Konsultansi…..
Jasa Konsultansi itu bagus, terutama untuk pekerjaan yang memang tidak mungkin kita laksanakan sendiri, contoh konsultan pengawasan dan konsultan perancangan maupun konsultan perencanaan….
Tapi…..
Kalau bikin website, bikin SOP, bikin kajian perda, bikin roadmap kebijakan, bikin hal-hal yang lain yang memang sudah tugas sejati sebuah Perangkat Daerah/Satker KL, maka jangan-jangan hal ini yang menjadi dasar kenapa antar satu kebijakan dengan kebijakan lain ngga pernah selaras?
simpel saja, dalam Birokrasi yang membedakan dengan swasta adalah wawasan yang termasuk di dalamnya selain wawasan umum juga berkaitan dengan wawasan terhadap hal-hal yang menjadi fondasi bangsa kita, koridor aturan yang menjamin kepastian hukum dalam bertindak menjadi esensi dan sesuatu yang mendasari lahirnya birokrasi, nah dalam hal birokrasi mengontrakkan pekerjaan kepada pihak lain yang “belum tentu” menempuh jenjang pembentukan yang sama dengan para birokrat, seberapa kuatkah pemahaman pihak “swasta” selaku konsultan terhadap pemahaman yang dimiliki birokrat?
saya tidak anti dengan konsultan, para pelaku usaha tersebut memang mumpuni dibidang tersebut, oleh karena itu jasa konsultansi berkaitan dengan hal yang seharusnya dipahami oleh para birokrat wajib dikendalikan dan dikonfigurasi sekuat mungkin agar hasilnya tidak melenceng.
yang berbahaya itu adalah pengendali dan penandatangan kontrak tidak paham atas apa yang menjadi tujuan hadirnya jasa konsultansi dan serta merta menyerahkan sepenuhnya pada penyedia jasa konsultansi, artinya pekerjaan jasa konsultansi selesai dalam bentuk laporan atau keluaran dengan media lainnya namun untuk implementasinya dan mengapa filosofisnya harus dilaksanakan sesuai atau tidak dengan organisasi para birokrat tersebut?
Jangan sampai mabok jasa konsultansi karena konsumsi jasa konsultansi yang berlebih, bahkan untuk menyusun SOP saja harus memilih pihak swasta sebagai “expert” merupakan gejala “ketidak-expert”-nya birokrat kita?
Tapi bisa jadi juga ini pengaruh dinamika di lapangan, birokrat “expert” kemungkinan (kemungkinan lho ya) digoblok-goblokin dan disalahkan ketika dia memiliki banyak pertimbangan sebelum menetapkan kebijakan sementara expert swasta diagung-agungkan? Hal seperti ini bisa jadi sebagai upaya mengelola risiko, dengan kondisi terukur menggunakan konsultan dari swasta dengan pengendalian kontrak yang baik lazim tentunya digunakan sebagai upaya untuk mengalihkan risiko.
contoh, pekerjaan utama yang tidak bisa diwakilkan / diborongkan salah satunya adalah pemungutan pajak daerah (karena saya dulu disitu jadi saya paham hal ini tertulis di UU-nya), maka pekerjaan utama tetap dilakukan oleh para birokrat, tentunya para birokrat yang sudah paham aturan ketika memerlukan sebuah produk seperti pembuatan aplikasi pajak daerah sebaiknya dikerjakan secara in-house, bila kendala di sdm untuk pemrograman pada Perangkat Daerah, maka para ahli perpajakan daerah di Perangkat Daerah tersebut bekerjasama dengan Jabfung Pranata Komputer secara swakelola membuat aplikasi Pengelolaan Pajak Daerah berdasarkan SOP yang disusun sebagai protap secara swakelola tipe 2, ketika ada dinamika di lapangan, maka bisa dikembangkan sendiri, gak perlu deh keberadaan repeat order segala untuk update aplikasi, tinggal berdayakan sdm yang tersedia….. namuuun…. bukan berarti Perangkat Daerah yang mengelola pajak daerah haram menggunakan jasa konsultansi, saya gak pernah pakai istilah haram halal karena itu terlalu mengamplify kontra tanpa melihat substansi masalah, bisa saja Perangkat Daerah yang mengelola Pajak Daerah menggunakan jasa konsultansi untuk hal yang memang rumit seperti jasa penilai untuk menetapkan kewajaran dari dasar penetapan pajak untuk pajak bertipe official assesment pada wilayah strategis yang memiliki nilai ekonomis yang istimewa, nah seperti ini wajar saja kita menggunakan jasa konsultansi karena ada olah pikir yang diluar kemampuan.
ingat ya… ada tapiiii…… ada “Tapiiiiiiii”-nya!
Tapiiiii….. kalau sebuah produk mendasar seperti menyusun SOP, membuat peraturan, melakukan pendataan, atau mengelola website saja harus pakai anggaran yang dikerjakan oleh penyedia jasa konsultansi, tanpa bermaksud arogan dan pongah saya lantas berpikir “apa expertise nya para PNS yang menjadi pemimpin tersebut? Kok semua-semua bukan dia yang mengerjakan?”
atau dengan kata lain, negara mengeluarkan beban berlebih, karena punya aparatur tapi aparaturnya tidak mampu mengerjakan tugasnya sehingga timbul pengeluaran menggunakan konsultan swasta, sebenernya bukan perbuatan melawan hukum, hanya sebuah inefisiensi berujung pemborosan.
Semoga bukan saya yang terlalu arogan hingga berpikir demikian, dan semoga kita bisa memaknai bahwa penyederhanaan birokrasi yang memperkaya sebuah Perangkat Daerah/Satker KL dengan para fungsional bisa merestorasi bahwa hal-hal mendasar yang bisa dikerjakan sendiri oleh para Birokrat seharusnya dikerjakan birokrat. Mabok Jasa Konsultansi yang tidak baik, menggunakan jasa konsultansi itu sekali lagi tidak HARAM, cuma jangan sampai hal yang memang seharusnya dikerjakan sendiri malah diserahkan semuanya ke Penyedia, kalau sudah begini maka ini merupakan hal yang kurang baik sebagaimana mabok-mabok pada umumnya.
demikian.