Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Teknologi Informasi, Pendekatan Sistem, dan Persiapan dalam Implementasi Telematika

img 0087

img 0087

Aplikasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) yang digunakan oleh Pemda seluruh Indonesia merupakan aplikasi yang saat ini pemanfaatannya digunakan berupa fungsi Penganggaran dan fungsi Penatausahaan Keuangan.

Beberapa catatan kami menerima berbagai konsultasi terkait penggunaan aplikasi ini adalah proses penganggaran yang terlalu rinci dan menyebutkan merek, penyebutan merek ini bila disadari oleh pengelola SIPD di masing-masing daerah dapat berujung pada potensi persaingan usaha yang tidak sehat karena secara tidak langsung sudah membatasi sejak awal untuk belanja terbatas pada satu merek saja.

Adapun karena di Pemerintah Daerah standar-standar terkait dengan penganggaran biasanya tidak tersedia, kalaupun tersedia maka sifatnya adalah untuk menganggarkan semata, sehingga penyebutan merek dalam SIPD adalah dikarenakan pengolahan standar tersebut tidak diolah sebagai sumber data dan mengeliminasi mereknya.

Modul Penganggaran SIPD diisi oleh standar yang diinput oleh pengelola SIPD, apa yang diinput kemudian menjadi apa yang teranggarkan. Teranggarkan disini berupa komponen rincian dan sub komponen.

Penatausahaan pertanggungjawaban keuangan juga sebenarnya masih sama dan serupa dengan dahulu, artinya barang yang dianggarkan bila tidak tersedia sebenarnya dapat dilakukan dengan belanja produk yang setara atau lebih tinggi, yang penting proses belanjanya benar.

Tapi yang terjadi adalah ada beberapa daerah yang mensetting aplikasi SIPD untuk modul penatausahaan secara beragam, ada yang tidak sampai merinci ke komponen/sub komponen, ada yang merincikan hingga ke komponen / sub komponen baik secara sistem maupun dari aspek perbendaharaan saat verifikasi yang dilakukan oleh verifikator di Perbendaharaan.

Sehingga yang terjadi adalah apa yang dulu bisa dilakukan menjadi apa yang saat ini malah tidak diperboiehkan, sehingga seolah-olah penggunaan sistim ini menjadi sesuatu yang mempersulit, padahal sejatinya sistim ini untuk pencatatan yang lebih baik.

Terlepas dari adanya kemungkinan error dan hal lain nya karena ketidakbiasaan atas sistim baru, perlu disadari bahwa koordinasi di tingkat daerah itu adalah penting, keputusan yang diambil dan tata kelola harus dilakukan secara inklusif dan bisa mengakomodir banyak pihak, dan tentunya mengakomodir banyak pihak ini harus sesuai peraturan perundangan yang berlaku, pada prinsipnya proses bisnis harus tetap sama, dan apa yang dulu bisa dan substansinya sederhana jangan malah jadi rumit ketika hadir sebuah sistim baru.

selain masalah teknologi informasi, permsalahan di SIPD adalah sebagai berikut :

1. Pemda tidak terbiasa mengolah informasi, data survey untuk tiap barang dengan berbagai merek seharusnya disajikan untuk menjadi sebuah tipe barang dalam satu kategori tertentu, hal inilah yang harus dikelola sebagai standar, bukan copy paste harga ekatalog LKPP lengkap dengan mereknya.

2. Penatausahaan keuangan cukup memastikan barang/jasa yang dipertanggung-jawabkan keuangannya sesuai dengan pemilahan jenis belanja, bila terlalu rigid hingga ke merek dan tipe, bisa jadi barang/jasa tersebut tidak lagi tersedia dan diskontinu.

3. Sistem seharusnya menjadi alat bantu manusia untuk bekerja, bukan cara kerja manusia yang dibatasi sistem secara kaku sehingga tidak dimungkinkan pengambilan keputusan.

Teknologi informasi memang hal yang umumnya dikesampingkan di Pemerintah Daerah, Pejabat Fungsional Pranata Komputer merupakan pejabat fungsional yang kurang diberdayakan, karena tidak pernah diberdayakan maka menjadi kurang update, andai update pun dalam pengambilan keputusan dan implementasi dalam proses penerapan sebuah sistem biasanya tidak juga dilibatkan sehingga dalam penerapan sebuah sistim ini stidak diketahui dan tidak terlaksana mitigasi risiko teknologi informasi.

Padahal teknologi informasi adalah hal yang diperlukan ketika pandemi ini melanda, karena ketidaksiapan dan ketidakbiasaan untuk melakukan kolaborasi maka yang terjadi adalah muncul banyak permasalahan dalam ketersediaan, pengelolaan, dan penyediaan informasi yang akurat, terperbaharui, komplit, dan relevan dalam menunjang pengambilan keputusan. Penulis tidak menyalahkan pihak-pihak tertentu dan penulis tidak menyudutkan kekeliruan di masa lampau yang menganggap segelintir perangkat daerah sebagai yang paling strategis sehingga tidak perlu melibatkan pihak lain, jauh dari itu penulis hanya mneyoroti adanya bottleneck dalam pengambilan keputusan, pelayanan yang tanggap, proses yang kurang cepat, pelayanan publik yang kurang prima, dan produktivitas diseluruh bidang yang saat ini terganggu karena kegagapan yang terjadi.

Padahal kita sadari bersama bahwa pada masa pandemi ini respon yang cepat dan tindakan yang akurat sangat urgen, permasalahan ini juga sebenarnya berpengaruh pada tingkat nasional secara keseluruhan, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan pernyataan bahwa SIPD adalah aplikasi yang wajib digunakan karena telah diamanatkan untuk digunakan pada Permendagri 70 tahun 2019 tentang SIPD, disisi lain tanpa mengurai permasalahan dan tidak mengevaluasi permasalahannya pihak Pemda menyalahkan SIPD, saya menyatakan tanpa mengurai permasalahan karena Pemda umumnya pasif dan menunggu Kemendagri beraksi baru bertindak, andai bertindak pun tindakannya tidak menggunakan pendekatan keilmuan yang jelas, sekedar memindahkan satu data ke wadah berbeda tanpa melakukan optimasi proses dan mitigasi risiko.

Sangat ironis karena saat ini tengah di dengungkan Industry 4.0 yang didalamnya berisi Teknologi Informasi namun Pemda tidak dapat memanfaatkan Teknologi sebagai solusi, malah menghadirkan sistem sebaai bottleneck.

Apa yang menjadi akar masalah disini? Kompetensi dan ketergantungan kita untuk mengelola sistem informasi kepada pihak lain selama ini tanpa terjadi transfer ilmu, pengelolaan sistem informasi di masa lalu hanya dilakukan seperti biasa biasa saja dan keengganan untuk melindungi diri dari ketergantungan serta menghasilkan kontrak pengadaan teknologi informasi yang menguntungkan Pemerintah, sehingga ketika melakukan pengadaan sebuah sistem, Pemerintah langsung tergantung pada pihak lain selama usia sistem tersebut, baik kontrak tersebut dilakukan pada penyedia dan kontrak tersebut dilakukan pada swakelola. Hal ini berpengaruh pada tidak bertumbuhnya kompetensi sumber daya manusia, pejabat fungsional pranata komputer didiamkan saja sehingga tidak terbiasa dengan keahlian yang dimilikinya, dan ketika sebuah sistem diberikan untuk dikelola seperti SIPD, menerjemahkan informasi dan proses bisnis serta mitigasinya sama sekali tidak terlaksana, yang terjadi cuma sekedar pindah memindah data tanpa berpikir bagaimana aspek optimasi dan kendala serta hal yang terkait saat pelaksanaan kedepannya.

Bila di Pusat terdapat Chief information officer nasional (CIO) yang menurut saya melakukan tata kelola teknologi informasi nasional yang merupakan fungsi dari Menkominfo, maka di Daerah seharusnya diberdayakan CIO yang dilekatkan pada Kepala Diskominfo, adanya CIO ini seperti membuat sebuah leading sector disebuah bidang lain, bila di Daerah ada Kadinkes yang mengelola Kesehatan, di Daerah ada Kadisdikbud yang mengelola Pendidikan, dan di Daerah ada KadisPUPR yang mengelola pembangunan infrastruktur fisik, maka seharusnya Kadiskominfo diberikan peran serupa sebagai pengelola pembangunan infrastruktur telematika, infrastruktur telematika disini termsuk berupa dukungan tenaga ahli dan sarana prasarana pendukung di bidang telematika yang didayagunakan.

Pentingnya CIO di Daerah ini ketika transisi sistem ini bukan cuma sekedar tukang install saja dan selesai, tapi melakukan data mapping, bagaimana antara pelaksanaan, aturan, dan proses bisnis semua bisa matching. Era kolaboratif mengharuskan para profesional berbagai lintas ilmu dapat berinteraksi sesuai keahlian masing-masing, para ahli keuangan daerah bukanlah ahli melakukan rekayasa (engineering ) perangkat lunak, para Insinyur (engineering) di bidang konstruksi bukan ahli melakukan rekayasa perangkat lunak, demikian juga para ahli komputer sains bukanlah ahli di bidang konstruksi dan bukan ahli dibidang keuangan, semua punya keahlian masing-masing, kolaborasi inilah yang sebenarnya bisa menyelesaikan masalah penerapan teknologi informasi.

Tulisan saya ini bukan bermaksud membela Kemendagri yang seolah hanya diam saja disalahkan berbagai daerah karena menerapkan SIPD diseluruh Pemda, bagi saya pribadi Daerah juga perlu mengevaluasi dan senantiasa melakukan perbaikan berkelanjutan, SIPD adalah sebuah alat yang operasinya berdasarkan input/masukan dari penggunanya, bila informasi yang diinput adalah informasi sampah, maka informasi yang dihasilkan juga akan sampah/garbage, bahasa kerennya garbage in garbage out.

Penerjemahan proses bisnis dan melakukan mapping informasi merupakan hal yang harus dilakukan diawal saat transisi sistem, bukan cuma sekedar konversi data untuk bridging tanpa mengetahui proses ikutan yang timbul dari aplikasi-aplikasi yang digunakan, kendala ini juga akan terjadi bila paradigma ini tidak dirubah, bukan cuma dengan SIPD saja, apapun aplikasinya bila tidak dilakukan penyesuaian dulu diawal maka akan berantakan dibelakang.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan saat ini perlu berkolaborasi lintas keilmuwan secara serius dalam mengembangkan, mengelola, dan memanfaatkan teknologi informasi.

Demikian, semoga tulisan ini bisa menggugah bahwa pengelolaan teknologi informasi bukan cuma sekedar melihat orang yang jago install tanpa pendekatan sistem dan memandang semua akan baik baik saja bila komputer tidak meletup kemudian orang tersebut diberikan tugas untuk mengelola sistem, pemanfaatan teknologi informasi jauh lebih besar dari itu, dibutuhkan tim besar yang mampu meneliti potensi dan proses bisnis agar semua berjalan dengan baik dalam penerapan sistem, bila hal ini disadari, menyalahkan pembuat sistem seharusnya tidak terjadi.

Salam.

Exit mobile version