Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pelaku Usaha, Penyedia, dan Friendzoned

Pendahuluan

Istilah Pelaku Usaha merupakan hal yang baru disebutkan dalam Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pada Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir kali dirubah dalam Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015, pada Pasal 1 angka 12 disebutkan Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya, tulisan ini akan mengupas aspek mengapa Pelaku Usaha disebut sebagai entitas terpisah dengan Penyedia.

Pengantar

Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) dalam cakupannya yang mengatur Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) membedakan antara Pelaku Usaha dengan Penyedia, secara lebih rinci dapat kita baca di :

Hubungan antara Pelaku Usaha dengan Penyedia dalam Cakupan pada PBJP dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 26 yang berbunyi “Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia adalah cara memperoleh barang/jasa yang disediakan oleh Pelaku Usaha.”

Dalam PBJP ketika telah mendapat jawaban dari pertanyaan dasar “make or buy decision?” maka kita sudah mengetahui akan melaksanakan pembuatan (make) yang dilakukan melalui Swakelola dengan Penyelenggara Swakelola atau melaksanakan Pembelian (buy) dari Penyedia.

Ketika diputuskan melakukan PBJP melalui Penyedia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 26 maka PBJP melalui Penyedia adalah cara memperoleh barang/jasa yang disediakan oleh Pelaku Usaha.

Penyedia disebutkan dalam Pasal 1 angka 28 adalah Pelaku Usaha yang menyediakan Barang/Jasa melalui Kontrak, artinya dalam PBJP akan “disaring” banyak Pelaku Usaha untuk menemukan satu Penyedia yang berkontrak dengan Pemerintah.

Pelaku Usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 27 adalah :

Orang-perorangan ataupun Badan Usaha (baik berbadan hukum/bukan badan hukum) disebut sebagai pelaku usaha bila :

Dimana dalam Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia tersebut :

Kegiatan Usaha dan Perjanjian

Berdasarkan aktifitas/kegiatan nya, maka Pelaku Usaha dengan Penyedia adalah hal yang berbeda, yaitu :

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka aktifitas Pelaku Usaha berupa orang perorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum melakukan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi secara sendiri atau bersama-sama.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka aktifitas Penyedia berupa orang perorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum melakukan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi secara sendiri atau bersama-sama menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak kepada Pemerintah.

Dengan demikian Penyedia dalam PBJP adalah Pelaku Usaha yang melaksanakan proses Kontrak dengan Pemerintah. Ketika Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi yang cakupannya lebih luas di masyarakat dinyatakan terpilih dalam Proses Pemilihan Penyedia dan berkontrak dengan Pemerintah, maka pada tahap tersebut lah Pelaku Usaha memiliki kedudukan sebagai Penyedia.

Dengan kata lain Pelaku Usaha yang berkontrak merupakan Penyedia pada PBJP, pasca pemberlakuan Perpres 16/2018 acapkali ditemui kesalahan penggunaan istilah dikarenakan ketidakbiasaan, misal Pelaku Usaha yang mengikuti tender/seleksi, syukur-syukur kalau masih disebut sebagai “calon penyedia” atau “peserta”, terkadang masih ada yang salah kaprah ada yang menyebut “Penyedia”.

Menyebutkan para Pelaku Usaha sebagai para Penyedia bila dikaitkan dengan Perpres 16/2018 pada tahap proses pemilihan penyedia membuat para Pelaku Usaha memiliki Sense of belonging atau rasa memiliki yang tinggi, bahkan menyebutkan Calon Penyedia sekalipun tetap kurang pas karena yang namanya Calon itu terkonotasi “hampir”, artinya Calon Penyedia menjadi bermakna Hampir Penyedia, padahal gradasi kekeliruan dalam proses Pemilihan Penyedia yang benar itu berbeda-beda, bisa jadi maknanya seorang Pelaku Usaha itu jauh dari berhasil sehingga tidak ditetapkan sebagai Pemenang yang menjadi Penyedia PBJP.

Menyebut “peserta” atau “calon penyedia” sebagai penyedia dalam proses tender/seleksi tentu akan menjadi kurang pas, terutama ditinjau dari aspek Peraturan Perundang-Undangan, tidak hanya dari sisi Perpres 16/2018 semata, namun pada Peraturan Perundang-Undangan yang secara hirarki lebih tinggi, dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2008 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018).

PP 24/2018 yang diundangkan “setelah” Perpres 16/2018 ini (tepatnya tanggal 21 Juni 2018) dalam Pasal 1 angka menyebutkan bahwa “Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.”

Walaupun penyebutannya kurang lebih sama, namun terdapat perbedaan kecil secara kontekstual. Bila dalam konteks Perpres 16/2018 menyebutkan bahwa Pelaku Usaha adalah pihak yang berusaha dalam bidang ekonomi, maka Pelaku Usaha versi PP 24/2018 menyebutkan spesifik pada bidang tertentu, hal ini dikarenakan Pelaku Usaha yang melakukan usaha dalam konteks perizinan tidak selamanya berbasiskan profit oriented atau bidang ekonomi.

Apakah bertentangan? tentu saja tidak, hal ini dikarenakan PP24/2018 dirancang untuk mengatur para pelaku usaha yang bidang usaha nya tidak melulu bergerak di bidang ekonomi yang melekat dan berkonotasi pada ‘eksploitasi’, contoh Pelaku Usaha yang bergerak di bidang Pengelolaan Lingkungan, yang secara ekonomis jangka pendek malah (umumnya) rugi. Dengan demikian PP 24/2018 berbicara permasalahan perizinan untuk berbagai bidang pelaku usaha yang tidak mesti pada bidang ekonomi.

Dengan demikian ketika berbicara penyedia maka dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut :

Mengapa lingkaran Penyedia lebih kecil? sudah jelas, hal ini dikarenakan tidak semua Pelaku Usaha yang bergerak dibidang Ekonomi dapat semuanya menjadi Penyedia, yang memiliki tahapan dan proses dalam Pemilihan Penyedia hingga dapat berkontrak.

Rasa Ingin Memiliki

Dengan demikian penggunaan istilah Pelaku Usaha harus lebih dibiasakan lagi untuk membedakan dengan Penyedia, selain agar dapat selaras dengan Peraturan Perundangan di bidang Perizinan, juga membiasakan bahwa Pelaku Usaha tidak memiliki rasa kepemilikan/sense of belonging yang terlampau tinggi. Apa sih tujuan dari tulisan ini? tujuannya adalah agar para Pelaku Usaha menganggap proses Pemilihan Penyedia sebagai proses administrasi biasa, bahwa dalam aktifitas bisnis Pelaku Usaha untuk mendapatkan Pelanggan tidak berarti harus 100% berhasil seperti para Pelaku Usaha lainnya di Bidang Ekonomi yang dalam 10 kali usaha untuk mendapatkan pelanggan mungkin hanya 2 kali melakukan closing dan bertransaksi.

Ketika para Pelaku Usaha menganggap proses pemilihan penyedia sebagai kondisi kompetisi pasar yang biasa, bahwa antar para Pelaku Usaha satu sama lain tidak merasa paling berhak (sebagai akibat rasa kepemilikan yang tinggi itu tadi), kalah atau menang tidak lantas selalu ditujukan dengan Tindak Pidana Korupsi, tentu saja untuk hal ini wajib dan harus didukung dengan Proses Pengadaan Barang/Jasa yang benar-benar bersih sesuai dengan kaidah Peraturan Perundangan yang berlaku.

Dengan demikian sebagai upaya edukasi, mari kita tempatkan dan menggunakan istilah sesuai dengan peran nya masing-masing, ketika belum berkontrak ya jangan sampai menyebut para Pelaku Usaha sebagai Penyedia, apalagi ketika Kelompok Kerja melakukan proses Pemberian Penjelasan membuka dengan menyapa “Selamat pagi kami sampaikan kepada para Penyedia”, ketika hal itu sampai terjadi, maka janganlah heran ketika setiap “Pelaku Usaha” yang disapa sebagai “Penyedia” memiliki rasa kepemilikan yang tinggi.

Ketika rasa kepemilikan ini menjadi tinggi, sangat manusiawi bagi manusia untuk mempertahankan apa yang mereka “rasakan” sudah mereka miliki.

“Perasaan” sudah memiliki ini hanyalah keinginan, namun emosi dan respon tiap individu akan berbeda-beda berkaitan dengan keinginan yang timbul sebagai dampak dari rasa ingin memiliki ini, untuk itu saya akan membahas dari peristiwa Friendzoned dalam interaksi asmara.

“Cinta tidak harus saling memiliki, aku lebih menganggap mu sebagai kakak” ketika Sidin di tolak cinta nya oleh Bunga dengan pernyataan tersebut, rasa sakit hati nya menjadi besar.

“Maaf kak Sidin, aku lagi mau fokus belajar” ketika Bunga menyatakan tersebut untuk menolak Sidin, namun tidak berapa lama kemudian malah Bunga jadian sama Bruno, maka bukan tidak mungkin Sidin merasa semakin sakit hati, apalagi saat pendekatan Sidin sudah dipanggil “kak” sama si Bunga, yang menunjukkan panggilan yang lebih akrab.

Ketika penyebutan “Penyedia” yang lebih berkonotasi lebih akrab untuk kepastian berikat kontrak ini digunakan untuk Pelaku Usaha, maka bisa jadi secara manusiawi ketika ditolak, rasa sakit hati nya lebih tinggi.

Sidin bisa saja meminta mbah dukun bertindak untuk mendapatkan Bunga, hal ini dikarenakan Sidin sudah merasakan berhak memiliki karena di masa pendekatan, si Bunga sudah memanggil Sidin dengan panggilan yang terlampau akrab sebagai “Kakak” dan ketika ditetapkan posisi sebagai teman biasa alias di taruh di dimensi Friendzone, Sidin terhentak dan terhenyak kaget sehingga mengambil langkah yang tidak disangka-sangka, nekat pakai Smart Person (Orang Pintar alias dukun), ketika Cinta Ditolak maka dukun bertindak 😀

Penutup

Dengan demikian, maka jangan lagi kita menyebutkan Pelaku Usaha sebagai Penyedia, bisa saja terjadi bahwa sampai ada Pelaku Usaha yang “ngeyel” itu karena kita yang memposisikan mereka terlalu dekat dengan salah istilah.

Demikian, tetap semangat, tetap sehat, dan Salam Pengadaan !

 

PS: Saya tahu ini gak relevan, tapi buat anda yang bingung apa itu Friendzone, itu bukan Sosial Media baru, pernak-pernik soal Friend Zone ada pada tautan sebagai berikut : Tirto.id

 

Exit mobile version