Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Seri Hukum Internasional #14 : Yuridiksi International Court of Justice (ICJ) / Mahkamah Internasional (Terakhir)

hukum internasional

hukum internasional

Mahkamah Internasional atau dikenal dengan the International Court of Justice (ICJ) merupakan salah satu lembaga dalam hukum Internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan negara. Mahkamah internasional merupakan organ utama lembaga kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti Mahkamah Permanen. Fungsi utama mahkamah internasional ialah untuk menjelaskan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara. ICJ merupakan salah satu dari enam organ utama PBB. Namun badan ini memilki kedudukan khusus dibandingkan lima organ utama lainnya.

ICJ atau mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkis dengan badan-badan utama PBB lainnya. Institusi ini benar-benar lembaga hukum sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitusi (constitutional court) yang memiliki kewenangan untuk meninjau putusan-putusan politis yang dibuat oleh dewan keamanan. Ia menggunakan nama resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam putusannya. Dalam Pasal 92 Piagam PBB dinyatakan dengan tegas bahwa Statuta ICJ merupakan pengalihan dari Statuta PCIJ (Permanent Court of International Justice), dan status ICJ adalah sebagai badan peradilan utama PBB sehingga Statuta ICJ ini merupakan bagian integral dari piagam PBB, di mana Statuta ICJ bertujuan agar semakin banyak negara menjadi peserta atau anggotanya. Untuk itu, statuta berupaya agar tidak ada suatu atau sekelompok negara memiliki kedudukan yang lebih penting daripada negara lainnya. Berkaitan dengan topik diskusi yang diangkat adalah mengenai yuridiksi, maka akan dibahas lebih lanjut mengenai yurdidiksi ICJ.

Sengketa antara negara dengan negara terjadi karena adanya tuntutan-tuntutan dan tuntutan balik mengenai suatu fakta, hukum, dan kebijakan sebagai bagian yang tidak dapat dihindari dalam hubungan internasional, dan sering kali mengarah pada penyelesaian dengan kekerasan bersenjata. Namun, penyelesaian sengketa secara damai memiliki tempat utama dalam hukum internasional dan dalam hubungan internasional. Metode penyelesaian sengketa internasional sudah dimasukkan dalam beberapa instrumen hukum, dan telah dipergunakan sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa internasional. Teknik-teknik penyelesaian sengketa dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa internasional memiliki mekanisme kerja sendiri-sendiri, seperti dalam ‘negosiasi’ tidak sama dengan ‘mediasi’ yang melibatkan pihak ketiga bisa negara, bisa organisasi internasional atau organisasi regional. Demikian juga dengan penyelesaian sengketa melalui ‘penyelidikan’ (inquiry) dan dalam ‘konsiliasi’ (conciliation), mempunyai bentuk dan prosedur yang tidak sama. Penyelesaian sengketa antarnegara juga dapat dilakukan melalui jalur hukum dengan menyerahkan kasus untuk diselesaikan oleh lembaga arbitrase atau penyelesaian melalui hukum (adjudication), dengan menyerahkan kasusnya kepada Mahkamah Internasional. Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, berdasarkan ketentuan Bab VII Piagam PBB, dapat melakukan langkah-langkah dalam rangka penyelesaian sengketa antar negara anggotanya. Secara hukum, terdapat banyak instrumen internasional yang menyatakan bahwa sengketa internasional harus diselesaikan dengan cara damai, daripada menggunakan cara kekerasan. Merupakan pertanyaan apakah menggunakan cara kekerasan dalam rangka intervensi kemanusiaan, seperti yang dilakukan NATO atas Kosovo pada tahun 2010 dan atas Libia pada tahun 2011, sesuai dengan prinsip penyelesaian sengketa secara damai.

Prinsip mengenai larangan penggunaan kekerasan terdapat dalam ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 2 Ayat 4 Piagam, bahwa semua anggota PBB harus menahan diri dalam hubungan di antara mereka dari penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB ditujukan untuk konflik antarnegara, meskipun kenyataannya pasal ini tidak mampu mencegah terjadinya 100 lebih sengketa-sengketa internasional sejak tahun 1945 dan yang mengakibatkan lebih dari dua puluh ribu jiwa melayang. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB merupakan instrumen dasar yang melarang menggunakan kekerasan oleh negara-negara.

Larangan tegas untuk menggunakan kekerasan dalam Pasal 2 Ayat (4) telah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, dan bahkan merupakan ius cogens karena telah diakui oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua. Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Piagam adalah sejalan dengan Mukadimah Piagam PBB yang dimulai dengan kata-kata : “We the people of the United Nations determined to save succeeding generations from the scourge of war’ yang artinya bahwa kami bangsa dalam PBB menetapkan untuk menyelamatkan generasi-generasi berikut dari bencana perang. Kemudian juga dengan tujuan dari PBB yang tercantum dalam Pasal 1, yaitu untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan untuk maksud tersebut, mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif guna mencegah dan meniadakan ancaman terhadap perdamaian, dan pemberantasan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya.

Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai hanya dalam hal terjadi sengketa internasional, sepanjang mengenai konflik nasional dalam wilayah suatu negara, belum ada ketentuan hukum internasional yang mewajibkan penyelesaian sengketa nasional secara damai. Jadi, negara dapat menggunakan cara kekerasan terhadap warganya dan dalam wilayahnya, dengan memperhatikan ketentuan hukum tentang hak asasi manusia, dan resolusi-resolusi dari Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian, apa kewajiban hukum bagi negara-negara dalam menyelesaikan sengketa internasional, bilamana mereka dilarang menggunakan kekerasan. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memuat Prinsip mengenai larangan penggunaan kekerasan terdapat dalam ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 2 Ayat 4 Piagam, bahwa semua anggota PBB harus menahan diri dalam hubungan di antara mereka dari penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB ditujukan untuk konflik antarnegara, meskipun kenyataannya pasal ini tidak mampu mencegah terjadinya 100 lebih sengketa-sengketa internasional sejak tahun 1945 dan yang mengakibatkan lebih dari dua puluh ribu jiwa melayang. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB merupakan instrumen dasar yang melarang menggunakan kekerasan oleh negara-negara. Larangan tegas untuk menggunakan kekerasan dalam Pasal 2 Ayat (4) telah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, dan bahkan merupakan ius cogens karena telah diakui oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua.

Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Piagam adalah sejalan dengan Mukadimah Piagam PBB yang dimulai dengan kata-kata : “We the people of the United Nations determined to save succeeding generations from the scourge of war’ yang artinya bahwa kami bangsa dalam PBB menetapkan untuk menyelamatkan generasi-generasi berikut dari bencana perang. Kemudian juga dengan tujuan dari PBB yang tercantum dalam Pasal 1, yaitu untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan untuk maksud tersebut, mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif guna mencegah dan meniadakan ancaman terhadap perdamaian, dan pemberantasan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya.

Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai hanya dalam hal terjadi sengketa internasional, sepanjang mengenai konflik nasional dalam wilayah suatu negara, belum ada ketentuan hukum internasional yang mewajibkan penyelesaian sengketa nasional secara damai. Jadi, negara dapat menggunakan cara kekerasan terhadap warganya dan dalam wilayahnya, dengan memperhatikan ketentuan hukum tentang hak asasi manusia, dan resolusi-resolusi dari Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian, apa kewajiban hukum bagi negara-negara dalam menyelesaikan sengketa internasional, bilamana mereka dilarang menggunakan kekerasan. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memuat ketentuan bahwa semua anggota PBB maupun bukan anggota mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan setiap sengketa internasional dengan secara damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (3) PBB.

Mahkamah Internasional dalam pelaksanaan tugasnya untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa internasional dengan secara damai memiliki fungsi-fungsi yang diatur dalam statuta ICJ terbagi dalam 4 bab, yaitu Organization of the Court (Komposisi Mahkmah, Pasal 2-33), Competence of the Court (Yurisdiksi Mahkamah, Pasal 34-38), Procedure (Hukum Acara, Pasal 39-64), Advisory opinion (Pendapat Hukum Mahkamah, Pasal 65-68), dan Amendments (Perubahan, Pasal 69-70). memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa/perkara internasional secara yudisial. Komposisi mahkamah terdiri dari 15 orang hakim dengan masa jabatan 9 tahun. Dipilih oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Kemananan PBB (5 anggota dari negara anggota tetap Dewan Kemananan PBB), dalam Mahkamah Internasional juga memiliki fungsi konsultatif yang disebut advisory opinion.

Statuta Mahkamah Internasional dalam Pasal 34(1) menetapkan bahwa ‘only states may be parties in cases before the Court’ yang artinya, hanya negara yang boleh menjadi pihak-pihak dalam perkara-perkara di Mahkamah. Untuk itu, perlu diketahui bahwa negara-negara yang boleh mengajukan perkaranya ke hadapan Mahkamah Internasional diatur sebagai berikut:

  1. Mahkamah Internasional terbuka bagi negara-negara pihak pada Statuta sesuai ketentuan Pasal 35 (1) Statuta. Sedangkan yang menjadi pihak pada Statuta sesuai isi Pasal 93 Piagam PBB adalah semua anggota PBB yang dengan sendirinya (ipso facto) merupakan pihak pada Statuta.
  2. Sesuai isi Pasal 93 (2) Piagam PBB, Negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Internasional dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan. Sebagai contoh Negara Swiss yang merupakan Negara bukan anggota PBB pertama yang meminta untuk menjadi pihak dalam Statuta Mahkamah yang kemudian Majelis Umum PBB menyetujuinya dengan Resolusi 91(1) yang menetapkan syarat-syarat:

Pertama: Harus menerima isi Statuta MI; membayar sejumlah biaya sebagaimana ditetapkan dalam Resolusi Dewan Keamanan 15 Oktober 1946; menerima yurisdiksi ICJ berdasarkan Piagam PBB dengan subyek dan syarat yang ditentukan dalam Statuta dan Aturan (rules) MI.

Kedua: Harus menerima kewajiban sesuai Pasal 94 Piagam PBB, yaitu menaati keputusan Mahkamah Internasional dan jika tidak, Dewan Keamanan akan mengambil langkah-langkah agar menaati keputusan tersebut.

Ketiga: Membantu pembiayaan Mahkamah yang akan ditetapkan oleh Majelis Umum PBB.

Mahkamah terbuka bagi negara-negara lain bukan pihak pada Statuta sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus yang tertera dalam perjanjian-perjanjian yang telah berlaku, ditetapkan oleh Dewan Keamanan, tetapi syarat-syarat itu tidak berlaku apabila akan menempatkan pihak-pihak dalam suatu kedudukan yang tidak sejajar di muka Mahkamah (Pasal 35(2) Statuta MI). Berdasarkan ketentuan Pasal 35(2), syarat-syarat yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan yang harus dipenuhi oleh Negara bukan pihak pada Statuta sudah diputuskan dengan Resolusi Dewan Keamanan 9 (1946), dengan terlebih dahulu menyerahkan sebuah deklarasi (baik umum maupun khusus) kepada registrar, yang menyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah dan bersedia melaksanakan keputusan atau keputusan-keputusan Mahkamah dengan itikad baik, dalam pelaksanaan tugasnya Mahkamah Internasional memiliki kewenangan atau yang dikenal dengan Yuridiksi.

Yurisdiksi contentious berdasarkan pada ketentuan Pasal 36 (1) Statuta Mahkamah menetapkan bahwa “the jurisdiction of the Court comprises all cases which the parties refer to it and all maters specially provided in the Charter of the United Nations or in treaties and conventions in force”, yang dapat diartikan bahwa, yurisdiksi Mahkamah meliputi semua masalah yang diajukan oleh negara-negara kepada Mahkamah, dan semua hal yang ditentukan di dalam Piagam PBB, atau dalam perjanjian-perjanjian internasional dan konvensi-konvensi. Kewenangan Mahkamah Internasional untuk memutuskan sengketa yang diatur dalam Statuta Mahkamah Internasional, dikenal sebagai kewenangan contentious Mahkamah.

Pembatasan yang penting bahwa hanya Negara yang dapat mengajukan perkaranya ke hadapan Mahkamah Internasional. Yurisdiksi contentious dari Mahkamah tergantung pada kehendak (consent) para pihak. Kehendak para pihak untuk mengajukan perkaranya ke hadapan Mahkamah dilakukan dengan berbagai cara sesuai Pasal 36 (1) Statuta Mahkamah Internasional, bahwa kedua pihak (parties) harus sepakat menyerahkan perkara mereka ke Mahkamah (voluntary jurisdiction). Negara-negara dapat menyatakan mengikatkan diri untuk menerima yurisdiksi Mahkamah sebelum terjadi sengketa, yang dapat disimpulkan dari kalimat “the jurisdiction of the Court all matters specially provided for in treaties” Pasal 36(1) dan tersirat juga dalam Pasal 37 Statuta Mahkamah. Banyak perjanjian internasional yang mencantumkan dalam salah satu pasalnya, bahwa jika timbul perbedaan pendapat mengenai penafsiran atau penerapan perjanjian, salah satu pihak dapat menyerahkan kepada Mahkamah Internasional, apabila cara damai lainnya tidak berhasil. Misalnya, Pasal 16 International Convention against the Taking of Hostages memuat ketentuan “1. Any disputes between two or more State Parties concerning the interpretation or aplication of this Convention may refer the dispute to the International Court of Justice …”. Mahkamah mempunyai yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction).

Negara-negara dapat menandatangani sebuah perjanjian internasional yang menyatakan menerima yurisdiksi wajib (compulsoty yurisdiction) dari Mahkamah. Merrills menyatakan cara menyerahkan sengketa pada yurisdiksi Mahkamah Internasional tersebut, ialah melalui deklarasi berdasarkan Pasal 36(2) Statuta MI, yang dikenal dengan ‘optional clause’ (klausul opsional).56 Klausul opsional ini menentukan, bahwa Negara-negara pihak pada Statuta ini setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka mengakui ipso facto dan tanpa persetujuan khusus, dalam hubungannya dengan sesuatu negara lain yang menerima kewajiban yang sama, oleh yurisdiksi Mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai:

1) penafsiran suatu perjanjian;

2) setiap persoalan hukum internasional;

3) adanya suatu fakta yang, bila telah nyata akan menimbulkan suatu pelanggaran terhadap kewaj iban internasional;

4) sifat atau besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban internasional.

Starke berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menentukan apakah suatu sengketa tertentu termasuk dalam jenis sengketa yang disebut dalam ‘Klausul Opsional’, sesuai ketentuan Pasal 36 Ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional yang menentukan apabila Mahkamah mempunyai yurisdiksi mengenai suatu perkara, maka harus diselesaikan oleh Mahkamah.” Berdasarkan Opsional Protokol ini, penyelesaian sengketa melalui hukum akan ditempuh para pihak kecuali negara pihak pada Konvensi menyepakati cara penyelesaian sengketa lainnya dalam tempo waktu yang layak.

Yuridiksi lainnya adalah kewenangan untuk memberikan Pendapat Hukum (advisory opinion),  Mahkamah Internasional juga mempunyai kewenangan untuk memberi pendapat hukum (advisory opinion). Berdasarkan Pasal 96 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ditentukan bahwa: 1) majelis umum dan dewan keamanan dapat meminta kepada Mahkamah Internasional pendapat hukum untuk suatu persoalan hukum; 2) badan-badan lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Badan-badan khusus, yang sewaktu-waktu dapat dikuasakan oleh Majelis Umum, juga dapat meminta pendapat berupa nasihat dari Mahkamah mengenai soal-soal hukum yang timbul dalam lingkup kegiatan-kegiatan mereka.

Yurisdiksi pendapat hukum tidak terbuka untuk negara-negara. Hanya Majelis Umum, Dewan Keamanan, ECOSOC dan semua badan-badan khusus PBB yang dapat meminta pendapat hukum kepada Mahkamah Internasional. Bilamana Majelis Umum, atau Dewan Keamanan, atau badan-badan khusus PBB meminta pendapat hukum kepada Mahkamah Internasional, maka berdasarkan Bab IV Statuta Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional … may give an advisory opinion on any legal question at the request of whatever body, artinya bahwa Mahkamah Internasional dapat memberi pendapat hukum tentang persoalan hukum atas permintaan dari badan apapun, sesuai dengan Pasal 96 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hanya pendapat hukum (advisory opinion) yang dapat dimintakan kepada Mahkamah Internasional.

Starke menyatakan, bahwa advisory opinion Mahkamah tidak mengikat dalam putusan perkara kontentius, bahkan bagi organisasi atau organ yang memintanya, walaupun tentu saja organisasi atau organ tersebut dapat memilih memperlakukannya sebagai bersifat putusan paksaan. Akehurst menyatakan, bahwa pendapat hukum (advisory opinion) Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Keputusan Mahkamah (judgments) dalam perkara contentious. Namun, memiliki nilai politis dan dalam banyak hal ditaati. Beberapa pendapat hukum dari Mahkamah Internasional bahkan telah memberi warna dalam perkembangan hukum internasional, antara lain dalam kasus reparation of injuries yang diderita oleh seseorang saat menjalankan tugas sebagai utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kasus reparation of injuries ini timbul berhubung dengan terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia di Israel saat menjalankan tugasnya sebagai anggota Komisi PBB pada tahun 1958. Majelis Umum PBB minta suatu pendapat hukum (advisory opinion) kepada Mahkamah Internasional tentang hal apakah PBB mempunyai kemampuan hukum (legal capacity) untuk mengajukan klaim ganti rugi terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggung jawab atau tidak. Dalam memberikan pendapatnya, Mahkamah Internasional menguji kedudukan (status) PBB menurut hukum internasional dan menyatakan antara lain, bahwa “in the opinion of the Court, the Organization was intended to exercise and enjoy…. Accordingly, the Court has come to the conclusion that the Organization is an international person…. What it does mean is that it is a subject of international law and capable of possessing international rights and duties, and it has capacity to maintain its rights by bringing international claims …. Dengan adanya pendapat hukum Mahkamah Internasional dalam kasus reparation of injuries tersebut, kedudukan PBB dan organisasi serupa yaitu Badan-badan khusus PBB sebagai subyek hukum internasional memperoleh suatu kepastian hukum.

Kesimpulan

Sengketa antara negara dengan negara terjadi karena adanya tuntutan-tuntutan dan tuntutan balik mengenai suatu fakta, hukum, dan kebijakan sebagai bagian yang tidak dapat dihindari dalam hubungan internasional, dan sering kali mengarah pada penyelesaian dengan kekerasan bersenjata. Namun, penyelesaian sengketa secara damai memiliki tempat utama dalam hukum internasional dan dalam hubungan internasional, Mahkamah Internasional atau dikenal dengan the International Court of Justice (ICJ) merupakan salah satu lembaga dalam hukum Internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan negara dimana yuridiksi dari MI adalah kewenangan mahkamah internasional untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian dan memberi opini yang bersifat nasihat, dimana keputusan merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding. Prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui mahkamah internasional dikenal dengan istilah adjudication, yaitu suatu teknik hukum untuk menyelesaikan persengkataan internasional dengan menyerahkan putusan kepada lembaga peradilan. Demikian telah dijelaskan kedua jenis Yuridiksi yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional (MI)/International Court of Justice (ICJ).

Daftar Pustaka

Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Wagiman, Anasthasya Saartje Mandagi. 2016. Terminologi Hukum Internasional: Panduan Lengkap bagi Mahasiswa, Praktisi, dan Penegak Hukum dalam Memahami Peristilahan hukum Internasional. Jakarta Timur:  Sinar Grafika.

Exit mobile version