Makna aturan ini adalah dengan ilustrasi sebagai berikut :
Misal proses pengadaan pekerjaan konstruksi dengan persentase keuntungan sebesar 10% adalah Nilai HPS termasuk PPN sebesar Rp10Milyar.
Lalu dari proses Tender pekerjaan konstruksi itu terdapat penyedia yang memenangkan tender dengan nilai penawaran Rp8,5M. Artinya ada penawaran yang lebih rendah dari HPS sebesar 15%.
Kontrak selesai tepat waktu sesuai dengan aspek penilaian kinerjan dengan predikat Baik. Tentunya bukan berarti peringkat Baik meniadakan audit, audit tetap perlu dilakukan untuk memastikan pekerjaan memang sesuai.
Bagaimana audit seharusnya dilakukan? Pekerjaan memang sesuai adalah kuncinya, ditiap tahapan pengadaan dilakukan pengawasan.
pengawasan memang perlu dilakukan, untuk memastikan kualitas (quality asurance), jadi pengawasan dilakukan pada tahapan-tahapan diatas. Apa saja yang menjadi aspek yang dicermati dalam audit? Berikut ini jawabannya :
Poin-poin diatas bila kita soroti adalah aspek pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya, meliputi aspek kualitas, kuantitas, biaya, lokasi, dan penyedia.
Bila semuanya sudah terpenuhi, maka kontrak sudah sesuai dengan baik. Adapun aspek biaya disini berdasarkan PerLKPP 4/2021 adalah potensi penambahan nilai kontraknya.
Kaitan biaya dengan cara perhitungan HPS tidak perlu dikaitkan adalah makna “HPS bukan dasar perhitungan kerugian negara”.
Dicontoh diatas kontrak dengan nilai Rp.8,5M tidak perlu diaudit hingga cara melaksanakan pekerjaan, dalam hal ini keuntungan dari Penyedia yang diaudit. Mari kita lanjutkan tentang pelanggaran dari “HPS bukan dasar dari kerugian negara”, jadi nilai 10% dijadikan dasar untuk memperhitungkan keuntungan yang boleh diterima penyedia adalah salah satu bentuk penerapan HPS menjadi dasar kerugian negara.
Dalam Pemeriksaan diketahui bahwa penyedia telah membayar upah tenaga kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, namun dalam hal proses memperoleh bahan material konstruksi diketahui penyedia berhasil memperoleh keuntungan sebesar Rp1,275M. Keuntungan ini diperoleh karena selisih harga dari supplier yang lebih murah dibandingkan harga pasar. Total keuntungan yang diterima sebesar Rp1,275M, padahal kontrak bernilai Rp8,5M, dibandingkanlah rasio 10% keuntungan dari HPS itu tadi, maka terjadi temuan Rp1,275M dikurangi keuntungan yang menurut pemeriksa hanya boleh diterima penyedia sebesar Rp850juta, maka dianggap ada kelebihan pembayaran sebesar Rp425juta.
Apakah benar ini merupakan kerugian negara? Jawaban saya TIDAK TEPAT. Perhitungan keuntungan dengan persentase 10% itu merupakan nilai dalam menyusun HPS, angka tersebut diperhitungkan berdasarkan keahlian dan berbagai informasi lainnya menjadi nilai HPS. Nilai HPS tersebut menjadi batas penawaran tertinggi untuk pekerjaan pengadaan barang/jasa lainnya/pekerjaan konstruksi, pada contoh diatas pemenang tender telah melakukan persaingan harga dan telah turun 15%, maka hal tersebut seharusnya cukup.
Artinya kompetisi dan harga pasar telah terjadi. Sebut saja jika pemenang cadangan (urutan 2) yang menawar lebih tinggi, contoh nilai Rp9M, belum tentu dia bisa memperoleh material dengan harga yang lebih efisien seperti perusahaan pertama. Dalam dunia bisnis terkadang relasi dan strategi bisa menghasilkan efisiensi sehingga menghasilkan kemungkinan diskon karena kepercayaan atau penghematan yang wajar untuk kelangsungan usahanya.
Jadi memperoleh untung atas usaha dalam bentuk memperoleh supply bahan kerja/material yang lebih mudah adalah upaya inovasi, menurut saya tidak semestinya malah diganjari sebagai kelebihan pembayaran.
Analogi saya, perusahaan ayam goreng dengan 11 bumbu rahasia tidak akan dicari harga bahan bakunya, tidak logis rasanya bila kita membandingkan harga perolehan 11 bumbu rahasia, perolehan daging ayam, dan biaya lainnya lalu membatasi keuntungannya 10%, mengapa? Karena model usaha tiap pelaku usaha berbeda.
Jadi seharusnya apa yang diperiksa? Proses Pengadaannya sebagaimana telah diatur dalam Perpres Pengadaan. Apa akibatnya bila proses penentuan kerugian negara dilakukan dengan menggunakan informasi dari HPS beserta cara menyusunnya? Maka akan terjadi asimetris penentuan untung-rugi yang jelas akan merugikan penyedia, karena keahlian tiap pelaku usaha dalam melakukan manajemen tidak mungkin 100% sama, penyedia yang inovatif dan bonafid akan lebih berpeluang mendapatkan untung lebih besar tanpa mengorbankan kualitas, bila hal ini terjadi maka seharusnya tidak diganjar sanksi pengembalian, karena penyedia sudah untung dengan harga penawaran yang sesuai, kemudian aspek value for money nya terpenuhi dan atas itu Pemerintah lebih untung lagi.
Bila penyedia seperti ini dibatasi keuntungannya yang dapat diperoleh, maka asimetris pementuan untung rugi ini akan menjadi preseden yang mencederai pengadaan barang/jasa secara nasional, sehingga perusahaan yang baik akan cenderung menghindari pengadaan pemerintah, sehingga yang bersaing dipasar pemerintah cenderung penyedia yang kurang profesional.
saya tidak anti dengan pengawasan, pengawasan tetap diperlukan, namun sebaiknya tidak dilakukan secara berlebihan, bila kualitas dan kuantitas kurang dari kontrak, tidak tepat waktu, biaya cenderung membengkak hingga perlu adendum, lokasi keliru, penyedianya tidak sesuai kualifikasi, kemudian terjadi ketidakpatuhan dalam regulasi lainnya, ini sangat logis diperhitungkan seksama potensi kerugian negaranya.
Memperhitungkan kerugian negara sebaiknya dari aspek pelaksanaan, bukan menggunakan HPS beserta angka-angka yang digunakan dalam proses penyusunan secara keahlian, ingat HPS bukan dasar untuk menentukan kerugian negara bukan cuma sebatas angka akhir HPS semata, termasuk angka dan variabel yang ada dalam HPS tidak tepat bila digunakan untuk menghitung kerugian negara.
Demikian.