Berdasarkan buku Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif Integratif dan Pencegahannya – Edisi Pertama oleh Dr. Anantawirakrama Tungga Atmadja, M.Si., Ak., CA dan Nengah Bawa Atmadja, M.A., pernyataan tersebut disebutkan oleh Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creghton pada tanggal 3 April 1887. Pernyataan yang secara harafiah kami terjemahkan secara harafiah Kekuasaan cenderung kepada merusak, tetapi kekuasaan absolut merusak secara mutlak.
Pada prinsipnya kekuasaan dari penyelenggara negara memungkinkan terjadinya perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad), perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) selaku manifestasi negara secara nyata dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelenggara negara secara nyata yang kemungkinan bersinggungan dengan wilayah privat terkait hak dan kewajiban warga negara. Dalam hal ini fungsi dari mempelajari ilmu hukum tata negara sangat erat kaitannya dalam hal mengawasi penyelenggara negara sebagai manifestasi negara secara nyata dalam pelaksanaan tugasnya untuk tidak menyimpang, khususnya ketika penyelenggara negara bertindak berdasarkan atas hal yang belum diatur sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan atau dikenal dengan diskresi / kebebasan bertindak freiss emerson agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan (droit function).
Menghubungkan dengan kekuasaan yang cenderung merusak dan absolut yang merusak secara absolut, maka menurut kami lebih tepat bila kami sampaikan terlebih dahulu ajaran dari Nicollo Macchiavelli yang terkenal dan memiliki karya literatur berpengaruh yang dalam pandangannnya Hukum adalah alat mempertahankan kekuasaan atau Politik Kekuasaan, bahwa hanya karena bila dipaksa semata maka rakyat akan bertingkah laku sesuai kewajibannya, dan dalam hal ini akan muncul orang yang berkuasa yang kuat yang mampu mewujudkan cita-cita yang ambisius, dalam pemikiran dan karyanya maka di susunlah pedoman bagi orang semacam itu dan petunjuk-petunjuk tepat guna mencapai tujuan itu yang tidak memperdulikan kewajiban-kewajiban agama dan moral sebab ia telah melepaskan agamanya yang erat kaitannya dengan paham penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya agar tetap berkuasa mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu kekuasaan yang abadi.
Bila dikaitkan dengan terjemahan kami bahwa kekuasaan cenderung kepada merusak, tetapi kekuasaan absolut merusak secara mutlak, terdapat dua kalimat dalam satu pernyataan tersebut, yang pertama adalah “kekuasaan cenderung kepada merusak” yang kemudian kami coba relevansikan dengan pandangan Macchiavelli yang memberikan perspektif bahwa Hukum adalah alat mempertahankan kekuasaan, dalam hal ini seseorang yang berkuasa memiliki kekuasaan yang cenderung kepada merusak bila dikaitkan dengan hal-hal yang belum diatur sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan sehingga terjadi penyalahgunaan kekuasaan adalah bagaimana seseorang penguasa dalam melaksanakan pembangunan yang berkaitan dengan hak seseorang warga negaranya dalam hal pembangunan jalanan, dalam kondisi jalanan tersebut ternyata beririsan dengan kepemilikan tanah seseorang sebagai warga negara tersebut ternyata dalam negara tersebut tidak diatur tentang kepemilikan tanah pribadi yang dapat diberikan ganti rugi apabila tanah yang dikuasai warga tersebut akan digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum, maka atas nama kepentingan umum dan kekosongan pengaturan tentang ganti rugi maka seseorang penguasa selaku penyelenggara negara dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan hal tersebut.
Kembali melihat dari gagasan lain dari Macchiavelli adalah sebuah sistem ide modern dengan gagasan sasaran tertinggi politik negara adalah mempertahankan kekuasaan negara, dengan demikian moral dan hukum menurutnya harus menaati tuntutan politik. Bila dikaitkan dengan contoh diatas, maka sebut saja pembangunan jalanan tersebut diatas adalah tuntutan politik bagi sebagian besar kepentingan politik di negara tersebut, maka perbuatan dari kekuasaan tersebut akhirnya memberikan legitimasi atas perlakuan tidak adil dan jelas menyimpang dari hak keperdataan warga yang tanahnya tidak diberikan ganti rugi tersebut.
Bila dikaitkan dengan pernyataan kedua bahwa “Kekuasaan absolut merusak secara mutlak”, sebut saja warga tersebut mempermasalahkan hal tersebut melalui lembaga negara sesuai jalur yang dimungkinkan untuk memperjuangkan hak keperdataannya atas kepemilikan tanah tersebut dengan menggugat penyelenggara negara tersebut, alasannya adalah secara regulasi peraturan perundangan memang belum diatur ganti rugi atas kepemilikan tanah yang akan digunakan oleh Pemerintah untuk pembangunan jalanan umum, namun secara perundangan perdata telah diatur terkait dengan hak kepemilikan, dalam hal ini apabila dalam hal terdapat keadilan dan dalam pelaksanaan tugas di negara tersebut penyelenggara negara sebagai manifestasi negara secara nyata memang dibatasi kekuasaannya dan diberlakukan sistem pengawasan agar dalam pelaksanaan tugasnya untuk tidak menyimpang sehingga membuka peluang untuk dilakukan tindakan korektif bila penguasa melakukan kekeliruan maka seharusnya warga tersebut dapat memperjuangkan hak nya dan memperoleh kompensasi.
Namun karena penguasa tersebut adalah seseorang yang memiliki kekuasaan mutlak termasuk pada kekuasaan di Yudikatif negara tersebut, dan dalam menjaga kekuasaannya agar tetap mutlak memegang teguh pemikiran Machiavelli bahwa hanya karena bila dipaksa semata maka rakyat akan bertingkah laku sesuai kewajibannya, maka alih-alih mendapatkan hak nya, warga tersebut secara ekstrim malah semakin dinyatakan bersalah, tidak melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan dituduh makar sehingga malah dihukum mati dan kemudian dieksekusi dengan sesegera mungkin tanpa ada yang bisa mencegahnya sebagai bentuk konkrit kekuasaannya yang mutlak, dalam hal ini pernyataan kedua bahwa kekuasaan absolut benar-benar merusak secara mutlak, bukan hanya berkaitan dengan hak keperdataan semata, namun terjadi pelanggaran serius akan Hak Asasi Manusia dari warga negara tersebut.
Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum. Hukum tidak berkerja menurut ukuran dan perimbangan sendiri, melainkan dengan memikirkan apa yang baik untuk dilakukan bagi masyarakat sebagaimana dikutip Yoyok Hendarso dari Satjipto Rahardjo. Pertimbangan ini mendasarkan perlunya dorongan bagi hukum untuk menjalankan fungsinya yang mengarah pada penginstitusionalisasian hukum dengan tujuan mengontrol dan membatasi keinginan orang terhadap kekuasaan. Yoyok Hendarso menyebutkan pendapat Satjipto Rahardjo ini sejalan dengan pendapat Lord Acton yang menurutnya power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely yang diterjemahkan olehnya menjadi manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyelewengkan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakan secara tidak terbatas pula. Kekuasaan yang besar cenderung korup, oleh karena itu perlu dibatasi.
REFERENSI
Buku Materi Pokok Sosilogi Hukum, Yoyok Hendarso, Universitas Terbuka, 2019
Buku Materi Pokok Hukum Tata Negara, Fatmawati, Universitas Terbuka, 2018.
Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif Integratif dan Pencegahannya – Edisi Pertama, Dr. Anantawirakrama Tungga Atmadja, M.Si., Ak., CA., Nengah Bawa Atmadja, M.A., Kencana, Jakarta, 2019.
Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Dr. Theo Huijbers, Kanisius, 1982