Pada dasarnya Perpres PBJP menyarankan untuk memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri, kewajiban penggunaan produk dalam negeri diatur dalam Pasal 66 Perpres PBJP sebagai berikut :
(1) Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah wajib menggunakan produk dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional.
(2) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri(TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan(BMP) paling sedikit 40% (empat puluh persen).
(3) Nilai TKDN dan BMP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang disebutkan dalam Pasal 66 ayat (3) Perpres PBJP merujuk pada tkdn.kemenperin.go.id
Saran saya ketika terpaksa harus menggunakan / melakukan pengadaan yang tidak dapat memenuhi kaidah pasal 65 dan pasal 66 berkaitan dengan amanat UU Cipta Kerja terkait kewajiban alokasi PBJP 40% bagi UMK-Koperasi dan PDN lakukan :
- Pencarian produk dalam negeri melalui website tkdn.kemenperin.go.id, hasil pencarian di capture dan di dokumentasikan dengan baik;
- bahwa bila tidak terdapat produk dalam negeri dengan TKDN + BMP diatas 40% maka memang tidak dimungkinkan adanya kewajiban penggunaan produk dengan TKDN minimal 25%, hal ini yang dapat menjadikan terbuktinya indikator bahwa tidak ada produk tersebut di dalam negeri.
- Walaupun demikian, kita dapat mengambil tindakan berdasarkan kondisi pasar dan ketentuan aturan diatas maka dapat menggunakan :
- Produk Dalam Negeri (PDN) yang tercantum dalam Katalog secara self declare oleh Penyedia Katalog;atau
- Produk Impor.
Ketentuan penggunaan Produk Dalam Negeri dan UMK-Koperasi sebagaimana diamanatkan pada UU Cipta Kerja dan Perpres PBJP adalah Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari nilai anggaran belanja barang/jasa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, menyikapi kewajiban ini tentunya apabila kita cermati bila proses penganggaran dalam satu Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang di-breakdown hingga tingkat Satuan Kerja (Satker)/Perangkat Daerah (SKPD) secara aritmatik maka tiap Satker/SKPD wajib menggunakan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri sebanyak 40%, dengan demikian secara peraturan perundangan masih dimungkinkan melaksanakan proses pengadaan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dilaksanakan oleh usaha kecil serta koperasi dan produksi dalam negeri sebanyak 60%, adapun kami menyampaikan bahwa dalam hal ini telah dilakukan pengutamaan 40% yang sudah dialokasikan kepada UMK-Koperasi dan PDN serta kebutuhan barang/jasa sebagaimana berdasarkan hasil penelusuran ini memang tidak tersedia, maka berlaku Pasal 65 ayat (5) Perpres PBJP yang bermakna :
Nilai Pagu Anggaran pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) (dimana ayat (4) Pasal 65 berbunyi Paket pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai Pagu Anggaran sampai dengan Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) diperuntukan bagi usaha kecil dan / atau koperasi) dikecualikan untuk paket pekerjaan yang menuntut kemampuan teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil dan koperasi.
Dalam hal diyakini bahwa sebuah kebutuhan barang/jasa memang tidak dapat dilaksanakan oleh usaha kecil dan koperasi maka dalam dokumen identifikasi kebutuhan dan pembuatan perencanaan pengadaan harap informasi yang menjustifikasi tersebut dapat dicantumkan, penguatan informasi tersebut dapat diperoleh juga salah satunya dengan melakukan kunjungan kepada Satker/SKPD lainnya yang telah berhasil melaksanakan pengadaan tersebut agar aspek tepat penyedia dari value for money sebagaimana amanat Perpres PBJP tetap terpenuhi.
Demikian.