Pajak sebagaimana definisinya oleh beberapa ahli dan ketentuan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
- 1. Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UU (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Prof.Dr.Rochmat Soemitro, SH)
- 2. Iuran kepada negara (dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yg langsung dpt ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Prof.Dr.P.J.A.Adriani)
- 3. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan Keempat atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada pasal 1 angka 1)
,
Pada prinsipnya berdasarkan tiga definisi diatas peran Pajak sangatlah strategis karena merupakan sebuah instrumen untuk membiayai pengeluaran yang digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan manfaat yang tidak dirasakan langsung / kontraprestasi, oleh karena sifat manfaatnya yang tidak dirasakan langsung/kontraprestasi maka seringkali kewajiban pajak dianggap menjadi beban, terlebih lagi karena sifat nya yang memaksa tersebut.
,
Proses pengurusan pajak juga seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang membebani dan rumit, sehingga upaya untuk memungut pajak menjadi beban tersendiri bagi para aparatur dikarenakan pada prinsipnya apa yang menjadi “hutang” bagi wajib pajak tersebut merupakan sebuah kewajiban yang tidak berkaitan langsung dengan usaha bagi para wajib pajak untuk memperoleh hasil yang dikenakan pajak tersebut. Sebagai contoh pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diperoleh seseorang selama tahun tersebut, ataupun pajak sarang burung walet yang muncul karena terlaksananya penjualan atas sarang burung walet yang di budi dayakan, pemerintah tidak ikut andil dalam pengusahaan tersebut namun masyarakat dibebankan atas “hutang” dalam bentuk pajak, seringkali dikeluhkan bahwa masyarakat berusaha atas upayanya sendiri namun para petugas pajak tiba-tiba muncul dan menagih, pada prinsipnya pajak memanglah tidak disukai.
,
Pada prinsipnya karena “tidak disukai” sebagaimana halnya diatas, maka segala sesuatu upaya represif sepihak dari Unit Kerja yang memungut pajak tidaklah bisa secara optimal meningkatkan upaya kepatuhan wajib pajak terlepas dari upaya-upaya yang bersifat memaksa yang sudah dilakukan sejauh ini, upaya sepihak ini merujuk pada kebijakan unit pemungut, seperti Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ataupun pada Badan Pendapatan Daerah/Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam “mengejar” wajib pajaknya untuk membayar pajak hingga pengenaan denda.
,
Kegiatan “rutin” tersebut diatas dalam “mengejar” wajib pajak dapat mempertahankan jumlah wajib pajak selain juga adanya penjaringan wajib pajak baru yang datang dengan sukarela dikarenakan pajak baik berupa identitas pendaftarannya berupa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) maupun bukti lunas pada periode tertentu dibutuhkan dalam mendapatkan hak akses lebih karena dipersyaratkan untuk melakukan tindakan lebih lanjut, contoh paling umum dalam hal ini adalah kepengurusan pinjaman uang dari Bank maupun persyaratan administrasi untuk melakukan proses berkontrak dalam kerjasama antara pelaku usaha dengan pemerintah. Praktis wujud bentuk usaha lainnya yang dapat menjadi subyek maupun obyek pajak yang tidak mempersayratkan pajak akan sulit terdeteksi, dan secara logis sebagaimana yang disebutkan diatas, persepsi bahwa Pajak sebagai beban akan menjadi penghalang bagi pihak yang berkewajiban untuk menyetorkan secara sukarela kewajibannya, kalaupun ada yang menyetor karena murni kesadaran hal ini merupakan bagian dari persentase yang kecil dan tidaklah umum.
,
Berbagai upaya “optimalisasi” yang dilakukan unit kerja pemungut adalah mempertajam dan memperjelas prosedur dan pengenaan tarif pajak dengan melakukan sosialisasi, terkadang sosialisasi juga memperjelas dan menceritakan manfaat dari pembayaran pajak yang telah dilakukan dan dampaknya pada pembangunan, selain sosialisasi papan informasi pekerjaan proyek-proyek pemerintah mencantumkan pesan “Pekerjaan ini dapat terlaksana berkat kepatuhan anda dalam membayar pajak”, pemanfaatan teknologi informasi juga memperjelas dan memungkinkan unit pemungut pajak untuk semakin transparan dan melaporkan secara berkala nilai pajak yang terkumpul untuk kemudian dimasukkan sebagai postur anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD, selain itu pemanfaatan teknologi informasi juga memungkinkan pemerintah untuk menyederhanakan proses pelaporan maupun penyetoran pajak melalui berbagai aplikasi terkait, penyederhanaan proses bisnis juga terus dilakukan dengan mengklasifikasikan wajib pajak dengan penghasilan tetap yang ketetapan pajak nya nihil dikarenakan nilai penghasilannya dibawah nilai penghasilan tidak kena pajak agar tidak senantiasa melaporkan tiap tahunnya, optimalisasi proses bisnis ini secara perlahan memberi “pencerahan” bagi wajah perpajakan kita, namun apakah hal ini cukup untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak?
,
Penulis berpendapat bahwa “inovasi” perpajakan menjadi salah satu cara dari beberapa cara yang dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak selain upaya represif maupun upaya optimalisasi, salah satu bentuk inovasi yang cukup dikenal oleh penulis adalah Pajak Daerah Patuh Award dimana wajib pajak yang memiliki kategori tertentu, dapat ditinjau dari ketepatan waktu pembayaran selama periode tertentu dan/atau nilai tertinggi selama periode tertentu dapat menerima penghargaan yang diberikan pada kegiatan tertentu, penghargaan yang diberikan ada yang sifatnya seremonial namun ada juga yang berupa insentif dari Pemerintah baik bernilai uang, yang terakhir ini membutuhkan upaya ekstra dan regulasi yang memadai dalam pelaksanaan inovasi perpajakannya.
,
Kedua, inovasi perpajakan lainnya dapat dilakukan dengan memberikan kemungkinan atau potensi pemberian kemudahan berupa kebijakan seperti “pemutihan” yang biasanya dilakukan di Pemerintah Daerah melalui pajak daerah dalam kurun waktu tertentu bergantung pada kebijakan dari Pemerintah Daerah, atau program pemutihan seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh DJP Kementerian Keuangan yang kebijakan tersebut dikenal dengan istilah tax amnesty. Prinsip keduanya sama, pemutihan atau pengampunan guna mendapatkan kembali wajib pajak yang kedepannya akan membayar pajak maupun pendaftar baru wajib pajak yang selama ini tidak melaporkan apa yang harus dilaporkan. Langkah kedua ini secara strategis hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu tertentu karena “mengumbar” pengampunan/pemutuhan menjadikan nilai dari kepatuhan wajib pajak akan semakin pudar bila dilakukan terlalu sering, seseorang wajib pajak akan memilih membayar nanti-nanti saja bila pengampunan/pemutuhan dilakukan rutin karena toh nantinya akan diampuni, bayar sesuai pokok terhutang saja dan tidak dikenakan sanksi denda, dan secara regulasi dibutuhkan payung hukum yang perlu disusun berdasarkan kajian dan pertimbangan yang matang apabila kebijakan ini akan dilakukan.
,
Ketiga, Pajak dapat dioptimalkan dengan mengupayakan serangkaian kampanye terintegrasi yang mengedepankan informasi yang di pendarkan selama kurun waktu relatif rutin untuk membentuk citra positif, untuk hal ini tentu saja akan berbeda dengan upaya pendekatan inovasi perpajakan pertama maupun kedua yang dapat dilakukan unit kerja pemungut pajak, memendarkan kampanye terintegrasi dilakukan dengan menyuarakan apa saja manfaat dari pajak yang telah dihimpun dan digunakan dalam pembangunan. Artinya informasi tersebut tidak hanya sekedar terpampang di papan proyek pemerintah semata namun terdapat di berbagai media dengan peruntukannya masing-masing sebagai salah satu upaya untuk membentuk “citra positif” atas pajak.
,
Mengapa citra positif ini penting? Pengalaman penulis selama melakukan tugas menjadi unsur aparatur yang melakukan pendataan wajib pajak daerah adalah unsur negatif dari oknum aparatur pengemplang pajak, sangat sering bagi penulis untuk dipanggil sebagai “Gayus” dalam pelaksanaan tugas tersebut, padahal bila dinilai dari besaran pajak daerah yang “hanya” berkisar kurang dari dua ratus ribu rupiah perbulan sama sekali tidak terbesit untuk menggelapkan pajak daerah tersebut, selain karena secara regulasi dan kesadaran bahwa hal tersebut tidak benar, secara rasional tidak terbesit karena nilia nya yang bagaikan bumi dan langit dengan apa yang dilakukan “Gayus”. Citra positif ini perlu dirancang sedemikian rupa dengan menyusun sebuah strategi terintegrasi untuk mengkampanyekan bahwa pajak sangat besar manfaatnya apabila dibayarkan dan digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif oleh pemerintah sehingga dampaknya dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat secara luas. Citra positif ini dapat dibentuk dengan menggunakan pendekatan komunikasi pemasaran terpadu/terintegrasi atau dikenal dengan Integrated Marketing Communication (IMC).
,
Hanya saja penerapan strategi ini tidak berkutat pada pengulangan informasi secara repetitif semata, masyarakat tidak akan memandang bahwa unit kerja pengumpul pajak itu hanyalah entitas pemerintah yang mengumpulkan uang semata dan yang mengelola dana yang dihimpun tersebut digunakan oleh unit kerja lainnya, masyarakat hanya memandang bahwa pemerintah itu satu kesatuan, sampai saat ini saya memahami dan meyakini bahwa masyarakat masih memnganggap pajak daerah kendaraan bermotor yang dibayarkan pada loket-loket unit pelayanan di Daerah walaupun dibayarkan di fasilitas pemerintah daerah dan bukan kewenangan pemerintah pusat namun mereka umumnya tidak mengetahui bedanya dengan pajak penghasilan yang dikelola oleh pusat atau sebaliknya, masyarakat cenderung menganggap saya bayar pajak ke negara titik!
,
Oleh karena itu harus ada komitmen yang kuat bagi unit kerja diluar unit kerja pemungut pajak untuk menunjukkan bahwa dana yang dihimpun dan digunakan sebagai belanja barang/jasa baik manfaatnya terasa langsung dan kasat mata maupun masih “terselubung” wajib dilakukan oleh seluruh unit kerja lainnya, yakinkan masyarakat bahwa negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melakukan pembangunan berdasarkan pajak yang sudah dihimpun, informasi ini sebaiknya ditayangkan berdasarkan kebutuhan untuk menghadirkan citra positif dan rasa percaya dari masyarakat pada unit kerja pemungut pajak.
,
Dikarenakan IMC sebagai salah satu upaya yang dapat diambil maka perlu kita kenali terlebih dahulu apa itu IMC, yaitu “Komunikasi pemasaran terpadu atau Integrated Marketing Communication (IMC) adalah sebuah konsep dimana suatu perusahaan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai saluran komunikasi untuk mengirim pesan yang jelas, konsisten, dan meyakinkan berkenaan dengan perusahaan dan produknya. (Kotler dan Amstrong; 2005).” Dalam hal pemerintah sebagai badan publik tentu saja konsep IMC ini perlu disesuaikan dalam konteks pemerintahan. IMC merupakan upaya komunikasi terintegrasi sehingga segmentasi dan pesan yang akan disampaikan harus jelas, sudah tidak merupakan jaman nya lagi bagi wajib pajak untuk “ditakut-takuti” dengan sanksi dikarenakan pada prinsipnya wajib pajak tidak pernah merasa berhutang dengan negara, kok malah memiliki hutang dengan pemerintah atas usaha yang dilakukan mereka sendiri.
,
Integrasi dari berbagai pesan-pesan terpisah ini dijalankan secara sinergis tidak hanya oleh unit kerja lainnya yang bergerak di bidang konstruksi yang menampilkan pesan ucapan terima kasih dan berkomunikasi dengan pesan “Pekerjaan ini dapat terlaksana berkat kepatuhan anda dalam membayar pajak”, namun menggunakan berbagai media lain yang menyampaikan informasi manfaat pembayaran pajak, dilakukan oleh unit kerja lain seperti yang membidangi bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan lain-lain dengan pesan secara sporadis tersebar sehingga citra positif dapat terbentuk.
Strategi tersebut bila digunakan dalam pendekatan pelaksanaan tugas pemerintah dapat berupa sebagai berikut :
- 1. Membentuk identitas positif terhadap pajak sebagai salah satu instrumen pembiayaan pelayanan publik dengan cara mengikat bersama pihak-pihak terkait yang menggunakan pajak sebagai sumber pembiayaan untuk pelayanannya untuk menyampaikan bahwa keluaran dari jasa pelayanan maupun produk yang dihasilkan salah satunya bersumber dari Pajak, jika unit kerja yang membidangi pendidikan, kesehatan, penanggulanan bencana, dan lain-lain melakukan hal tersebut secara serentak sebagai pesan terpisah maka kesan positif diharapkan dapat timbul dan menjadikan pajak memiliki citra positif dan manfaatnya walaupun tidak dirasakan langsung dapat disadari oleh masyarakat.
- 2. Mengkoordinasikan seluruh pesan yang akan disampaikan, penempatan posisi, dan citra yang akan dituju sebagai bagian dari identitas dan cara / bentuk komunikasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi.
- 3. Memperkuat hubungan yang erat antara unit pengumpul pajak dengan para “konsumennya” dalam hal ini wajib pajaknya dengan membuka kanal-kanal komunikasi yang atraktif dan disukai dengan konsumennya.
- 4. IMC adalah bentuk strategi, koordinasi, dan penggunaan seluruh perangkat organisasi dan “pelaksanaan konkrit layanan yang telah ditingkatkan” yang memanfaatkan potensi penggunaan keseluruhan perangkat, kesempatan, fungsi, dan sumber daya dari komunikasi pemasaran dalam sebuah entitas organisasi, sehingga tidaklah cukup hanya entitas pengumpul/pemungut pajak sajalah yang mencitrakan positif pajak sebagai sebuah produk namun keseluruhan unit di dalam organisasi itu harus “satu suara” mencitrakan kesan positif pajak, hal ini sukar dilakukan karena ego sektoral antar unit organisasi yang merasa punya tugas masing-masing dan tugas mengumpulkan pajak itu tidak berpengaruh pada kinerja organisasinya.
- 5. Memanfaatkan keaneka-ragaman media sesuai dengan segmentasi yang dituju berdasarkan konsumsi media yang umum dilakukan dalam pasar tersebut sehingga informasi yang disampaikan melalui media tersebut dapat tepat sasaran dan informasi nya diterima secara konsisten.
,
Ketiga upaya inovasi Perpajakan diatas menurut penulis dapat memberikan perubahan secara positif bagi peningkatan kepatuhan. Secara praktis yang pernah penulis lakukan adalah upaya kesatu dan hal ini dipandang cukup efektif karena pada dasarnya wajib pajak selaku “pelanggan” akan menyukai apabila dirinya dihargai dan menerima penghargaan dengan pesan bahwa kontribusinya berpengaruh pada pembangunan. Bukti keberhasilan inovasi perpajakan kedua adalah keberhasilan dari program tax amnesty DJP-Kemenkeu yang mencapai 30,88 persen dari Produk Domesti Bruto pada akhir 2016 silam dan diklaim sebagai program tax amnesty terbaik di dunia, antusiasme masyarakat untuk mengikuti pengampunan pajak di pajak daerah umumnya juga menjadi meningkat khususnya bila memperhatikan pola-pola pengmapunan pajak yang membayarkan pokok pajak tanpa dikenakan sanksi dimana salah satu contoh programnya adalah pajak kendaraan bermotor di respon dengan positif oleh masyarakat.
,
Pendekatan terakhir adalah penerapan IMC dalam mengkomunikasikan strategi komunikasi penulis pandang dapat memperbaiki citra negatif pajak untuk menjadi lebih positif, tentu saja langkah ini membutuhkan waktu jangka panjang dan saat ini DJP Kementerian Keuangan telah memiliki serangkaian strategi komunikasi yang memperoleh penghargaan dan membuat penontonnya yang termasuk dalam segmen tersebut menyaksikan dari awal hingga akhir, secara perlahan masyarakat sudah mulai lupa dengan “Gayus”, hal ini berdampak dengan semakin panjang dan membludaknya antrian sebagaimana pandangan mata dari penulis, dan penulis membaca publikasi dari DJP Kemenkeu melalui tautan https://www.pajak.go.id/kepatuhan-meningkat-penyampaian-spt-tumbuh-double-digitdimana disebutkan bahwa pada tahun 2018 terjadi peningkatan sebanyak 14% atas penyampaian SPT sebagai indikator kepatuhan atas pajak dibandingkan pada tahun 2017, sebagai dampak integrasi dari komunikasi media menggunakan IMC dan peningkatan kualitas layanan sebagai bagian dari IMC dimana “pelaksanaan konkrit layanan yang telah ditingkatkan” terlihat dengan adanya aplikasi penyampaian SPT secara elektronik sehingga memperbaiki kesan pajak sebagai sesuatu yang dibenci, ribet, menyusahkan, dan membebani perlahan terkikis dengan kemudahan yang diberikan dalam pelayanannya dimana salah satunya adalah “pelaksanaan konkrit layanan yang telah ditingkatkan” dengan SPT Elektronik.
,
Pada prinsipnya mengemas kesan kurang baik dari pajak semula sebagai sebuah instrumen untuk membiayai pengeluaran yang digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan manfaat yang tidak dirasakan langsung / kontraprestasi menjadi “kunci” dalam meningkatkan kepatuhan, peran Pajak sangatlah strategis terlepas dari sifat manfaatnya yang tidak dirasakan langsung/kontraprestasi maka seringkali kewajiban pajak dianggap menjadi beban, terlebih lagi karena sifat nya yang memaksa tersebut, ketiga upaya yang diketahui dan dikemukakan oleh penulis terlepas perlu dilakukan pembuktian secara empiris dampak signifikansi nya telah sedikit banyak mengurangi “citra negatif” berganti pada citra positif.
Demikian menurut pendapat penulis tentang upaya-upaya yang tepat dilakukan oleh Pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak ini ditulis pada tanggal 8 Oktober 2019 ini untuk dapat di diskusikan lebih lanjut.