Asumsi saya mungkin keliru, tapi mari kita lihat masing-masing definisi Kontrak berdasarkan Perpres 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah khususnya pada Pasal Jenis Kontrak yaitu Pasal 27 berikut :
- (3) Kontrak Lumsum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a merupakan kontrak dengan ruang lingkup pekerjaan dan jumlah harga yang pasti dan tetap dalam batas waktu tertentu, dengan ketentuan sebagai berikut:
- a. semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia;
- b. berorientasi kepada keluaran; dan
- c. pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan Kontrak
- (4) Kontrak Harga Satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan harga satuan yang tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
- a. volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada saat Kontrak ditandatangani;
- b. pembayaran berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume pekerjaan; dan
- c. nilai akhir kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan.
Untuk Pengadaan Barang yang jumlahnya sudah pasti maka berdasarkan Pasal 27 konsekuensinya :
- Jenis Kontrak lumsum itu jumlah kebutuhan pasti…. kalau tidak tercapai wanprestasi….
- Jenis Kontrak Harga satuan, jumlah kuantitas yang semula perkiraan di hitung di akhir yang terpasang…..
- Kedua-duanya dapat mengakui prestasi atas barang yang terpasang, tapi ada konsekuensi berbeda, misal kalau kontrak dibuat harga satuan atas sebuah pengadaan barang, padahal kita jelas perlu 100 pcs… dia setor 50 pcs yang sesuai spek, di pengukuran akhir kalau kita terima gak bisa kasih sanksi yang komplit, mungkin hanya sebatas pemutusan kontrak dan daftar hitam dan barang tidak diterima, namun masih ada fleksibilitas kemungkinan perubahan spesifikasi dari 50 yang sesuai dengan spek awal diterima, sisanya dirubah 50 pcs dengan spek berbeda tentunya dengan dasar yang logis dan dokumen yang akuntabel….
- kalau lumsum…. gak tercapai, ya sanksi yang komplit mulai dari denda, pemutusan kontrak, daftar hitam, pencairan jaminan pelaksanaan, dst walau diakui jumlah tersebut sebagian diterima dan dituliskan sebagai keluaran/sub-keluaran, tetap saja sanksi nya komplit, mulai dari denda bila ada pemberian kesempatan, pemutusan kontrak karena wanprestasi, tidak dimungkinkan perubahan spesifikasi barang sehingga tidak berlaku jumlah pembayaran yang tetap itu tadi, pencairan jaminan pelaksanaan, dst.
- Skenario terburuk dari Lumsum adalah semua barang bisa ditolak bila unit keluaran tidak mengakui adanya sub-tahapan atau sub-keluaran atau pengakuan terhadap bagian pekerjaan dalam ketentuan denda maupun kontrak.
- Pemilihan Jenis Kontrak ini akan berpengaruh terhadap motivasi Penyedia dalam melaksanakan Kontrak.
Ini menurut saya untuk Pengadaan Barang, dan desain kontrak yang dirancang sebaik mungkin secara optimal. Finalisasi Kontrak Akhir sebagai adendum dapat dilakukan untuk menguatkan pengakuan terhadap hal ini, karena dalam kondisi tertentu pada Kontrak Lumsum yang gagal tercapai seluruh keluarannya terkadang sub-keluaran perlu diterima daripada tidak dapat barang sama sekali, tentunya dengan kesepakatan kedua belah pihak antara Pejabat Penandatangan Kontrak dan Penyedia, pastikan buat dokumen juga yang menunjukkan bahwa dengan denda dan pencairan jaminan dan hal lain, Pemerintah tetap untung atas pembayaran prestasi yang tidak merugikan negara, semisal harga perolehan setelah dikurangi jaminan pelaksanaan dan denda secara proporsional menjadikan harga perolehan dibawah harga pasar untuk keperluan audit. Intinya tidak ada kerugian negara dalam finalisasi kontrak dan keluaran berupa output/sub-output itu memang nyata adanya dan bukan kaleng-kaleng.
Demikian yang disampaikan, tetap semangat, tetap sehat, tetap berintegritas, dan salam pengadaan.