Setelah memahami hakikat dari Kontrak dan hubungan Pemerintah dengan Eksternal dan memahami kemungkinan adanya Bentuk Organisasi lain di luar Pemerintah itu sendiri melalui artikel ini :
Dengan demikian kita sudah memiliki gambaran sederhana bahwa karakteristik organisasi yang berbeda dan jenis pengadaan yang berbeda dengan kompetensi sektor organisasinya yang berbeda bisa memberikan gambaran yang lebih komprehensif atas proses pengadaan yang akan dilakukan.
Sebagai contoh Operasional organisasi yang diluar pemerintah yang bergerak di sektor ekonomi primer seperti pertanian, pertambangan, dan perikanan yang lebih dominan akan mempengaruhi kebijakan Pengadaan Barang/Jasa di sebuah daerah, demikian pula sektor sekunder seperti industri dan manufaktur dan sektor tersier seperti jasa perdagangan dan jasa lainnya akan berpengaruh pada tingkat kemudahan dalam memperoleh Pelaku Usaha/Penyedia dan/atau Penyelenggara Swakelola.
Dengan demikian komposisi dari jumlah dan ukuran dari perusahaan swasta, Pemerintah, organisasi nirlaba, dan komunitas lokal yang ada dalam setiap negara akan berbeda-beda, demikian juga dengan komposisi di tiap daerah, menyeragamkan nya dalam bentuk sebuah aturan akan menjadi hal yang merumitkan hal yang seharusnya tidak perlu diatur dengan kaku, maka dari itu Perpres 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak mengatur secara rinci hal tersebut, apalagi sampai merincikan urusan “dapur” dari pelaku usaha/penyedia maupun penyelenggara swakelola.
Dengan demikian Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i telah menggariskan bahwa :
- b. melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang lebih transparan, terbuka, dan kompetitif;
- f. mendorong penggunaan barang/jasa dalam negeri dan Standar Nasional Indonesia (SNI);
- g. memberikan kesempatan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
- h. mendorong pelaksanaan penelitian dan industri kreatif; dan
- i. melaksanakan Pengadaan Berkelanjutan.
Hal ini bertujuan untuk meratakan dan memperkecil kesenjangan komposisi Pelaku Usaha antara segmen Kecil dan Non-Kecil, sesuai dengan semangat kebijakan perekonomian negara Pancasila yang dianut di Indonesia, berbeda dengan negara yang menganut perekonomian pasar bebas atau kapitalisme yang lebih di dominasi dengan perusahaan swasta dibanding peran Pemerintah maupun berbeda dengan negara sosialis yang menekan dan mengatur hingga pelaku usaha memperoleh keuntungan yang benar-benar minimalis dan di dominasi Pemerintah, Indonesia menganut Pancasila khususnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan demikian kegiatan perekonomian yang seimbang antara Pelaku Usaha dan Pemerintah.
Dengan demikian Pelaku Usaha di Indonesia dimungkinkan memperoleh keuntungan yang wajar sesuai dengan kapasitas pasar dari suatu Daerah dalam kerangka kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyeragamkan harga dan keuntungan sebagaimana dalam batasan tertentu hingga diatur sedemikian rupa dengan dasar aturan dan hukum negara layaknya negara sosialis yang merupakan sistem yang dianut negara komunis bukan menjadi semangat negara kita, namun mengeruk dan memperoleh keuntungan sebesar mungkin hingga cenderung eksploitatif sebagaimana negara pasar bebas kapitalis juga bukan menjadi semangat negara kita, pemahaman ini yang memerlukan kesepakatan bersama bila memang dasar negara kita belum berubah, yaitu Pancasila, artinya Pelaku Usaha diberikan kesempatan selama prosesnya telah transparan, terbuka, dan kompetitif memperoleh keuntungan selama proses pemilihan penyedia tersebut telah dilaksanakan sesuai regulasi maka tidak layak sebenarnya bila harga barang/jasa dibandingkan dengan daerah lain yang kondisinya tidak setara dan dianggap kerugian konkrit.
Bila dalam perhitungan pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja Negara Indonesia mengakui adanya perbedaan antara tiap wilayah Provinsi, Kota, dan kabupaten, maka dengan demikian membandingkan harga Pengadaan di sebuah Kabupaten dengan harga dealer di Ibukota Provinsi sebenarnya sudah tidak logis, dan membandingkan hal tidak logis sejak awal ini mungkin karena pemahaman kita yang sudah terlalu kapitalis liberal atau sosialis komunis, dalam hal ini mungkin perlu kita pelajari hakikat Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan yang menjadi dasar dan pondasi dari Negara kita agar ekosistim Pengadaan Pemerintah maupun Swasta semakin sehat dan tidak kehilangan jati diri.
Tidak ada salahnya bila kita kembali belajar karakteristik Sosial Budaya Dasar kita, agar sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak kehilangan jati diri dengan membaca salah satu tulisan saya Misi Pendidikan Nasional dan Tujuan Dari Ilmu Sosial Budaya Dasar yang saya tuliskan 2 tahun lalu.
Tulisan ini hanya pemikiran saya dan pendapat pribadi dengan memperhatikan komposisi pelaku usaha yang semakin mengarahkan kita dalam ekosistim privat yang terlanjur liberalis kapitalis namun disisi lain Pemerintah benar-benar mengeksploitasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hingga terlalu mengintervensi hingga urusan rumah tangga internal pelaku usaha dan cenderung seperti Sosialis Komunis.