Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pengenaan Sanksi Denda dalam Pelaksanaan Kontrak yang Keliru? Konsekuensinya?

Kesewenangan Berkontrak

Kesewenangan Berkontrak

Pendahuluan

Kontrak di Indonesia mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dengan asas Korkodansi dibawa Pemerintah Hindia Belanda, dengan demikian yang berlaku adalah berdasarkan Burgerleijk Wetboek voor  Indonesie yang berasal dari Negeri Belanda dalam hal ini karena berasal dari Belanda selama masa Kependudukan Hindia Belanda, maka pemberlakuan Civil Law System dan berbeda dengan pemberlakuan kontrak di negasa dengan sistim Anglo Saxon.

Kesetaraan Dalam Berkontrak

Pasal 1313 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika melihat pengertian perjanjian maka unsur-unsur pembentuk perjanjian dalam KUHPerdata adalah :

  1. Adanya hubungan hukum
  2. Adanya kekayaan;
  3. Adanya para pihak;
  4. Adanya prestasi.

Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu Kontrak dinyatakan Sah apabila memenuhi Syarat Sahnya suatu kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

  1. Tercapainya Kesepakatan
  2. Para Pihak bersepakat mempunyai kapasitas Hukum
  3. Objek yang disepakati
  4. Kausanya Halal

Para pihak yang bersepakat mempunyai kapasitas hukum dan memiliki kesetaraan, dengan demikian pada saat berkontrak kedua belah pihak memiliki kesetaraan untuk mengklaim prestasi maupun menuntut hak dan kewajiban atas wanprestasi maupun prestasi.

Penyalahgunaan Kewenangan

Kewenangan Pemerintah sebagaimana pada artikel ini dan artikel kedua ini dituliskan menjelaskan bahwa pada prinsipnya kekuasaan dari penyelenggara negara memungkinkan terjadinya perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad), perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) selaku manifestasi negara secara nyata dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelenggara negara secara nyata yang kemungkinan bersinggungan dengan wilayah privat terkait hak dan kewajiban warga negara.

Dalam hal ini fungsi dari mempelajari ilmu hukum tata negara sangat erat kaitannya dalam hal mengawasi penyelenggara negara sebagai manifestasi negara secara nyata dalam pelaksanaan tugasnya untuk tidak menyimpang, khususnya ketika penyelenggara negara bertindak berdasarkan atas hal yang belum diatur sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan atau dikenal dengan diskresi / kebebasan bertindak freiss emerson agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan (droit function).

Dalam berkontrak Pengadan Publik antara Swasta dengan Pemerintah terdapat beberapa hal bersifat prinsipal berkaitan dengan kewenangan Pemerintah sebagai berikut :

Dalam ranah melakukan perikatan tersebut maka menurut De Haan Pemerintah wajib dibatasi kewenangan diskresinya dengan tujuan mencegah Pemerintah bertindak sewenang-wenang/penyalahgunaan wewenang, dan dalam kapasitas dilakukan perikatan maka pihak yang berkontrak dari Pemerintah memiliki kedudukan yang setara dengan Badan Hukum Privat yang berkontrak dengan Pemerintah.

Pembatasan Kewenangan Pemerintah

Dalam berkontrak Pembatasan Kewenangan Pemerintah diperlukan agar terdapat kedudukan yang setaraa dengan Badan Hukum Privat (Swasta) dengan Pemerintah. Dengan demikian Penyedia sebagai Badan Hukum Privat (Swasta) juga memiliki kewenangan yang setara ketika Pemerintah Wanprestasi.

Salah satu Wanprestasi dari sisi Pemerintah adalah ketika Pemerintah lambat membayar atau tidak memberikan akses terhadap lokasi pekerjaan sehingga Penyedia tidak dapat melaksanakan Pekerjaan. Dalam hal ini maka perlu dilakukan “Kompensasi” kepada Penyedia karena bukan salahnya Penyedia.

Demikian juga ketika Kontrak bersumber dari dokumen Perancangan yang tidak sesuai sehingga bila dilaksanakan maka hasil pekerjaannya tidak dapat sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hal ini bila dokumen Perancangan dari PPK sebagai Pejabat Penandatangan Kontrak Pemerintah, maka PPK bersama Konsultan Perancang dan Konsultan Pengawas seharusnya segera merespon dan melakukan adendum Kontrak.

Pihak yang membantu PPK dalam hal adendum Kontrak yang menjadi tugas pengendalian kontrak PPK ini adalah Konsultan Perancang dan Konsultan Pengawas, makanya dalam Pasal 22 Ayat (4) huruf f Peraturan Menteri PUPR Nomor 22 tahun 2018 tentang , Konsultan Perancang Teknis sebesar 15% (lima belas per seratus) setelah tahapan pelelangan/tender penyedia jasa pelaksanaan konstruksi sebesar 5% (lima perseratus) sebenarnya mengedepankan bahwa dalam hal Konsultan Perancang Teknis dalam hal menemukan kondisi di lapangan dan rancangan teknisnya tidak sesuai maka menjadi dasar bagi PPK untuk melakukan penyesuaian spesifikasi teknis, dalam hal teknis ini memberikan kemungkinan perubahan jadwal atas pekerjaan, maka menjadi tugas PPK untuk mengendalikan Kontrak dan untuk mengusulkan perubahan Jadwal Kegiatan, dan tugas PPK ini berdasarkan Pasal 11 Perpres 16 tahun 2018, bukan menjadi kewajiban Penyedia.

Bagaimana bila PPK lalai? Penyedia yang mengalami Perubahan Spesifikasi dari kondisi Spesifikasi saat tender dan pelaksanaan ternyata berbeda dan tidak mengalami perubahan jadwal atau perubahan kontrak yang diperlukan dan tidak diberikan perpanjangan waktu, maka menurut hukum yang berlaku seharusnya atas hak menerima perpanjangan waktu namun malah dikenakan denda, maka yang keliru dan dalam hal Penyedia di Denda, maka hal ini menjadi ketidakadilan bagi Penyedia.

Dalam hal ini bila terjadi, saran saya Penyedia tinggal bersengketa saja secara Perdata, gunakan langkah Non-Litigasi bila Musyawarah tidak memberikan hasil. PPK yang terbukti keliru dapat dinyatakan lalai dan dihukum secara administratif, termasuk mendenda Penyedia yang tidak seharusnya didenda, dengan kata lain dzolim.

Demikian disampaikan, tetap semangat, tetap sehat, tetap berintegritas, dan salam pengadaan!

Exit mobile version