Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Pajak Daerah, mensejahterakan atau mematikan?

Pajak menurut saya pribadi adalah sarana bagi orang yang lebih mampu untuk mendistribusikan “kelebihan” kemampuannya tersebut melalui negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Tentu saja definisi ini adalah menurut penulis pribadi, bagaimana dengan pendapat lainnya terkait pajak?
,
Amerika serikat mengumpulkan pajak untuk digunakan sebagai pengeluaran mulai dari pembangunan hingga perbaikan infrastruktur negaranya untuk meningkatkan pendidikan dan transportasi publik dan penanggulangan bencana pada negara-negara federasi dibawahnya, terlepas dari terdapat sembilan negara bagian federasi yang tidak memiliki pajak penghasilan. Persepsi publik federal menganggap pajak federal (tidak hanya sebatas pajak penghasilan) sebagai “uang sewa” yang dipungut untuk dapat hidup di negara-negara bagian di Amerika Serikat atau biaya yang digunakan untuk membiayai pengelolaan sumber daya di negara, ketika seseorang membayar pajak pada pemerintah Amerika Serikat, maka secara efektif pembayar pajak berinvestasi pada negara dan negara menggunakannya untuk : 1. Membangun, memperbaiki atau memelihara infrastruktur; 2. Membiayai dana pensiun dan manfaat dari pegawai pemerintah; 3. Menyediakan bantuan makanan dan tempat tinggal bagi orang miskin terlantar; 3. Meningkatkan sektor-sektor seperti pendidikan, pertahanan dan keamanan, kesehatan, pertanian, utilitas, dan transportasi publik; 4. Mengembangkan potensi baru seperti penjelajahan luar angkasa; dan 5. Menyediakan penanggulangan bencana. (Referensi : https://www.investopedia.com/terms/f/federal_income_tax.asp)
,
Pajak di Kerajaan Inggris raya pada zaman kolonialisasi di tahun 1798-1799 digagas untuk membiayai negara Inggris raya untuk membeli senjata dan peralatan dalam persiapan perang Napoleon, kemudian pada tahun 1842 diterapkan pajak penghasilan sebagai salah satu upaya konservatif mengatasi defisit pembiayaan negara yang memerlukan sumber pendanaan baru. (Referensi : https://en.wikipedia.org/wiki/Taxation_in_the_United_Kingdom#Napoleonic_wars), bila melihat peruntukannya sebagai pembiayaan negara, maka aspek yang dibiayai dalam pengelolaan anggaran negara di Inggris Raya pun tidak berbeda jauh dengan di Amerika Serikat.
,
Ditilik dari Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 23 yang berbicara tentang Keuangan berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.*** )
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk
dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah. ***)
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun yang lalu.***)
Terlihat bahwa prinsipnya Pajak yang selanjutnya di amandemen pada Pasal 23A sebagai sebuah pasal baru berbunyi :
Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.***)
,
APBN didalamnya bersumber salah satunya adalah Pajak, bila menilik dari sejarah pada Inggris Raya yang menambahkan pajak penghasilan sebagai salah satu sumber pendanaan, amandemen UUD 1945 yang memunculkan Pasal 23A menunjukkan bahwa terjadi pergeseran paradigma pengelolaan keuangan selaras dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat maupun Inggris Raya, dan dalam pembentukannya sebagai salah satu :instrument” maka wajib ditetapkan sebagai Peraturan Perundang-Undangan yang bentuknya berupa UU dan peraturan lainnya.
,
Penulis memiliki pendapat dengan mereferensikan pada Peraturan Pajak Daerah yang secara anatomi memiliki kebijaksanaan serupa dengan Pajak-Pajak lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana secara regulasi ditetapkan UU 28/2009 di pusat untuk menetapkan kewenangan pada pemerintah daerah dan besaran maksimal tarif yang dapat diambil, dalam pelaksanaannya diperlukan pembentukan Peraturan Daerah, dalam Peraturan Daerah ini tadi diatur kebijakan masing-masing antara Kepala Daerah otonom dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah otonom yang masing-masing membentuk kebijakan secara otonom berdasarkan karakteristik daerah sendiri.
,
Berbicara masalah keadilan tentu saja juntrungannya tidak melulu langsung pada sanksi, sanksi merupakan langkah terakhir, pada praktiknya sanksi dapat tidak perlu dilakukan apabila sebuah Peraturan Daerah dirancang berdasarkan kebijakan yang memang memperhatikan aspek pasar dan karakteristik usaha di suatu daerah untuk diterapkan dan dipandang adil sehingga disepakati oleh sejumlah besar pelaku di daerah tersebut. Namun praktiknya pembahasan program legislasi daerah terkadang memang tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hal ini akan menjadi permasalahan ketika sebuah Prolegda diterapkan menjadi Perda kemudian diikuti Peraturan Kepala Daerah, khususnya bila Peraturan tersebut memang tidak diterima oleh sebagian besar warga di wilayah tersebut.
,
Salah satu obyek Wajib Pajak yang “dapat” menjadi polemik atas ketidak-adilan adalah Pajak Rumah Makan, dimana obyek yang dapat dikenakan Pajak Rumah Makan oleh suatu daerah bersifat sangat luas, mulai dari kantin yang sifatnya sederhana hingga restoran pada restoran bintang 5. Pada UU 28/2009 ditetapkan tarif maksimal adalah 10%, aturan ini apabila tidak disikapi dengan kebijaksanaan dan umumnya hal ini yang relevan terjadi, maka saat ditetapkan sebagai Peraturan Daerah ditetapkan pada beberapa pemerintah daerah sebagai pasal dalam Perda bahwa tarif pajak restoran adalah sebesar 10%, sesederhana itu dengan hanya menghilangkan kata “maksimal” pada UU 28/2009.
,
Hal ini akan menimbulkan polemik karena memukul rata seluruh pelaku usaha yang terkategorikan dalam Pajak Restoran, padahal struktur pasar dan karakteristik setiap daerah memiliki kemampuan tidak sama, sangat tidak adil apabila restoran Bintang 5 dikenakan pajak daerah sebesar 10% namun kantin yang berada dekat kantor Kecamatan yang jauh dari pusat keramaian seperti ibukota kabupaten/kota dikenakan besaran tarif yang sama. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan adanya sanksi yang diatur apabila Pajak Daerah tersebut tidak dibayar, umumnya Pajak Daerah memiliki peraturan turunan dari Peraturan Daerah yang dijalankan pada Peraturan Kepala Daerah bahwa setelah kurun waktu tertentu maka wajib pajak yang tidak melaporkan pajak yang dilaporkan dan dibayarkan sendiri (self assessment) akan dapat dilakukan penetapan pajak daerah secara jabatan (official assessment) yang juga memberikan denda bulanan dan denda dengan besaran tertentu berdasarkan regulasi yang diacu masing-masing.
,
Sudah jatuh tertimpa tangga, bagi pelaku usaha dengan kapasitas operasional minim membayar pajak sebesar 10% sudah merupakan beban yang relatif tinggi, hal ini tentu akan berbeda dengan restoran berbintang, dari sisi kompetisi saja sudah tidak sama margin keuntungan nya, sebagai contoh kita biasa dan sangat wajar melihat bahwa Waralaba Kopi Internasional menjual secangkir kopi nya sebesar Rp70.000 dengan demikian terdapat kewajiban bagi waralaba tersebut membayarkan Rp7.000 untuk masuk dalam kas daerah, keuntungan yang diperoleh masih dapat diperdebatkan dengan biaya impor atau operasional yang juga bernilai ekonomi tinggi, namun bila mengesampingkan hal tersebut dan  memperhitungkan rantai pasoknya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Waralaba :

Warung Kopi :

Sebagaimana disebutkan diatas warung kopi sudah tidak memiliki keunggulan kompetitif sebagaimana halnya warung waralaba, sebut saja segelas kopi tersebut diwarung dibanderol Rp5.000 memberlakukan pajak daerah sama dengan pemain besar yaitu sebesar 10% maka Pajak yang harus dibayarkan adalah Rp500, sekilas terlihat adil namun bila diperhatikan dari jalur rantai pasokan, pihak waralaba memiliki keunggulan kompetitif untuk biaya operasional berdasarkan kekuatan jalur distribusi dan kemampuan menjual produk terhadap 2 pasar yang berbeda, dan dalam pasar yang dipersaingkan secara langsung dengan usaha kecil dengan besaran tarif pajak yang tidak ada perbedaan hal ini akan menjadi kurang adil, kemampuan warung kopi untuk mendiferensiasikan usaha nya tidak akan sekuat waralaba, kita bisa berkilah bahwa warung kopi harus kreatif, ini era industri 4.0 namun praktiknya tidak semudah kata-kata motivator.
,
Sebagai contoh makanan pendamping yang ada di warung kopi yang dilabeli sebagai “side dish” di Waralaba memiliki harga yang luar biasa peningkatannya dan tidak bisa disamaratakan, sehingga otomatis peluang bersaing tidak sama dan secara tidak langsung sebenarnya regulasi Pajak Daerah mematikan usaha kecil.
,
Bila kita kutip lagi kalimat pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia selain mencerdaskan kehidupan bangsa, juga memiliki arah untuk memajukan kesejahteraan umum, kesejahteraan umum ini sifatnya perlu dikaji kembali, keadilan yang seperti apa yang sekiranya dapat memajukan kesejahteraan umum? Apabila berdasarkan ilustrasi diatas, apakah benar kesejahteraan umum dapat dicapai? Penulis secara pribadi berpendapat lain, Pajak Daerah secara tidak langsung mematikan usaha kecil memang masih debatable dan menurut penulis terjadi dengan catatan kecil bahwa pembahasan Peraturan Daerah nya seperti yang telah disampaikan diatas.
,
Bagaimana tidak mematikan usaha kecil, margin keuntungan dari satu cangkir kopi tersebut sangatlah tipis, bila satu sachet kopi dibanderol Rp2.000 di supermarket dan dijual kembali dengan harga Rp5000 maka margin keuntungannya hanya Rp3.000, ketika di potong pajak 10% senilai Rp 500, maka keuntungannya berupa laba kotor hanya menjadi Rp2.500, menurut penulis hal ini akan kontras dengan produsen yang memiliki model bisnis waralaba, bila dipukul rata saja biaya perkemasan untuk penyajian secangkir sama, yaitu Rp2000 persachet, apabila waralaba tersebut melalui franchisee nya menjual sebesar Rp 70.000 dan dikurangi pajak menjadi Rp63.000 maka laba kotornya menjadi Rp61.000, mari kita simak lagi bagi pihak yang memiliki laba kotor sebesar 61.000 pajak sebesar Rp7000 hanya 11,47% hal ini berbanding terbalik dengan warung kecil yang pajak nya Rp500 dengan laba kotor senilai Rp2500 atau setara 20%, jadi walau secara nominal pemberlakuan pajak ini sebesar 10% terlihat adil dan dari besarannya bagi pemain besar membayar besar dan pelaku kecil membayar kecil namun kenyataannya tidak sesederhana itu.
,
Alhasil karena porsi pajak menyita cukup tinggi maka tidak jarang para pelaku usaha kecil memilih “bersembunyi” dengan berdiam diri, namun pada dasarnya berdiam diri tidaklah menjadi solusi jangka panjang yang baik, para teman-teman dari Aparatur yang bertugas di bidang keuangan di Daerah juga memiliki beban tanggung-jawab untuk memungut dan semakin besarnya tuntutan sebuah daerah untuk berinovasi melahirkan tuntutan atas pendapatan daerah yang semakin intensif, maka dilakukan lah pemberlakuan penetapan denda secara jabatan, yaitu penilaian yang dilakukan oleh aparatur untuk memperkirakan para wajib pajak yang “diam” ini tadi, ditambah dengan denda pokok dan denda bulanan, sudah jatuh tertimpa tangga pula, itu yang mungkin dialami sebagian besar pelaku usaha, denda yang merupakan sanksi ini akan menjadi tidak adil bila penyebab kemunculan tersebut adalah penetapan tarif yang tidak adil karena tidak proporsional pemberlakuannya.
,
Adapun penulis tidak lantas menyalahkan Pajak Daerah, Pajak Daerah tidak salah dan tidak keliru hanya saja pemberlakuan sanksi dan penerapannya perlu dievaluasi, sangat tidak bijak bila Pemerintah Daerah terus bergerak tanpa mengevaluasi materiil pemberlakuan peraturannya tanpa memperhatikan lingkungannya, terutama struktur pasar yang terjadi di daerahnya, bukankah semangat otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan bagi daerah otonomi untuk menghadirkan kesejahteraan dengan memanfaatkan serangkaian regulasi yang diatur secara optimal untuk menghadirkan kesejahteraan umum di wilayahnya?
,
Penulis tidak menampik bahwa ada berbagai cara untuk membuat pajak daerah yang atraktif dan menarik serta bercitarasa keadilan yang tinggi, dan penulis sendiri pernah mengusulkan agar daerah tempat penulis bekerja sebagai pengelola pendapatan daerah untuk mengadaptasi peraturan tersebut, terlepas dari keberhasilan atau tidaknya usulan tersebut, penulis yakini ada banyak daerah yang memang membutuhkan inovasi sebagai akibat belum berlakunya regulasi yang baik. Sudah waktunya bagi seluruh Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia untuk memberikan dan memaparkan kajian yang dianjurkan dalam mengolah regulasi yang ada di Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, setiap Pemerintah Provinsi dapat mengolah data yang dapat dijadikan referensi bagi masing-masing Pemerintah Kabupaten / Kota untuk menentukan proporsi secara bertingkat di tiap-tiap Kabupaten / Kota, data tersebut dapat dijadikan sebagai bahan bagi Kepala Daerah dalam membahas bersama DPRD setempat untuk menghasilkan Peraturan Daerah yang optimal bagi daerahnya dalam mengoptimalkan Pajak Daerahnya secara jangka panjang.
,
Menggunakan tarif maksimal memang menguntungkan secara jangka pendek, mau usahanya besar ataupun kecil nilai tarfinya sama dan pendapatannya maksimal, bila tidak dilaksanakan maka dikenakan sanksi atas penetapan pajak daerah yang dirilis dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar beserta denda pokok dan denda bulanan, hasilnya akan sangat bombastis diatas kertas bagi Daerah dan merupakan jalur cepat mengejar target, namun dampak dari sisi keberlangsungan secara jangka menengah/jangka panjang bagaimana? Perlu kajian lebih mendalam sebagaimana yang penulis telah ungkapkan diatas yang mana peran Pemerintah Provinsi sangat besar andilnya disini, namun boro-boro memikirkan Kabupaten/Kota toh Pemerintah Provinsi memiliki polemiknya sendiri dalam menjalankan amanat UU 28/2009 dan dalam pelaksanaannya tidak juga terdapat pembinaan dengan ketersediaan data kajian dari instansi vertikal diatasnya, kok ya ditambahin beban dari Pemkab/Pemkot.
,
Dikembalikan dari kalimat awal yang dulu seringkali penulis ucapkan saat memberikan sosialisasi hingga 28 Desember 2016 silam bahwa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, atau apapun bentuk Pendapatan Asli Daerah seyogianya merupakan sarana bagi orang yang lebih mampu untuk mendistribusikan “kelebihan” kemampuannya tersebut melalui negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan bermanfaat bagi lebih banyak orang, tentu saja hal ini harus dilakukan secara proporsional dan berimbang khususnya dalam penetapan tarifnya, dalam memformulasi tarif pajak daerah hendaknya terdapat keadilan dalam penyusunan dalam Peraturan Daerah dalam bentuk “gradasi” pemberlakuan pajak daerah, secara gamblang sebut saja terdapat batasan berupa range minimal dimana wajib pajak dengan omset bulanan hingga nilai tertentu contoh, sebut saja warung kelas tertentu dengan omset terendah yaitu sebut saja Rp2.000.000 dan karakteristik rupa penyajian berada dalam gradasi terendah dikenakan pajak 0% atau di nihilkan, gradasi berikutnya dengan nilai omset bulanan diatas Rp2.000.000 hingga 5.000.000 dikenakan pajak 2%, omset perbulanan diatas Rp5.000.000 hingga 10.000.000 dikenakan 4% dan seterusnya hingga yang tertinggi adalah 10%.
,
Data tersebut dihimpun tiap bulannya, sehingga usaha kecil yang berkembang diberikan kesempatan untuk bersaing dan bertahan, hal ini akan memberikan keadilan yang lebih baik apabila gradasi nya memiliki nilai range nominal yang semakin tipis, misal menggunakan satuan 0.5% sehingga pajak dimulai dari 0%, 0.5%, 1%, 1.5%, 2% dan seterusnya hingga 10% dengan memperhitungkan keberlangsungan usaha kecil menengah, apabila unit pengelola pendapatan asli daerah tidak dapat melakukan kajian analisa pasar maka dapat berkerjasama dengan unit kerja yang mengelola bidang Perdagangan sehingga diperoleh penetapan pajak yang tarif nya lebih berkeadilan, penetapan pajak dengan terif berkeadilan ini tentunya akan meminimalkan kemungkinan potensi sanksi, artinya apabila aturannya sudah sangat memperhatikan keadilan tersebut ditemukan masih terjadi pelanggaran, maka pihak wajib pajak yang melanggar tersebut memang nakal dan layak dikenakan sanksi.
,
Menihilkan pajak daerah bagi usaha yang baru berkembang memberikannya kesempatan bersaing, lama kelamaan usaha tersebut akan berkembang karena beban saat merintis tidak akan tergerus pajak secara besar-besaran seperti usaha yang sudah kokoh dan mapan sejak lama, ketika sudah mencapai taraf omset tertentu maka mustahil akan nihil selamanmya, naiknya omset berimbang dengan kewajiban pajak, ibarat pesan Paman Ben pada Peter Parker di serial Spider-Man, “from great power comes great responsibility” terdapat semangat keadilan dalam persaingan dan hal ini akan berdampak baik secara berkesinambungan jangka panjang yaitu dengan kenaikan omset yang semakin besar maka datang pula kewajiban yang (semakin) besar, nah pada ranah ini apabila dianalogikan si “Spider-Man” tersebut berperilaku kurang tepat maka wajar saja Tony Stark memberi hukuman untuk mengambil kembali kostum Spider-Man seperti terjadi di film Spider-Man Homecoming.
,
Bila suatu daerah sangat ramah terhadap investasi dengan regulasinya maka secara strategis instrumen pajak daerah ini bisa menjadi suatu upaya bagi kepala daerah untuk berinovasi agar daerahnya menjadi “sexy” dimata para pengusaha. Salah satu instrumen untuk meningkatkan pajak daerah sebagai salah satu sumber pendapatan jangka panjang adalah menerapkan tarif berjenjang/bergradasi yang berkeadilan secara proporsional dan memberikan sanksi yang bila perlu pun bersifat proporsional, perlakukan sistem multi tarif! Sayang nya apabila saya boleh mengkritisi, masa jabatan Kepala Daerah maupun anggota DPRD yang relatif singkat tidak menunjang untuk terbentuknya regulasi semacam ini, diperlukan komitmen sangat kuat untuk melakukan hal ini dan aspek kebijakan ini jarang terbentuk karena akan menjadi kurang strategis untuk mengambil langkah mundur bagi seorang Kepala Daerah karena masa jabatan yang relatif singkat dan dampaknya akan kemunduran mewujudkan visi dan misinya.
,
Pada prinsipnya saya memandang baik pajak Daerah maupun pajak diatasnya merupakan hal yang mempertimbangkan prinsip keadilan yang serupa bila penyusun regulasinya memang memikirkan kebaikan bersama, sebagai contoh saya coba sajikan bagaimana pemberlakuan tarif Pajak Penghasilan di bidang konstruksi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2008, secara umum klasifikasi nya dibagi menjadi lima yakni :
Melihat dari esensi diatas maka pemberlakuan pajak penghasilan diberlakukan berbeda dengan adanya pertimbangan aspek keadilan dimana kecil diberikan tarif 2% (pekerjaan fisik) dan 4% (untuk jasa pengawasan/perencanaan) selebihnya dikenakan tarif berbeda yang lebih tinggi, dalam hal kualifikasi usaha tidak tersedia dikenakan tarif tertinggi sebagaimana tertera diatas, secara kasat mata hal ini dipandang wajar oleh penulis karena memiliki kualifikasi serupa dengan membangun reputasi dan pekerjaan konstruksi merupakan bidang usaha padat modal dan memiliki aspek keamanan yang diperhatikan hingga taraf tertentu sehingga memiliki kualifikasi usaha yang baik memerlukan usaha yang  berbanding lurus dengan semakin kecilnya kegagalan konstruksi sehingga wajar dikenakan tarif lebih tinggi bagi pelaku usaha yang tidak mengembangkan kualifikasi usahanya, namun pada prinsipnya penulis dapat memaklumi bahwa alasan klasifikasi atau gradasi tersebut wajar adanya dengan menggunakan logika, berdasarkan logika tersebut akan sangat mudah apabila pihak berwenang menjelaskan latar belakang penetapan tarif tersebut, hal ini akan sangat kontras apabila dibandingkan dengan contoh Pajak Daerah yang penulis kemukakan diatas tadi bila Pajak Daerah dalam Perda nya hanya menganut satu tarif tunggal yang latar belakangnya hanya “menghapus kata maksimal” dari UU yang dirujuk.,
,
Sanksi tidak serta merta timbul akibat dari niat “menghindari” ketika ada wajib pajak yang menghindari maka pantas lah diberikan sanksi, namun perlu kembali kita kaji masing-masing pemberlakuan pajak daerah kita, apakah sudah selaras dengan apa yang dicita-citakan oleh bangsa ini saat merdeka?
,

Demikian tulisan ini dibuat pada tanggal 8 Oktober 2019 untuk menjadi bahan pemikiran bersama bagi para praktisi perpajakan dan tentunya bagi saya pribadi adalah dalam menyelesaikan tugas perkuliahan jarak jauh saya, publikasi ini juga tidak bermaksud membuat saya sebagai seorang “anti pajak” dan menjadi “kacang lupa kulit” mentang-mentang tidak bekerja di Unit Pengelola Pendapatan Daerah lantas saya berpendapat demikian, namun lebih pada pemikiran pribadi bahwa Instrumen tidak serta merta ditulis dan diciptakan secara “buta” dan adanya potensi bahwa optimalisasi PAD bisa dilakukan secara kreatif dan memberikan solusi tanpa harus menyakiti pihak lain.

,

 

Ingat….. orang baik yang tersakiti bisa menjadi penjahat…. halah…. 

Exit mobile version