Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah menghadirkan Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak (LPS) yang memiliki dasar hukum Peraturan Lembaga Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah : Unduh
Regulasi tersebut diatas merupakan pengejewantahan dari Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) yang spesifik khusus untuk penyelesaian sengketa di Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Implementasi kehadiran layanan ini sebenarnya penting untuk diketahui bagi para perancang kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam model dokumen / standar dokumen pengadaan telah termuat klausul ketika kontrak terjadi sengketa maka para pihak yang bersengketa akan menyelesaikan dengan lembaga yang dipilih sejak rancangan kontrak telah diumumkan sebagai bagian dari dokumen pemilihan.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, tidak harus selalu melalui Pengadilan, silahkan baca artikel berikut ini untuk lebih jelasnya :
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PADA KONTRAK HUBUNGAN BISNIS, KHUSUSNYA PADA KONTRAK HUBUNGAN BISNIS PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Kelebihan penyelesaian sengketa dengan jalur arbitrase memiliki keunggulan, di samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan (ordinary court), dalam praktek di Indonesia dikenalkan dengan model penyelesaian sengketa ini, dimana cukup populer yang dikenal dengan nama ADR (alternative dispute resolution), yang diantaranya meliputi negosiasi, mediasi, dan arbitrase (Wahyu Nugroho, 1995). Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang penyelesaian perkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi, penggunaan ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa (Basuki Rekso Wibowo, 1996) di luar pengadilan dengan mempertimbangkan segala bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Lembaga penyelesaian sengketa yang bertipe demikian khususnya Arbitrase sebagai suatu sistem penyelesaian sengketa yang efisien dan dapat memenuhi tuntutan persaingan dan perdagangan bebas (free trade & competition) dalam makin berkembangnya perdagangan global.
Berkaitan kelebihan dan kekurangan Arbitrase, dalam arbitrase para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat putusan persengketaan tersebut. Dalam pandangan tertentu Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari adjudikasi, yakni adjudikasi privat. Dalam beberapa hal, arbitrase mirip dengan adjudilcasi publik dan sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Riskin dan Westbrook (1987: 250) menguraikan mengenai arbitrase, dinyatakan bahwa:
“Arbitration is form of adjudication in which the neutral decisionmaker is not a judge or an official of an administrative agency. There is no single, comprehensive definition of arbitration that accurately describes all arbitration system”.
Arbitrase melibatkan litigasi sengketa privat yang membedakannya dengan litigasi melalui pengadilan. Sifat privat dari arbitrase memberikan kelebihan berupa keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi yang secara konvensional diselesaikan melalui kompetensi pengadilan. Arbitrase pada dasamya menghindari pengadilan, dalam kaitan ini dibandingkan dengan adjudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim atau wasit yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah ditentukan hakim yang akan berperan, dengan demikian Arbitrase dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian, yang mereka anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut, dan sifat arbitrase demikian melindungi para pihak yang merasa takut atau tidak yakin dengan hukum substantif dari yuridiksi tertentu.
Kerahasiaan dari arbitrase membantu melindungi para pihak dari penyingkapan kepada umum yang merugikan dan tidak perlu mengenai sengketa mereka atau pengungkapan informasi dalam proses adjudikasi. Arbitrase dapat lebih cepat dan lebih murah dari pada adjudikasi publik. Karena para pihak secara efektif memilih hakim atau wasit mereka sendiri. Para pihak tidak perlu antri menunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan, yang pada banyak yuridiksi tertentu membutuhkan penantian yang lama dan panjang. Arbitrase juga cenderung informal dibandingkan adjudikasi publik, prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan daripada aturan-aturan formal acara perdata yang dipakai oleh pengadilan. Karena arbitrase tidak sering mengalami penundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana, arbitrase mengurangi biaya-biaya berhubungan dengan adjudikasi publik (Garry Goodfaster, 1995).
Pada suatu titik bisa jadi terdapat perubahan dalam hal penyelesaian sengketa dimulai dan ternyata klausul di kontrak adalah penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan, namun kedua belah pihak memutuskan untuk menempuh jalur alternatif penyelesaian sengketa. memang benar bahwa Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menentukan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa yang menurut aturan perundang-undangan tidak dapat diadakan upaya perdamaian (Pasal 5 UU No 30 Tahun 1999). Namun apabila dalam suatu kontrak tidak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase/penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan, apakah para pihak dapat mengajukan penyelesaian melalui jalur arbitrase?
Solusi
Arbitrase dapat dimulai bila salah satu pihak pada suatu perjanjian arbitrase memberitahukan pihak lainnya tentang adanya sengketa dan sekaligus menetapkan seorang arbiter sesuai yang ditentukan dalam kontrak yang isinya bahwa para pihak menyerahkan sengketanya pada seorang atau lebih arbiter. Para pihak pada suatu arbitrase dapat memperjanjikan bahwa Arbitrase akan dilakukan dalam waktu yang lebih singkat daripada yang diatur oleh undang-undang, apabila diperlukan selanjutnya arbiter berhak untuk memperpanjang waktu penyelesaian sesuai dengan udang-undang. Perhitungan waktu dimulai pada tanggal para wasit (arbiter) menerima pengangkatannya secara resmi dan tertulis. (Garry Goodfaster, 1995). Secara ketentuan Peraturan Perundangan para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan suatu perjanjian tertulis yang disepakati para pihak. Adanya perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadlian Negeri. (Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999).
Pasal 1 angka 3 UU No 30 tahun 1999 berbunyi Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Pasal 1 angka 1 UU No 30 tahun 1999 berbunyi Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdatadi luar peradilan umum yangdidasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yangbersengketa.
Dengan demikian Arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No 30 tahun 1999 didasarkan pada perjanjian arbitrase yang menurut Pasal 1 angka 3 UU No 30 tahun 1999 dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa, dimana Perjanjian Arbitrase berupa suatu kesepakatan yang timbul sebelum sengketa dalam sebuah klausula pada perjanjian tertulis (dicantumkan sebelum berkontrak/pada rancangan kontrak yang kemudian menjadi kontrak) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa, dengan demikian pada suatu kontrak yang tidak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak dapat mengajukan penyelesaian melalui jalur arbitrase menggunakan suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Jadi bila dalam kontrak Pengadaan anda telah menuliskan akan menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, dimana kemudian hari ketika terjadi sengketa pengadaan barang/jasa Pemerintah dan kedua belah pihak menginginkan dan membutuhkan penyelesaian sengketa dilakukan menggunakan LPS LKPP (atau Badan Arbitrase lainnya) maka dapat membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Demikian disampaikan, salam pengadaan!
Referensi :
Arbitrase, Mediasi, dan Negosiasi., R.M Gatot, P. Soemartono, dan Suyud Margono, Universitas Terbuka, Tanggerang Selatan, 2017.
One comment
Pingback: Sengketa Kontrak dan tahapannya? - Optimalisasi Pengadaan demi Memajukan Bangsa