Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Perlindungan Hukum bagi Pelaku Pengadaan di Pemerintah Daerah

Pengantar

Pasal 84 Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa mengatur tentang pelayanan hukum yang dapat ditarik garis besarnya   :

Bagaimana dengan pelaksanaannya pada Pemerintah Daerah?

Penanganan Perkara di Pemerintah Daerah

Kementerian yang memiliki kewenangan dalam urusan di Pemerintahan Daerah adalah Kementerian Dalam Negeri, dengan demikian terdapat Peraturan Menteri Dalam Negeri berkaitan dengan penanganan Perkara yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang mengatur pelaksanaan tugas untuk penanganan perkara yang bersifat :

Berkaitan dengan Perkara Litigasi, dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, menyebutkan dalam hal permasalahan secara Litigasi yang mendapatkan penanganan Perkara oleh Biro Hukum dan/atau Bagian Hukum Kabupaten/Kota adalah termasuk dalam :

Permasalahan Litigasi pada Pengadaan Barang/Jasa

Pengaturan untuk permasalahan dalam hal aduan masyarakat pada Aparat Penegak Hukum (APH) secara umum dilaksanakan dengan dilimpahkannya pengaduan tersebut kepada APIP Pemerintah Daerah, dalam hal tidak terdapat permasalahan unsur secara administrasi maka pengaduan tersebut tidak terbukti benar secara administratif, namun dalam hal pengaduan ke-APH tersebut berasal dari masyarakat dengan dugaan indikasi terhadap tindak pidana, maka setelah dinyatakan tidak terdapat permasalahan administrasi tersebut, merupakan kewenangan dari APH untuk menegakkan hukum sesuai rezim Hukum yang menjadi dasar dari kewenangannya, maka bila aduannya adalah tindak pidana dalam hal ini perlu diselidiki apakah memang terdapat unsur pidana disitu.

Sah-sah saja dilakukan penyelidikan atas sebuah aduan dugaan tindakan pidana, konon katanya bila memang tidak salah, kenapa harus risih? permasalahannya adalah bagi Pelaku Pengadaan yang dari Aparatur Sipil Negara berstatus Pegawai Negeri Sipil ini sebagai orang sipil biasa yang kalau naik kendaraan pribadi lupa bawa surat-surat saja karena dompet tertinggal udah panik, mungkin berhadapan dengan APH menjadi pengalaman yang kurang nyaman walau tidak melakukan hal-hal yang keliru, dengan kata lain walau masih dalam tahap Penyelidikan saja sudah berasa kurang nyaman.

Pengaduan

Tanpa bermaksud menggampangkan Tindak Pidana Korupsi, suka atau tidak suka, masyarakat Indonesia tercinta saat ini sangat senang dan bergelora dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semangat ini positif sekali, tidak dapat dipungkiri bahwa Tipikor adalah Kejahatan Luar Biasa yang memang menyengsarakan banyak orang, terlebih lagi dalam kaitan pengelolaan keuangan negara yang merupakan urusan publik, memang harus diawasi dan yang memang salah harus di hukum atas kejahatan luar biasa ini.

Namun….. saya melihat saat ini Tipikor terlalu “murah” untuk diucapkan, bahkan tanpa harus memiliki dasar dan bukti yang kuat segala sesuatu dibilang Tipikor. Di salah satu Provinsi dalam hal penganggaran saja pada tahap ini dijalankan dengan sebuah sistem yang tergolong masih muda, yang tentunya tidak serta merta langsung tersedia data sebagai cakupan input dasar sehingga untuk nge-klopkan pagu indikatif maka dilakukan pengisian rincian dengan menggunakan komoditas yang gak masuk akal, tapi hal tersebut terpaksa harus dilakukan karena keterbatasan waktu, media luar biasa ribut, netizen bersorak sorai bahwa Kepala Daerah melakukan Tipikor, padahal yang input hal ini mungkin hanya ASN biasa yang memang terdesak waktu.

Kembali pada statement saya yang menyatakan bahwa “Tipikor” menjadi sesuatu yang sangat murah diucapkan, bahwa Provinsi tersebut bukan satu-satunya yang melakukan hal tersebut, bedanya Daerah lain belum mempublikasikan saja proses ini, setelah proses perencanaan kan akan ada tahapan-tahapan lain dalam rezim Peraturan Perundangan Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, hingga masuk proses Pengadaan Barang/Jasa yang juga melakukan proses pelaksanaan menggunakan pendekatan pasar, kemudian setelah barang/jasa dihasilkan maka masuk kembali kedalam rezim Perbendaharaan Negara/Daerah, keuangan, dan Barang Milik Negara/Daerah, dan segunung Peraturan lainnya, tahap saringannya banyak, sehingga niat jahat tersebut baru bisa dilakukan tidak hanya satu pihak di Pihak saja, jadi ketika terjadi beberapa permasalahan ngeklopkan anggaran tersebut yang memang secara waktu tidak memadai dan perlu dikejar cepat untuk percepatan maka akurasi yang dikurangi dan jadinya ngawur! secara perencanaan dan penganggaran jelas ngawur! namun apakah ini jadi Tipikor? jawabannya belum tentu.

Karena belum tentu Tipikor, maka mekanisme pengaduan perlu dilimpahkan dulu, setelah diketahui salahnya tidak secara administrasi oleh pemeriksaan APIP, pengaduan Tipikor tersebut menjadi Tugas bagi APH untuk mencari unsur pidana nya, sejatinya jika memang tidak ada kesalahan pasti akan baik-baik saja bagi pihak yang diperiksa, dalam hal ini tidak bisa di terlalu sederhanakan dan menjadi pembenaran bahwa bila seorang ASN yang telah bertugas bagi Pemerintah, menghadapi hal ini adalah risiko secara individual, karena Kewenangan dari penugasan sebagai Pelaku Pengadaan adalah tugas dari Pemerintah, maka menjadi risiko pekerjaan, karena risiko pekerjaan maka disinilah peran dari yang memberikan Pekerjaan, yaitu Pemerintah untuk memberikan Pelayanan Hukum.

Argumentasi “Kalau tidak salah ngapain risih” bukan lantas jadi pembenaran untuk Pemerintah mengabaikan kewajiban dari Perpres 16 tahun 2018

Keberadaan pengaduan masyarakat kepada Aparat Penegak Hukum secara umum lebih di favoritkan menggunakan istilah Tindak Pidana Korupsi yang merujuk khususnya pada Pasal 2 Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal Pelaku Pengadaan dilakukan pengaduan dari masyarakat, praktik yang umum terjadi adalah menggunakan istilah Tindak Pidana Korupsi, selain itu Potensi Kerugian Negara, itu bahasa yang sedang “hype” saat ini, kalimat “Tindak Pidana Korupsi” itu terlalu mudah diucapkan sehingga “Penyedia” yang cidera janji untuk memberi hasil pekerjaan yang tidak sesuai kontrak dan membohongi Pelaku Pengadaan dari sisi Pemerintah yang merupakan ranah hukum Perdata dan harusnya yang  dihukum adalah Penyedia tersebut secara perdata, berujung pada Tindak Pidana Korupsi yang malah menghukum Pelaku Pengadaan di sisi Pemerintah yang sebenarnya “kena tipu” dari Penyedia.

Sudah Jatuh tertimpa tangga, seorang Pelaku Pengadaan, yang melakukan Penandatangan Kontrak atau disebut pejabat penandatangan kontrak (ppk), bisa berasal dari Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam bertugas sebagai ppk bisa jadi ditetapkan bertugas berdasarkan karir administratifnya yang suka tidak suka diterima sebuah Pengadaan Barang/Jasa tersebut, terkadang sebuah inovasi untuk pelayanan publik yang lebih baik, maka hadirlah kebutuhan yang tidak umum, seperti membangun Rumah Sakit untuk penyakit tertentu, yang membutuhkan barang elektromedis yang spesifikasi nya tidak umum di Indonesia, ppk berasal dari pejabat struktural yang karena karir administrasi ditetapkan karena pangkat dan golongannya, terbiasa sebagai pengguna akhir, tidak mengerti urusan kelistrikan, urusan pembuatan alat elektro medik, walaupun pendidikannya di bidang kesehatan, kemudian berdasarkan kebutuhan akan alat tersebut maka diperoleh penyedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Dalam berkontrak, ppk mengatakan “saya yang penting barang sesuai spesifikasi dan berfungsi”

Kemudian dalam contoh ilustrasi fiktif ini, ternyata Penyedia melihat bahwa ppk ternyata hanya orang administrasi, disekelilingnya ternyata orang teknisnya bisa “di-kadalin” maka barang di “modif” dengan komponen tak layak, di re-packaging dan diserahkan, 3 bulan pengujian berjalan baik, ppk menerima barang tersebut karena pengujian 3 bulan berjalan dengan baik, namun karena komponen tak layak itu kualitasnya jelek maka setelah 3 bulan barang rusak.

pada ilustrasi kasus diatas yang cidera janji adalah Penyedia, karena itikad buruk nya, diperkarakan oleh masyarakat karena dengan tuntutan Tipikor, Penyedia yang punya uang banyak karena tindak kejahatan nya dimana-mana bisa meng-hire Pelayanan Hukum yang baik dan atas kesalahannya tersebut dikenakan hukuman sepantasnya.

ppk karena melakukan kerugian keuangan negara, memperkaya Penyedia secara langsung maupun tidak langsung juga dapat dijerat, walaupun posisinya adalah ppk ini di perkara perdata adalah orang yang “kena tipu”, dalam kondisi ini, agar tidak “sudah jatuh tertimpa tangga” maka perlu lah di dampingi, bila Penyedia memiliki uang relatif banyak karena memang praktik utamanya adalah profit, ppk yang berasal dari PNS bekerja untuk pengabdian, yang namanya Pengabdian ini tentunya harus diberikan pelayanan di bidang Hukum atas risiko Pekerjaan.

Pelaksanaan PMDN 12 Tahun 2014 dan Harmonisasi dengan Perpres 16 tahun 2018

Saya tidak akan beretorika Perpers 16 tahun 2018 karena tingkatan nya Peraturan Presiden hirarki nya berdasarkan UU 12/2011 beserta seluruh perubahannya lebih tinggi dari PMDN 12 tahun 2014, kalau menggunakan retorika tersebut akan berasa kurang ilmiah dari perspektif Metode Penelitian Ilmu Hukum. Pada artikel ini saya akan coba menguraikan dari sisi Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan mencoba mengajukan argumentasi bahwa PMDN 12/2014 dan Perpres 16/2018 itu ya harmonis dan saling menguatkan.

Berikut ini adalah pola pikir lintas Peraturan Perundangan yang dapat di diskusikan bersama :

Berdasarkan ketiga butir uraian diatas maka TIPIKOR bukan sebuah rezim hukum yang terpisah dari Hukum Pidana, TIPIKOR adalah peristiwa hukum yang termasuk dalam Hukum Pidana yang diberantas secara intensif dengan keberadaan UU 31/1999 beserta perubahannya dan bukan rezim terpisah dengan Hukum Pidana.

Pengaduan masyarakat atas Tipikor yang memerlukan Penyelidikan oleh APH wajib tentunya berdasarkan pertimbangan tertentu ditindaklanjuti selama memang laporan tersebut kredibel dengan Penyelidikan apakah dapat dilanjutkan dalam tahap Penyidikan, tentunya berdasarkan proses selama beracara ini, bila memang salahnya ada pada Penyedia maka ganjar lah dengan menghukum Penyedia, demikian sebaliknya bila yang salah adalah PNS Pelaku Pengadaan terkait atau oknum di Pemerintahan, maka hukum lah yang memang bersalah.

Dalam proses Pencarian Kebenaran ini, jangan sampai menjatuhkan korban yang tidak perlu, seperti apa sih korban yang tidak perlu? salah satunya adalah ppk yang seperti saya sebutkan di artikel diatas, yang menjadi “korban” dari penyedia ber-itikad tidak baik, dalam praduga tak bersalah inilah filosofis Perpres 16 tahun 2018 ini mewajibkan Pemerintah perlu memberikan Pelayanan Hukum.

Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan dalam PMDN 12/2014? apakah dimungkinkan untuk diberikan Pelayanan Hukum bila pengaduan masyarakat tersebut terjadi? Menurut saya iya, dasarnya sebagaimana yang saya sebutkan diatas bahwa Tipikor itu adalah Peristiwa Pidana, dan dalam konteks Extraordinary Crime merupakan sebuah tindakan pidana yang luar biasa hingga menghadirkan Undang-Undang yang khusus untuk memberantas nya, namun UU ini adalah UU untuk upaya pemberantasan, bukan UU yang menghadirkan rezim baru yang memisahkan antara Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan demikian walaupun tidak disebutkan secara rinci bahwa Tipikor itu tertulis dalam PMDN 12/2014, Pemda tidak dapat mengabaikan kewajiban untuk memberikan pelayanan hukum, khususnya di tengah masyarakat yang tengah hype menggunakan istilah Tipikor. Kalau memang benar Pelaku Pengadaan tersebut memang salah saya sangat mendukung untuk di ganjar seberat-beratnya, namun bila Pelaku Pengadaan adalah pihak yang turut di tipu oleh Penyedia nakal yang karena ketiadaan pelayanan hukum malah kena hukum juga, dimana aspek keadilan-nya?

Analisis saya pribadi terkait Kewajiban Pelayanan Hukum dengan pengaduan Tipikor kepada Pelaku Pengadaan tidak bertentangan dengan PMDN 12/2014 adalah berdasarkan urutan sebagai berikut :

Tidak perlu memikirkan untung-rugi dari Pelayanan Hukum ini, jangan langsung berpikir bahwa Pelaku Pengadaan sudah pasti otomatis bila tidak bersalah akan baik-baik saja tanpa perlindungan dan pelayanan hukum sehingga tidak perlu mengeluarkan beban biaya, perlu diperhatikan juga bahwa terdapat kemungkinan bahwa tanpa perlindungan Hukum dan Pelayanan Hukum yang memadai seseorang yang tidak salah dapat menjadi korban.

Penutup

Dengan demikian tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah untuk tidak memberikan Pelayanan Hukum bagi Pelaku Pengadaan, kalau memang Pemerintah merasa tidak salah mengapa risih membantu pelaku pengadaannya sendiri?, anekdot ini yang perlu ditumbuhkan saat ini.

Sekian untuk dapat disampaikan, tetap semangat, tetap sehat, dan salam Pengadaan!

Exit mobile version