Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pengaturan terkait Sub-Kontrak dalam Kontrak PBJP

Berikut adalah pengaturan Sub-Kontrak dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana terakhir diubah dalam Peraturan Presiden NOmor 12 tahun 2021 :

Dengan demikian Sub-Kontrak merupakan skema kerja sama usaha yang dimungkinkan untuk dapat dilakukan dalam Pengadaan Barang/jasa Pemerintah, menjadi bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah, karena dengan adanya skema ini (sub-kontraktor) memberikan perluasan / peningkatan peran serta usaha kecil dan koperasi.

Lebih lanjut di Peraturan LKPP Nmor 12 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia :

Sub-Kontrak wajib streamlined dari hulu ke hilir, karena menjadi jalan masuk bagi pelaku usaha dalam peningkatan peran serta usaha kecil dan koperasi bagi pelaku usaha yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan, kemudian pengalaman sub-kontrak ini juga menjadi hal yang dapat diakui dan dinilai sebagai kualifikasi teknis penyedia dalam proses pemilihan penyedia.

Dengan demikian, Sub-Kontrak bukan menjadi hal yang dilarang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, karena :

Pada :

Berdasarkan ketentuan yang diatur berkaitan dengan subkontrak, maka PPK dalam melaksanakan proses PBJP sudah memperhatikan tentang batasan-batasan terkait subkontrak dan kontrak utama, sejak kapan? sejak tahapan perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan.

Jangan sampai terjadi hal yang ilegal.

Apa itu yang ilegal, ya sesuatu yang terlarang, kontrak menjadi UU bagi kedua belah pihak yang menyepakatinya, kemudian kontrak juga tidak boleh bertentangan atas sebab yang halal, bila diatur dalam Peraturan Perundangan tidak boleh dilakukan hal tersebut, maka kontrak yang dilaksanakan dengan melanggar kontrak maupun PUU menjadi ilegal.

Contoh ilegal yang pertama adalah tidak ada bagian pekerjaan yang disubkontrakkan sejak penawaran, kemudian tidak ada dalam kontrak, tiba tiba di pelaksanaan terdapat pekerjaan yang disubkontrakkan, hal ini menjadi pelanggaran yang wajib dikenakan sanksi.

Contoh ilegal lainnya adalah kontrak ternyata “dijual lagi” sehingga pemenang pemilihan penyedia ternyata melakukan pengalihan kontrak sepenuhnya, jadi seluruh pekerjaan/pekerjaan utama menjadi dikerjakan oleh pihak lain, bahasa awam nya “pinjam bendera”.

Kontrak PBJP dengan “pinjam bendera” melanggar syarat keabsahan berkontrak, prinsipnya “pinjam bendera” ini dapat terjadi karena :

Kedua hal diatas adalah hal yang menjadi “pasar” dan merupakan respon atas “peluang” sehingga muncul praktik pinjam bendera. Bagaimana bila terjadi praktik ini? kontrak dengan praktik pinjam bendera menjadi sesuatu yang diperoleh secara tidak legal, maka kontrak dapat dibatalkan bila pengalihan pekerjaan ini merupakan pengalihan seluruhnya sehingga ada pihak lain yang mengerjakan pekerjaan dengan menggunakan legalitas pelaku usaha lain.

Prinsipnya tidak ada makan siang yang gratis, praktik pinjam meminjam bendera merupakan aktifitas yang sifatnya transaksional, sehingga ada beban biaya disitu, beban biaya transaksional yang ilegal dalam hal ini bila diketahui oleh PPK maka PPK wajib menindaki sehingga tidak terjadi potensi kerugian negara disitu.

Permasalahannya adalah tidak ada aturan yang eksplisit berkaitan peminjaman bendera ini, telah kita perhatikan bahwa yang diatur dalam Perpres PBJP adalah sub-kontrak yang diperbolehkan, pada ranah aturan pelaksana, baru diuraikan bahwa pengalihan pekerjaan utama atau sub-kontrak pada pekerjaan utama itu dilarang, artinya perlu telaah hermeutika peraturan pengadaan untuk memahami bahwa “pinjam bendera” itu dilarang.

Hal yang menjadi argumen berikutnya, “dimana pasal nya pinjam bendera itu ngga boleh?”

Kalau seperti itu memang tidak ada pengaturan yang menyebutkan demikian gamblang apa adanya, karena kalau semua peraturan perundangan menuliskan apa yang dilarang, nanti aturannya menjadi super tebal, lagipula kita dapat menggunakan logika dalam menalar sebuah aturan.

Nalar ini saya contohkan sebagai berikut : apakah pernah disebutkan dalam APBD dilarang menyimpan uang negara di jalanan? apakah ada pasal untuk melarang hal tersebut? tidak ada pasal tersebut, namun apakah berarti kita boleh meletakkan APBD di jalanan? ya ngga boleh…. ngga gitu juga konsepnya masbro……

Maka Pinjam Bendera yang merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama ini sebagai sebuah fenomena merupakan potensi kerugian negara, karena ada beban transaksional disitu. Inisiatif untuk melakukan pinjam bendera ini dapat menjadi sumber kejahatan, sehingga praktik ini perlu dikikis, praktik ini tidak baik, tidak baik karena menghadirkan extra cost.

Ketika terjadi kontrak seperti ini maka bila PPK mengetahui dan membiarkan maka ada potensi kerugian negara disitu, sehingga perlu ditinjau dan dimitigasi sejak awal klausul kontrak dalam hal terjadi pengalihan sepenuhnya. Saat ini model kontrak dalam model dokumen pemilihan memang mengatur pilihan ketika terjadi pelanggaran atas pengalihan/sub kontrak dengan pilihan dikenakan denda atas bagian dari pekerjaan yang dialihkan/subkontrak di luar dari apa yang tercantum dalam kontrak untuk di denda dua kali lipat atau dilakukan pemutusan kontrak, menurut saya perlu di detilkan, jadi bila terjadi pengalihan sepenuhnya maka dikenakan sanksi “putus kontrak dan dikenakan daftar hitam pada penyedia yang bersangkutan dan pelaku usaha yang bekerja” dan dikenakan sanksi “denda dua kali lipat atas pekerjaan yang di sub-kontrakkan diluar dari yang tercantum di kontrak”.

Dari sisi mitigasi risiko ketika tahap pemilihan penyedia, apakah dapat dilakukan serangkaian tahap pencegahan disini? karena proses pemilihan penyedia dilakukan secara elektronik sesuai dengan akun yang dimiliki, sistem tersebut seolah memberikan “ilusi” bahwa tidak terjadi praktek pinjam meminjam bendera dalam bentuk pinjam meminjam akun, hal ini hanya bisa dicegah dengan tahapan pembuktian kualifikasi semata untuk memastikan bahwa perusahaan terkait memang benar-benar pemiliknya yang melakukan proses penawaran dalam tahapan pemilihan penyedia.

Bagaimana dengan praktik adanya akta notaris tentang pemberian kuasa? Notaris adalah pejabat yang membuat minuta/akta otentik untuk sebuah perjanjian, perjanjian dalam bentuk pemberian kuasa ini hanya untuk melimpahkan kewenangan saja, sehingga jika ada pelimpahan kewenangan yang terkesan mendadak, maka hal ini terindikasi praktik pinjam bendera, namun dalam hal pemberian kuasa ini mitigasi yang dilakukan adalah tetap meminta direksi/pengurus utama yang melakukan tindakan dalam proses kontrak, hal ini mengingat bahwa penyedia merupakan entitas tunggal sebagai satu badan, sehingga yang paling bertanggung-jawab tetap dikembalikan ke pemilik utama walau ada surat kuasanya, namun perlakuannya pada tahapan yang terindikasi ini menurut saya tidak lantas langsung menggugurkan saat proses pemilihan penyedia atau pada proses kontrak, bisa saja dengan mendesak agar yang hadir adalah yang memang tertera dalam akta lama dan masih ada di akta baru sebagai orang yang memang bertanggung-jawab penuh untuk hadir dan bertanggung-jawab.

Hal ini dilakukan dalam tahap mitigasi di awal, sehingga entitas tunggal yang dipinjam itu benar-benar kembali ke pemiliknya saat di proses pemilihan penyedia atau tanda tangan kontrak. Kalau sudah terlanjur berkontrak baru ketahuan gimana? ya harus di blacklist.

Apakah Pinjam Bendera ini adalah pelanggaran Perpres Pengadaan? Perpres Pengadaan hanya peraturan teknis penjabaran Undang-Undang, Pinjam Bendera yang didasari niat jahat maka dapat ditindak dengan UU terkait atau KUHP.

Pada dasarnya pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini wajib kompeten di aspek administratif dan teknis, kalau tidak kompeten ya jangan ikut-ikutan, aspek keperdataan memang menjadi hal yang paling awal terjadi ketika pelanggaran seperti ini terjadi, namun bila diniatkan karena adanya niat jahat maka dapat dipidana, sehingga tidak seharusnya Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dijadikan bancakan main-main mengingat semua pembiayaannya merupakan uang rakyat yang berasal dari pendapatan dalam negeri, pinjaman, maupun hibah dari dalam dan luar negeri.

Demikian.

Exit mobile version