Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Seri Hukum Internasional #6 : Perbedaan dan Persamaan Perwakilan Diplomat dan Perwakilan Konsuler

hukum internasional

hukum internasional

Pendahuluan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional semakin kompleks pengertiannya.

Pembahasan

 

Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menjelaskan bahwa Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat melaksanakan hubungan luar negeri dengan didasarkan kepada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, sebagaimana sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana salah satu tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 melandaskan pada Sumber Hukum Internasional yang diratifikasi, dalam hal ini Vienna Convention on Diplomatic Relations and optional protokol to The Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality 1961 dan Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Cansular Relations Concerning Acquisition of Nationality 1963 yang sebelumnya diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya, selain itu landasan dari Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 juga berangkat dari Convention on Special Mission New York 1969 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1982.

Sumber-sumber hukum Internasional diatas merupakan Perjanjian Internasional yang dapat diperoleh melalui https://treaties.un.org/ merupakan sumber hukum internasional dalam Hukum Diplomatik yang tidak hanya diratifikasi dan diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah mencermati kedua Undang-Undang tersebut diatas, maka berdasarkan informasi yang terkandung di dalam nya, sumber hukum Internasional dalam hukum Diplomatik adalah sebagai berikut :

Berdasarkan Buku Materi Pokok Hukum Internasional oleh Sri Setianingsih dan Wahyuningsih, turut disebutkan Sumber Hukum selain ketiga konvensi diatas adalah :

Kami menyimpulkan bahwa setelah membaca Kegiatan Belajar 1 Modul 8 Hubungan diplomatik muncul karena era globalisasi dengan kemajuan-kemajuan yang mendorong untuk menjalin hubungan kerjasama yang bisa terwujud dengan baik bila tiap-tiap negara menghormati kedaulatan dan kemerdekaan satu sama lain sehingga dapat terwujud hubungan kerjasama di bidang teknologi, transportasi, perdagangan, dan hubungan internasional yang perwujudan konkritnya adalah hubungan diplomatik yang dapat ditindaklanjuti dengan dibukanya perwakilan diplomatik yang menjadi hak yang dimiliki oleh negara berdaulat yang disebut Hak Legasi.

Hubungan antar negara berdasarkan Sumber Hukum Internasional yang disebutkan diatas berlaku dengan prinsip-prinsip meliputi pertama, Prinsip Resiprositas sebagaimana berlakunya hak legasi, Dimana setiap negara berdaulat dan merdeka diakui mempunyai hak untuk mengirim utusannya untuk mewakili di Negara lain dan timbal balik berlaku pula memiliki kewajiban menerima utusan negara lain, hak dan kewajiban ini juga memberikan kekebalan dan keistimewaan kepada para diplomat, keluarganya, dan kantor perwakilan oleh negara penerima. Kedua, berlaku juga Prinsip Mutual Consent atau kesepakatan antarnegara berdaulat yang berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 dengan demikian saling pengakuan ini setelah diumumkan bersama ditindaklanjuti dengan melaksanakan kesepakatan antarnegara berdaulat tersebut dengan membuka tingkatan paling tinggi dikepalai oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh atau membuka tingkat yang lebih rendah yang dikepalai Kuasa Usaha Terap.

Prinsip ketiga adalah Prinsip Extrateritorial yang merupakan pengakuan antarnegara berdaulat bahwa wilayah Gedung Perwakilan Diplomatik, Tempat Kediaman para pejabat diplomatik, dan properti didalamnya termasuk dokumen dan arsip, merupakan perluasan wilayah dari negara pengirim dan diluar yuridiksi negara penerima sehingga tidak dapat dikuasai oleh hukum dan peraturan di Negara Penerima sehingga diplomat hanya dikuasai oleh hukum dari negara pengirimnya. Kemudian pada Prinsip Keempat diberlakukan Prinsip Free Apoinment atau Prinsip Penunjukan bebas yang memberikan kewenangan bagi negara pengirim untuk menunjuk anggota staf diplomatik dengan tanpa perlu meminta persetujuan negara penerima, dikecualikan dari prinsip Free Apoinment adalah penunjukan Duta Besar yang perlu meminta persetujuan negara penerima  dalam bentuk agreement atau agreation dari negara penerima.

Prinsip Kelima adalah Prinsip Inviolability atau tidak dapat diganggu gugat sebagaimana dinyatakan pada Pasal 29 Konvensi Wina yang mengatur bahwa para diplomat tidak dapat ditahan atau ditangkap, termasuk mencakup di dalamnya tempat tinggal, surat dan dokumen, dan hartanya tidak dapat diganggu gugat. Prinsip keenam adalah Prinsip Free Movement yang menjamin kebebasan bergerak dan melakukan perjalanan bagi anggota perwakilan di dalam wilayah negara penerima sehingga dapat melakukan tugasnya secara efektif. Prinsip Ketujuh adalah Prinsip Free Communication dimana negara penerima memberi kemudahan dalam bentuk izin dan perlindungan dalam melakukan kebebasan berkomunikasi dengan pemerintahnya, dengan anggota perwakilan lainnya, dan dengan konsulat dari negaranya, komunikasi ini dapat menggunakan semua cara yang laya meliputi kurir diplomatik, radio transmiter berizin dari negara penerima, dan lain-lain yang tidak dapat diganggu gugat selama melaksanakan fungsi diplomatik tersebut. Terakhir adalah Prinsip Kedelapan adalah Reasonable and Normal yaitu dengan pembukaan hubungan diplomatik maka penindaklanjutan pembukaan tersebut adalah di bukanya perwakilan diplomatik, dalam pembukaan perwakilan bila tidak ada kesepakatan mengenai jumlah anggota staf perwakilan yang akan diakreditasikan di negara penerima maka jumlah anggota staf perwakilan tersebut harus didasarkan dengan asas kewajaran dan pantas yang memperhatikan kondisi yang terjadi di Negara Penerima dan volume pekerjaan dan kepentingan yang harus dilindungi di negara penerima, pada kondisi tertentu negara penerim dalam batas-batas yang pantas dan wajar secara non-diskriminatif dapat menolak untuk menerima dalam kategori tertentu.

Pembukaan hubungan diplomatik dan perwakilan hubungan diplomatik meliputi beberapa aspek yaitu, pertama yaitu Motivasi yaitu kerjasama antar negara dapat meliputi berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keamanan sebagaimana prinsip-prinsip dalam Piagam PBB. Kedua, karena Kesepakatan Bersama yang tidak selalu mengharuskan membuka perwakilan diplomatik bila hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik apabila kesepakatan bersama untuk hubungan diplomatik sudah terpenuhi, namun jika perwakilan diplomatik akan dibuka maka perlu dibuat instrumen berupa pernyataan bersama yang menyepakati tempat dan mencantumkan tanggal kesepakatan untuk membua kantor perwakilan diplomatik dan berlokasi di Ibukota Negara Penerima nya. Prinsip KKetiga adalah Keanggotan Staf Diplomatik yang terdiri atas tiga golongan yaitu staf Diplomatik, Staf Administrasi dan Teknis, dan Staf Pelayanan.

Keempat adalah Agreement atau Agreation yang merupakan persayaratn seorang untuk ditunjuk menjadi kepala dari Staf Diplomatik atau Kepala Perwakilan (Head of the Mission) / Duta Besar harus mendapat persetujuan dari negara penerima yang dinyatakan sebagai persona grata dimana setiap negara penerima dalam proses akreditasinya diberikan hak untuk menolak apabila negra penerima tidak dapat menerima calon Kepala Perwakilan tersebut tanpa harus memberikan alasan yang dikenal sebagai persona non grata, persona non grata ini juga dapat dikeluarkan sewaktu-waktu walaupun sebelumnya telah diterbitkan persona grata. Aspek Kelima adalah Tingkatan Kepala Perwakilan yang berdasarkan Pasal 14 ayat 1 Konvensi Wina 1961 terdiri atas Duta Besar atau nuncio, Duta atau para internuncio, dan Kuasa Usaha, akreditasi secara korespondensif masing-masing ketiga kategori tersebut secara berurutan Duta Besar atau nuncio diakreditasikan kepada para Kepala Negara dan kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya , kemudian  Duta atau internancio diakreditasikan kepada para Kepala Negara, dan Kuasa Usaha diakreditasikan kepada para Menteri Luar Negeri. Aspek Keenam adalah Tugas Perwakilan Diplomatikyang menurut Konvensi Wina mencakup mewakili negara nya di negara penerima, perlindungan kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negara pengirim di wilayah negara penerima yang sesuai dan diperbolehkan oleh hukum internasional, melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima, memperoleh semua kepastian dengan cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim, dan meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.

Demikian menurut kami apa yang dapat kami simpulkan berdasarkan Buku Materi Pokok Hukum Internasional karangan Sri Setianingsih dan Wahyuningsih berkaitan dengan Hubungan Diplomat, prinsip dan aspek-aspek hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan hubungan diplomatik diatas akan kami bandingkan untuk menemukan kesamaan dan perbedaan dengan Konsuler.

Kami menyimpulkan bahwa setelah membaca Kegiatan Belajar 2 Modul 8 Hukum Konsuler bahwa keterwakilan negara di negara lain adalah hal yang biasa dilakukan sejak berabad-abad lalu sehingga menciptakan kebiasaan yang menjadi Hukum Kebiasaan Internasional yang diterima oleh masyarakat Internasional. Semula keterwakilan Negara oleh Para Wakil-Wakil Perantara  dilakukan dalam fungsinya untuk menjadi perantara dalam hal hubungan dagang internasional sejak zaman Yunani Kuno yang berkembang menjadi pemberian hak khusus untuk mempunyai magistrate  yang kemudian dikenal sebagai Konsul pada abad ketiga belas yang memberikan sedikit otomomi dan hak khusus pada abad ketigabelas yang meluas di abad empatbelas meluas ke kota-kota sekeliling Atlantik, Laut Utara, dan Pantai-Pantai Baltic. Pada abad keenambelas terjadi perubahan dimana para konsul dari negara-negara tidak lagi dipilih dari pedagang dan menjadi utusan resmi dari negara-negara untuk melaksanakan fungsi diplomatik melindungi perdagangan internasional yang diberikan kekebalan dan keistimewaan.

Pada abad ketujuhbelas mulai dirasakan bahwa fungsi yudisial paad konsul berkenaan dengan hukum pidana dan perdata tidak sesuai, disaat bersamaan terjadi peningkatan misi-misi diplomatik sehingga pembukaan konsuler menurun. Seiring dengan hubungan perniagaan dan peayaran pada abad kedelapan belas bangsa-bngsa Barat merasa perlu kembalinya sistem konsuler dengan perubahan fungsi konsuler, kodifikasi hukum konsuler bertujuan pada keseragaman dilakukan oleh Intitute of Internationla Law pada tahun 1896 dalam bentuk Draft Code mengenai kekebalan Konsul yang dibahas pada tahun 1925 oleh American Institute of International Law ke Pemerintah Republik Pan Amerika, pada tahun 1928 Harvard Law School membahas draft Konvensi Multilateral di Havana yang terdiri dari duapuluh lima pasal berkaitan dengan hubungan dan kekebalan konsuler.

Pada Masa PBB Komisi Hukum Internasional pada 1955 melakukan studi mengenai materi-materi Konsuler dan rekomendasi tersebut hampir semuanya dicantumkan sebagai bagian dalam Konvensi Wina 1963 pada Bagian mengenai Hubungan Konsuler, namun dalam hal terdapat hal yang belum diatur terkait Hubungan Konsuler maka dinyatakan ketentuan Hukum Kebiasaan Internasional yang akan mengatur.

Persamaan dan Perbedaan antara Hubungan Konsuler dan Hubungan diplomatik akan kami bahas pada bagian-bagian berikut ini dan keseluruhannya dikemukakan berdasarkan Buku Materi Pokok, yang kami sajikan sebagai berikut :

Demikian yang dapat kami sampaikan terkait perbedaan dan kesamaan antara Perwakilan Diplomat dan Perwakilan Konsuler.

Referensi :

Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

 

 

Exit mobile version