Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pembelian dalam jumlah besar melalui kontrak yang memperoleh bonus, Termasuk Gratifikasi Tipikor?

Kontrak Pemerintah untuk pembelian barang elektronik perlengkapan kantor berpotensi menerima “kelebihan” produk yang sama atau benar-benar berbeda, hal ini lumrah bila kita melihat pada kehidupan sehari-hari, bila dalam belanja pribadi ketika membeli televisi pada masa promo mendapat blender, beli AC mendapat juicer, beli mesin cuci mendapat payung cantik, dan sejenisnya.

Dalam kehidupan sehari-hari promo tersebut dapat terjadi dengan beberapa cara, ada yang diumumkan secara meluas pada khalayak ramai sehingga semua mengetahui, ada yang pembelian dilakukan kemudian memberikan kupon yang akan di undi saat itu juga dan mendapatkan hadiah, ada yang memberikan kupon dan akan diundi kemudian, dan ada yang diberikan secara mendadak tanpa pemberitahuan dan begitu pembayaran maka diberikan hadiahnya.

Pembelian produk berhadiah dengan uang saya pribadi, maka hadiah menjadi milik saya pribadi, dengan demikian pemanfaatannya untuk saya pribadi. Demikian juga untuk kontrak Pemerintah, pembelian barang dengan APBN/APBD dibayar dengan dana Pemerintah, maka barang “bonus” dari vendor menjadi milik Pemerintah, bukan menjadi milik Pribadi Pejabat Penandatangan Kontrak, mengingat kontrak dilakukukan oleh Pejabat Penandatangan Kontrak sebagai perwakilan dari Badan Hukum Publik.

Ketika vendor/penyedia memberikan hadiah kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen dalam kaitannya sebagai Pejabat Penandatangan Kontrak, khususnya dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Dan terdapat ketentuan Pasal 12 UU Tipikor yang bunyinya adalah sebagai berikut :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikansebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidakmelakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwahadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara  negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu  menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau  penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

Perlu diperhatikan bahwa larangan diatas berlaku dalam hal larangan tersebut dilakukan kepada entitas “pribadi” Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, sehingga bila barang “bonus” dari sebuah kontrak tersebut dibawa pulang dan digunakan untuk pribadi, maka Pasal 11 ini berlaku dan dapat dikategorikan Gratifikasi yang dapat dianggap Pemberian Suap sebagaimana diatur dalam Pasal 12B, yang ketentuannya berbunyi sebagai berikut :

 

Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

 

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

 

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua  ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sontak yang rasional dilakukan dalam menghadapi ancaman dari Pasal 12B ini yang dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Kontrak adalah menolak bonus tersebut, padahal bonus tersebut bisa saja di klaim oleh kantor cabang vendor untuk dijual kembali atau menjadi digunakan untuk pribadi mereka dan Pemerintah kehilangan peluang untuk memperoleh aset yang dapat digunakan untuk kantornya.

Menerima barang bonus untuk kepentingan kantor tidaklah dilarang, diatas saya sudah menyebutkan bahwa yang menjadi larangan Pasal 12B adalah menerima sebagai entitas “pribadi”, kalau digunakan untuk kantor secara resmi, tidak ada larangan karena pada Pasal 12C ayat (3) atas barang yang dilaporkan sebagai gratifikasi itu, KPK akan menentukan dapat menjadi milik penerima atau menjadi milik negara, umumnya dan logisnya kebanyakan akan menjadi milik negara, sehingga kalau sejak awal barang bonus tersebut sudah diterima sebagai milik negara maka tidak perlu dilakukan pelaporan atas penerimaan barang tersebut sebagaimana disebutkan pada UU Tipikor Pasal 12C ayat (1), dan ayat (2).

Intepretasi saya pribadi ini semakin diperkuat dengan Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor B.1341/01-13/03/2017 tanggal 15 Maret 2017 tentang Pedoman dan barasan Gratifikasi, pada Butir 3.a disebutkan bahwa :

Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara Wajib menolak pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ayng diberikan secara langsung.

Dengan demikian maka dapat disepakati bahwa yang dilarang adalah Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang menerima sebagai pribadi, rekomendasi KPK pada surat yang sama dimungkinkan untuk dikelola instansi berdasarkan butir 7 surat tersebut sebagai :

a. ditempatkan sebagai barang display instansi

b. digunakan untuk kegiatan operasional instansi

c. disalurkan kepada pihak yang membutuhkan antara lain, panti asuhan, panti jompo, atau tempat penyaluran bantuan sosial lainnya, atau

d. diserahkan kepada pegawai yang menerima gratifikasi untuk dimanfaatkan sebagai penunjang kinerja.

Berdasarkan isi surat diatas, maka barang yang ditujukan kepada pribadi Pegawai Negeri/Pengelola Negara yang dilaporkan di KPK dapat digunakan untuk dikelola negara sebagai barang display instansi atau kegiatan operasional instansi, dengan demikian bila sejak awal barang tersebut diterimakan bukan sebagai pribadi melainkan pada Badan Hukum Publik tersebut secara langsung untuk digunakan sebagai kegiatan operasional instansi, maka dengan dasar hukum yang berlaku dapat dianggap bukan sebagai tindakan korupsi selama dilakukan dengan dasar hukum yang tepat.

Pada Pemerintah Daerah, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah Pasal 3 huruf a, barang milik daerah salah satunya adalah barang milik daerah yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD, dimana lebih lanjut perolehannya adalah pada Pasal 5 PMDN BMD :

ayat (1) Barang Milik Daerah yang diperoleh atas beban APBD yang dilengkapi dokumen pengadaan, atau

ayat (2) Barang Milik Daerah yang berasal dari “perolehan lainnya yang sah” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dilengkapi dokumen perolehan.

Apabila seorang PPK atau ppk tidak meminta barang tersebut sebagai hadiah atau janji dalam sebuah pelaksanaan kontrak, kemudian barang tersebut dipandang perlu untuk digunakan dikelola instansi maka dengan dokumen perolehan berdasarkan kontrak tersebut dapat dicatat sebagai Barang Milik Daerah dengan dokumen perolehan.

Pengalaman pribadi saya menerima barang dari kontrak utama adalah meminta penyedia memberikan Surat Pernyataan bahwa barang tersebut diberikan atas kontrak terkait dan menyebutkan nilainya dalam Rupiah untuk dapat dicatatkan nilai perolehannya dan ditujukan kepada Perangkat Daerah (bukan pribadi PPK), surat pernyataan tersebut kemudian menjadi dasar untuk membuat Berita Acara Serah Terima, setelah Berita Acara Serah Terima tersebut dibuat, maka dilakukan penyerahan berkas-berkas tersebut untuk di register dalam Kartu Inventaris Barang B (KIB B) pada lokasi pengguna yang akan mendayagunakan barang tersebut untuk kegiatan operasional.

Serah Terima nya pun WAJIB dilakukan dan dikirimkan ke Kantor! Bukan ke rumah PPK! segala sesuatu terkait penerimaan tersebut wajib diketahui orang banyak, saya pribadi saat mengetahui bahwa dari kontrak sebelumnya menerima bonus kontrak dari prinsiple penyedia sebagai bonus hasil undian tersebut sebelumnya berkonsultasi dulu dengan unsur staf di Badan Keuangan dan Aset Daerah yang merupakan Unit Kerja Penatausahaan Barang/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai fungsi pengelolaan barang milik daerah yang dipimpin oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang sekaligus Pejabat Penatausahaan Barang sebagaimana diatur dalam PMDN BMD, mempertanyakan apakah hal ini boleh dilakukan dan dari hasil konsultasi dimungkinkan dengan ketentuan administratif sebagaimana telah saya sebutkan diatas, tindak lanjut nya adalah meminta pernyataan tentang asal barang tersebut dan nilai perolehannya secara tertulis dan meminta vendor untuk mengirimkan barang ke kantor setelah memastikan bahwa kebutuhan BMD tersebut memang tersedia dalam Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah, dengan demikian barang tersebut saat tiba pun diketahui banyak orang dan dengan demikian “persepsi” bahwa barang tersebut akan berpengaruh pada kepentingan pribadi saya dapat di eliminasi karena barang tersebut dikirimkan dan diterima di kantor dan dicatatkan sebagai BMD untuk kantor dan tidak berpengaruh pada kontrak saat ini maupun di masa mendatang.

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa barang bonus dari sebuah kontrak boleh diterima Perangkat Daerah, yang dilarang adalah menerima sebagai pribadi untuk dibawa pulang, tentu saja untuk menerima barang tersebut digunakan peraturan terkait, dalam hal ini karena saya merupakan unsur Pemerintah Daerah maka digunakan PMDN BMD, barang diterima dan dicatat nilai perolehannya dan dapat menjadi sumber daya yang dimanfaatkan untuk operasional dengan pencatatan administrasi yang lengkap, apabila hal ini kemudian hari dipermasalahkan dengan dokumen yang lengkap bisa menjadi dasar argumentasi bahwa kita tidak melaporkan kepada Unit Gratifikasi KPK karena barang tersebut bukan ditujukan kepada Pribadi melainkan pada Unit Kerja kita dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur PMDN BMD juga.

 

Catatan saya pribadi tentu saja BMD yang diterima tersebut tentunya sudah pernah terdaftar sebagai barang yang sama kategorinya dengan Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD), artinya memang kebutuhan atas BMD tersebut sudah ada, bagaimana dengan kondisi dimana barang bonus tersebut oleh BMD tersebut ternyata memang tidak terdaftar dalam RKBMD? maka PPK/ppk silahkan menolak bonus tersebut karena memang tidak terdaftar sebagai kebutuhan, kembali kita ingat bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah itu berbasis kepada identifikasi kebutuhan, apabila sebuah barang tidak dibutuhkan maka sebaiknya tidak diterima karena akan menjadi beban bagi Daerah untuk menerima barang yang tidak dibutuhkan karena tidak dapat dimanfaatkan, dan perlu diperhatikan kembali bahwa sebagai PPK/ppk tidak memanfaatkan barang tersebut untuk pribadi dan memang tidak ada unsur penyalahgunaan kewenangan atas asal muasal barang tersebut baik di masa lalu maupun kepentingan di kedepan hari.

Demikian, Salam Pengadaan

Exit mobile version