupa antara “Importir Utama” pada “Retail” dengan asumsi-asumsi maka perhitungannya adalah sebagai berikut :

Dengan perhitungan diatas maka diperoleh harga satuan yang masih perkiraan sebesar Rp162.687.117,90 sehingga dengan volume pembelian Total 5 Unit pada paket = Rp813.435.589,51.

Berkaitan dengan kerugian negara pada contoh Lobster diatas selain potensi spesifikasi barang yang tidak sesuai, mari dicermati bersama bila melihat perbedaan harga unit untuk perbedaan segmentasi usaha maka dapat dilakukan perbandingan sebagai berikut :

Terdapat selisih harga yang relatif besar sebesar Rp26.731.990,50 per-unit yang ditotal bila 5 unit akan ada selisih Rp‭133.659.952,5‬0 dari total pembelian, apakah hal ini dapat dikategorikan kerugian negara oleh stakeholders pengawas pembangunan? Apabila kita tidak mendokumentasikan dengan “kertas kerja” yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik, maka ketika diminta penjelasan dan tidak menjawab dengan meyakinkan maka akan ada kemungkinan terjadi hal ini, tentu saja ketika pemeriksaan lebih lanjut dilakukan hingga masuk pada “dapur” pelaku usaha hal ini akan mudah terjawab bahwa hal ini “bukan kerugian negara” melainkan konsep dasar distribusi pasar yang memberikan efek cascading pada harga.

Hanya saja hal ini akan menjadikan semakin lemah nya persepsi Pemerintah Pemda X di pasar yang akan semakin menimbulkan efek kurang baik dari supplier perception model yang berdampak semakin ter-marginalkan nya Pemerintah, sehingga penerapan konsep yang baik berdasarkan keahlian dan kompetensi Pemerintah sudah menjadi urgensi untuk dikembangkan, khususnya pada kompetensi di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sehingga mempertimbangkan segmentasi pelaku usaha, ketertarikan terhadap nilai dan volume paket, dan akurasi informasi dalam penelitian menyusun anggaran dan harga perkiraan tentunya memiliki peran krusial disini, serupa dengan contoh diatas bila dibalik apabila melakukan penyusunan HPS untuk paket bervolume kuantitas besar (100 unit) yang dikategorikan dilakukan usaha dengan segmentasi non-kecil akan menjadi kurang tepat bila satuan harga yang digunakan adalah satuan dari pelaku usaha kecil. Dengan demikian kecermatan dan ketelitian pengelola pengadaan barang/jasa menjadi berperan vital disini.

Dalam ilustrasi diatas apakah lantas pekerjaan pengelola pengadaan barang/jasa telah selesai? mari kita perhatikan kembali perbedaan dari “Menyusun Perkiraan Anggaran” dan “Menyusun Harga Perkiraan Sendiri” sebagaimana tampak pada gambar berikut :

Berdasarkan ilustrasi diatas maka penyusunan anggaran dan penyusunan HPS memiliki rentang waktu yang cukup panjang, pengelola pengadaan perlu memperhitungkan fluktuasi nilai tukar dan potensi lainnya yang mungkin berpengaruh pada perkiraan harga. Memperkirakan Harga dalam penyusunananggaran yang akan digunakan untuk menyusun HPS juga perlu di mitigasi, karena hal ini berkaitan dengan risiko untuk mencapai keberhasilan Pengadaan yang merupakan unsur utama dari proses hulu pada SCM.

Pada ilustrasi di slide diatas apabila di lakukan penganggaran dengan melebihkan sebesar 5% untuk mitigasi risiko fluktuasi nilai tukar, dan ternyata pada tahun 2022 terjadi kenaikan 1% maka ketika dilakukan perhitungan HPS pada tahun 2022 berdasarkan harga pasar yang berlaku, bila mengasumsikan seluruh perhitungan sejauh ini adalah akurat sepenuhnya maka Total HPS sebesar Rp 829.704.301,30 menjadi tidak dapat dipenuhi, dalam hal ini dikarenakan anggaran nya tidak memitigasi kemungkinan fluktuasi dan hanya dianggarkan sebesar Rp 813.435.589,51, tentu saja hal ini akan berpengaruh pada keberhasilan yang lebih baik bila melebihkan sebesar 5% pada proses penganggaran sebesar 5%, dengan demikian rencana anggaran yang termitigasi sebesar Rp854.107.368,99 untuk tahun 2021 yang dihitung pada tahun 2020 akan dapat mengakomodir Total HPS yang (nantinya) dihitung tahun 2021 dengan Total HPS sebesar Rp 829.704.301,30.

 

Catatan Penting :

  • Paparan pada materi ini adalah salah satu metode contoh dalam penyusunan Perkiraan Anggaran dan HPS, untuk sifat pekerjaan yang berbeda bisa menggunakan pendekatan keilmuan lainnya yang lebih relevan
  • Pendekatan dengan metode apapun sah dilakukan dan hal ini diperbolehkan Perpres 16/2018 karena yang terpenting muatan dari Perpres adalah dapat dihitung secara keahlian dan dipertanggung-jawabkan, PerLKPP 9/2018 pun memberikan garis besar semata dan tidak memberikan patokan baku
  • Pembakuan dalam Peraturan Perundangan tidak dilakukan sebagai bentuk penerapan best practices dan memungkinkan elastisitas/kelenturan dalam memberlakukan teknis pengadaan, hal ini dikarenakan keragaman kebutuhan dari Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pembangunan NKRI
  • Perpres 16/2018 memiliki sifat elastis dan lekuk bila diberikan tekanan dan akan pulih kembali bila tekanan telah ditiadakan, tekanan tersebut muncul dengan harus adanya ketentuan yang perlu dipenuhi terlebih dahulu, sehingga sangat penting peran kompetensi bagi pelaku pengadaan agar memiliki kompetensi sehingga ketentuan tersebut dapat memperoleh kepercayaan atas kepatuhan dari para stakeholders pembangunan maupun pelaku usaha

Tulisan ini memiliki harapan yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

  • penyusunan anggaran mengikuti kebutuhan atau keinginan? : Mengikuti kebutuhan organisasi secara stratejik,  dilakukan dengan taktis, dan diterjemahkan dengan baik pada operasional
  • bagaimana menerjemahkan kebutuhan dalam anggaran agar tercapai optimalisasi pengadaan? : Belanja lah sesuai dengan aspek pemenuhan strategis organisasi(aspek tujuan strategis )
  • Pengaruh nilai dan volume paket apakah berpengaruh pada tingkat ketertarikan pelaku usaha? sangat berpengaruh
  • Apakah HPS dapat menjadi dasar perhitungan kerugian negara? Tidak, nilai kontrak yang menjadi dasar bila memang terdapat penyimpangan (terlebih lagi bila ada tindakan di dasari niat jahat dan keserakahan), HPS serupa dengan kegiatan penyusunan anggaran, bila nilai kontrak menjadi temuan maka perlu ditelusuri dengan data otentik dan akurat dari dapur pelaku usaha bahwa terjadi kickback/cashback yang merupakan indikasi kejahatan itu sendiri, oleh karena itu perlu di susun kertas kerja yang berbasis keahlian dalam Menyusun HPS, yakinkan para stakeholders pembangunan bahwa Pelaku Pengadaan berkerja dengan cermat dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan
  • Penyusunan Anggaran dan Perkiraan HPS apakah berpengaruh pada segmentasi usaha? sangat berpengaruh, segmentasi usaha pun dapat berpengaruh pada harga satuannya mengingat kuantitas/volume akan mempengaruhi nilai barang yang sama
  • Perpres 54/2010 jo172/2014 hingga 4/2015 dan dilanjutkan dengan Perpres 16/2018 sudah memberikan fleksibilitas berdasarkan best practices yang memberikan peluang dalam menentukan riset pasar secara lazim, dokumentasikan dengan baik sesuai kompetensi
  • Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi paparan diatas tentunya akan menjadi tidak akuntabel bila kita memperkirakan anggaran berlanjut memperkirakan HPS tanpa dokumentasi, maka apapun metode kita memperhitungkan HPS wajib disertai dokumentasi kertas kerja.

 

Apa yang bisa disimpulkan?

  • Analisis Kebutuhan Organisasi penting, kemampuan menterjemahkan Sasaran Strategis menjadi Lingkup Operasional merupakan key factor dalam performance yang baik
  • Harga Barang berkaitan dengan kelaziman pasar yang berlaku
  • Analisa Pasar Perkiraan Anggaran dibuat dan di dokumentasi
  • Analisa Pasar Harga Perkiraan Sendiri dibuat dan di dokumentasi
  • HPS Bukan dasar Kerugian Negara, sama seperti penganggaran bukan dasar kerugian negara
  • Barang yang sama dengan segmentasi paket yang berbeda/segmentasi pelaku usaha yang berbeda dapat berbeda harga
  • Merancang keberhasilan dan memitigasi risiko pengadaan akan membuat proses pengadaan semakin optimal, persepsi yang semakin baik, dan mengurangi potensi sibuk urusan pemilihan penyedia nya, hal ini bisa dicapai dengan menggeser paradigma bahwa bukan proses pengadaannya yang perlu menjadi fokus, melainkan keberhasilan pengadaan untuk menunjang capaian keberhasilan organisasi yang merupakan tujuan yang lebih besar dan lebih mulia bagi organisasi Pemerintah.

Berdasarkan paparan diatas maka sangat besar tugas kita para insan pengadaan untuk mendorong proses pengadaan barang/jasa bukan hanya sekedar sebagai aktifitas formal semata, namun mari kita jadikan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai salah satu sarana untuk mencapai Tujuan Organisasi.

Semoga bermanfaat, salam pengadaan.

Update 14 Mei 2020 : Versi Ringkas Artikel ini telah tayang di Birokrat Menulis

 

Referensi :

Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah

Buku Informasi Jenis Kompetensi Melakukan Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Level 1, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa, 2019.

Buku Informasi Unit Kompetensi SKKNI PBJP 2016

 

 

Persiapan
Sebelumnya Webinar Pengendalian Kontrak Bersama Bpk. Mudjisantosa 21 April 2020 – eri 1 Webinar UKPBJ Kab. Kutai Barat 2020
Selanjutnya Kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakan secara tidak terbatas pula

Cek Juga

img 6753

Komoditas PBJP dikecualikan masuk dalam Sarana E-Purchasing, apakah boleh?

Jangan lupa bahwa e-Purchasing itu hadir sebagai sarana untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan keberadaan ...

Punya pendapat terkait artikel ini? mohon berkenan berdiskusi, terima kasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Open chat
1
Hubungi saya
Halo, apa yang bisa saya bantu?
%d blogger menyukai ini: