Dalam Organisasi dan Manajemen kita mengetahui adanya organisasi ala Jepang, yang menerapkan disiplin, sistim promosi kerja yang berorientasi proses secara pelan namun berbasis kompetensi, ketepatan waktu (kanban) dan akurasi dalam pekerjaan. Praktik nya adalah sistim Just in Time milik Toyota yang menerapkan Kanban yang bisa menghasilkan siklus logistik yang efektif. Organisasi ala Jepang diadopsi di banyak area, bahkan Militer Amerika Serikat pun mengadopsi hal ini.
Pengambilan keputusan dalam organisasi Jepang pun terbiasa dilakukan secara bottom up atau dikenal dengan istilah ringi, dimana lini terbawah membuat sebuah konsep untuk diedarkan secara berjenjang dan dilakukan semacam peer review secara bertingkat, mirip dengan konsep paraf hirarkis di Pemerintahan di Indonesia yang persetujuan nya dilakukan tiap tingkatan dan dalam tiap masing-masing tingkatan dilakukan pembahasan secara inklusif untuk menghasilkan keputusan secara menyeluruh, maka tidak heran bila kita melihat penggunaan post-it dalam rapat di organisasi Jepang menjadi hal yang umum, tiap tingkatan melakukan rapat untuk meng-elaborasi dan mengambil keputusan secara inklusif, komprehensif, dan kolektif sehingga menghasilkan keputusan yang matang dan menyeluruh.
Bila dalam organisasi Pemerintahan kita sudah mengadopsi budaya serupa, mengapa negara besar kita ini belum bisa seperti Jepang? Perlu di ingat bahkan Amerika Serikat pun tidak bisa mengadopsi sepenuhnya organisasi Jepang karena kendala dan batasan budaya, organisasi Amerika mengedepankan kebebasan sementara di Jepang kebebasan seolah tabu dimana masyarakat disana masih memiliki rasa “segan” yang relatif tinggi, kebebasan lainnya yang tidak dimiliki orang Jepang namun menjadi faktor kunci adalah prinsip bekerja seumur hidup orang Jepang, spesialisasi orang Jepang dalam bekerja di dasarkan pada passion yang merupakan efek samping dari penghargaan pemberi pekerjaan.
Pemberi pekerjaan menjamin kelangsungan hidup seseorang di organisasi Jepang, kebutuhan hirarkis yang menjadi inti motivasi diberikan, sehingga praktis organisasi Jepang memupuk loyalitas dalam kondisi tersulit sekalipun dan dalam bekerja sehari hari diberi peluang untuk mendalami secara optimal berdasarkan passion nya tersebut, dengan demikian promosi nya pun memerlukan waktu yang lama namun dapat dipastikan terjadi kaderisasi yang baik berbasiskan keahlian, hal ini kontras dengan organisasi Amerika yang mengedepankan percepatan dalam jenjang karir, apabila seseorang tidak segera promosi, maka dengan bebas nya melenggang ke tempat lain.
Relevansi nya dengan budaya mereka saat ini dan keberhasilan serta kemungkinan bertahan hidup sangat erat bila kita kaitkan dengan pandemik Corona saat ini, ketika pemerintah Jepang memberlakukan pembatasan interaksi maka dengan segera masyarakat mengikuti, pembatasan perilaku ini dituruti dengan mulus sebagaimana semangat keseganan orang Jepang, praktiknya tidak ada yang mempertanyakan keputusan yang diambil dalam lini tertentu yang masih bekerja dengan pembatasan di kantor sementara ada yang bekerja sepenuhnya dari rumah, berdasarkan data per-tanggal 28 Maret 2020 dari https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries menunjukkan bahwa terdapat 1.499 kasus dengan total meninggal sebanyak 49 jiwa, sedangkan Amerika Serikat sudah terdapat kasus sebanyak 104.142 dengan angka meninggal sebanyak 1.69, terlepas dari jumlah dan kepadatan penduduk yang mungkin menjadi salah satu faktor risiko, relatif kecilnya jumlah kasus positif Corona salah satunya adalah karena faktor disiplin mengingat jumlah penduduk Jepang relatif tinggi terutama bila kita membandingkan luasan wilayah daratan negaranya yang cukup kecil dan menjadikannya salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia.
Bila di Jepang telah memiliki faktor “keseganan” sehingga memberi peluang bagi otoritas yang berwenang dalam mengatur warganya, keberhasilan penanganan penyebaran virus Corona dapat di tunjang dengan keberadaan peluang bagi pemerintah untuk”menginvasi” hak warganya, dan perilaku dari warganya, New York Times pada artikelnya di tautan https://www.nytimes.com/2020/03/22/health/coronavirus-restrictions-us.html menunjukkan bahwa dalam kondisi saat ini warga di Florida mengabaikan anjuran pemerintah dan tetap berkumpul di pantai terlepas dari fakta bahwa pemerintah setempat menganjurkan agar pantai tidak di kunjungi, kebebasan kembali menjadi hal yang membuat pemerintah tidak bisa mengatur warganya dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai “kebebasan yang tidak bertanggung jawab”, hal ini kontras di negara Asia selain Jepang, yaitu Tiongkok dimana aparat dapat menarik paksa warga yang diduga terjangkit Corona dari kediamannya sebagaimana di Video berikut https://www.youtube.com/watch?v=SLirQXbJrNA.
Bila menyimak video tersebut maka Tiongkok memberlakukan sebuah kebijakan yang tidak dapat dilakukan oleh negara Amerika Serikat yang mengedepankan kebebasan, namun di Jepang hal ini mungkin tidak perlu dilakukan karena adanya faktor kebiasaan yang akan dibahas dibawah, namun bila melihat adanya kebebasan dalam berperilaku, perilaku kebebasan yang tidak bertanggung-jawab yang terjadi di salah satu negara bagian di Amerika Serikat sebagaimana artikel NYT diatas merupakan salah satu bentuk konkrit perbedaan budaya dalam merespon sebuah himbauan yang perlu dilakukan untuk kepentingan dan keselamatan bersama, dari perspektif organisasi apa yang terjadi di Florida adalah contoh terjadi kegagalan dalam menyikapi perubahan atas suatu keadaan baru yang tengah berlangsung atau biasa dikenal sebagai disorganisasi.
Kembali lagi, bagaimana dengan di Jepang? bagi penggemar manga Doraemon kita bisa melihat ketika salah satu tokohnya terkena flu maka masker dan kebiasaan untuk mengisolasi diri menjadi hal yang biasa, manga terbitan 1970an tersebut menjadi indikasi bahwa “social distancing” bukan menjadi hal yang baru di negara tersebut, indikator lain yang menunjukan bahwa warga Jepang terbiasa untuk “mengisolir” diri adalah pada tata cara mereka berinteraksi satu sama lain, bersalaman ketika bertemu orang lain bukan sesuatu yang umum dilakukan, alih-alih ketika bertemu satu sama lain mereka membungkukan diri sambil mengucapkan salam. Penggunaan masker sudah menjadihal yang umum jauh sebelum wabah virus corona merebak, menggunakan masker selain mencegah penyebaran sebuah penyakit, juga menjadi sinyal sosial bahwa orang tersebut sedang sakit dan perlu dihindari oleh orang lain dan bukan menjadi pandangan aneh di masyarakat Jepang sebagai hal yang perlu dijadikan bahan candaan.
Berdasarkan budaya yang ada, maka praktis dapat kita ambil kesimpulan bahwa minimnya penyebaran Covid-19 di Jepang terlepas dari Jepang sebagai negara yang maju dan memiliki pola produktifitas organisasi yang tidak kalah dengan Amerika Serikat namun memiliki angka kasus yang relatif minim hingga saat ini adalah karena budaya yang mereka miliki.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan adanya Covid-19 ini maka pola interaksi antar manusia akan berubah dan sepertinya negara Jepang adalah negara yang dapat bertahan dan thriving dengan kebiasaannya yang mereka miliki dan dapat beradaptasi dengan cepat di masa seperti sekarang, dan dengan adanya pembatasan dan pemberlakuan social distancing selama wabah ini, maka secara tidak langsung proses interaksi di dorong untuk memanfaatkan kontak seminimal mungkin.
Penggunaan aplikasi berbasis internet untuk berkomunikasi sudah menjadi hal yang lumrah sebelum merebaknya Covid-19, saya pribadi dalam 2 tahun kebelakang mulai mengadopsi pola ini untuk pembelajaran, saya mengambil salah satu pendidikan tinggi Ilmu Hukum dengan pembelajaran jarak jauh yang menggunakan metode web-learning, selain itu beberapa pelatihan untuk kompetensi juga dilakukan dengan menggunakan internet, salah satu yang rutin diikuti dalam periodikal mingguan adalah mengikuti kuis keahlian berkontrak yang memacu untuk belajar tanpa terkendala jarak, dalam proses pembelajaran hal ini dapat dilakukan, namun pada praktik pekerjaan sehari-hari penggunaan ruang virtual dari internet masih belum dilakukan oleh saya pribadi karena ruang fisik saat ini masih umum digunakan dan lebih biasa dilakukan.
Covid-19 merubah pola interaksi karena untuk menekan penyebarannya perlu dilakukan pemberlakuan social distancing yang membatasi ruang gerak, dalam hal ini pengalaman untuk menggunakan ruang virtual dengan medium internet menjadi salah satu pilihan dan bukan tidak mungkin akan digunakan seterusnya, terlebih lagi di awal tahun 2020 Pemerintah telah membuat pilot project untuk mengimplementasikan Aparatur Sipil Negara untuk dapat bekerja dari rumah.
Pilihan bekerja dari rumah menjadi sangat menarik bahkan sebelum Covid-19 merebak secara global, namun kembali pada penjabaran diatas tadi bahwa budaya kerja yang baik lah yang perlu dipupuk sejak awal dan bukan medium teknologi yang memang sudah eksisting yang perlu dibangun, membangun budaya kerja Work From Home akan sukar dilakukan bila kita tidak terbiasa memiliki prinsip yang mengedepankan kebebasan yang tidak bertanggung-jawab. Secara budaya Kerja, Jepang berhasil bukan karena mereka negara kecil secara luasan wilayah, para ahli manajemen dalam perspektif organisasi menyimpulkan bahwa organisasi Jepang berhasil karena kesediaan untuk patuh karena adanya prinsip bekerja sepanjanghidup, hal ini bahkan terjadi pada pabrik-pabrik di Jepang, sangat minim sekali terjadi krisis atau sengketa di pabrik-pabrik Jepang.
Organisasi Jepang memiliki perhatian terhadap kecermatan akan detil dan kualitas serta kesadaran akan waktu, hal ini dapat dicapai dengan elemen utama manajemen yang mengedepankan kebersamaan kolektif kolegial atau budaya Ringi, selain itu budaya keseganan Jepang juga di dukung dengan pondasi kebersamaan, kesamaan saling pengertian, dan percaya tanpa perlu bicara panjang lebar, dalam hal ini seluruh tingkatan lini saling percaya tanpa banyak tanya atas keputusan yang diambil pada lini atasnya karena sudah meyakini bahwa keputusan tersebut adalah yang terbaik terlepas dari risiko yang mungkin diserap dan kondisi yang kurang mengenakkan, dan pyang terakhir namun bukan yang paling utama adalah pendidikan tinggi. Keberhasilan Jepang dalam menerapkan budaya ini sebagai pola manajemen organisasi sudah diakui oleh dunia termasuk oleh adaptasi Amerika Serikat yang menghasilkan teori tersendiri.
Amerika Serikat mengadaptasi budaya Jepang dan memformulasi dalam manajemen organisasi sebagai teori Z, dimana dilakukan penyesuaian filosofi organisasi, melibatkan semua lini dalam organisasi pada pelaksanaan tugas, mengedepankan struktur yang dikembangkan secara fleksibel namun intensif untuk perbaikan berkelanjutan, mendorong pengembangan keterampilan individu, dan menyadari serta memberdayakan keberadaan organisasi informal dalam sebuah organisasi untuk mengembangkan sebuah sistem manajemen yang baik bagi organisasinya.
Work From Home dapat dimaknai bukan berarti bekerja suka-suka dari rumah, masih terdapat otorisasi tugas yang perlu dilakukan sejak awal sebelum mulai bekerja dari rumah, saya pribadi berpendapat sebelum sebuah unit di deploy untuk mulai WFH, maka sasaran-sasaran dan capaian yang ada beserta pola koordinasi periodikal sudah harus settle terlebih dahulu sejak awal, setelah otorisasi dari sasaran itu telah di tetapkan baru deh mulai yang namanya WFH dan aturan main tersebut wajib di tindaklanjuti artinya pekerjaan yang sudah disepakati tersebut memiliki target penyelesaian terukur, sehingga media aplikasi melalui internet hanya menjadi perantara semata untuk mentransmisikan hasil pekerjaan tersebut.
Maka dalam kondisi perubahan pola kerja yang terdampak dari eksistensi Covid-19yang mungkin berkepanjangan entah sampai kapan ini sangat penting bagi kita untuk menyusun strategi tata kerja dan adaptasi yang memungkinkan untuk menghindari dan meminimalisasi efek disorganisasi kedepan dengan mencontoh pola manajemen organisasi agar pemanfaatan teknologi informasi penunjang tidak menurunkan performa kerja yang ada, dapat mencontoh Budaya Jepang sepenuhnya atau mengadopsi cara Amerika dalam mengadopsi tata kelola organisasi Jepang dengan menggunakan Teori Z, sebab akan percuma bila kita mempersiapkan budget besar untuk fasilitas internet dan perangkat yang ada berupa aplikasi apabila manajemen organisasi yang menjadi esensi dari sebuah operasional organisasi tidak dipikirkan, akan menjadi disorganisasi juga pada ujung-ujungnya, teknologi hanya menjadi perantara sedangkan organisasi bergantung penuh pada manusia-manusia di dalamnya.