Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Seri Hukum Internasional #11 : Palestina, Keanggotaan Penuh dalam PBB, dan Penjegalan Permintaan Keanggotaan Penuh Palestina oleh Anggota Dewan Keamanan PBB

hukum internasional

hukum internasional

Pendahuluan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional semakin kompleks pengertiannya.

Bacaan Pendahulu

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190116100422-120-361156/dibayangi-veto-as-palestina-tetap-ingin-jadi-anggota-pbb

Pra-Anggapan :

  1. Keinginan Palestina untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa
  2. Amerika Serikat kemungkinan besar menjegal permintaan keanggotaan penuh Palestina di PBB dengan menggunakan Hak Veto.

Pembahasan

Poin esensi artikel diatas :

  1. Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki mengatakan “kami tahu bahwa kami akan menghadapi veto AS, tapi itu tidak akan menjegal kami untuk mengajukan permintaan (keanggotaan penuh di PBB).
  2. Terkait pengajuan permintaan keanggotaan ini Menlu Palestina menuturkan Palestina akan mulai melobi 15 anggota Dewan Keamanan (DK) PBB terkait pengajuan permintaan keanggotaan dalam beberapa pekan ke depan.
  3. Usulan sebelumnya yang sama sudah pernah diajukan pada 2011 lalu namun tidak pernah dibahas oleh DK PBB
  4. Tiga tahun yang lalu perwakilan Palestina hanya berstatus sebagai pengamat di PBB dimana status ini diberikan Majelis Umum PBB.
  5. Dari total 193 negara anggota PBB saat berita diatas ini ditulis terdapat sekitar 137 negara anggota PBB yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara meski dalam beberapa konteks tertentu saja.
  6. Untuk dapat diputuskan sebagai anggota permanen PBB permintaan keanggotaan ini harus melewati DK PBB dan disetujui oleh seluruh anggota DK PBB dimana AS merupakan salah satu anggota permanen di dalamnya.
  7. Disisi lain Palestina terpilih menjadi ketua forum negara-negara berkembang PBB yang dikenal dengan Group of 77, hal ini merupakan prestasi sebagaimana pidato Presiden Palestina Mahmoud Abbas, prestasi ini semakin meningkatkan profil Palestina karena berhasil memimpin blok terbesar di PBB tersebut.
  8. Presiden Palestina menegaskan komitmennya terkait solusi dua negara sebagai jalan tengah mengakhiri konflik dengan Israel, namun sebagaimana dituduhkan oleh Presiden Palestina, Israel senantiasa menghambat setiap kemajuan dan pembangunan di Timur Tengah, “Berlanjutnya penjajahan dan pendudukan Israel atas Palestina merongrong perkembangan dan kapasitas kami untuk kerja sama, koordinasi, dan menghalangi perkembangan masa depan dari semua orang di wilayah itu,” kata Abbas seperti dikutip AFP.
  9. Kami berkomitmen untuk solusi damai yang mengakhiri pendudukan dan realisasi kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, hidup berdampingan secara damai dan aman bersama negara Israel,” ujar Abbas.

Analisa berdasarkan informasi diatas :

Sri Setianingsih dan Wahyuningsih (2014) dalam bukunya  Hukum Internasional menyebutkan bahwa pada saat ini, tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara-negara lain. Kemajuan alat transportasi memudahkan satu negara mengadakan hubungan dengan negara lain, ditambah adanya kepentingan-kepentingan yang akan lebih mudah dipenuhi bila ada hubungan dengan negara lain. Namun, suatu negara baru belum bisa mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain secara sempurna dalam berbagai bidang dengan negara lain, misalkan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sebelum negara tersebut diakui oleh negara lain. Jadi, pengakuan memberikan dampak hubungan hukum antara yang mengakui dan diakui.

Suatu negara akan mengakui negara lain didasarkan pada kepentingannya. Sebaliknya suatu negara baru tidak berarti tanpa pengakuan negara lain, negara tersebut tidak dapat berlangsung kehidupannya sebagai negara, namun negara baru tidak dilahirkan karena adanya pengakuan yang diberikan oleh negara lain. Menurut J. G. Starke dalam buku Hukum Internasional sebagaimana dikutip Sri Setianingsih dan Wahyuningsih mengatakan permasalahan sebenarnya sangat sulit. Pada perkembangan hukum internasional sampai saat ini, masalah pengakuan belum dapat dihimpun menjadi himpunan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang mempunyai batasan yang jelas, tetapi lebih dapat dikatakan sebagai praktik-praktik negara yang tidak tetap, inkonsisten dan tidak sistematik.

Menurut Starke ada dua alasan mengapa pengakuan itu merupakan masalah yang sulit dalam hukum internasional: I. Dalam praktik negara-negara maka pengakuan lebih merupakan kebijaksanaan dari pada masalah hukum. Kebijaksanaan untuk mengakui negara lain lebih didasarkan pada kepentingan negara tersebut, misalkan kepentingan untuk melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri yang berada di negara yang diakui. Kepentingan-kepentingan itu baik yang berupa kepentingan perdagangan, kepentingan ekonomi, kepentingan strategi dsb. Hasilnya pemberian pengakuan itu untuk memanfaatkan prinsip-prinsip hukum sebagai kamuflase yang baik bagi kepentingan-kepentingan politik. 2. Selanjutnya dikatakan oleh Starke bahwa ada kategori-kategori yang berbeda dalam memberikan pengakuan, misalkan kategori pengakuan terhadap negara negara baru, pengakuan terhadap kepala kepala pemerintahan baru bagi negara negara yang masih ada. Selain itu ada pengakuan terhadap pihak yang sedang berperang, pengakuan terhadap pemberontak, pengakuan terhadap perubahan teritorial suatu negara, dan yang tak boleh dilupakan adanya pengakuan de jure dan de facto terhadap negara baru atau pemerintahan baru.

Pengakuan dalam masyarakat internasional diatas tentunya erat dengan kaitannya pada masalah keanggotaan dalam suatu organisasi Internasional. Masalah keanggotaan merupakan masalah yang penting bagi suatu organisasi internasional. Setiap anggaran dasar dari suatu organisasi internasional tentu memuat masalah keanggotaan. Masalah keanggotaan merupakan masalah yang penting dalam organisasi internasional. Masalah keanggotaan dalam suatu organisasi internasional memuat beberapa hal yang penting, yaitu: penggolongan keanggotaan, prinsip-prinsip keanggotaan, persyaratan keanggotaan, prosedur penerimaan anggota, berhentinya keanggotaan dan penundaan keanggotaan.

Penggolongan Keanggotaan Keanggotaan suatu organisasi internasional dapat dibedakan antara: a. keanggotaan penuh (full members)

  1. keanggotaan luar biasa (associate members)
  2. keanggotaan sebagian (partial members) dan
  3. keanggotaan afiliasi (affiliate members).

Dalam keanggotaan penuh maka anggota akan ikut serta dalam semua kegiatan organisasi dengan segala hak-haknya, sedangkan dalam keanggotaan luar biasa anggota dapat berpartisipasi tetapi tidak mempunyai hak suara di dalam organ/alat perlengkapan utama organisasi. Keanggotaan sebagian dalam hal ini anggota hanya ikut berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan tertentu, sedangkan keanggotaan afiliasi sama dengan keanggotaan luar biasa.

Selain dari penggolongan di atas dibedakan antara anggota asli (original member) dan anggota lainnya (admitted member). Anggota asli adalah negara-negara yang diundang pada konferensi-konferensi yang membicarakan rancangan anggaran dasar.

Biasanya dalam praktek nama-nama anggota asli dicantumkan dalam annex anggaran dasar organisasi internasional tersebut. Sedangkan anggota lainnya (admitted member) adalah anggota yang masuk menjadi anggota organisasi internasional sesuai dengan syarat dan cara yang ditentukan dalam organisasi internasional tersebut.

Prinsip-Prinsip Keanggotaan dan Prinsip-prinsip organisasi internasional tergantung pada maksud dan tujuan organisasi, fungsi yang akan dilaksanakan dan perkembangan apakah yang diharapkan dan organisasi internasional tersebut. Prinsip keanggotaan dapat dibedakan antara prinsip keanggotaan universalitas dan prinsip keanggotaan terbatas. Di atas telah kami bahas mengenai prinsip keanggotaan universal. Sedangkan prinsip keanggotaan terbatas menekankan syarat-syarat tertentu bagi keanggotaannya. Ini dapat dibedakan antara prinsip:

  1. Kedekatan letak geografis. Namun dalam faktek letak kedekatan geografis diikuti oleh pertimbangan politik. Sebagai contoh Pakta Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization-NATO).
  2. Keanggotaan yang didasarkan pada kepentingan yang akan dicapai, misalkan (Organization of Petroleum Exporting Countries-OPEC).
  3. Keanggotaan yang didasarkan pada sistem pemerintahan tertentu atau pada sistem ekonomi tertentu, misalkan Council for Mutual Economic Assistance (COMECON).
  4. Keanggotaan yang didasarkan pada persamaan kebudayaan, agama, etnis dan pengalaman sejarah. Organisasi negara-negara Islam (Organization of Islamic Countries-OCI).
  5. Keanggotaan yang didasarkan pada penerapan hak-hak asasi manusia. Contohnya Council of Europe.

Persyaratan Keanggotaan : Persyaratan keanggotaan ditentukan dalam anggaran dasar suatu organisasi internasional. Misalkan dalam piagam PBB ditentukan dalam ps 4 piagam PBB. Ps 4(1) menentukan bahwa: yang dapat menjadi anggota PBB adalah negara yang cinta damai, menerima kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam piagam dan atas penilaian PBB sanggup dan bersedia melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Ps 4(2) Penerimaan suatu negara menjadi anggota PBB ditentukan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan keamanan.

Prosedur Penerimaan : Keanggotaan Prosedur penerimaan keanggotaan itu ditentukan dalam anggaran dasar. Di satu pihak organisasi internasional harus setuju dengan penerimaan keanggotaan, di lain pihak negara itu menurut hukum nasionalnya sah untuk menjadi anggota dari suatu organisasi internasional. Dalam penerimaan keanggotaan baru itu ada dua prosedur:

1) Adanya permintaan yang sah dari negara yang akan menjadi anggota;

2) Negara yang bersangkutan telah meratifiser anggaran dasar organisasi tersebut.

Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka dalam anggaran dasar akan ditentukan kapan mulai efektif keanggotaan tersebut. Dalam penerimaan anggota baru dalam organisasi internasional ini masalah yang mungkin timbul adalah bagaimana jika dua negara bergabung menjadi satu negara, misalkan Mesir dan Syria menjadi Republik Persatuan Arab (United Arab Republic) pada bulan Februari 1958. Tanganyika dan Zanzibar, Tanganyika menjadi anggota PBB 14 Desember 1961 dan Zanzibar menjadi anggota pada 26 April 1964, bergabungnya Tanganyika dan Zanzibar itu bersatu menjadi Republik Persatuan Tanzania pada 1 November 1964. Apakah dengan penggabungan ini keanggotaan harus menempuh prosedur baru?

Dalam praktek ternyata keanggotaan Republik Persatuan Tanzania tidak perlu melalui prosedur baru. Demikian pula bila salah satu negara yang menggabung tersebut belum menjadi anggota. Sebagai contoh Republik Persatuan Arab mewarisi keanggotaan Mesir di IAEA (International Atomic Energy Agency) dan di IFC (International Finance Corporation (IFC) di mana Syria belum menjadi anggota kedua organisasi internasional tersebut. Demikian pula Republik Persatuan Tanzania mewarisi keanggotaan Tangnyika dan Zanzibar di badan-badan PBB.

Masalah lain yang timbul bila suatu negara pecah menjadi dua atau beberapa negara. Dalam hal ini maka pada umumnya bahwa bagian utamalah yang diakui sebagai negara semula. Sebagai contoh India ketika pecah menjadi India dan Pakistan, maka India mewarisi hak-hak India (yang berdiri sejak tahun 1947). Contoh lain Mesir dan Syria menjadi anggota PBB 24 Oktober 1945, setelah plebisit 21 Februari 1961, Syria memisahkan diri dan Republik Persatuan Arab mengubah menjadi Republik Arab Mesir, Mesir mewarisi hak Republik Persatuan Arab.

Berkaitan dengan berhentinya Keanggotaan perlu diketahui bersama berhentinya keanggotaan suatu negara dari organisasi internasional itu ada dua cara, yaitu karena pengunduran diri atau karena diberhentikan. Penghentian keanggotaan karena pengunduran diri. Ini ditentukan dalam anggaran dasar. Pernyataan ingin keluar itu harus diberitahukan sebelumnya. Setelah waktu tertentu sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar baru keluarnya anggota tersebut efektif.

Berhentinya keanggotaan karena diberhentikan (Expulision) berkaitan dengan jika kita berbicara penghentian dengan paksa maka hal ini disebabkan karena anggota telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan dalam organisasi internasional tersebut. Pemberhentian ini dilakukan oleh suatu organisasi internasional karena organisasi internasional ingin menyelamatkan organisasi internasional dari tindakan destruktif anggotanya.

Dalam piagam PBB ditentukan dalam ps 6 yang mengatur tentang kemungkinan penghentian dengan paksa. Dalam kovenen LBB tidak ditemukan ketentuan dengan penghentian dengan paksa ini, namun dalam praktek terjadi penghentian dengan paksa ini adalah ketika Rusia melancarkan agresi ke Finlandia, maka LBB menghentikan keanggotaan Uni Soviet 14 Desember 1939.

Kemudian terkait dengan Penundaan Keanggotaan, Dalam Piagam PBB pada ps 5 ditentukan adanya enundaan keanggotaan jia suatu anggota tidak memenuhi keanggotaannya sebagaimana ditentukan dalam piagam PBB, penundaan ini bersifat sementara jika suatu saat negara tersebut memenuhi kewajibannya seperti yang tercantum dalam piagam, maka keanggotaan negara tersebut dapat dipulihkan kembali.

Berkaitan dengan masalah keanggotaan pada PBB, dalam masalah keanggotaan ini dalam piagam PBB dibedakan antara anggota asli (original members) dan anggota yang diterima kemudian (admitted members). Ketentuan tentang anggota yang asli ditentukan dalam ps 3 piagam PBB. Anggota asli adalah negara-negara yang turut serta dalam konferensi PBB tentang organisasi internasional di San Francisco atau yang lebih dulu menandatangani Deklarasi PBB, pada Januari 1942, menandatangani piagam dan meratifiser sesuai dengan ps 110 piagam. Anggota asli sesuai dengan persyaratan itu adalah 51 negara dengan catatan bahwa Polandia waktu penandatanganan piagam PBB tidak hadir, karena pada saat itu ada masalah dalam negeri, namun untuk Polandia telah disediakan untuk penandatanganan sebagai negara anggota asli, penandatanganan baru dilakukan 15 Oktober 1945.

Persyaratan untuk menjadi anggota PBB. Sebagaimana diuraikan di atas, maka dibedakan antara anggota asli dan anggota tambahan. Persyaratan untuk anggota tambahan ditentukan dalam ps 4 piagam PBB. Menurut ps 4(1) piagam PBB syaratnya adalah:

1) Terbuka bagi semua negara yang  cinta damai;

2) Menerima kewajiban-kewajiban yang tertera dalam piagam;

3) Sanggup dan bersedia melaksanakan kewajiban-kewajiban ini. Ps 4(2) menentukan bahwa penerimaan suatu negara ke dalam PBB dilakukan dengan keputusan Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan.

 

Pada saat ini hampir semua negara merdeka adalah anggota PBB, anggota PBB saat ini lebih dari 185 anggota. Jika kita ingat bahwa anggota asli hanya 51 negara maka penambahan anggota baru lebih dari 200%. Hanya sedikit negara yang bukan anggota PBB, misalkan Negara Gereja Vatikan, Kiribati, Nauru Tonga, Taiwan. Keanggotaan PBB terdiri dari negara-negara besar di dunia dan meliputi negara yang disebut “micro-states”, di mana wilayahnya kurang dari 500 square miles dan penduduknya di bawah 100.000. Seperti Andorra, Antigua, Barbuda, Grenada, St Kitts dan Nevis, Micronesia dan Kepulauan Marshall, Lichenstein (mengajukan menjadi anggota 18 September 1990). San Marino (mengajukan menjadi anggota 2 Maret 1992), Monako dan Palau (mengajukan menjadi anggota November 1994).

Menurut ps 4(2) piagam bahwa penerimaan anggota baru di PBB ditentukan berdasarkan keputusan Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan. Permasalahan mana yang lebih dulu apakah rekomendasi Dewan Keamanan atau Keputusan Majelis Umum PBB. Jika kita lihat berdasarkan ps 27(2) yang menentukan bahwa keputusan Dewan Keamanan dalam masalah prosedural diputus dengan sembilan anggota, sedangkan berdasarkan ps 27(30) keputusan untuk hal-hal lain diputus dengan suara setuju dari sembilan suara termasuk suara anggota-anggota tetap. Masalah penerima penerimaan anggota baru diputus berdasarkan ps 27(3).

Hal ini menyebabkan masalah dalam penerimaan anggota baru. Berdasarkan ps 96(1) piagam PBB yang menentukan bahwa Majelis Umum dan Dewan Keamanan dapat meminta pada Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat berupa nasihat mengenai suatu persoalan hukum. Pada 28 Mei 1948 Mahkamah memberikan pendapat hukum sehubungan dengan ps 4 piagam:

The condition laid down for the admission of States were exhaustive and that if these conditions were fulfilled by state which was a candidate, the Security Council ought to make recommendation which would enable the Genera Assembly to decide upon the admission.

Jadi menurut Mahkamah Internasional bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan syarat bagi Majelis Umum untuk mengambil keputusan. Dalam praktek ternyata sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penerimaan anggota baru di Dewan keamanan harus diputus berdasarkan ps 27(3) berarti bahwa harus ada persetujuan dengan suara bulat dari anggota tetap Dewan Keamanan.

Keadaan ini sering dipakai oleh negara yang mempunyai hak veto di Dewan keamanan untuk memainkan politiknya dalam penerimaan anggota baru, karena suara anggota tetap Dewan Keamanan menentukan. Pada tahun pertama berdirinya PBB banyak negara yang terhalang untuk menjadi anggota karena terkena veto di Dewan Keamanan. Lebih-lebih setelah PBB berdiri adanya perpecahan pengaruh antara blok barat (Amerika Serikat dan kawan-kawan) dan blok Timur (pengaruh Rusia dan kawan-kawannya).

Bila suatu negara untuk masuk menjadi anggota didukung oleh Amerika Serikat akan dihalangi oleh Rusia dengan vetonya, demikian sebaliknya bila suatu negara didukung oleh Rusia akan diveto oleh Amerika Serikat. Keadaan yang tidak sehat ini terus berlaku sampai ada penyelesaian secara politis, yaitu tahun 1955 adanya kompromi antara Blok Barat dan Blok Timur, yaitu penyelesaian yang disebut dengan “Packege Deal” Penyelesaian dengan cara ini adalah bila ada 10 calon anggota, 5 didukung oleh Amerika Serikat, 5 didukung oleh Uni Soviet, maka Amerika Serikat akan mendukung calon Uni Soviet, sebaliknya Uni Soviet akan mendukung calon Amerika Serikat. Menurut Nursyrwan Tirtaamidjaja dengan adanya “Package Deal” ini ketentuan dalam ps 4 piagam PBB telah ditafsirkan secara realistis.

Ps 5 piagam PBB mengatur tentang penangguhan keanggotaan, ps 6 mengatur tentang pengeluaran keanggotaan PBB. Dalam Piagam PBB tidak diatur tentang penarikan diri keanggotaan. Hal yang pernah terjadi soal pengunduran diri adalah kasus Indonesia yang menarik diri dari keanggotaan PBB pada Januari tahun 1965 Menteri Luar Negeri Indonesia pada waktu itu Subandrio memberi tahu pada Sekjen PBB bahwa Indonesia keluar dari PBB. Keputusan tersebut diambil oleh Indonesia karena Malaysia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan.

Menurut ps 23(1) piagam PBB maka negara yang dipilih menjadi anggota tidak tetap Dewan keamanan adalah negara yang memberikan sumbangan untuk perdamaian dan keamanan internasional. Menurut Indonesia hal tersebut tidak dipenuhi oleh Malaysia. Sebagai reaksi atas hal tersebut maka Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.

Masalah ini menimbulkan masalah hukum di PBB,karena dalam piagam PBB tidak ada ketentuan tentang penarikan diri. Namun karena situasi politik dalam negeri Indonesia berubah (di mana orde lama diganti dengan orde baru). Pada bulan September 1966 Indonesia menyatakan akan kembali menjadi anggota PBB. Masalah hukum yang timbul bila penarikan diri Indonesia dari PBB itu telah efektif, maka untuk kembali menjadi anggota PBB harus mengajukan sebagai anggota baru sesuai dengan ps 4 piagam PBB. Namun kenyataannya keluarnya Indonesia dari PBB dianggap sebagai “Intermezzo leaves”.

Secara logika Indonesia harus membayar semua kewajiban iuran anggota dari waktu Januari 1965 sampai September 1966, namun disetujui bahwa Indonesia hanya membayar 10% dari kewajiban iuran anggotanya. Masalah keanggotaan yang lain adalah masalah China, yaitu antara RRC dan Taiwan yang sudah diuraikan di modul sebelumnya, masalah bekas negara Yugoslavia yang telah pecah menjadi negara merdeka Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Makedonia dan Slovina setelah tahun 1991. Negara-negara baru itu kecuali (Serbia dan Montenegro) mengajukan sebagai negara anggota baru di PBB.

Dengan demikian maka kami akhiri kutipan kami terkait pengakuan dan kelembagaan serta mekanisme keanggotaan berdasarkan buku Hukum Internasional oleh Sri Setianingsih dan Wahyuningsih, pembahasan berikutnya adalah memaparkan fakta terkait kepentingan Amerika Serikat sebagai salah satu anggota DK yang telah dihimpun oleh sumber lain.

Berdasarkan buku Metamorfosis Wilayah Palestina Seri I, Tempo Media Group melalui Pusat Data dan Analisis Tempo menerbitkan salah satu artikel berjudul “Palestina Versi Amerika”, artikel terbitan tanggal 17 November 1973 ini menyampaian bahwa melalui sumber tak resmi Kissinger (diplomat dan konsultan geopolitik Amerika Serikat) memiliki 4 bagian penting agenda dari rencana perdamaian yang dibawa nya dalam kunjungannya ke Negara-Negara Arab, saat itu Mesir menolak, negara-negara Arab belum beraksi, salah satu rencana tersebut di dalamnnya adalah melingkupi pembukaan kembali terusan Suez bagi pelayaran kapal kapal semua bangsa termasuk Israel, pengembalian semenanjung Sinai setelah demiliterisasi kepada Mesir, ternyata agenda ini kabarnya kurang berkenan di hati Israel, dengan demikian besar kemunginan peranan Moskow dan Washington memegang peranan bear jika pihak Arab setuju, dalam rencana tersebut baigan penting dari rencana itu adalah sebuah Negara Palestina yang tak bersenjata  akan dibentuk dengan mengambil wilayah Yordania di sebelah barat sungai Yordan yang diduduki Israel yang akan menjadi negeri bagi orang-orang Arab Palestina.

Kemudian Kota Jerusalem yang sekarang saat artikel tersebut ditulis masih dikuasai Israel secara administratif akan tetap berada di bawah kekuasaan Israel dengan ketentuan bahwa pemerintah Israel akan menjamin orang orang Islam melakukan ibadah di tempat suci mereka di kota itu. Wilayah Gaza statusnya akan ditentukan sendiri oleh orang orang Palestina apakah akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Palestina yang akan dibentuk itu atau akan diserahkan kepada Mesir maupun Yordania. Israel juga akan menarik diri dari wilayah Syiria yang didudukinya tapi kemudian di batas kedua negara akan diciptakan suatu daerah bebas militer secara permanen akan berada di bawah pengawasan pasukan pasukan PBB.

Berita yang mengikuti dan menyertai rencana rencana diatas terebut juga menyebutkan kehendak Amerika untuk memperbaiki perbatasan Israel di wilayah barat sungai Yordan dengan memasukkan daerah strategis di Hebron dan Kakilya kedalam kekuasaan Israel, dalam hal in sebelum negara negara Arab belum memberikan reaksinya, Mesir sudah terlebih dahulu menolak rencana yang menyangkut jazirah Sinai itu.

Berdasarkan buku Metamorfosis Wilayah Palestina Seri III, Tempo Media Group melalui Pusat Data dan Analisis Tempo pada tanggal 1 September 1990 menceritakan tentang Ariel Sharon, tokoh garis keras berusia 62 tahun ini memang musuh nomor satu orang Paletina dan merkea yang mencintai damai, dimana disebutan bahwa Israel tetap tak sudi berbagi dengan warga Palestina yang merupakan penduduk asli wilayah yang sekarang disebut negara Israel kecuali secuil kawasan digaris belakang berupa kamp-kamp pengungsi kumuh. Sebagai Perdana Menteri “bayangan” peran Ariel Sharon dalam kainet baru Yitzhak Shamir mengalihkan dari semula Kementerian Perumahan menjadi Kementerian Pertahanan yang lebih menentukan kebijaksanaan miiter Israel daripada Departemen Pertahanannya, pada saat ini kecemasan muncul, bagaimana tidak sejak ia mengundurkan diri dari pos menteri pertahanan pada 1983 karena didakwa bertanggung jawab pecahnya perang di Libanon mulai timbul kecemasan berkait krisis teluk yang antara Timur Tengah dan Israel dengan sekutu utamanya Amerika Serikat.

Tercatat pada artikel terbitan 9 Januari 1993 bahwa Bill Clinton beberapa pekan sebelum Pemilu AS berpidato membela kepentingan Israel dari segala sudut, secara terbuka AS mengecualikan Israel dalam hubungan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, misalnya AS memveto upaya PBB memaksakan resolusinya pada Israel, kini sudah banyak pihak menekan AS agar menggunakan pengaruhnya di Israel. Seandainya ada korban jiwa di antara orang-orang yang terusir dari Israel karena dimusim salju dan angin di daerah tak bertuan di perbatasan Israel dan Libanon tidak semua orang berusia setaengah baya bisa tahan hanya berteduh di tenda-tenda tanpamakanan yang cukup, terlebh lagi ada beberapa orang Palestina yang cedera akibat tembakan peluru pasukan Israel.

Tekanan di AS untuk menghukum Israel seperti yang pernah diberikan desakannya oleh rakyat AS pada Presiden Bush saat menghukum Israel dengan menunda jaminan pemberian kredit karena pemerintah Israel yang tak serius untuk mengikuti konperensi Damai Timur Tengah memang ada dan ada masa itu berdampak pada upaya Israel meredakan protes, tekanan seperti ini mungkin masih ada dan dapat berpengaruh, namun pembebasan 10 orang Palestina yang seharusnya tidak diusir itu tidaklah berarti dari 415 orang.

Dimasa kini berdasarkan berita https://www.cnbcindonesia.com/news/20200130073015-4-133842/begini-penampakan-peta-palestina-baru-buatan-trump-israel kembali Amerika Serikat “mengatur” Palestina versi mereka yang tidak mengakomodir pendapat Palestina di dalamnya namun memberi izin pendudukan Israel di tepi Barat, seperti biasa apa yang dilakukan oleh AS dalam hal ini hanya lah bentuk lain dari apa yang dilakukan Killinger di masa lalu.

Pembahasan

  1. Berdasarkan informasi diatas maka dapat dianalisa bahwa Palestina selain mengupayakan solusi damai yang mengakhiri pendudukan dan realisasi kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, hidup berdampingan secara damai dan aman bersama negara Israel, juga tengah mengupayakan agar memperoleh keanggotaan penuh di PBB.
  2. Keanggotaan Penuh di PBB memerlukan persetujuan 15 anggota DK, dimana AS menjadi salah satu bagian di dalamnya, dalam hal penerimaan keanggotaan, berlaku ps 96(1) piagam PBB yang menentukan bahwa Majelis Umum dan Dewan Keamanan dapat meminta pada Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat berupa nasihat mengenai suatu persoalan hukum. Pada 28 Mei 1948 Mahkamah memberikan pendapat hukum sehubungan dengan ps 4 piagam: The condition laid down for the admission of States were exhaustive and that if these conditions were fulfilled by state which was a candidate, the Security Council ought to make recommendation which would enable the Genera Assembly to decide upon the admission.
  3. Jadi menurut Mahkamah Internasional bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan syarat bagi Majelis Umum untuk mengambil keputusan. Dalam praktek ternyata sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penerimaan anggota baru di Dewan keamanan harus diputus berdasarkan ps 27(3) berarti bahwa harus ada persetujuan dengan suara bulat dari anggota tetap Dewan Keamanan. Keadaan ini sering dipakai oleh negara yang mempunyai hak veto di Dewan keamanan untuk memainkan politiknya dalam penerimaan anggota baru, karena suara anggota tetap Dewan Keamanan menentukan.
  4. Salah satu berita berkaitan dengan agenda geopolitik Amerika Serikat tercatat pada tahun 1973 dimana Amerika Serikat memiliki pandangan tersendiri terkait dengan kebutuhannya akan keberadaan negara Palestina, dimana salah satunya berkutat pada pembukaan kembali terusan Suez bagi semua bangsa termuk Israel, Negara Palestina yang tidak memiliki persenjataan, pengaturan terhadap penguasaan Kota Jerusalem, dan wilayah Gaza yang penentuan statusnya masih melibatkan pihak-pihak lain, agenda tersebut ditolak oleh Mesir secara dini. Amerika Serikat sebagai anggota permanen dalam DK PBB memiliki agenda tersendiri yang merugikan Palestina, sejarah mencatat bahwa Israel tidak sudi berbagi atas wilayah yang “dirampas” nya.
  5. Menurut ps 4(2) piagam bahwa penerimaan anggota baru di PBB ditentukan berdasarkan keputusan Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan. Permasalahan mana yang lebih dulu apakah rekomendasi Dewan Keamanan atau Keputusan Majelis Umum PBB. Jika kita lihat berdasarkan ps 27(2) yang menentukan bahwa keputusan Dewan Keamanan dalam masalah prosedural diputus dengan sembilan anggota, sedangkan berdasarkan ps 27(30) keputusan untuk hal-hal lain diputus dengan suara setuju dari sembilan suara termasuk suara anggota-anggota tetap. Masalah penerima penerimaan anggota baru diputus berdasarkan ps 27(3).
  6. Maka berdasarkan aturan tersebut Majelis Umum harus menyetujui setiap permintaan untuk menjadi negara anggota PBB namun sebelumnya permintaan tersebut harus disetujui DKK yang memiliki anggota tetap yaitu Inggris Prancis, China, Rusia dan AS. Sejarah telah mencatat bahwa terkait Veto antar negara anggota DK tetap dimana pada masa  perpecahan pengaruh antara blok barat (Amerika Serikat dan kawan-kawan) dan blok Timur (pengaruh Rusia dan kawan-kawannya).
  7. Bila suatu negara untuk masuk menjadi anggota didukung oleh Amerika Serikat akan dihalangi oleh Rusia dengan vetonya, demikian sebaliknya bila suatu negara didukung oleh Rusia akan diveto oleh Amerika Serikat. Keadaan yang tidak sehat ini terus berlaku sampai ada penyelesaian secara politis, yaitu tahun 1955 adanya kompromi antara Blok Barat dan Blok Timur, yaitu penyelesaian yang disebut dengan “Packege Deal” Penyelesaian dengan cara ini adalah bila ada 10 calon anggota, 5 didukung oleh Amerika Serikat, 5 didukung oleh Uni Soviet, maka Amerika Serikat akan mendukung calon Uni Soviet, sebaliknya Uni Soviet akan mendukung calon Amerika Serikat.
  8. Package Deal semacam ini pernah dilakukan Kissinger dengan kesepakatan-kesepakatan yang jelas hanya bermuatan positif bagi sekutu Amerika Serikat, yaitu Israel dan merugikan Palestina dan negara Timur Tengah lainnya. Dari sisi kemanusiaan apa yang dilakukan Amerika Serikat yang tidak adil bagi Palestina dapat terlihat dalam hal mengecualikan Israel dalam hubungan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, dimana AS memveto upaya PBB sehingga tidak dapat memaksakan resolusinya pada Israel dalam hal kebijakan geopolitiknya yang mengusir warga Palestina, dalam kebijakan geopolitiknya Israel kerapkali menyuarakan bahwa Palestina membayar teroris dan mendukung tindakan aksi kekerasan dan tidak cinta damai.
  9. Dengan demikian hak Veto Amerika Serikat tentunya secara retorika akan didasarkan terkait piagam PBB ditentukan dalam ps 4 piagam PBB. Ps 4(1) menentukan bahwa: yang dapat menjadi anggota PBB adalah negara yang cinta damai, menerima kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam piagam dan atas penilaian PBB sanggup dan bersedia melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan sebelumnya maka Hak Veto AS sebagai anggota permanen DK yang sarat dengan kepentingan dari AS dan Israel berpotensi akan tetap dilakukan dan mengabaikan niat baik dari Palestina dalam mengupayaan solusi damai yang mengakhiri pendudukan dan realisasi kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya untuk hidup berdampingan dengan damai dan aman bersama negara Israel.

Kedudukan Israel sebagai ketua Forum Group of 77 bila dikaitkan dengan pengakuan dari negara lain merupakan masalah sulit karena pada praktiknya dalam pengakuan negara-negara maka pengakuan lebih merupakan kebijaksanaan dari pada masalah hukum, Kebijaksanaan untuk mengakui negara lain lebih didasarkan pada kepentingan negara tersebut, misalkan kepentingan untuk melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri yang berada di negara yang diakui. Kepentingan-kepentingan itu baik yang berupa kepentingan perdagangan, kepentingan ekonomi, kepentingan strategi dsb. Hasilnya pemberian pengakuan itu untuk memanfaatkan prinsip-prinsip hukum sebagai kamuflase yang baik bagi kepentingan-kepentingan politik.

“Package Deal” yang gagal adalah catatan sejarah bahwa kepentingan Politik lah yang mendasari mengingat Amerika Serikat sendiri sudah “membayangkan” bagaimana Palestina terbentuk seperti halnya versi yang mereka inginkan dengan mengutus Kissinger. Berkaitan dengan keanggotaan di Organisasi Internasional maka Palestina sendiri saat ini tidak dapat menjadi kenggotan penuh sehingga tidak dapat ikut serta dalam semua kegiatan organisasi internasional dengan hak-haknya secara penuh.

Berkaitan dengan pernyataan Starke dalam hal ada dua alasan mengapa pengakuan itu merupakan masalah yang sulit dalam hukum internasional terlebih pada pemberian pengakuan itu untuk memanfaatkan prinsip-prinsip hukum sebagai kamuflase yang baik bagi kepentingan-kepentingan politik kami pandang sudah menunjukkan bahwa kamuflase dari kebijakan Geopolitik Amerika Serikat berdasarkan beberapa artikel yang kami kutip dari Tempo telah menunjukkan bahwa kamuflase tersebut telah sukses digunakan oleh AS sebagai anggota permanen dari DK dengan muatan menyudutkan Palestina sebagai negara yang membayar teroris dan mendukung tindakan aksi kekerasan dan tidak cinta damai sebagaimana didengungkan Israel untuk  untuk menghambat keanggotaan Palestina pada PBB yang sekaligus menafikkan upaya pengakuan Palestina sebagai negara yang berupaya mengupayakan hidup berdampingan dengan Israel secara damai.

Muatan politis ini mengabaikan prestasi Palestina dan kedudukan Palestina saat ini, Palestina terpilih menjadi ketua forum negara-negara berkembang PBB yang dikenal dengan Group of 77, hal ini merupakan prestasi sebagaimana pidato Presiden Palestina Mahmoud Abbas, prestasi ini semakin meningkatkan profil Palestina karena berhasil memimpin blok terbesar di PBB tersebut. Kemudian perlu diingat lagi bahwa dari total 193 negara anggota PBB saat berita diatas ini ditulis terdapat sekitar 137 negara anggota PBB yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara meski dalam beberapa konteks tertentu saja, atau sekitar 70,9%, namun untuk dapat diputuskan sebagai anggota permanen PBB permintaan keanggotaan ini harus melewati DK PBB dan disetujui oleh seluruh anggota DK PBB dimana AS merupakan salah satu anggota permanen di dalamnya, dengan demikian dalam menyikapi fakta-fakta ini maka pengakuan dan keanggotaan permanen Palestina di PBB dapat dilihat hanya terhambat oleh 1 negara yang menduduki posisi DK di PBB, dengan kata lain 1 negara dari 193 negara anggota PBB atau setara dengan 0,51% negara anggota PBB membuat 137 negara anggota PBB / sejumlah 70,9% itu dapat selalu menggagalkan Palestina untuk memperoleh Keanggotaan Permanen di PBB karena hak Veto dan muatan kepentingan Geopolitiknya dengan kamuflase Hukum Internasional yang sebenarnya tidak logis bila mengedepankan proporsi dan keadilan.

Konflik krisis geopolitik antara Israel dan Palestina merupakan konflik berkepanjangan sejak tahun 1948, dalam hal ini upaya untuk memperoleh pengakuan dan kesetaraan sebagai anggota permanen di PBB selalu tengah tersandera oleh AS yang memanfaatkan kedudukannya di PBB, bahkan tercatat pernah memveto PBB untuk tidak bertindak tegas kepada Israel atas pelanggaran yang dilakukannya dalam memperlakukan warga pengungsi, kedudukan AS ini secara ‘konsisten’ dilakukan dengan turut campurnya AS mengatur Palestina dan wilayahnya berdasarkan versi yang merugikan Palestina.

Referensi

Buku :

  1. Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  2. Pusat Data dan Analisa Tempo. Metamorfosis Wilayah Palestina Seri I. 2019. Jakarta: Tempo Publishing.
  3. Pusat Data dan Analisa Tempo. Metamorfosis Wilayah Palestina Seri III. 2019. Jakarta: Tempo Publishing.

 

Media Internet :

  1. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190116100422-120-361156/dibayangi-veto-as-palestina-tetap-ingin-jadi-anggota-pbb
  2. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200130073015-4-133842/begini-penampakan-peta-palestina-baru-buatan-trump-israel

 

 

Exit mobile version