Untuk di APBN sudah ada Kartu Kredit Pemerintah, pemberlakuan PPN pun sudah mengikuti aturan dengan tidak mengenakan ketentuan PPN kepada hanya Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak mengenakan PPN kepada Non-PKP.
PKP berdasarkan website DJP Kemenkeu : Pengusaha Kena Pajak | Direktorat Jenderal Pajak
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya.
Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pengusaha kecil adalah merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau Pajak PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya.
Bagaimana di Pemda?
Kartu Kredit Pemerintah Daerah saat ini aturannya tengah digodok, kemudian mengenai PKP dan Non-PKP memang penerapannya bervariasi, ada banyak ketidak-fairan dengan memukul rata kena semua PPN bagi Pelaku Usaha, kalau Pelaku Usaha nya belum memenuhi ketentuan PKP maka dipaksa mengukuhkan diri menjadi PKP, karena hal ini maka pada Inpres 2/2022 menginstruksikan selain adanya Kartu Kredit Pemda, juga ada instruksi untuk “merelakan” Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagai Pemungut Pajak sehingga Pemda tidak lagi memungut PPN ketika berbelanja melalui PPMSE, nah dalam PPMSE ini sudah jelas terkurasi bahwa PKP dan Non-PKP tidak disamaratakan dalam hal PPN.
Sebenarnya terdengar lebih mudah untuk membenahi bukan melalui sistem PPMSE terkait pemungutan PPN ini dengan cara mengedukasi pemungutan PPN secara semestinya pada Pemda, namun ternyata masih juga belum tercapai hal tersebut dimana tiap Pemda dengan berbagai standar verifikasi di Perbendaharaan masing-masing senantiasa membiasakan yang salah alih-alih membiasakan yang benar.
Padahal dengan memungut PPN pada Pelaku Usaha Kecil yang merupakan Non-PKP terjadi kemungkinan pemungutan pajak ganda karena Pelaku Usaha Non-PKP kecil kemungkinan melakukan restitusi atas PPN dari Barang/Jasa yang sudah dibayarkan PPN nya oleh pelaku usaha jalur distribusi diatasnya, hal ini menjadikan harga yang ditawarkan mau tidak mau lebih mahal dan berakibat pada inefisiensi, inefisiensi ini juga memiliki kemungkinan untuk membuat melandainya/stagnansi kemampuan daya beli karena margin yang semakin menipis, dan selanjutnya membuat pertumbuhan ekonomi regional dan nasional juga melambat.
Jadi permasalahan yang muncul terkait perekonomian di Negara ini kemungkinan besar diakibatkan karena kita sendiri yang tidak mau membaca aturan yang berlaku dan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa sendiri, ketika sudah berkerja dimanapun bidangnya bukan berarti lantas jadi butahuruf dan berhenti belajar, harusnya dilakukan penerapan aturan dengan membaca aturan yang berlaku dan tidak merugikan orang lain.
Demikian.