Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Serba-Serbi Tanah Guntai (Tanah Absentee)

 

Pembahasan

Dalam menenjelaskan tanah guntai berkaitan dengan administrasi pertanahan masih terdapat kaitan yang erat dengan materi landreform di Indonesia (Materi Landreform dapat dibaca disini). Berbicara terkait dengan tanah guntai maka dapat dilakukan dengan menilik Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selasin PP 224/1961 hal yang berkaitan dengan Tanah Guntai dapat ditelaah dengan merujuk pada Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PMA/KBPN 3/1997).

Secara umum beberapa informasi berkaitan dengan Tanah Guntai dapat ditemukan dalam PP 224 Tahun 1961 yang selain merupakan salah satu peraturan teknis turunan dari UUPA, juga merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Tanah Guntai dikenal juga dengan Tanah Absentee yang keberadaannya sebaiknya tidak/jangan sampai terjadi, kaitan larangan munculnya tanah Guntai ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 PP 224/1961. Selain itu terdapat pembaharuan Perubahan dan Tambahan PP 224/1961 dalam PP 41 Tahun 1964 yang melengkapi hal-hal esensial terkait salah satunya tanah guntai.

Dalam pasal 99 Ayat (1) PMA/KBPN 3/1997 menyebutkan bahwa dalam pemindahan hak atas tanah terdapat kewajiban bagi calon penerima hak untuk menyatakan bahwa tanah tersebut tidak akan menjadi tanah absentee (guntai) dan apabila sampai terjadi tanah tersebut menjadi tanah absentee (guntai) maka akan menjadi obyek landreform.

Bahwa PP 224 Tahun 1961 dan UU 56 Prp Tahun 1960 bertujuan menjalankan Pasal 7 UUPA yang berbunyi “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”, sehingga UU 56 Prp tahun 1960 dapat disebut sebagai dasar pelaksanaan landreform atau merupakan UU Landreform, dengan teknis pelaksanaan landreform lebih lanjut diatur dan mengacu pada PP 224/1961, dalam hal ini keterkaitan Tanah Guntai dengan kebijakan Landreform maka dapat dimaknai secara sempit landreform bertujuan untuk “memberikan batasan”, pemberian batasan ini menunjukkan bahwa Tanah Guntai/Tanah Absentee sebenarnya menjadi sesuatu yang sebaiknya tidak/jangan sampai terjadi.

Tujuan utama “memberikan batasan” ini apabila diurai lebih lanjut adalah :

Pembatasan ini tentunya bila menilik dari tujuan utama pemberian pembatasan diatas sebenarnya tidak lantas “mencederai” hak kepemilikan, lebih bersifat untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan dimana bila menilik kembali beberapa tujuan dari landreform yang berkaitan yaitu :

Dengan demikian Pasal 10 Ayat (1) UUPA berbunyi sebagai berikut “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” telah selaras dengan tujuan Landreform, dimana pembatasan Tanah Guntai/Tanah Absentee ini bertujuan untuk mengendalikan / mengeliminasi dengan adanya pelaksanaan kewajiban atas kepemilikan tanah sehingga tidak terdapat Tanah Guntai/Tanah Absentee. Prinsip pelaksanaan azas kewajiban mengusahakannya sendiri secara aktif dan mengerjakannya sendiri dengan mencegah cara-cara pemerasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktik tanam ijon/tengkulak/praktik sejenis yang merugikan petani yang merupakan Amanat Pasal 10 UUPA.

Amanat Pasal 10 UUPA ini pada PP 224/1961 dilaksanakan lebih lanjut teknis nya pada Pasal 3 PP 224/1961 yang mengatur kewajiban untuk mengalihkan kepemilikan tanah dari pemilik yang tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya kepada orang lain di kecamatan letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Lebih lanjut pada Pasal 3d PP 41/1964 yang berbunyi “Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”9. Ketentuan ini masih tidak berubah dan dipertegas dalam Pasal 99 Ayat (1) PMA/KBPN 3/1997 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 99 Ayat (1) PMA/KBPN 3/1997 menyebutkan bahwa dalam pemindahan hak atas tanah terdapat kewajiban bagi calon penerima hak untuk menyatakan bahwa tanah tersebut tidak akan menjadi tanah absentee (guntai) dan apabila sampai terjadi tanah tersebut menjadi tanah absentee (guntai) maka akan menjadi obyek landreform.

Epilog

Berdasarkan esensi dari ketentuan yang telah diuraikan diatas, dan kaitannya yang erat dalam konteks pengolahan pertanian dan landreform, maka tanah absentee / tanah guntai adalah tanah yang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

Dengan demikian untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dan menggerakkan kesejahteraan di bidang pembangunan pertanian, peternakan, dan perikanan dapat digunakan sumberdaya Tanah Guntai, maka urgensi untuk dilakukan kegiatan rutin untuk mengidentifikasi tanah Guntai sebenarnya menjadi cukup jelas bila serba-serbi berkaitan dengan Tanah Guntai ini dilakukan secara konsisten.

Exit mobile version