definisi jenis pengadaan dan produk
definisi jenis pengadaan dan produk

Penulisan Pasal 1 angka 29a tentang Produk dan Evolusi Tahap Keempat Pengadaan Publik

Para praktisi yang familiar pasti pernah melihat Penulisan angka 29a dalam Pasal 1 pada Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 berikut ini :

definisi jenis pengadaan dan produk
definisi jenis pengadaan dan produk

Saat peraturan ini dirilis, saya punya pikiran nakal, kenapa sih istilah Produk itu ngga ditaruh di Angka 28a (sebelum angka 29 yang mendeklarasikan definisi jenis pengadaan Barang), atau di tuliskan sebagai angka 30a, angka 31a, dan angka 32a?

Produk adalah barang yang dibuat atau jasa yang dihasilkan oleh Pelaku Usaha.

Di beberapa kelas saya PBJP Level-1 ya saya gunakan ini untuk menjembatani dengan regulasi lain, dari perspektif “Produk” ada beberapa contoh yang saya gunakan, misaalll…… ketika berurusan dengan Produk hasil dari Jasa Konstruksi, maka berdasarkan UU Jasa Konstruksi ada produk berupa Konsultansi Konstruksi dan produk berupa Pekerjaan Konstruksi, maka masuknya Pasal 1 angka 29a ini selain menjadi pemisah antar Barang/Jasa,  juga memperluas Jenis-Jenis Kontrak berdasarkan Produk Jasa Konstruksi tadi, maka nya di Pasal 27 Perpres 12/2021 kita mendapati Jenis Kontrak yang relevan dengan komoditas Produknya, ada perubahan cukup banyak dalam pelingkupan Jenis Kontrak bagi Produk Jasa Konstruksi berupa Jenis Kontrak Pengadaan Produk Jasa Konstruksi berjenis Pekerjaan Konstruksi (Pasal 27 ayat (2) Perpres 12/2021), Jenis Kontrak untuk Produk Jasa Konstruksi berjenis Jasa Konsultansi Konstruksi (Pasal 27 ayat (4) Perpres 12/2021).

Sebentar-sebentar, maksudnya gimana sih? ngga paham…..

gampangan nya begini…….

Karena ada definisi “Produk” tadi, maka di Pasal 3 ayat (1) tidak perlu ditambah Jenis Pengadaan berupa “Jasa Konsultansi Konstruksi” dan “Jasa Konsultansi nonkonstruksi” untuk mengakomodir perubahan Pasal 27, karena Jenis Pengadaan tidak lagi terkunci di 4 Jenis Pengadaan yang disebutkan di Pasal 3 ayat (1) Perpres Pengadaan, karena definisi Produk dapat menjadi “pengaya” untuk memperluas definisi Jenis Pengadaan yang ditulis di Pasal 1 angka 29 s.d Pasal 1 angka 32.

Adanya definisi Produk juga seharusnya bisa meng-amplify pemahaman kita terhadap ketentuan-ketentuan lain, termasuk topik yang lagi nge-trend saat ini, tapi saya nggak akan bahas itu lah, ada banyak yang lebih ahli yang bisa melakukan penalaran kesana kalau paham Pasal 1 angka 29a Perpres 12/2021 ini.

Sempitnya secara pemaknaan, kehadiran ketentuan “Produk” dalam Pasal 1 angka 29a ya memisahkan antara Produk Barang dan Produk Jasa.

Di unggahnya RUU Pengadaan Barang dan/atau Jasa di aplikasi SIPRAJA LKPP kembali membuat saya teringat dan membaca ulang buku tentang tahap Evolusi Pengadaan dari buku Pengadaan Pengarang Favorit saya yang berasal dari luar negeri.

Salah satu buku favorit saya untuk Pengadaan Publik itu adalah buku karya Stuart Emmet, beberapa buku yang pernah saya beli dan baca tuntas adalah Excellence in Services Procurement (Excellence in… Book 6)

Dalam buku tersebut selain ada buku yang berbicara tentang Pengadaan Barang/Jasa Publik secara umum (mencakup barang atau jasa) ada satu buku spesifik tentang Jasa yang judulnya sudah saya tautkan diatas.

Jasa menjadi menarik karena di luar negeri sana cakupannya begitu luas, bila di cocok-cocokkan ya sebenarnya Pekerjaan Konstruksi itu ya termasuk Jasa juga, sehingga penulisan Produk di Pasal 1 angka 29a itu saya anggap untuk mengakomodir adanya pengelompokan secara dua garis besar, yaitu :

  • barang
  • jasa

karena “Barang” bisa hadir di berbagai jenis “Produk”, saya berpikir bahwa penempatan penulisan Barang itu di atas Produk untuk menjadi “Garis Pembatas” dari Pengaturan tentang definisi Jenis Barang/Jasa di Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maksudnya gini, dalam :

  • Produk Pekerjaan Konstruksi (Pasal 1 angka 29a + Pasal 1 angka 30) dalam proses untuk menghasilkan Produk Pekerjaan Konstruksi oleh Pelaku Usaha akan terdapat Barang yang digunakan untuk menghasilkan Jasa sehingga hadirlah Produk
  • Produk Jasa Konsultansi (Pasal 1 angka 29a + Pasal 1 angka 31) dalam proses untuk menghasilkan  Produk Jasa Konsultansi oleh Pelaku Usaha akan terdapat Barang yang digunakanuntuk menghasilkan Jasa sehingga hadirlah Produk
  • Produk Jasa Lainnya (Pasal 1 angka 29a + Pasal 1 angka 32) dalam proses untuk menghasilkan Produk Jasa Lainnya oleh Pelaku Usaha akan terdapat Barang yang digunakan untuk menghasilkan Jasa sehingga hadirlah Produk

Sebaliknya “Barang” dalam proses pembuatannya dapat hadir karena :

  • Sebuah Barang bisa dihasilkan oleh Jasa Pekerjaan Konstruksi dan turut disebut Produk
  • Sebuah Barang bisa dihasilkan oleh Jasa Konsultansi dan turut disebut Produk
  • Sebuah Barang bisa dihasilkan oleh Jasa Lainnya dan turut disebut Produk

Jadi penempatan definisi “Produk” di lakukan di 29a mungkin untuk menjadi garis pemisah yang menjelaskan hubungan sebab akibat itu, intinya dalam proses PBJP itu keluarannya adalah sebuah Produk, maka angka 29a yang menjelaskan definisi Produk itu tidak diletakkan diatas definisi Barang atau di posisi lainnya sekedar menjadi garis penegas dari adanya 2 kategori dari hasil pekerjaan Pelaku Usaha, yaitu dua kategori besar barang atau jasa tersebut.

bagi yang paham software engineering dan programming, sebenarnya akan paham sekali pendefinisian sebuah variabel itu akan berpengaruh pada pemanfaatannya.

Selanjutnya kita coba bahas mengapa sih perlu ditegaskan adanya “Produk”?

mengapa sih perlu di pisahkan antaran Barang dan Jasa-Jasa oleh “Produk”?

 

 

Saya sih mikirnya Perpres 12/2021 ini merupakan upaya untuk mengembangkan Pengadaan Publik di Indonesia sesuai tahapan-tahapan dan kondisi lingkungannya, nah untuk hal ini saya tidak akan membuat pemikiran sendiri, tentunya buku dari Ahli yang saya referensikan.

Buku Stuart Emmet yang saya baca membagi tahapan-tahapan dalam perkembangan evolusi Pengadaan Publik, yaitu :

  • Tahap Satu : Pengadaan yang berpusat pada Produk yang memperhatikan produk secara tangible dan keluaran yang dihasilkan
  • Tahap Kedua : Pengadaan yang berpusat pada Proses yang telah bergerak maju dari tahap satu untuk memperhatikan dan mengukur proses
  • Tahap Ketiga : Pengadaan relasional yang telah mengembangkan pada hubungan antara pembeli/penyedia
  • Tahap Keempat : Pengadaan berbasis performa yang telah berfokus pada barang/jasa terbaik yang dilakukan secara terkelola, dan mengintegrasikan hubungan, proses, dan keluaran yang dibangun secara bersama-sama dengan penyedia.

Berdasarkan penambahan definisi Produk yang menjelaskan pengakuan terkait  “Proses” itu adalah hal yang eksis dengan penulisan definisi “Produk adalah barang yang dibuat atau jasa yang dihasilkan oleh Pelaku Usaha.” terlihat sekali bahwa Peraturan Pengadaan Pemerintah bagi kepentingan Publik kita sudah bergerak jauh dari Tahap Satu.

Kalau Tahap Satu kita hanya memperhatikan Jenis Pengadaan saja, makanya disebut definisi-definisi dari 4 Jenis Pengadaan.

Keberadaan definisi “Produk” menghadirkan adanya evolusi tingkatan proses / evolusi Peraturan Pengadaan Publik kita sehingga bisa lebih luas diatas dari tahap satu.

RUU Pengadaan Publik sudah menanggalkan jenis Pengadaan yang sangat kental dengan muatan melihat produk hanya sesempit “Pengadaan yang berpusat pada Produk yang memperhatikan produk secara tangible sebatas dari keluaran yang dihasilkan semata”, jadinya kita bisa mencermati bahwa Penulisan “Produk” di antara angka 29 Pasal 1 yang mendeskripsikan “Barang” dengan Penulisan “Produk” yang mendahului jenis-jenis Pengadaan berkategori “Jasa” ini selain menjadi “Pemisah” antara Barang/Jasa, juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk melompat dari Tahap Ketiga menuju Tahap keempat.

Kok langsung berasumsi kita saat ini di tahap ketiga? bukannya setelah Tahap Satu ada Tahap Kedua?

Pada Tahap Kedua masih dari buku yang sama, disebutkan bahwa Proses Pengadaan Publik telah bergerak maju dari tahap Satu yang hanya berorientasi pada hasil Pengadaan berdasarkan jenisnya / keluaran yang dihasilkan menuju pengukuran proses dalam menghasilkan Barang/Jasa, Tahap Kedua ini sudah kita tinggalkan duluan dengan ketentuan dalam Perpres 16/2018.

Sebagai contoh konsep Value For Money yang ada di Pasal 4 huruf a, pada Perpres 16/2018 sudah memperhatikan aspek Kualitas, Jumlah, Waktu, Biaya, Lokasi dan Penyedia.

Saya mengasumsikan kita sudah di Tahap Ketiga dalam proses Evolusi Pengadaan Publik karena Pasal 4 huruf a sudah berubah pemaknaan secara meluas di Perpres 12/2021.

Perubahannya adalah mengganti kata “Jumlah” menjadi “Kuantitas”

ketika Evolusi Pengadaan Publik masih di tahap Kedua, pengukuran Value For Money pada Ketepatan Jumlah, ketepatan Jumlah ini bisa kita maknai sempit berdasarkan kata nya sebatas ketepatan Jumlah yang berjalan beriringan dengan Kualitas, Biaya, Lokasi, Waktu dan Penyedia.

Penggunaan kata “Kuantitas” dalam Value for Money di era Perpres 12/2021 menurut saya lebih dalam dari penggunaan kata “Jumlah”, terutama bila membandingkan dengan aspek VFM yang lainnya dan memperhatikan kehadiran unsur “Pengadaan Relasional” yang merupkan unsur Evolusi Tahap Ketiga.

Mengapa demikian? bila kita menggunakan kata “Jumlah” dalam ketepatan sebagai aspek Value for Money, bisa kita persepsikan bahwa “Jumlah” tersebut cukup dari aspek pemenuhan kebutuhan.

Namun bila menggunakan kata “Kuantitas” dalam ketepatan selain memiliki pemaknaan yang sama dengan “Jumlah”, juga memiliki makna yang lebih luas.

Mengapa saya menyebutkan Jumlah itu sebagai makna yang lebih sempit?

Kalau kita memfrasekan dalam operasi matematika, dua tambah dua berjumlah sama dengan empat, kita jarang menggunakan istilah “kuantitas” dalam proses penjumlahan, kuantitas digunakan dalam istilah statistik, ada statistika kualitatif yang merepresentasikan kualitas dan ada statistika kuantitatif yang bukan sekedar perhitungan semata tapi ada proses yang bisa diberikan nilai numerik/diukur.

jadi jelas makna “jumlah” dan “kuantitas” menunjukan perluasan.

Perluasan dalam Pengadaan Publik terkait Kuantitas jelas bisa membuat kita memaknai bahwa “Tepat Kuantitas” ini selain kuantitas barang/jasa yang dihasilkan sudah “tepat” seperti halnya “Tepat Jumlah” dengan sempit saat menghitung jumlah pemenuhan barang/jasa yang dihasilkan sesuai dengan apa yang dihasilkan di kontrak, kita juga bisa merelasikan Tepat Kuantitas ini dengan Relasi.

Salah satu tools untuk menghadirkan “Pengadaan Relasional” yang ada di Evolusi Ketiga dari Pengadaan Publik ini adalah kehadiran Kraljic Matrix/Supply Positioning Model.

Ketika barang seperti Kertas dengan “kuantitas” sedikit dan risiko nya kecil, dia akan berada dalam kuadran “Routine”, posisi penyedia tidak akan se-asik dengan kuadran lainnya.

Ketika kita melakukan konsolidasi Kertas dengan “Kuantitas” yang mengakibatkan volumenya semakin besar, maka belanjanya semakin besar kemudian akan berada dalam kuadran “Leverage” maka nilai belanjanya lebih besar dan lebih strategis sehingga “HUBUNGAN” dalam “Pengadaan Relasionalnya” memberikan dampak terhadap harga yang berbeda.

Jadi ketika menggunakan istilah “Jumlah” maknanya hanya sekedar memperhatikan jumlah kebutuhan, karena kata “Jumlah” erat kaitannya dengan operasi matematika sederhana.

Ketika menggunakan istilah “kuantitas” maknanya menjadi diperluas, kuantitas adalah istilah yang lebih erat ke statistika yang merupakan perluasan / cabang ilmu ekspansi dari matematika, dalam “Kuantitas” kata ini selain memiliki makna yang sama dengan “Jumlah” juga memberikan nilai numerik yang memiliki makna lebih.

Makna lebih ini bila dikaitkan dengan Kraljic Matrix/Supplier Positioning Model bisa menjadikan makna “Kuantitas” lebih kuat ketimbang kata “Jumlah”.

disisi lain pengaturan yang membuat semakin kuatnya penekanan hubungan yang menghadirkan ciri dari evolusi Tahap Ketiga dari Pengadaan Publik adalah semakin kuat dan berkembangnya hubungan pembeli dan penjual adalah kemudahan Pelaku Usaha untuk berpartisipasi dalam proses Pengadaan Pemerintah. Definisi Pelaku Usaha sudah disimpelkan di Perpres 12/2021, karena memang UU Cipta Kerja menyederhanakan hal tersebut.

Dampaknya relasi antara Pelaku Usaha untuk menjadi Penyedia di Pengadaan Pemerintah menjadi lebih mudah, kita bisa lihat di Pasal 72 ayat (4) untuk masuk ke Katalog Elektronik saat ini Pelaku Usaha sudah sangat gampang, dengan mengedepankan adanya hubungan yang mengedepankan rasa percaya yang sangat besar pada Pelaku Usaha.

Ada banyak lagi aspek lainnya yang menunjukkan bahwa Perpres 12/2021 sudah menghadirkan Peraturan yang memang meletakan PBJP di Indonesia sudah pada evolusi Tahap Ketiga.

Kembali ke Produk yang dituliskan di Pasal 1 angka 29a.

Keberadaan “Produk” yang ada di tengah antara “Barang” dan “Jasa” dimana “Jasa” itu mencakup Pekerjaan Konstruksi, Jasa Lainnya, dan Jasa Konsultansi mengindikasikan kita memang tengah tinggal landas menuju Evolusi Pengadaan Tahap Empat seperti yang dituliskan oleh Stuart Emmet di berbagai bukunya.

Tahap Keempat pada Evolusi Pengadaan Publik berorientasi pada Performa / Kinerja yang memfokuskan diri pada tata kelola untuk memperoleh Barang/Jasa yang terbaik atau dengan kata lain “Produk” terbaik dengan mengintegrasikan hubungan, proses, dan keluaran yang dibangun bersama dengan para penyedia.

Jadi untuk mendapatkan Barang/Jasa terbaik, maka pemikiran berbasis pengukuran (level 2) atau keluaran / wujud produk (Level 1) yang mengkotak-kotakan Jenis Barang/Jasa Pemerintah itu memang sudah tidak relevan lagi.

Menyempilnya “Produk” dalam Pasal 1 angka 29 yang memisahkan antara “Barang” dan berbagai jasa (PK/JK/JL) dalam Perpres 12/2021 memang menjadikan fondasi untuk berevolusi dalam RUU Pengadaan Publik, pada draft yang bisa diakses saat ini, dalam RUU Pengadaan Publik pada Pasal 1 tidak lagi dikotak-kotakkan jenis Barang/Jasa.

Pasal 1 angka 3 pada Draft/RUU Pengadaan Publik sudah menjelaskan bahwa yang dimaksud Barang itu : Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh Pengguna.

Pasal 1 angka 4 pada Draft / RUU Pengadaan Publik kemudian menggeneralisasikan definisi Jasa-Jasa (PK/JK/JL) menjadi : Jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh Pengguna; selanjutnya masih dalam Draft/RUU Pengadaan Publik pada Pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa Jasa terdiri atas pekerjaan konstruksi; Jasa konsultansi dan Jasa lainnya;

Jadi kalau dilihat penempatan Pasal 1 angka 29a di Perpres 12/2021, sudah jelas sebenarnya peletakan ketentuan “Produk” memang untuk menjadi lompatan  transisi pada aturan generasi berikutnya yang memang berfokus pada Barang dan/atau Jasa saja.

Jadi….. melihat aturan yang eksisting saat ini, pendapat pakar Pengadaan, dan rancangan aturan yang ada, tidaklah berlebihan bagi saya untuk menyatakan Peletakan “Produk” dalam Pasal 1 angka 29a Perpres 12/2021 itu sekedar iseng semata, setidaknya bagi saya yang sejak awal memperhatikan angka 29a dalam Pasal 1 ini secara mendalam, setelah melihat RUU Pengadaan Publik yang memfrasekan di judulnya sebagai “Barang dan/atau Jasa Publik” serta bukan lagi “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah” mengindikasikan bahwa kita sudah tidak perlu lagi melakukan :

  • tidak lagi mengedepankan fokus dan memperhatikan wujud Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi dan keluarannya seperti tahap 1, tetapi berfokus pada manajemen untuk menghasilkan Barang dan/atau Jasa;
  •  tidak lagi mengedepankan proses pengukuran dalam menghasilkan jenis Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi seperti pada tahap 2, tetapi berfokus pada integrasi proses tersebut dengan hubungan manajemen penyedia;
  • tidak lagi sekedari mengekspansi ke tingkatan hubungan penyedia dan pembeli seperti pada tahap 3, tetapi berfokus pada kemitraan antara pembeli/penyedia untuk melakukan fokue pada manajemen, proses, dan hasil;

Semoga lompatan menuju Evolusi Tahap Keempat ini menjadikan proses Pengadaan Publik menjadi lebih baik…… walau sepertinya masih panjang, tapi tidak ada salahnya berharap segera diundangkan, toh dulu-dulu RUU yang lebih tebal saja bisa lebih cepat diundangkan, apalagi ini yang cuma 30 halaman.

Bila anda tertarik untuk membaca RUU Pengadaan Barang Dan/Atau Jasa Publik, anda dapat mengaksesnya di sini : sipraja (lkpp.go.id)

Kalau anda tertarik dengan buku Stuart Emmet, bisa pesen sendiri di Amazon…… jangan minta bajakannya sama saya hehehe…… versi digitalnya lebih murah bila anda belanja di Kindle Apps, atau kalau bisa bersabar dikit ya bisa pesan versi fisiknya di Amazon, toko buku impor yang ada di bandara-bandara itu juga saya pernah lihat ada beberapa yang menjual, selamat membaca.

Jadi penulisan dan penempatan “Produk” pada definisi Pasal 1 angka 29a di Perpres 12/2021  itu bukan sekedar iseng atau kurang kerjaan ya, ada makna mendalam disana yang kalau dipikirn bisa jadi satu topik sendiri.

Kenapa kok Peraturan Pengadaan Barang/Jasa kita s=tidak sejak awal saja sih mengkategorikan jadi 2 berupa “Barang” dan/atau “Jasa” saja?

Lihat saja kembali tahapan-tahapan evolusi Pengadaan Publik yang sudah saya jabarkan diatas dan hubungkan dengan kondisi lingkungan Pengadaan di tiap masanya…… walau ingatan anda mungkin samar-samar, ketika negara kita masih di tahap Satu dimana fokus nya pada wujud produk beserta keluarannya, ya wajar kan dulu penulisannya masih belum mencantumkan definisi “Produk”?

Karena masih berorientasi pada Wujud dan keluarannya, jadinya kita terlihat lebih ribet dengan berusaha mengkategorikan Jenis Pengadaan dengan konsern pada wujud keluaran dan prosesnya,akhirnya ada jenis Pengadaan Barang, Pekerjaan Konstruksi, Jasa Lainnya, dan Jasa Konsultan, tiap-tiap Jenis Pengadaan itu karena keluaran dan konsern nya pada wujud maka proses pemilihan nya diatur berdasarkan definisi Jenis itu secara kaku tanpa menghadirkan definisi bahwa ujung-ujungnya hasil keluaran itu ya disebut “Produk”, pada masa itu ya kita memang belum siap saja.

Ketika sudah mulai siap dan/atau mengikuti pakem best practices Internasional ya akhirnya mulai berusaha memperkecil jenis-jenis pengadaan tersebut dan ditambahkan istilah “Produk” di Perpres 12/2021.

Apakah RUU Pengadaan Barang dan/atau Jasa nanti lantas hanya mensimplifikasikan proses Pengadaan dan apakah ada jaminan bahwa memang hanya ada 2 Jenis Pengadaan saja terutama bila di relevansikan dengan metode pemilihan penyedia yang lebih sederhana???? ya mana saya tahu….. RUU nya saja belum diundangkan, belum tenti draft ini dipakai, nanti juga akan ada aturan turunannya, bisa jadi ketika diundangkan di awal Peraturan Pemerintahnya masih tidak jauh berbeda dengan Perpres saat ini, ada masa transisi, lompatannya tidak harus selalu jauh……

Bisa jadi saya keliru atau terlalu keasikan baca buku PBJP luar negeri sampai-sampai mengira kita akan semakin moderen sehingga berpikir terlalu jauh tentang keberadaan “Produk” pada Pasal 1 angka 29a ini secara berlebihan, tapi kan ngga ada salahnya juga membayangkan ketiadaan simpelnya Pengadaan Jasa seperti di luar negeri, pokoknya ya simpel aja…..

Demikian tulisan saya kali ini, agak panjang, tapi saya menikmati proses menulisnya, walau sulit dimengerti semoga harimu menyenangkan…… =D

Sebelumnya Ngerumpi PeBeJe 10 Maret 2023
Selanjutnya Pemaketan menurut Pasal 20 Perpres PBJP

Cek Juga

img 6753

Komoditas PBJP dikecualikan masuk dalam Sarana E-Purchasing, apakah boleh?

Jangan lupa bahwa e-Purchasing itu hadir sebagai sarana untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan keberadaan ...

Punya pendapat terkait artikel ini? mohon berkenan berdiskusi, terima kasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Open chat
1
Hubungi saya
Halo, apa yang bisa saya bantu?
%d blogger menyukai ini: