Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

permendagri 77 2020

permendagri 77 2020

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan atau disingkat PPTK merupakan “peran” yang bergerak di Keuangan Daerah dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 (PP 12/2019), secara regulasi berkaitan dengan PPTK ini dijabat oleh Pejabat Struktural dan Pejabat yang kriterianya ditetapkan oleh Kepala Daerah, PPTK juga memiliki tugas untuk sebagai PPK, dalam hal PPTK tersebut memiliki Sertifikat Kompetensi PPK. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 sebagaimana terakhir kali dirubah dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021).

Sehingga sebelumnya perlu diperhatikan bahwa PPTK akan selalu hadir dalam Proses Pengelolaan Keuangan Daerah, namun juga perlu diperhatikan bahwa dalam keadaan dibutuhkan PPTK dapat melaksanakan tugas di Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PPTK yang membantu PA/KPA yang bertindak sebagai PPK dalam hal telah memiliki sertifikat kompetensi PPK sebagaimana diatur dalam Permendagri 77/2020. Perhatikan pada Perpres 12/2021 di ayat (3) Pasal 11 berikut :

Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada PengadaanBarang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m

Kemudian penegasan sertifikat kompetensi ayat (4) Pasal 11 Perpres 12/2021 tersebut adalah :

PPTK yang melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK.

Persyaratan Kompetensi PPK dalam hal ini tidak cukup dengan Sertifikat PBJ Tingkat Dasar, memerlukan pemenuhan persyaratan kompetensi PPK. Kemudian penegasan dalam Perpres 12/2021 bahwa PPK di Pemda dan lingkup tugas PPK yang dilaksanakan PPTK dalam membantu PA/KPA yang bertindak sebagai PPK pada Surat LKPP pada salah satu Pemda sebagai berikut :

surat lkpp pada salah satu pemkab

Perhatikan Poin 4 surat diatas :

  1. Berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan angka 3 di atas, maka pada prinsipnya PA/KPA dapat melimpahkan tugas kepada PPK. Namun demikian, bagi pengguna APBD dalam hal menurut ketentuan peraturan mengenai pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah belum memungkinkan bagi PA/KPA untuk melimpahkan sebagian kewenangannya kepada PPK sebagaimana ketentuan Perpres No.12 Tahun 2021, maka tugas sebagai PPK melekat pada PA/KPA sebagai pemegang prinsipal kewenangan. PA/KPA yang bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen tetap dibantu oleh pegawai yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang tugas pejabat pembuat komitmen sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

Kalimat yang saya cetak bold dan garisbawahi diatas adalah sinkron dengan bagian yang saya bold dan garisbawahi di Ayat (3) Pasal 11 Perpres 16/2018 Jo. Perpres 12/2021 :

Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m.

Maka dapat kita selaraskan bahwa Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada PengadaanBarang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD telah dijelaskan dalam surat bahwa dalam hal menurut ketentuan peraturan mengenai pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah belum memungkinkan bagi PA/KPA untuk melimpahkan sebagian kewenangannya kepada PPK sebagaimana ketentuan Perpres No.12 Tahun 2021.

Dalam Surat diatas pada Poin 5 dibunyikan :

5. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 memuat ketentuan bahwa salah satu kewenangan PA untuk menetapkan PPK tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai yang memiliki kompetensi sebagai PPK

Berkaitan Kompetensi PPK tentunya perlu diselaraskan lagi dengan Peraturan Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dengan demikian karena Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Perundangannya belum menghadirkan PPK, maka perlu dibuat terlebih dahulu Peraturan di Daerah yang memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam hirarki yang termaktub dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang bunyinya adalah :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Karena kedudukan Peraturan Daerah termasuk dalam Peraturan Perundang-Undangan maka sebaiknya untuk Pelaksanaan Kewenangan “bahwa salah satu kewenangan PA untuk menetapkan PPK tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai yang memiliki kompetensi sebagai PPK” dilandasi dalam Peraturan Daerah dan dilanjutkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Kepala Daerah masih menjadi satu kesatuan dalam Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana Pasal 8 UU 12/2011 berikut :

Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

tentunya berdasarkan Perpres 12/2021 telah dibataskan bahwa PPTK yang melaksanakan Tugas PPK di Pemerintah Daerah pada Perpres 12/2021 di ayat (3) Pasal 11 berupa :

PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c memiliki tugas:

a.menyusun perencanaan pengadaan;

b.melaksanakan Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa;

c.menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka AcuanKerja (KAK);

d.menetapkan rancangan kontrak;

e.menetapkan HPS;

f.menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;

g.mengusulkan perubahan jadwal kegiatan;

h.melaksanakan Epurchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah);

i.mengendalikan Kontrak;

j.menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;

k.melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA;

l.menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaankegiatan kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;

m.menilai kinerja Penyedia;

PPTK berbeda dengan PPK, karena untuk menetapkan PPK perlu dilandaskan pada Perda karena tidak adanya pengaturan mengenai PPK baik di dalam PP 12/2021 maupun Permendagri 77/2020, hal ini berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maka perlu diatur Kewenangan PPK di Keuangan Daerah dengan spesifik dalam Perda khususnya dengan memperhatikan Definisi PPK pada angka 10 Pasal 1 Perpres 16/2018 Jo. Perpres 12/2021 berikut :

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.

Cakupan tugas PPK yang termaktub dalam  kalimat “mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.” perlu dirincikan lagi agar lebih spesifik dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan kaitannya dengan Keuangan Daerah agar tidak “offside” dan redundan serta overlapping dalam sebuah Peraturan Daerah dengan segala hak dan kewajibannya dalam hal terjadi Pendelegasian Kewenangan dari PA/KPA.

Selain perlu memperhatikan UU Administrasi Pemerintahan yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja perlu juga memperhatikan ilmu Organisasi dan Manajemen. Salah satu teori dalam Ilmu Organisasi dan Manajemen berkaitan dengan Pembentukan Organisasi Formal, para Pelaku Pengadaan yang diorganisir dalam proses Pengadaan Barang/Jasa dapat dikatakan Organisasi Formal dengan cara mendelegasikan wewenang dilakukan dalam bentuk Organisasi Matriks dalam lingkup Proyek yang berdiri beriringan dengan tipe pendelegasian wewenang dengan cara Wewenang Lurus (struktural) dan Garis Fungsional, karena di Pemerintah Daerah sudah ada PA/KPA yang dapat dibantu oleh PPTK dan bila menghadirkan PPK secara utuh dengan seluruh tugas dan kewenangan sebagaimana Pasal 11 secara utuh, maka perlu diperhatikan beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika membentuk organisasi Formal.

Apa itu Kewenangan?

Wewenang dalam bahasa Inggris adalah authority. Istilah ini sering diterjemahkan orang dalam arti kekuasaan atau “power”. Dalam hal ini perlu dijelaskan kedudukan masing-masing istilah ini. Kekuasaan (power) adalah kemampuan untuk membuat orang lain terpengaruh atau kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain sehingga orang Iain harus mengikutinya. Kemampuan ini dipunyai oleh seorang mungkin karena kekuatan materil maupun moril seseorang seperti berharta, berilmu, dan fisik kuat.

Umpamanya si A adalah jagoan di antara kuli-kuli di sebuah pelabuhan, mungkin karena ilmunya atau kekuatan fisiknya yang luar biasa. Dengan berbekal kekuatan yang ada padanya dia mampu memaksa kuli-kuli untuk bekerja lebih keras dan sebagainya. Oleh sebab itu, kekuasaan dapat dimiliki oleh siapa pun, asal dia mampu untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Wewenang atau “authority” diartikan dalam berbagai-bagai cara oleh para ahli manajemen. Di antara beberapa ahli itu dapat dikemukakan sebagai berikut:

Dengan demikian, tidak semua orang yang boleh mempunyainya. Yang berhak untuk mempunyainya ialah orang-orang yang mempunyai kedudukan atau jabatan di dalam struktur organisasi. Umpamanya, presiden, menteri, direktur jenderal, direktur, subdirektur, kepala seksi, gubemur, bupati, camat, kepala desa, direktur perusahaan, manajer, dan mandor. Merekalah yang berhak untuk memerintahkan dan mengarahkan tindakan orang lain  dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.

Sumber kewenangan berdasarkan pendapat William H. Newman adalah sebagai berikut :

PPK di Pemerintah Daerah perlu diarahkan dalam instrumen Hukum dalam lingkup Kewenangan Operasi yang dalam kaitannya melaksanakan Peraturan Perundangan di Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perlu dipisahkan berdasarkan Peraturan Keuangan Daerah yang memang tidak mencakup hal tersebut.

Di samping batasan-batasan yang telah dikcmukakan scbelumnya maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pcndelegasian ini. yaitu sebagai berikut.

Pertama, TangungJawab tidak Boleh Didelegasikan

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan melimpahkan atau mendelegasikan wewenang kepada bawahan berarti menciptakan pula suatu tanggung jawab bagi atasan terhadap pelaksanaan tugas tersebut oleh bawahan yang diberi delegasi wewenang. Oleh sebab itu, pengawasan akan terselenggaranya tugas yang didelegasikan tersebut oleh pihak atasan dapat dijadikan sebagai sarana tanggung jawabnya. Umpamanya si A sebagai atasan mendelegasikan kewenangan pengurusan keuangan yaitu mencari dana, menyimpan dan mengeluarkan dana, membukukan dana dan sebagainya kepada si B. Kemudian si B mendelegasikan urusan penyimpanan dan pengeluaran dana kepada bawahannya si C. Kalau seandainya telijadi penyelewengan dana tersebut oleh si C maka si B tidak dapat melepaskall tanggung jawabnya dengan mengatakan bahwa penyelewengan itu adalah tanggung jawab si C. Dengan demikian, B yang harus bertanggung jawab atas penyelewengan yang dilakukan oleh para bawahannya, terutama karena dia tidak melakukan pengawasan atas wewenang tugas yang dilimpahkan kepada bawahannya. Dalam hal ini si C dapat dikenai tindakan yaitu sanksi kriminal dan administratif sedangkan atasannya dapat dikenakan sanksi administratif. Contoh lain umpamanya sering terjadi seorang kepala bagian mendelegasikan wewenang urusan penyampaian surat-surat kepada kepala seksi. Kemudian kepala seksi menyuruh seorang karyawannya melaksanakan tugas tersebut. Kalau seandainya surat tersebut tidak sampai ke tangan yang berwajib menerimanya, maka sering dijumpai bahwa kepala seksi ingin menghindar dari tanggung jawab dengan berdalih bahwa dia tidak melihat surat tersebut atau tidak merasa sampai ke tangannya. Tindakan demikian tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji karena dia takut dikenakan sanksi administratif oleh atasannya.

Kedua, Hindari subordinasi rangkap

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap wewenang yang dilimpahkan kepada seorang bawahan harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada atasannya langsung atau orang yang mendelegasikan wewenang tersebut kepadanya. Jadi di sini berlaku suatu asas bahwa dari siapa seseorang menerima pendelegasian wewenang maka kepadanyalah dia harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas tersebut. Asas ini disebut asas kesatuan komando atau unity of command. Oleh sebab itu, harus dihindari pertanggungjawaban bawahan yang keluar dari jalur komando ini. Contoh seorang bawahan yang mendapat pendelegasian wewenang dari B sebagai atasannya. Di samping harus memberikan pertanggungjawaban kepada B, maka dia harus pula memberikan pertanggungjawaban kepada A sebagai atasan B. Jadi. C mempunyai dua kepala atau dua jalur pertanggungjawaban yang disebut subordinasi rangkap. Subordinasi rangkap (dual subordination) ini dapat menimbulkan keraguan bagi bawahan karena dia tidak mempunyai kepastian siapa atasannya yang sebenamya karena dua atau tiga orang sekaligus memberi perintah kepadanya. Apalagi kalau perintah itu saling bertentangan atau tidak searah maka bawahan tersebut akan menjadi bingung perintah mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Akibatnya akan timbul frustasi bagi jiwanya dan hal ini dapat mengurangi semangat kerjanya (morale). Sehubungan dengan subordinasi rangkap ini ada beberapa bentuk hubungan yang hampir menyerupai subordinasi rangkap tetapi dapat dibenarkan karena tidak merusak jalur garis komando organisasi, yaitu berikut ini.
a. Peranan pembantu dari staf

Seperti telah dikemukakan sebelumnya staf dapat memberi petunjuk, nasihat dalam keahlian khusus, melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat di tingkat atau di eselon mana pun juga dalam organisasi. Tetapi hal ini diperkenankan karena staf melakukannya atas nama pejabat yang dibantunya. Umpamanya seorang staf memberi petunjuk kepada bawahan A tentang bagaimana melakukan suatu tugas. Ini tidak berarti bahwa yang diberi petunjuk menerima perintah dari dua orang atasan yaitu atasannya dan staf tersebut tetapi staf melakukannya atas nama atasannya A. Jadi pertanggungjawaban tugas tersebut harus diserahkan oleh bawahannya kepada A.

 

b. Pejabat tinggi organisasi atau administrator langsung berhubungan dengan pejabat-pejabat yang paling rendah tanpa pejabat-pejabat di tingkat mana yang lebih tinggi dari pejabat rendah tersebut. Umpamanya Presiden melakukan peninjauan ke suatu daerah pedesaan tanpa memberitahu gubernur, bupati, dan camat. Maksud dari peninjauan adalah sekadar ingin memperoleh informasi dari tangan pertama yaitu masyarakat desa sehingga administrator tahu benar apa yang terjadi di masyarakat bawah. Hal yang demikian, dapat dibenarkan di dalam organisasi dan tidak merusak garis komando karena Presiden tidak memberi perintah kepada kepala desa. Newman menyebutnya dengan istilah “by-passing”. Contoh lain dari “by-passing” ini apabila direktur suatu perusahaan datang mengunjungi para pekerja yang ada di bengkel atau pabrik-pabrik tanpa melalui manajer-manajer perusahaan karena dia ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya dari pabrik atau bengkel kerja. Ditinjau dari segi pimpinan maka dia bebas berbicara dengan pekerja-pekerja di tingkat bengkel atau pabrik tersebut, sebagai bahan baginya untuk merumuskan kebijaksanaan umum perusahaan. Ditinjau dari segi morale maka kunjungan Direktur mereka itu dapat meningkatkan semangat kerja karena mereka merasa diperhatikan dan dapat tukar menukar informasi dengan direkturnya secara langsung.

c. Sebaliknya bawahan dapat berhubungan langsung dengan pucuk pimpinan organisasi sekadar untuk berkonsultasi, mengajukan usul dan saran serta pendapatnya tentang bagaimana sebaiknya menjalankan sesuatu tugas dan sebagainya, tanpa melalui atasannya. Kalau usul, saran dan pendapatnya ini diterima oleh pucuk pimpinan maka bawahan tersebut akan merasa bangga bahwa dia telah dapat berbuat sesuatu untuk organisasinya. Dengan demikian, akan menambah kecintaan dan semangat kerjanya dalam menjalankan tugas yang didelegasikan kepadanya. Hal yang demikian disebut oleh Newman dengan istilah “right of appeal”. Umpamanya A berada di tingkat organisasi yang paling rendah yaitu sebagai kepala seksi. Kebetulan dia dapat menciptakan suatu cara yang terbaik untuk menanggulangi keterlambatan penyelesaian tugas pekerjaan dengan membuat tabel. Dengan demikian, pada tabel akan jelas terlihat kapan waktunya sesuatu tugas harus diselesaikan. Pendapatnya ini disampaikannya karena dia tidak melakukan pertanggungjawaban atas tugas yang didelegasikan kepadanya. Jadi, right of appeal ini dapat pula memberi kegairahan dan meningkatkan semangat kcrja para pegawai.

Ketiga, Wewenang Seimbang dengan Tanggung Jawab

Di dalam organisasi sering terjadi bahwa wewenang yang diberikan tidak seimbang dengan tanggung jawab yang ditimbulkannya karena ada batasan yang diberikan dalam wewenang tersebui. Umpamanya seseorang atasan melimpahkan wewenang dalam hal urusan pendidikan pegawai kepada bawahannya. Tanggung jawab bawahan tersebut mulai dari merencanakan kurikulum, mencari tenaga pengajar, mempersiapkan alat-alat peraga untuk berpraktek, karyawisata, peninjauan, dan sebagainya sehingga latihan dan pendidikan tersebut benar-benar memberi keterampilan kepada pengikut pendidikan. Tetapi sebaliknya bawahan tersebut tidak diperkenankan menggunakan anggaran biaya yang layak untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut. Jadi di suatu pihak dia dituntut bertanggung jawab atas kesuksesan pendidikan dan latihan pegawai di lain pihak wewenangnya dibatasi dengan menggunakan anggaran yang tidak memadai. Oleh sebab itu, wewenang dan tanggung jawab yang diminta tidak seimbang. Akibatnya bawahan tersebut akan menjadi frustrasi atau menolak untuk menerima wewenang yang dilimpahkan kepadanya.

Dengan demikian hal-hal tersebut diatas perlu kembali diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah terkait Penetapan Pejabat Pembuat Komitmen, namun bisa kita simpulkan bahwa :

  1. PPTK selalu hadir dalam proses Pengelolaan Keuangan Daerah;
  2. PPTK dapat melaksanakan tugas PPK dengan batasan, selama memiliki Sertifikat Kompetensi dan memenuhi kriteria Kompetensi PPK;
  3. PPK berbeda dengan PPTK, hal ini sudah jelas;
  4. Ketika dibutuhkan PPK maka perlu dibuat pengaturan yang jelas dan rinci terkait tugas dan kewenangan yang selaras dengan Peraturan Perundangan yang berlaku agar tidak tumpang tindih dan melewati kewenangan dengan Pengelola Keuangan Daerah seperti PA/KPA/PPTK, namun dalam Perpres 16/2018 Jo. Perpres 12/2021 diatur bahwa Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah;
  5. Pengaturan tersebut sebaiknya dilakukan dengan Peraturan Daerah dan memperhatikan aspek-aspek organisasi dan manajemen yang wajar apa saja yang dapat diambil keputusannya? tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja daerah juga perlu dirinci agar tidak bertabrakan dengan PA/KPA/PPTK APBD.
  6. Bila PP 12/2019 dan Permendagri terkait sudah direvisi dan menghadirkan PPK maka pengaturan terkait PPK dapat dilaksanakan pengangakatan PPK tanpa membentuk Perda, selama hal itu belum terjadi maka selain mengikuti saja apa yang ditegaskan dalam Permendagri 77/2020 bahwa PA/KPA bertindak sebagai PPK ketika melaksanakan perikatan, ada urgensi untuk mengatur hal tersebut yang disarankan dengan menggunakan Peraturan Daerah karena aspek-aspek berkaitan organisasi formal dan cara pendelegasian berbasis matriks atas sebuah proyek perlu diatur dengan dasar hukum yang kuat dan tidak sekedar dengan Kepala Daerah karena berkaitan dengan Hak dan Kewajiban, khususnya Hak PPK yang diangkat.

Demikian yang disampaikan tetap semangat tetap sehat, dan salam pengadaan!

Referensi :

Exit mobile version