Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pelayanan Prima (Service Excellence) dan Keterkaitannya pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

The Accountant General has introduced the Supply Chain Management learnerships to assist in the supply chain cycle to curb issues in the public sector. #AuditOutcomes #PFMA @AuditorGen_SA 4:42 PM · Nov 22, 2017 from Johannesburg, South Africa·Twitter Web Client

Pelayanan Prima atau Service Excellence merupakan salah satu materi pendidikan dan pelatihan pada Pra-Jabatan (era saya) atau Latihan Dasar (Zaman Now) bagi Para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Melayani menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan Pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain.

Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU25/2009).

Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan Pasal 1 angka (6) UU25/2009.

Pelayanan Publik berbeda dengan Pelayanan Privat (swasta) tidak sama persis, walaupun sama-sama pelayanan, terutama karena Pelayanan Publik diikat dengan ketentuan UU25/2009.

Apa saja yang membedakan Pelayanan Publik dibandingkan dengan Pelayanan Privat?

1. Sifat Barang/Jasa : Barang publik maupun barang semi publik memiliki eksternalitas, eksternalitas disini muncul apabila para pelaku aktifitas ekonomi diperlukan dalam proses pengadaan barang/jasa

2. Risiko Kegagalan Penyelenggaraan : Berbeda dengan pelayanan privat yang merujuk tanggung-jawab pada perseorangan, dalam proses pelayanan publik tanggung-jawab merupakan hal yang bersifat kolektif.

3. Akses terhadap pelayanan : merupakan tanggung-jawab negara.

4. Keterkaitan dengan pencapaian tujuan dan nilai negara : Bersifat tinggi dan langsung, karena itu keberhasilan negara dalam pelayanan publik bergantung pada kinerja organisasi dalam Pemerintahan untuk mencapai tujuan organisasinya.

5. Dasar Penyelengaraan : Pelayanan Privat dilakukan berdasarkan kesepakatan, sedangkan pada Pelayanan Publik berdasarkan pada Kebijakan Publik dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

6. Lembaga Penyelenggara : Terdiri atas Instansi Pemerintah dan Non-Pemerintah

7. Sumber Pembiayaan : Anggaran, subsidi Pemerintah, hibah, dan lain-lain.

Bagaimana prinsip Pelayanan Publik?

Hendaknya dalam pelayanan publik prinsip yang digunakan bersumber pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003  adalah :

1. Sederhana, tidak berbelit-belit, mudah dilaksanakan

2. Jelas, memiliki kejelasan persyaratan dan biaya

3. Pasti, memiliki kepastian waktu penyelesaian

4. Akurat, memiliki ketepatan dalam kebenaran, ketepatan, dan sah/legal

5. Aman, karena memiliki kepastian hukum

6. Bertanggung Jawab, berfokus pada penyelenggaraan dan penanganan keluhan

7. Lengkap, tersedia sarana prasarana dan kelengkapan peralatan kerja

8. Mudah, dalah hal dapat dijangkau masyarakat

9. Disiplin dan Ramah, budaya dan pelayanan yang sesuai seperti 3S Senyum Sapa Salam, dan 5S.

10. Nyaman, memiliki suasana tertib, teratur, bersih, rapi, dan indah.

Dengan demikian berdasarkan esensi dari UU Pelayanan Publik maka Pengadaan barang/Jasa Pemerintah atau Public Procurement menjadi sedikit “tricky” dibandingkan dengan Pengadaan Barang/Jasa Privat atau Privat Procurement, karena selain ada tuntutan untuk mengikuti trend yang berlaku secara umum juga memerlukan pemberlakuan aspek-aspek yang terdapat dalam Undang-Undang Pelayanan Publik yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, latar belakang filosofis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah silahkan dibaca pada artikel sebagai berikut :

1. https://christiangamas.net/seri-pemahaman-peraturan-presiden-nomor-16-tahun-2018-tentang-pengadaan-barang-jasa-pemerintah/

2. https://christiangamas.net/seri-pemahaman-peraturan-presiden-nomor-16-tahun-2018-tentang-pengadaan-barang-jasa-pemerintah-seri-2/

Dengan demikian Public Procurement atau Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) selain mengikuti perkembangan yang lebih lanjut pada trend umum di pasar juga perlu memperhitungkan pelayanan publik yang memiliki Dasar Penyelenggaraan berdasarkan Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan sehingga PBJP memiliki tingkat kerumitan lainnya sehingga tidak sekedar pengadaan yang simpel.

Berbicara mengenai perkembangan, berdasarkan salah satu buku yang saya baca, yaitu Emmett, Stuart; Paul Wright (2012-01-01). Excellence in Public Sector Procurement (Kindle Locations 166-167). Cambridge Academic Publishers. Kindle Edition yang bisa anda beli secara daring, dan dapat anda baca melalui aplikasi Kindle lewat tautan berikut ini :

Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Pengadaan (Procurement) secara bertahap senantiasa berevolusi, perubahan dan tahapan tersebut dapat di identifikasi dan berkembang murni berdasarkan proses transaksional untuk menghantarkan nilai tambahan bagi organisasi dengan rincian sebagai berikut :

1. Tahap Satu : Pemusatan Pengadaan Barang/Jasa dengan fokus perhatian yang memperhatikan barang/jasa yang nyata dan keluaran yang nyata.

2. Tahap Dua : Proses Pengadaan Barang/Jasa telah dilakukan terpusat dan telah berpindah dari Tahap satu menuju basis pada Proses Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan secara terukur.

3. Tahap Ketiga : Pengadaan dilakukan dengan pengembangan relasional meliputi pembinaan hubungan antara pembeli dan pemasok.

4. Tahap Empat : Pengadaan yang terpusat pada kinerja yang berfokus pada manajemen barang/jasa terbaik dan mengintegrasikan hubungan antara pembeli dan pemasok, proses, dan hasil, yang dilakukan secara berdaya guna menggunakan sumber daya yang dimiliki antara pemasok dan pembeli, namun biasanya beberapa Pemerintah selaku penyelenggara layanan publik memiliki sejumlah masalah di sini dalam melakukannya, karena mengintegrasikan hubungan antara pembeli dan pemasok dibatasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tahapan “evolusi” pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatas telah dijabarkan mengikuti kelaziman dan trend pasar yang berlaku, berbicara antara hubungan dengan Pemerintah selaku Pembeli dengan Penyedia selaku Pemasok tentu tidak dapat kita pisahkan dengan Manajemen Rantai Pasokan atau sering disebut dengan Supply Chain Management.

Apa sih Supply Chain Management atau Manajemen Rantai Pasokan pada Sektor Publik tersebut? buku yang saya sebutkan diatas mencantumkan bahwa Manajemen Rantai Pasokan memiliki definisi :

Koordinasi semua pihak yang terlibat dalam memberikan kombinasi, input, output, atau hasil yang akan memenuhi persyaratan Sektor Publik yang ditentukan

Definisi diatas mengingatkan kita pada model Input (Masukan), Proses, dan Output (keluaran) dengan ilustrasi gambaran sebagai berikut :

Sumber : Emmett, Stuart; Paul Wright (2012-01-01). Excellence in Public Sector Procurement (Kindle Locations 178-182). Cambridge Academic Publishers. Kindle Edition.

Dengan demikian maka dalam menyusun Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hingga dapat mengidentifikasi kebutuhan hingga keluaran proses kegiatan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hendaknya memperhatikan filosofis dan definisi dari Manajemen Rantai Pasokan pada Sektor Publik yang disebutkan diatas, secara konkrit maka perlu dihubungkan dengan Indikator Kinerja Utama, masukan, proses, dan keluaran hendaknya didalami dan dihayati sebagai proses penting dengan penekanan pada koordinasi semua pihak yang terlibat dalam memberikan pelayanan Publik yang ditentukan.

Sehingga jelas sekali bahwa dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak sekedar sebatas hanya pada pemasok dan pembeli semata, ketika berbicara hanya pada Pemasok dan Pembeli maka konteks nya hanya sebatas Pada Pemilihan Penyedia semata yang hanya melibatkan Pejabat Pembuat Komitmen dan Kelompok Kerja Pemilihan/Pejabat Pengadaan dengan Pelaku Usaha yang menjadi Penyedia yang jelas tidak cukup, karena lazimnya pada best practices di berbagai Negara Public Procurement melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terdiri dari berbagai macam pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian maka Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres16/2018) sudah berada pada “Jalur yang tepat” dan dengan optimasi terbaik yang dapat dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah bukan tidak mungkin menghantarkan evolusi proses pengadaan hingga Tahap Ke-Empat mengingat Perpres16/2018 telah menerapkan prinsip-prinsip best practices dari beberapa negara untuk mendukung Pengadaan Publik yang berdaya guna dan menunjang organisasi untuk melakukan Pelayanan Prima.

Berdasarkan bagan diatas Pengadaan dan Pemasok merupakan Input penting dalam Manajemen Rantai Pasokan, sebagai sebuah Input maka Proses Pengadaan Barang/Jasa merupakan bagian dalam menyusun sebuah Program/Kegiatan, dengan demikian maka dalam menyusun sebuah Rencana Kerja maka Input dapat dituliskan berupa Barang/Jasa yang merupakan Keluaran dari Proses Pengadaan Barang/Jasa baik yang sudah dilakukan pada periode tahun anggaran sebelumnya maupun pada Proses Pengadaan Barang/Jasa yang akan dilakukan bersamaan dalam tahun anggaran yang sama.

Sehingga paradigma yang perlu digeser dalam penyusunan kegiatan tidak sekedar hanya mencantumkan Nilai Paket sebagai masukan dan keluaran hanya Barang/Jasa semata sebagai Keluaran.

Seringkali saya menemukan paradigma lama ini, bahwa dalam proses penginputan RUP seringkali PA/KPA/PPK dan PPTK menyebutkan di tempat saya tidak ada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pak, jadi gak perlu diinput RUP nya kedalam SiRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan).

Berikut adalah dialog imajiner berdiskusi santuy terkait Kegiatan Pelayanan Administrasi Bagi Masyarakat

Respon saya adalah, kalau tidak ada Pengadaan barang/jasa, terus kenapa ada DPA bu, terus itu ada inputnya nilainya Rp5.500.000 berarti kan ini kegiatan Pengadaan?

“Karena dalam DPA saya hanya ada pengadaan kertas sebanyak 100 RIM untuk pelayanan administrasi bagi masyarakat Pembayar Pajak Hiburan saja Pak!”

Kertas itu bukan nya Pengadaan Barang bu?

“iya pak, tapi kami lakukan secara swakelola, bukan dengan lelang karena nilai Kertas itu hanya Rp5.500.000 dan Nilai DPA saya hanya segitu saja!”

Terdapat beberapa kekeliruan dari dialog imajiner diatas, total saya hitung ada 3 (tiga), apa saja?

Pertama, Swakelola adalah salah satu Cara Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (3) Perpres16/2018 untuk menghasilkan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya. Dengan demikian bila tidak memiliki sumber daya untuk menghasilkan Kertas secara mandiri maka sudah jelas termasuk dengan Pengadaan Barang melalui Penyedia (bukan swakelola). Mengasumsikan Tender (yang disebut secara keliru sebagai Lelang) sebagai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah hal yang keliru, karena Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bukan aturan mengenai Lelang. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada era Perpres16/2018 ini tidak berfokus hanya tata cara tender semata yang merupakan salah satu jenis proses Pemilihan Penyedia semata.

Kedua, terdapat kurang tepatnya paradigma dan harmonisasi antara input dan judul kegiatan, kegiatan memiliki input Rp5.500.000 namun keluarannya adalah pelayanan administrasi bagi masyarakat yang juga membuat munculnya kebingungan karena ada pernyataan bahwa tidak ada sama sekali Pengadaan atas DPA tersebut.

Pada Kegiatan dengan judul Pelayanan Administrasi bagi Masyarakat maka Kertas lah yang merupakan masukan dari Proses Pelayanan Publik yang akan dilakukan, artinya kegiatan Pelayanan Adminsitrasi Pajak Hiburan bagi Masyarakat ini merupakan kegiatan Swakelola dengan Masukan (input) berupa Kertas sebanyak 100 RIM, bukan dana sebesar Rp5.500.000 yang menjadi masukan.

Dengan demikian Pengadaan Barang merupakan proses penunjang, hasil dari kegiatan Pengadaan Kertas sebanyak 100 RIM ini merupakan Pengadaan Barang/Jasa yang memerlukan pasokan kertas, sehingga sangat-sangat Wajib di input RUP sejak sebelum tahun anggaran dimulai agar pelaku usaha dapat mengetahui keberadaan pengadaan tersebut, menginput RUP sejak dini selain mendukung terciptanya Marketplace Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga membantu ketersediaan pasokan agar Barang dapat segera tersedia sehingga Pelayanan Publik yang prima dapat tercapai dengan baik, bukan cuma sekedar diinput hanya karena perintah Perpres16/2018 dan menjadikan kewajiban semata, menginput RUP dengan baik adalah tugas operator, namun bila RUP yang menjadi kewenangan PA/KPA ini dipahami dengan baik maka harusnya dapat dilakukan Optimasi, untuk menunjang pelayanan prima dalam proses Pelayanan Publik bukan tidak mungkin dilakukan konsolidasi Pengadaan Kertas dalam satu kantor sehingga optimasi yang dapat dilakukan adalah mengkonsolidasikan DPA dengan nilai Rp5.500.000 tadi dengan membuat pengadaan terpusat atau dalam Perpres16/2018 disebut sebagai konsolidasi agar dapat memperoleh nilai dan volume belanja yang mendorong nilai lebih efisien.

Dengan demikian kekeliruan tersebut dapat di perbaiki dengan memasukkan Input bukan diisi dengan nilai Rp.5.500.000 melainkan 100 RIM Kertas A4. Sehingga antara paradigma Pelayanan Publik dan Pengadaan barang/Jasa sebagai unsur penunjang nya jadi klop, bahwa fokus dari kegiatan ini adalah menghasilkan Pelayanan Prima Administrasi bagi Masyarakat dengan masukan 100 Rim Kertas.

Pak, bukannya Rp5.500.000 itu adalah masukan juga, kalau gak ada masukan dari dana sebesar itu maka gak bisa berjalan proses administrasi pelayanan publiknya!

Duuhh….. kok masih di protes juga, jadi gini bu, Kegiatan ibu ini concern utama nya pengadaan kertas nya atau pelayanan publik nya?

Pelayanan publik nya pak!

Karena pelayanan publik nya yang utama, kalau ibu jadikan masukan adalah dana tersebut maka keluaran nya bukan pelayanan publik karena niatannya kan beli kertas saja dengan dana tersebut, dana tersebut kan benda konkritnya uang, uang tersebut kan tidak digunakan untuk melakukan pelayanan publik, yang digunakan adalah kertas nya, maka dari itu yang benar adalah masukan / input nya adalah kertas 100Rim itu tadi.

Tapi kan ujung-ujung nya kertas itu kan dibeli dari uang itu juga?

Beda filosofis bu, masukan dalam proses itu berupa barang/jasa, kalau masukannya berupa uang maka dengan melakukan proses pengadaan kertas saja ketika proses 100RIM kertas itu selesai tercapai 100RIM kertas, maka kegiatan sudah selesai, tapi kan kegiatan ibu adalah Pelayanan Publik Pajak Hiburan pada Masyarakat yang berlangsung pada 1 tahun penuh, nah yang digunakan selama 1 tahun penuh itu adalah 100RIM kertas itu tadi, 100 RIM kertas itu bisa dilakukan optimasi pengadaan dengan menggunakan beberapa strategi, dan pelaksanaan strategi pengadaan barang tersebut sebagai kegiatan penunjang memiliki keluaran berupa munculnya barang berupa 100RIM kertas, nah 100 RIM kertas ini yang digunakan sepanjang tahun untuk kegiatan ibu, bukan Rupiahnya. Kalau kegiatan ini adalah Kegiatan Pengadaan Kertas dengan input Rp5.500.000 maka DPA ibu seharusnya berjudul Pengadaan Kertas, bukan Pelayanan Administrasi Masyarakat.

Kesalahan ketiga, tidak adanya koordinasi antara semua pihak yang berkepentingan dalam proses manajemen rantai pasok, masih berkaitan dengan kurang nya kompetensi dan pengetahuan yang memadai dalam Identifikasi Kebutuhan dan terkait dengan kesalahan kedua diatas. Kesalahan kedua ini hanya gejala kecil semata dan sering disoroti bahwa penanggung-jawab DPA tersebut keliru secara esensi dan yang perlu diperbaiki hanya penanggung-jawab DPA tersebut sebagai PPK. Padahal sebagaimana definisi Manajemen Rantai Pasok pada Sektor Publik diatas, koordinasi semua pihak yang berkepentingan merupakan faktor esensi dalam fungsi Manajemen Rantai Pasok guna menunjang keberhasilan sektor Publik, bila melihat tugas dan kewenangan PA/KPA dalam Perpres16/2018 seharusnya PA/KPA melakukan konsolidasi. DPA yang banyak untuk kegiatan yang didalamnya terdiri dari pengadaan yang serupa menunjukkan adanya kealpaan dari PA/KPA untuk menghilangkan kegiatan yang redundan dalam identifikasi kebutuhan.

Alih-alih ada banyak DPA seperti ini untuk tiap-tiap jenis Pajak Daerah dimana masing-masing DPA hanya berbeda pada judul dan Pajak yang ditangani namun isinya Pengadaan kertas semata, kenapa Pengadaan Kertas tersebut tidak dikonsolidasi dalam satu DPA saja yang berdampak pada efisiensi? pemusatan pengadaan ini akan membuat kita tidak sekedar sibuk Pengadaan saja dan dapat lebih berfokus pada Kinerja Pelayanan Publik. Untuk melakukan konsolidasi ini tentunya PA/KPA memperhitungkan bersama PPK dan PPTK untuk menghitung dengan sungguh-sungguh berapa sih jumlah kertas yang dibutuhkan untuk 11 Jenis Pelayanan Pajak Daerah? ketika sudah tahu jumlah nya maka proses itu dilakukan secara dini di awal tahun, sehingga barang sudah tersedia, dan sepanjang tahun dapat fokus memberikan pelayanan publik secara prima bagi masyarakat, syukur-syukur terdapat efisiensi sehingga dapat digunakan untuk kebutuhan yang sesuai dengan tujuan kegiatan selain kertas (misal Pajak Reklame yang mungkin memerlukan gergaji besi untuk menumbangkan reklame tiang permanen yang liar).

Untuk mencapai hal ini maka koordinasi semua pihak penting dilakukan, PA/KPA, PPK, dan PPTK harus sering-sering rapat dan berdiskusi dalam identifikasi kebutuhan untuk menyusun program dan kegiatan dan tidak sekedar copy-paste dari tahun sebelumnya saja.

 

Ketiga kesalahan diatas ini gampang-gampang susah untuk memperbaikinya, memberikan sertifikasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tingkat Dasar saja menurut saya masih sangat kurang. Pelatihan manajerial secara komprehensif menjadi kebutuhan, dengan demikian baik PA/KPA, PPK, hingga PPTK dapat memilah, membedakan, dan mengimplementasikan perspektif manajemen operasional dan manajemen stratejik dalam Perencanaan Program Kerja dan Kegiatan, dengan Manajemen Rantai Pasokan dan Aspek-aspek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai unsur penunjang/sarana untuk mencapai tujuan Operasional dan tujuan Strategis.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan unsur penunjang, sebagai penunjang bukan berarti tidak diperlukan, justru malah menjadi semakin strategis keberadaannya sehingga perlu disikapi serius.

Berbicara terkait unsur penunjang ini menunjukkan bahwa Pasokan memiliki kaitan yang erat dengan pelayanan publik, Proses Pengadaan barang / jasa (Procurement) dan Pasokan (Supplier) merupakan input penting dalam Manajemen Rantai Pasokan dan Manajemen Rantai Pasokan merupakan input penting dalam Pelayanan Publik.

Dengan demikian manajemen sebagai sebuah bidang keilmuan yang memadukan antara seni dan sains hendaknya berorientasi dengan pendekatan untuk melakukan optimasi, maka kegiatan yang perlu dilakukan harus lebih intensif pada kegiatan pengintegrasian, koordinatif, dan pengendalian pergerakan barang, bahan, layanan, dan informasi dari pengguna, pemasok, hingga pelanggan/konsumen atau pengguna akhir.

Manajemen rantai pasok melibatkan kegiatan proses pembelian/pengadaan, pendistribusian, penjualan, dan seterusnya. Namun bukan berarti fokus dari kegiatan Pengadaan Barang/Jasa pada proses-proses yang terlibat dan telah disebutkan itu tadi, bila hanya berfokus pada proses Pemilihan Penyedia semata, maka kita tidak melakukan proses Manajemen rantai pasok yang baik dan hanya berfokus pada Pemilihan Penyedia merupakan salah satu tahapan semata baik dalam Perpres16/2018 maupun dari konsep Manajemen Rantai Pasok. Manajemen Rantai Pasok dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hendaknya dilihat secara holistik sehingga memperhatikan seluruh proses.

Dengan demikian maka para ASN perlu semakin menyadari bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara holistik terintegrasi dalam tugas dan fungsi nya, bahwa Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah bukan semata-mata tugas dari Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (UKPBJ), melakukan optimasi secara strategis pada manajemen rantai pasok dan proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hendaknya disadari sebagai upaya kolektif dan tanggung-jawab semua pihak dan harapannya penguasaan dan kemampuan manajerial dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hendaknya tidak dianggap sebagai kebutuhan tersier pada Organisasi Pemerintah.

Bagaimana cara memulainya pak? mungkin dapat dimulai dari menghilangkan persepsi “ditempat saya tidak ada Pengadaan Barang/Jasa pak”, dilanjutkan dengan menyadari bahwa Pengadaan Barang/Jasa hanyalah tugas dari UKPBJ sehingga Dinas/Badan yang lain tidak perlu mempelajari apapun terkait PBJP dan dengan demikian maka kompetensi manajerial dan pemahaman atas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang baik dalam menunjang pelayanan prima menjadi hal yang strategis dan perlu dimulai.

Seiring dengan meningkatnya tahapan-tahapan Evolusi Pengadaan, baik menuju Tahap kesatu, Tahap kedua, dan seterusnya maka semakin meningkatlah kualitas Pelayanan Publik dalam memberikan Pelayanan Prima dan kesejahteraan Bangsa Indonesia, maka kemajuan kesejahteraan umum dan kecerdasan kehidupan berbangsa bukanlah lagi sekedar Impian, namun semua itu dapat dimulai salah satunya dengan optimasi dan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang perlu dimulai oleh kita semua.

Mengapa ini diperlukan untuk dimulai? mari kita ingat bersama bahwa Pelayanan Publik yang Prima dituntut semakin berkualitas, PBJP merupakan unsur penunjang dimana di dalamnya terkait dengan keberadaan Sarana dan Prasarana yang menunjang capaian Pemerintah, belanja Pemerintah sangat besar nilai nya dan bersumber dari “Uang Rakyat” hal ini menjadikan para ASN sebagai pihak mayoritas dalam hal keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

 

Demikian, tetap semangat, tetap sehat, dan salam pengadaan!

 

 

 

Exit mobile version