Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Seri Hukum Internasional #2 : Proses Penyusunan dan Pengesahan Perjanjian Internasional

hukum internasional

hukum internasional

Pendahuluan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional semakin kompleks pengertiannya.

Perjanjian Internasional

  1. Pengertian Hukum Internasional sebagaimana dicantumkan dalam Buku Materi Pokok Hukum Internasional (BMP HKUM 4206) memiliki beberapa istilah yang dipakai, salah satunya adalah sebagaimana digunakan oleh J.L Brierly ‘as the body of rules and principles of action which are binding upon civilized states to their relations with one another’ yang kami coba terjemahkan sebagai seperangkat peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip bertindak yang mengikat negara-negara beradab dalam berhubungan antar negara beradab satu sama lain, pendapat J.L Brierly ini di dalam BMP HKUM 4206 disadur dari literatur : L. Brierly, The Law of Nations, fifth edition Oxford at the Clanderon Press, 1995, page 1.
  2. Mocthar Kusumaatmadja bersama dengan Etty R, Agoes dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional sebagaimana di kutip dalam BMP HKUM 4206 halaman 1.5 menyebutkan :

“Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa dalam perumusan tersebut yang dimaksudkan adalah hukum internasional publik”

  1. Untuk memahami konteks dari pengertian Hukum Internasional di butir nomor 2 diatas, maka dalam Jurnal Kedudukan dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954 tentang Perlindungan Obyek Budaya Dalam Sengketa Bersenjata Terhadap Pihak-Pihak Yang Bersengketa (Amerika Serikat-Irak) Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional oleh Hilda, dikemukakan bahwa “dari batasan pengertian tersebut maka jelas bahwa untuk dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat Internasional. Pertama-tama yang termasuk didalamnya perjanjian antar negara-negara.”
  2. Dalam hal ini berdasarkan uraian nomor 1, 2, dan 3 Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber hukum dalam Hukum Internasional sebagaimana dikemukakan dalam materi inisiasi 2 dari DR. Anang Setyawan, kedudukan Perjanjian Internasional atau Treaty atau Traktat merupakan salah satu Sumber Hukum Internasional, Sumber Internasional sebagaimana dalam materi inisiasi dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu :
    • Sumber Hukum Internasional berdasarkan Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional, terdiri atas :
      1. International Conventions
      2. International Costumary
      3. General principle of law recognized by civilized nations
      4. Yurisprudensi & Writing Publicist
  1. Lebih lanjur dari materi DR. Anang Setyawan menjelaskan definisi Perjanjian Internasional sebagaimana dikemukakan oleh Hilda sebagai Perjanjian antar negara-negara adalah mengutip pendapat para ahli :
    1. Kusumaatmaja : “adalah  suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bertujuan utk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”
    2. Oppenheim dan Lauterpacht : “adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak”
    3. Pasal 2 Konvensi Wina : “An international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation

Bagaimana Proses Penyusunan Perjanjian Internasional sebagai salah satu Hukum Internasional?

  1. Dalam hal mempelajari dan membuat bagan proses penyusunan dan pengesahan Perjanjian Internasional, maka secara Konkrit sebagai salah satu Sumber Hukum Internasional, maka terlebih dahulu dicari jurnal yang mempelajari tentang Perjanjian Internasional, dalam hal ini Jurnal Hilda yang mempelajari Kedudukan dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954 tentang Perlindungan Obyek Budaya Dalam Sengketa Bersenjata Terhadap Pihak-Pihak Yang Bersengketa (Amerika Serikat-Irak) Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional digunakan untuk mempelajari proses pembentukannya, hal ini dipandang relevan karena dalam memepelajari kedudukan dan daya mengikat konvensi Denhaag 1954 digunakan perspektif Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dipandang sebagai salah satu definisi yang digunakan DR Anang. Selain itu penelitian dalam Jurnal yang ditulis Hilda ini menjadi menarik karena terdapat salah satu pihak yang bersengketa yang memiliki status tidak terikat dengan salah satu instrumen Hukum yang mendasari Perjanjian Internasional tersebut, hal ini tentu saja berpengaruh dengan pelaksanaan dari Perjanjian Internasional itu sendiri yang menurut Mochtar Kusumaatmadja mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
  2. Studi Kasus :
  3. Dalam hal mempelajari dan membuat bagan proses penyusunan dan pengesahan Perjanjian Internasional, maka secara Konkrit sebagai salah satu Sumber Hukum Internasional, maka terlebih dahulu dicari jurnal yang mempelajari tentang Perjanjian Internasional, dalam hal ini Jurnal Hilda yang mempelajari Kedudukan dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954 tentang Perlindungan Obyek Budaya Dalam Sengketa Bersenjata Terhadap Pihak-Pihak Yang Bersengketa (Amerika Serikat-Irak) Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional digunakan untuk mempelajari proses pembentukannya, hal ini dipandang relevan karena dalam memepelajari kedudukan dan daya mengikat konvensi Denhaag 1954 digunakan perspektif Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dipandang sebagai salah satu definisi yang digunakan DR Anang. Selain itu penelitian dalam Jurnal yang ditulis Hilda ini menjadi menarik karena terdapat salah satu pihak yang bersengketa yang memiliki status tidak terikat dengan salah satu instrumen Hukum yang mendasari Perjanjian Internasional tersebut, hal ini tentu saja berpengaruh dengan pelaksanaan dari Perjanjian Internasional itu sendiri yang menurut Mochtar Kusumaatmadja mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.

Aturan internasional yang melindungi objek budaya dari kerusakan dan pencurian merujuk pada perang sipil Amerika yang menghasilkan Kitab Lieber pada tahun 1863, lebih lanjut Hilda mengemukakan telah cukup banyak pengaturan hukum tentang perang yang merumuskan beberapa ketentuan mengenai perlindungan benda budaya di waktu perang atau pendudukan militer, diantaranya :

    1. Pasal 27 regulation annexed Konvensi III DenHaag 1899 tentang hukum dan kebiasaan perang didarat;
    2. pasal 56 Konvensi IV DenHaag 1907 tentang hukum dan kebiasan perang di darat; dan
    3. pasal 5 Konvensi IX DenHaag 1907 tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang

Namun ketentuan tersebut dianggap tidak memadai lagi seiring dengan terjadinya sengketa bersenjata internasional yang berulang dan disertai dengan adanya pengembangan teknik peperangan yang dapat meningkatkan kehancuran obyek-obyek benda budaya tersebut maka masyarakat Internasional yang diwakili 56 Negara sepakat untuk merumuskan dan membentuk konvensi baru tentang perlindungan benda budaya di situasi sengketa bersenjata yang kemudian dikenal dengan Konvensi Den Haag 1954.

Hilda menyadur fakta dari Kompas.com bahwa sejak invasi Amerika serikat ke Irak pada tahun 2003, Irak banyak mengalami kerusakan seni dan budaya akibat perang. Gedung-gedung perpustakaan tercatat sebagai bangunan yang mengalami kerusakan berat. Menurut laporan UNESCO, arsip dan perpustakaan nasional Irak telah mengalami banyak sekali kerusakan. Bahkan, gedung arsip dan perpustakaan Nasional di ibukota Bagdad, yang berjarak 500 meter dari museum nasional Irak telah hangus terbakar, 30% dari 1,5 juta buku menjadi abu, ratusan koleksi kitab kunonya telah hilang dan berbagai naskah bersejarah hangus terbakar kena hantaman rudal. Bahkan kondisi kuil peninggalan peradaban Sumeria, abad ke-20 SM, yakni Kuil Ziggurat yang terletak di kota Ur, yang sudah berusia 4000 tahun mengalami kerusakan parah, akibat pecahan bom yang dijatuhkan pesawat Amerika, merusak dinding dan bagian atas kuil tersebut. Sejak invasi Amerika serikat ke Irak pada tahun 2003, Irak banyak mengalami kerusakan seni dan budaya akibat perang. Gedung-gedung perpustakaan tercatat sebagai bangunan yang mengalami kerusakan berat. Menurut laporan UNESCO, arsip dan perpustakaan nasional Irak telah mengalami banyak sekali kerusakan. Bahkan, gedung arsip dan perpustakaan Nasional di ibukota Bagdad, yang berjarak 500 meter dari museum nasional Irak telah hangus terbakar, 30% dari 1,5 juta buku menjadi abu, ratusan koleksi kitab kunonya telah hilang dan berbagai naskah bersejarah hangus terbakar kena hantaman rudal. Bahkan kondisi kuil peninggalan peradaban Sumeria, abad ke-20 SM, yakni Kuil Ziggurat yang terletak di kota Ur, yang sudah berusia 4000 tahun mengalami kerusakan parah, akibat pecahan bom yang dijatuhkan pesawat Amerika, merusak dinding dan bagian atas kuil tersebut. Selanjutnya Hilda mengutip voanews terkait tanggapan dari Donald Rumsfeld, menteri pertahanan Amerika Serikat mengemukakan, Komando pusat Amerika mengakui memang terjadi kekosongan dalam penjagaan keamanan di Bagdad, sehingga penjarahan pada museum-museum tidak terelakkan untuk terjadi. Pernyataan ini mengindikasikan  bahwa Pentagon sama sekali  tidak menyiapkan rencana pengamanan benda purbakala dan anggota pasukan Amerika yang bertugas di pelbagai kota di Irak membiarkan aksi-aksi penjarahan museum berlangsung.  Tindakan-tindakan Amerika Serikat ini dipandang telah melanggar Konvensi DenHaag 1954 tentang perlindungan obyek-obyek budaya di situasi sengketa bersenjata. Sebagai reaksi atas pandangan ini, tampak dari respon tim arkeolog Irak dan tim Arkeolog Amerika Serikat yang sepakat meminta Amerika Serikat, Inggris dan semua negara yang terlibat dalam peperangan tersebut untuk mentaati Konvensi DenHaag 1954 ini. Disisi lain Hilda menyampaikan bahwa  saat sengketa bersenjata terjadi, Amerika serikat belum meratifikasi Konvensi DenHaag 1954 dan hanya menandatangani konvensi tersebut dibawah otorisasi UNESCO pada 14 Mei 1954 Sedangkan Irak telah menandatangani Konvensi DenHaag 1954 ini pada 14 Mei 1954 dan telah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember 1967. Kondisi ini, tentu saja mempengaruhi kepatuhan Amerika Serikat terhadap ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dengan alasan bukan sebagai pihak yang  terikat oleh konvensi tersebut. Pengelakan yang dilakukan oleh Amerika serikat memungkinkan dilakukannya  pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan konvensi tersebut tanpa rasa tanggung jawab, sehingga sulit untuk mewujudkan implementasi isi perjanjian tersebut secara efektif.

Analisis :

  1. Hilda memperjelas terkait Persetujuan (treaty) / traktat merupakan istilah yang paling banyak digunakan dalam konteks persetujuan/perjanjian internasional (international agreement), tetapi terdapat pula beberapa macam istilah atau sebutan yang biasanya dan kadang-kadang digunakan untuk menyatakan konsep yang sama, seperti protokol (protocol), act,piagam (charter), kovenan (covenant), pakta (pact) dan concordat.
  2. Pasal 2 Konvensi Wina mendefinisikan treaty sebagai berikut : ““treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
  3. Berdasarkan definisi diatas maka Konvensi Denhaag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya di siuatu sengketa bersenjata merupakan suatu perjanjian internasional yang bersifat lebih dari satu negara dan dapat dikategorikan sebagai sebuah treaty / perjanjian Internasional karena pada Pasal 2 Konvensi Wina menyebutkan perjanjian Internasional dapat dibentuk oleh dua atau lebih dari Instrumen terkait sebagaimana diuraikan dalam kalimat “whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument”, sehingga dengan demikian tahapan pembentukan Perjanjian Internasional untuk lebih dari satu negara sebagaimana disebutkan pada fakta nomor 7 diatas dapat dipelajari dan digambarkan dengan tahapan-tahapan garis besar berupa : pertama, terdapat isu yang menjadi perhatian bersama lebih dari dua negara, beberapa negara tersebut merumuskan konvensi, rumusan konvensi tersebut dibentuk sebagai konvensi baru.
  4. Pembentukan Konvensi baru kemudian biasanya ditindaklanjuti oleh negara yang telah menandatangani konvensi tersebut dengan meratifikasi di negara nya masing-masing sebagaimana contoh yang disampaikan pada fakta nomor 8. Lebih lanjut lagi disampaikan oleh Hilda bahwa Konvensi Denhaag 1954 dibentuk bersama oleh 56 negara saat pembentukannya ditandatangani 26 negara (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 Konvensi ini bahwa terdapat 30 Negara yang tidak menandatangani) yang kemudian hingga tulisan Hilda tersebut dibuat disampaikan bahwa telah ada 95 negara yang meratifikasi di negaranya masing-masing, dalam hal ini proses ratifikasi bukan menjadi bagian dari pembuatan treaty, karena dari jumlah yang meratifikasi lebih banyak dari jumlah negara yang membentuk Konvensi Denhaag 1954 menjadikan treaty sebagai sumber hukum bagi negara yang tidak hanya berlaku ketika menyetujui dalam Konvensi pembentukannya saja, namun juga dapat berlaku bagi negara yang belakangan menyetujui dan memberlakukan nya sebagai Hukum di negaranya walau tidak terlibat dalam pembentukannya dalam hal ini ratifikasi bagi negara yang tidak terlibat dalam pembentukannya disebut sebagai Aksesi, sehingga yang diperlukan untuk mengesahkan sebuah Konvensi sebagaimana disebutkan dalam Fakta 8 diatas adalah berdasarkan pada ketentuan pengesahan yang disepakat dan dalam pengesahannya dilakukan bersama Instrument-instrumen terkait dibawah Otoritas lembaga internasional tertentu. Dengan demikian Konvensi Denhaag 1954 merupakan perjanjian internasional dan dalam hal ini berdasarkan proses pembentukannya sebagai konvensi yang mana dokumen sebelum disahkan sebagai persetujuan dapat digambarkan dalam bagan sederhana sebagai berikut berdasarkan butir analisa 3:

Penjelasan

  1. Terkait dengan ratifikasi ternyata lebih lanjut Hilda menyampaikan bahwa berdasarkan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi “the consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed”, sehingga pada proses persetujuan dari sebuah perjanjian internasional dapat dilakukan dengan :
    1. Consent by Signature : bahwa bila dalam sebuah konvensi perjanjian yang dibentuk dinyatakan oleh para peserta berlaku setelah ditanda-tangani maka tidak perlu dilakukan ratifkasi sebagai bentuk persetujuan, dalam konvensi Wina1969 ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 yang berbunyi “where the treaty provides that signature shall have that effect, or where it is otherwise established that the negotiating states were agreed that signature should have that effect, or where the intention of the state to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiations
    2. Consent by exchange instruments : Perjanjian dibuat dengan korespondensi menggunakan instrumen surat menyurat atau pengiriman instrumen sebagaimana disepakati oleh tiap-tiap pihak.
    3. Consent by Ratification : merupakan bentuk yang lebih populer dalam perjanjian unilateral Internasional dimana persetujuan dalam konvensi dilakukan dan dilanjutkan dengan aktifitas administrasi lainnya di dalam negeri setelah konvensi dilakukan, dalam hal ini berkaitan dengan sistem demokratis parlementer dalam sebuah negara dimana ratifikasi digunakan untuk memastikan sebuah perjanjian Internasional yang biasanya dalam penyusunannya diwakilkan oleh perwakilannya harus dipastikan terlebih dahulu bahwa perwakilannya tersebut tidak melakukan hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum sebuah negara, sehingga selepas konvensi atas persetujuan parlemen maka ratifikasi dilakukan, dalam hal ini sebuah perjanjian internasional yang menyepakati pengesahan dengan ratifikasi merupakan perjanjian yang bersifat sementara dan masih harus disahkan dengan ratifikasi.

Consent by accession : Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Konvensi Wina menyebutkan bahwa “the consent of a State to be bound by a treaty is expressed by accession when: (1). the treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession; (2). it is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be; (3). all the parties have subsequently agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession.” Dalam hal ini negara yang tidak terlibat dalam pelaksanaan pembentukan sebuah perjanjian namun ingin turut serta memberlakukan perjanjian Internasional atas sebuah Konsensi dinyatakan sebagai Aksesi, adapun Hilda menyampaikan lebih lanjut bahwa Aksesi tidak berarti berlaku apabila sebuah perjanjian mempersyaratkan ratifikasi, sehingga bila sebuah perjanjian Internasional akan diberlakukan disebuah negara secara Aksesi, maka Aksesi tersebut ditindaklanjuti dengan Ratifikasi.

  1. Dalam kasus Konvensi Denhaag 1954 disebutkan bahwa pengesahan dilakukan dengan menggunakan Consent By Ratification dan membuka peluang consent by accession.
  2. Relevansi kedudukan Amerika Serikat adalah hal yang menjadi fokus dari penelitian Hilda, dan kesimpulannya tidaklah relevan untuk menjawab diskusi ini, adapun untuk menjawab diskusi ini maka dengan mengembangkan bagan sementara sebagaimana Analisis ke-4 dan butir-butir analisis lanjutannnya dapat disimpulkan tahapan dari pembentukan perjanjian Internasional adalah sebagai berikut :
    1. Terdapat isu yang menjadi perhatian bersama Internasional
    2. Negara-negara mengirimkan perwakilan sesuai dengan sistem nya masing-masing untuk membahas isu tersebut
  1. Membentuk Perjanjian Intenasional Baru berdasarkan Rumusan yang akan disepakati
  2. Menentukan metode Pengesahan Perjanjian Internasional yang akan disepakati dalam Perjanjian Internasional sebagai klausul yang termaktub di dalamnya
  3. Masing-masing negara menindaklanjuti Pengesahan Perjanjian Internasional

Tahapan diatas bila digambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut :

bagan lanjutan

Lebih detil silakan unduh :

1.Bagan dan Penjelasan Terintegrasi

2. Bagan dan Penjelasan Terintegrasi

Kesimpulan

 

  1. Menjelaskan pengertian hukum internasional

Bahwa pengertian hukum internasional menurut para ahli dapat di rangkum secara sederhana sebagai kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan (isu) bersama antar negara beradab dalam berhubungan antar satu sama lainnya.

  1. Menjelaskan perbedaan hukum perdata internasional dengan hukum internasional publik

Lebih lanjut lagi sebagaimana dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja bahwa dalam kaitannya sebagai keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara Antarnegara dengan negara dan/atau Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek bukan negara satu sama lain sebagai Hukum Internasional adalah dalam Cakupan Hukum Publik (bukan Perdata) dalam hal ini Hukum Internasional di rujuk kepada Hukum Internasional Publik.

  1. Menjelaskan sifat dan hakikat hukum internasional

Sifat dan Hakikat dari Hukum Internasional tetap mengedepankan persetujuan antar negara beradab dalam pengesahannya, dalam Konvensi Wina pengesahan ini diatur dengan menggunakan consent by signature, consent by exchange instruments, consent by ratification, dan conssent by accession, dalam hal ini sifat pemberlakuannya sebagaimana perikatan dari sebuah perjanjian berlaku mengikat sebagaimana kesepakatan yang disetujui, proses pembentukan dari Perjanjian Internasional telah dijelaskan dalam bentuk bagan sebagaimana telah digambarkan.

  1. Menjelaskan perkembangan hukum internasional

Perkembangan hukum Internasional khususnya Hukum Internasional Publik merupakan hukum yang pelaksanaannya dinamis, dan pelaksanaannya memberikan peluang bangsa-bangsa beradab untuk menerapkannya, sebuah Konvensi seperti Konvensi Denhaag 1954 membuka peluang aksesi untuk meratifikasi pemberlakuannya, dalam hal ini perkembangan konvensi Denhaag 1954  yang diangkat sebagai contoh dimana 26 negara yang menyepakati bersama secara sementara saat pembentukannya dan berdasarkan apa yang disebutkan Hilda saat penulisan jurnalnya terdapat 95 negara yang melakukan ratifikasi, hal ini menunjukan bahwa Hukum Internasional dalam perkembangannya bergerak dinamis terlepas dari sumber hukumnya yang dibentuk puluhan tahun lalu dalam hal ini berkaitan dengan konteks pengesahan diakuinya sebuah Perjanjian Internasional.

 

 

Daftar Referensi

Referensi Utama

  1. Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  2. Materi Inisiasi dari Dr. Anang Setyawan, Sesi 2 Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

 

Referensi Mandiri :

Hilda. 2013. Kedudukan dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954 tentang Perlindungan Obyek Budaya Dalam Sengketa Bersenjata Terhadap Pihak-Pihak Yang Bersengketa (Amerika Serikat-Irak) Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Palu: Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.

 

Exit mobile version