Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Seri Hukum Internasional #10 : Wilayah Udara Suatu Negara

hukum internasional

hukum internasional

Pendahuluan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional semakin kompleks pengertiannya.

Pembahasan

Berdasarkan penjelasan dalam buku Sri Setianingsih dan Wahyuningsih tentang Hukum Internasional Hukum udara dan Hukum angkasa merupakan hukum yang baru dibandingkan dengan hukum laut. Pada permulaannya banyak pendapat yang mempersoalkan masalah status dari ruang udara dan angkasa sebagai ruang di atas suatu negara. Berbagai teori telah dikemukakan untuk menerangkan status dari udara dan angkasa di atas wilayah satu negara. Setelah tahun 1914 dan seterusnya orang mulai yakin berpendapat bahwa negara mempunyai kedaulatan di atas ruang udara di atas wilayahnya. Pengalaman Perang Dunia I bahwa pesawat udara dapat menjatuhkan bom dari pesawat udara di atas suatu wilayah negara. Oleh karena itu, masyarakat internasional berpendapat harus ada aturan yang mengatur tentang wilayah udara di atas wilayah suatu negara. Hal ini diperlukan karena jangan sampai wilayah udara dipakai oleh pesawat udara negara lain yang dapat membahayakan keamanan di wilayah mereka. Mereka berpendapat bahwa suatu pesawat milik negara lain dapat terbang di atas wilayah laut bebas, tetapi bukan di atas wilayah suatu negara. Pendapat ini kemudian dituangkan dalam Pasal 1 Paris Convention tahun 1919. Pengalaman setelah Perang Dunia II menyadarkan masyarakat internasional untuk membuat aturan baru tentang penerbangan internasional yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat internasional maka Konvensi Paris diganti dengan Konvensi Chicago tahun 1944. Konvensi inilah yang dianggap sebagai konstitusi dari hukum udara.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan teknologi maju dengan pesat bahwa sekarang tidak hanya pesawat udara tetapi telah menggunakan satelit untuk berbagai keperluan, manusia mulai mempergunakan ruang angkasa. Misalkan peluncuran pesawat Sputnik I pada permulaan Oktober 1957, disusul peluncuran astronot Yuri Gagarin tahun 1961, kemudian hak ini mempengaruhi pemikiran lebih lanjut mengenai wilayah udara suatu negara, bahwa terdapat beberapa pendapat/teori mengenai wilayah udara suatu negara. Menurut Priyatna Abdurrasyd ada teori yang mengemukakan masalah wilayah udara suatu negara:

Teori Udara bebas dibedakan antara:

1) Kebebasan udara tanpa batas.

2) Kebebasan ruang udara dilekati beberapa hak khusus negara kolong (subjacent state).

3) Kebebasan ruang udara, adanya wilayah teritorial di mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara.

2) Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai.

3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.

4) Sampai saat ini batas wilayah udara suatu negara belum ada kesepakatan.

 

Indonesia sebagai negara khatulistiwa mempunyai GSO terpanjang yakni kurang lebih 33.970,07 km atau 12,82% dari orbit terletak di atas khatulistiwa pada ketinggian 36.000 km dari muka bumi / Geostationary Orbit (GSO) yang ada. Kemungkinan di GSO di atas Indonesia telah ditempati oleh satelit-satelit komunikasi dari negara lain. Pada 16 Agustus 1976 Presiden Suharto meresmikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) PALAPA. Dengan adanya sistem komunikasi satelit PALAPA menghendaki adanya koordinasi antar sistem satelit yang menempati kedudukan (selot) penempatan satelit tertentu di GSO, setiap negara anggota International Telecommunication Union yang akan membangun satelit wajib mengikuti ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang terpenting, keharusan mengadakan koordinasi dengan sistem yang sudah ada agar dapat diterima dan disahkan oleh Intemational Frequency Registration Board (IFRB). Koordinasi berikutnya adalah dengan International Telecommunication Satelite (INTELSAT) merupakan organisasi dari negara-negara pemakai sistem satelit telekomunikasi internasional bersama. Indonesia harus berkoordinasi dengan INTELSAT dan harus tunduk pada semua peraturan yang ditentukan oleh INTELSAT. Pada bulan November 1975 PALAPA disetujui oleh INTELSAT dan langsung didaftarkan di IFRB. Dengan telah beroperasinya SKSD maka perlu untuk memahami masalah-masalah satelit komunikasi di GSO baik secara hukum maupun secara teknis.

Dalam konferensi di Bogota yang diadakan tanggal 3 Desember 1977 sejumlah negara-negara di khatulistiwa mengeluarkan Deklarasi bahwa mereka mempunyai hak kedaulatan di ruang angkasa (cosmic space) di atas wilayah udaranya. Negara-negara tersebut, adalah Kolombia, Ekuador, Kongo, Zaire, Uganda, Kenya, dan Indonesia. Klaim ini didasarkan pada bahwa tidak adanya aturan tentang batas (demarkasi) sehingga mereka beranggapan bahwa mereka mempunyai hak untuk memperluas ruang di atas wilayah udaranya tanpa batas. Pada pembicaraan di UNCOPUOS setelah Deklarasi Bogota Priyatna Abdurrasyd mengemukakan dalam kenyataannya Deklarasi Bogota menjadi suatu gerakan yang penting untuk peninjauan kembaliseara komprehensif oleh UNCOPUOS sehubungan dengan penggunaan Jalur GSO untuk maksud yang lebih bervariasi.

Setelah pertemuan di Bogota negara-negara Ekuator mengadakan pertemuan di Quito (Equador) tahun 1982, menurut Priyatna Abdurrasyd bahwa tuntutan negara-negara ekuator dari aspek geografis bukan merupakan tuntutan teritorial terhadap GSO, tetapi merupakan tuntutan “hak-hak kelangsungan hidup” (“preservation rights’) bagi negara-negara ekuator khususnya negara-negara berkembang pada umumnya. Ini harus dilakukan melalui penerapan”sui generis” bagi GSO.

Perjuangan negara-negara berkembang untuk melestarikan GSO telah dilakukan sejak tahun 1976 dan akhimya pada Sidang Legal Sub Committee UNCOPUOS di Jenewa 29 Maret 1984 berhasil menyerahkan working paper yang berisi usulan-usulan sebagai berikut:

  1. exclusively for peaceful purposes and the benefit of mankind;
  2. SUI generis regime and rights of equatorial countries;
  3. opportune and appropriate utilization;
  4. preferential rights;
  5. prior authorization;
  6. international co-operating and efficient and economic utilization;
  7. transfer of technology;
  8. removed of non-operational or unutilized space object from the orbit.

Prinsip-prinsip tersebut menekankan pada keinginan negara khatulistiwa agar ruang angkasa benar-benar dipergunakan untuk kepentingan perdamaian dan kemanusiaan. Apalagi GSO kini praktis telah penuh ditempati oleh benda-benda untuk tujuan militer. Dalam Konferensi World Administration Radio (World Administration Radio Conference – WARC) tahun 1985, konferensi ini membahas “apriori planning” dalam pemanfaatan GSO “apriori planning” adalah upaya yang memungkinkan setiap negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemanfaatan GSO tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi maupun ilmu pengetahuannya. Bagi negara khatulistiwa rencana apriori plannin ini memiliki implikasi berdampak luas terhadap tuntutan mereka. Pengaturan pemanfaatan GSO dapat secara berup alokasi slot ataupun pengaturan frekuensi, pengaturan slot lebih mengarah pada pendekatan koordinasi. Sedangkan pemanfatan pengaturan frekuensi menyangkut pengaturan secara apriori planning.

Dengan demikian maka wilayah udara memiliki nilai strategis sehingga berkaitan dengan wilayah kedaulatan negara itu sendiri dan di dalamnya terkait kedaulatan wilayah udara terbagi lagi menjadi unsur pemanfaatan teknologi antariksa, pertahanan, dan penerbangan. Berdasarkan pencarian di Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/web-links/121-jaringan-dokumentasi-dan-informasi-hukum-jdih.html, belum terdapat Undang-Undang yang mengatur dan menjelaskan definisi Baku mengenai Ruang Udara Nasional, kami menemukan regulasi terkait Udara/Angkasa sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
  2. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara
  3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
  4. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan

Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara dasar pengundangannya adalah menimbang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dipandang perlu melakukan pengaturan mengenai wilayah negara meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian berkaitan dengan ruang udara  UU 43/2008 pada Pasal 1 menyebutkan bahwa definisi wilayah negara adalah :  Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Pembatasan batas wilayah diatur dalam Pasal 5 UU 43/2008 sebagai berikut : Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Berdasarkan UU 43/2008 maka Ruang Udara di atas wilayah Indonesia beserta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hal yang diperhatikan, adapun pada UU ini batas udara termasuk menjadi perhatian dan dalam pengaturannya berdasarkan perundang-undangan dan hukum internasional. Berdasarkan Pasal 2 UU 43/2008 kedaulatan menjadi salah satu asas yang dilaksanakan berdampingan dengan asas-asas lainnya, dengan demikian pengaturan wilayah negara disusun berdasarkan :

  1. kedaulatan;
  2. kebangsaan;
  3. kenusantaraan;
  4. keadilan;
  5. keamanan;
  6. ketertiban dan kepastian hukum;
  7. kerja sama;
  8. kemanfaatan; dan
  9. pengayoman.

Berkaitan dengan keamanan pengganti dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 tentang Pokok Pertahanan Kemanaan Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 mengatur melalui Pasal 10 bahwa Angkatan Udara sebagai salah satu bagian dari Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesaturan Republik Indonesia yang bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk :

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU 3/2002 mengatur bahwa Susunan Organisasi, tugas, dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara diatur dengan Undang-Undang, UU tersebut adalah Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dimana Pasal 10 UU  34/2004 ini Angkatan Udara bertugas:

a.melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan;

b.menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai denganketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;

c.melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara; serta

d.melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.

Pasal 7 UU 34/2004 menyebutkan salah satu tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, dimana pada bagian penjelasan dijelaskan sebagai berikut : Yang dimaksud dengan menegakkan kedaulatan negara adalah mempertahankan kekuasaan negarauntuk melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari ancaman. Yang dimaksud dengan menjagakeutuhan wilayah adalah mempertahankan kesatuan wilayah kekuasaan negara dengan segala isinya, didarat, laut, dan udara yang batas-batasnya ditetapkan dengan undang-undang. Yang dimaksud denganmelindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah melindungi jiwa, kemerdekaan, dan hartabenda setiap warga negara.

Asas lainnya dari pengaturan wilayah dalam UU 43/2008 diamanatkan oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 31 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan oleh Undang-Undang 21 tahun 2013 dimana secara khusus  UUD 1945 Pasal 31 ayat (5) berbunyi “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”, dalam hal ini kami mempercayai berkaitan denganUU 43/2008 yang menjadi perhatian brkaitan dengan pengaturan wilayah yang diamanatkan UU 43/2008 adalah asas kemanfaatan.

Landasan pertimbangan UU 21/2013 adalah bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, lebih lanjut lagi selaras dengan letak geografis wilayah Indoensia yang telah kami utarakan paparannya diatas, bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya sehingga UU 21/2013 ini dibentuk.

UU 21/2013 melingkupi dan mendefinisikan wilayah udara Indonesia dengan pengaturan terhadap hal-hal sebagai berikut :

  1. Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
  2. Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
  3. Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang mengandung udara yang bersifat gas.
  4. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara, maupun Antariksa.
  5. Bahwa peluncuran wahanan antariksa berupa kapal atau pesawat udara asing di wilayah yang berada di wilayah kedauatan atau wilayah yuridiksi NKRI wajib memenuhi ketentuan berkaitan dengan penyelenggaraan keantariksaan yang diatur oleh NKRI.

Demikian pula dalam asas kemanfaatan di sektor penerbangan terdapat Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan yang juga memiliki empasis pada asas kemanfaatan dari UU 43/2008, hususnya landasan pertimbangan pembentukan UU 1/2009 ini bertolak dari bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan dalam pelaksanaan UU terebut senantiasa mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;

UU 1/2009 mengatur bahwa :

  1. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
  2. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.
  3. Berlaku nya UU 1/2009 adalah terhadap semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait, termasuk kelestarian lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula pesawat udara asing, dan semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar wilayah NKRI.
  4. Pasal 5 UU 1/2009 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia, lebih lanjut dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara

Pengamatan kami bahwa dari seluruh UU yang kami baca, tidak tersedia penjelasan definisi baku Ruang Udara Nasional, dalam artian bila membandingkan dengan pengaturan mendetail seperti wilayah perairan laut yang terbagi-bagi menjadi beberapa zonasi, pengaturan berkaitan dengan ruang udara hanya sebatas wilayah udara sebagai wilayah di atas wilayah daratan dan perairan NKRI semata. Padahal ruang udara memiliki cakupan yang tidak hanya sekedar terlihat dalam batas pandangan visual mata telanjang semata, seperti halnya pengaturan tentang wilayah perairan yang hingga mengatur sampai dibawah tanah, dalam hal ini logika yang sama juga semestinya berlaku pada ruang udara yang tidak terjangkau visual nya dalam rangka kedaulatan wilayah yang disebutkan di seluruh Undang-Undang tersebut diatas.

Tentunya kami memperhatikan terlebih dahulu pernyataan bahwa ruang udara dan kedaulatan wilayahnya mencakup pada perairan, dengan demikian Perjanjian Internasional Ketentuan hukum internasional mengenai perairan teritorial (territorial waters) tunduk pada The United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982, yang yang telah berlaku pada 16 Nopember 1994, setelah diratifikasi oleh 60 (enam puluh) negara, menjadi terkait dan menjadi salah satu pemikiran kami bahwa ruang udara diatasnya sejajar vertikal dengan perairan wilayah negara menjadi batas sejajar vertikal keatas.

Dasar penyebutan kedaulatan sebagaimana disebutkan berulang-ulang dalam beberapa UU diatas dapat dikaitkan dengan perjanjian internasional Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, menyebutkan bahwa “the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Artinya bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Selanjutnya pasal 2 hanya memberikan limitasi terhadap ruang udara sebagai ruang di atas wilayah daratan dan perairan yang berada di bawah kedaulatan, perlindungan atau mandat suatu negara.48 Pasal tersebut mengatur 2 (dua) hal yang terkait dengan ruang udara, yakni: a) the land areas and territorial waters; b) the sovereignty, suzerainty, protection or mandate. Berdasarkan ketentuan pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago 1944 tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa ruang udara merupakan ruang di atas wilayah daratan dan perairan yang berada di bawah kedaulatan, perlindungan atau mandat suatu negara. Berdasarkan ketentuan tersebut pula yang mendasari prinsip bahwa batasan wilayah udara suatu negara mengikuti ketentuan wilayah daratan dan perairan teritorial.

Hukum Udara Internasional mengenal 2 (dua) istilah berhubungan dengan ruang udara, yakni “national airspace” dan “international airspace”, meskipun secara normatif istilah tersebut tidak disebut dalam Konvensi Chicago 1944 dan UNCLOS 1982. Keberlakuan kedua konvensi internasional tersebut dalam mengatur ruang udara nasional dan internasional dalam konvensi, namun hal ini menjadi kebiasaan yang  sebagaimana diatur dalam Pasal 1, 2, 28, dan 38 dokumen ICAO 2019 Civil Military Cooperation Update  untuk Kedaulatan Ruang Udara Nasional, sedangkan Ruang Udara Intrnasionalal diatur dalam Pasal 12 dokumen ICAO 2019 Civil Military Cooperation Update.

Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Adapun tujuan nasional Indonesia tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnyan disebut UUD NRI 1945) alinea 4 yang berbunyi:

“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”.

Pemanfaatan dan pengelolaan ruang udara nasional dilakukan dalam rangka mencapai tujuan nasional negara telah dirumuskan dalam Undang-Undang yang kami sebutkan diatas yang sebagian kecil pengaturan nya meliputi :

Dengan demikian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada yang mengedepankan kepada kedaulatan, dan terdapat kesadaran bangsa Indonesia terhadap ruang udaranya sebagai sebuah kesatuan wilayah yangmencakup pada ruang udara diatasnya, terdapat perhatian terhadap pertahanan kefaulatan negara dan keutuhan wilayah dalam sistem ketahanan nasional dan serangkaian aspek lainnya untuk memperkukuh kedaulatan negara dan selaras pula dengan mempererat hubungan antarbangsa secara bertanggung-jawab atas kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udaranya, maka Indonesia senantiasa melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, dan berupaya menegakkan kedaulatan negara adalah mempertahankan kekuasaan negarauntuk melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari ancaman.

Fakta bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra sehingga  mempunyai GSO terpanjang yakni kurang lebih 33.970,07 km atau 12,82% dari orbit terletak di atas khatulistiwa pada ketinggian 36.000 km dari muka bumi / Geostationary Orbit (GSO) yang ada membuka adanya kemungkinan di GSO di atas Indonesia telah ditempati oleh satelit-satelit komunikasi dari negara lain, dewasa ini kebutuhan telekomunikasi dan teknologi informasi sebagaimana negara lainnya juga turut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan, adapun letak geografis Indonesia selain menjadi kedaulatan yang harus dipertahankan jugasekaligus keunggulan komparatif yang berbasis yang kemanfaatannya dapat dikembangkan di bidang ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia yang bernilai ekonomis guna memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnyan disebut UUD NRI 1945) alinea 4 dengan senantiasa melaksanakan ketertiban dunia.

Sehingga melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara, penerbangan, dan ruang Antariksa menjadi upaya yang dilaksanakan dengan kedaulatan dan perlu dijaga keutuhan wilayahnya, dengan demikian berdasarkan telaah atas perundang-undangan di Indonesia berkaitan dengan dua teori berkaitan wilayah udara yaitu teori udara bebas dan teori kedaulatan sebagaimana dikemukakan Priyatna Abdurrasyd maka selain berulang kali disebutkan Kedaulatan dalam berbagai UU diatas, Republik Indonesia tidak mungkin menggunakan teori udara bebas sebagai teori yang relevan untuk dianut dikarenakan :

Prinsip teori udara bebas kebebasan udara tanpa batas secara tidak langsung ditolak dan tidak sesuai/tidak relevan oleh UUD hingga UU yang ada, khususnya terkait dengan UU Pertahanan dan UU Wilayah. Pada prinsip Kebebasan ruang udara dilekati beberapa hak khusus negara kolong (subjacent state), dalam hal ini Indonesia sebagai negara kolong menyatakan melalui Pasal 5 UU 1/2009 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia, lebih lanjut dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara, dalam hal ini karena Indonesia menyatakan berdaulat penuh, maka hak khusus negara kolong yang diterapkan di Indonesia sifatnya bukan beberapa pilihan hak khusus negara yang memungkinkan adanya hak-hak yang tidak dimiliki.

Dengan demikian maka menurut pendapat kami Indonesia menganut Teori Kedaulatan dengan menjadi negara olong yang berdaulat penuh namun hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara dimana dalam hal ini pada UU Antariksa dimungkinkan partisipasi aktif dalam Keantariksaan internasional dan/atau kerja sama dengan Instansi Pemerintah dan badan hukum lain di luar negeri, serta kemungkinan di GSO di atas Indonesia telah ditempati oleh satelit-satelit komunikasi dari negara lain.Dari sisi penerbangan UU Penerbangan memiliki cakupan terhadap semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait, termasuk kelestarian lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula pesawat udara asing, dan semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar wilayah NKRI, dengan demikian Indonesia menjadi Negara Kolong yang berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai.

Dengan demikian berdasarkan analisa kami menggunakan Undang-Undang eksisting, maka kami simpulkan bahwa Indonesia secara relevan mengadopsi/menggunakan teori kedaulatan dimana sebagai negara kolong Indonesia berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara, dan sebagai Negara kolong Indonesia dibatasi oleh hak lintas damai yang mana dan dalam mengelola wilayahnya diselaraskan dengan asas-asas pengaturan Wilayah Negara yang dianut di Indonesia yang terdiri dari kedaulatan, kebangsaan, kenusantaraan, keadilan, keamanan, ketertiban dan kepastian hukum, kerja sama,kemanfaatan, dan pengayoman.menjadikan Indonesia menggunakan konsep Teori Kedaulatan berdasarkan konsepsi ruang wilayah udara suatu negara sebagaimana menurut Priyatna Abdurrasyd.

Referensi :

Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

 

Exit mobile version