Disclaimer
Tulisan ini saya buat dengan risiko tinggi, terdapat kemungkinan besar saya memiliki pemahaman yang terlalu dangkal dan dalam hal ini para Pakar Hukum bisa saja memiliki intepretasi berbeda atas berbagai hal yang saya coba kemukakan dalam tulisan ini, masukan konstruktif sangat saya tunggu, salam pengadaan!
Pendahuluan
Sistem Hukum Indonesia menganut kecenderungan ke civil law system yaitu berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi tentunya kecenderungan ke civil law system mengedepankan peraturan perundangan, khususnya bila memperhatikan jenis dan hierarki Peraturan Perundangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Perubahan atas Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menunjukkan kecenderungan mengedepankan peraturan perundangan alih-alih yurisprudensi di-Indonesia.
Selain Peraturan Perundangan sebagai sumber hukum terdapat hukum yang bersumber dari hukum hakim (judge made law) (rechtstersrecht) yang lebih dikenal dengan nama yurisprudensi (jurisprudentierecht). Dengan demikian kecenderungan sistem hukum di Indonesia lebih kepada civil law system yang lebih cenderung pada Peraturan Perundangan alih-alih Yurisprudensi putusan dari Hakim.
Karena menggunakan sistim hukum yang cenderung pada civil law maka prinsip Hardship atau “Rebus Sic Stantibus” dalam kontrak yang digunakan pada kontrak di negara dengan sistim Anglo Saxon menjadi jarang diketahui, doktrin rebus sic stantibus atau dikenal juga dengan istilah clausula rebussic stantibus adalah suatu perubahan keadaan dikarenakan oleh kesulitan/kesukaran yang sangat ekstrim bagi salah satu pihak untuk memenuhi kontrak dan bukan dikarenakan ketidakmungkinan kontrak tersebut dilaksanakan dan oleh sebab itu maka harus dilakukan renegosiasi terhadap ketentuan dan syarat-syarat dalam kontrak, karena lingkupnya dalam berkontrak maka tak ayal Hardship juga menjadi bagian yang harusnya terjadi dalam kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Sekedar mereviu kembali berkaitan dengan kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 1 angka 44 menyebutkan bahwa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau Pelaksana Swakelola. Dibagian awal saya telah menyebutkan bahwa Hardship atau Rebus Sic Stantibus adalah kesulitan/kesukaran yang sangat ekstrim bagi salah satu pihak untuk memenuhi kontrak dan bukan dikarenakan ketidakmungkinan kontrak tersebut dilaksanakan dan oleh sebab itu maka harus dilakukan renegosiasi terhadap ketentuan dan syarat-syarat dalam kontrak, tentunya hal ini menjadi pertanyaan apa yang membedakan dengan keadaan yang memaksa atau keadaan kahar yang dikenal dengan istilah Force Majeur?
Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Pasal 1 angka 52 Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di deskripsikan sebagai suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.
Dengan berpedoman pada kedua definisi Force Majeur atau Hardship diatas maka dapat kita tarik benang merahnya terdapat perbedaan taraf sensitifitas yang membendakan antara keduanya, yaitu :
- Force Majeur atau Keadaan Kahar terjadi di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan tidak dapat dipenuhi
- Hardship atau kesulitan/kesukaran terjadi di luar kehendak para pihak oleh sehingga kewajiban yang ditentukan perlu di renegosiasi agar keseimbangan kontrak dapat tercapai kembali.
Sayangnya dalam Perpres 16 tahun 2018 Keadaan Sulit atau Kesulitan atau Kesukaran ini tidaklah diatur secara eksplisit dan demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi belum ada pengaturan terkait Hardship, padahal keberadaan Hardship dapat dijadikan sarana untuk memecahkan problem jika muncul peristiwa yang secara fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak, perlu dicatat bahwa ketiadaan pengaturan secara eksplisit ini akan berisiko tinggi bila dilakukan penanganan yang keliru menggunakan penggunaan pasal yang tidak tepat baik dalam Perpres 16/2018 maupun peraturan perundangan lainnya.
Kejadian yang mempengaruhi Keseimbangan Kontrak
Belum terlepas dari bayang-bayang krisis multi dimensi yang memukul perekonomian Indonesia pada tahun 1997 yang melabrak Perekonomian Indonesia secara nasional, pada tahun 2020 ini seluruh dunia dilanda pandemi global Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang memukul seluruh sektor tanpa kecuali pengadaan barang/jasa Pemerintah di Indonesia. Bila dalam Krisis tahun 1997 para pihak yang menjadi debitor telah terikat untuk melaksanakan sebuah pengadaan Barang/Jasa dengan harga yang mengikat pada harga sebelum krisis dan harga tersebut pada waktu tersebut pastinya akan merugikan debitor kontrak bila tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kurs yang begitu besar, pada tahun 2020 ini potensi kesulitan karena Covid-19 meluas dengan terjadinya kemungkinan :
- Kelangkaan stok barang/jasa atau keterbatasan proses logistik penyediaan karena terjadinya pembatasan guna menanggulangi atau mencegah penyebaran Covid-19 lebih lanjut;
- Lonjakan komoditas tertentu yang secara tidak langsung perlu di terapkan dan meningkatkan beban operasional sehingga meningkatkan beban operasional penyedia sehingga mengakibatkan kerugian pelaksanaan pekerjaan;
- dan lain-lain.
Keseimbangan kontrak ini memerlukan tindakan jalan keluar (escape) yang salah satunya adalah melakukan renegosiasi, dalam hal ini melakukan negosiasi ulang untuk menyeimbangkan kembali agar tidak terjadi kerugian yang besar bagi pihak yang berstatus debitor.
Hukum Kontrak Internasional UPICCs (Unidroid Principles for International Commercial Contracts) dalam Article 6.2.1 menentukan dua hal pokok yang salah satunya berkaitan dengan Perubahan keadaan yang terkategorikan sebagai Hardship khususnya dalam keseimbangan berkontrak, yaitu pada bagian b berbunyi : Perubahan keadaan yang relevan hanya terkait kontrak-kontrak tertentu (kontrak yang pelaksanaannya belum dilakukan/masih berlaku dan berjangka panjang) – (change in circumstances relevant only in exceptional cases). Berkaitan dengan hal ini maka Adi (2014) menyebutkan bahwa Hardship atau Prinsip rebus sic stantibus sangat penting terutama untuk kontrak- kontrak dalam skala besar dan dalam rentang waktu jangka panjang dimana kondisi ekonomi, politik dan situasi sosial pada saat implementasi kontrak-kontrak semacam itu berubah secara drastis, radikal dan fundamental.
Unsur Keadaan Memaksa / Force Majeur / Keadaan Kahar
Menurut Prof. Subekti keadaan memaksa (overmacht) atau Force Majeur atau Keadaan Kahar adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi, secara umum Keadaan Kahar ini diatur dalam Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 1245 KUHPer. Lebih lanjut Unsur Keadaan Memaksa berdasarkan Pasal 1244 KUHPer yang berbunyi “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Dengan demikian berdasarkan Pasak 1244 KUHPer Aspeknya adalah unsur-unsur sebagai berikut :
- hal tak terduga, contoh pengiriman barang/bahan baku barang tidak terpenuhi karena kapal yang digunakan untuk pengiriman terbakar dan tenggelam.
- tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, contoh debitur seharusnya melakukan pengolahan bahan baku di pabriknya, namun pada saat 10 hari sebelum penyelesaian masa kerja kontrak pabrik debitur terbakar habis termasuk pada produk yang harusnya diserahkan, dalam hal ini terjadi kerugian yang tidak bisa dibebankan pada debitur karena kebakaran pabrik debitur adalah kerugian yang tidak diharapkan dan tidak dapat dibebankan sebagai kesalahan debitur.
- tidak ada itikad buruk debitur, contoh penyedia menugaskan tim leader untuk datang ke lokasi pekerjaan sesuai jadwal untuk mempresentasikan tahapan perkembangan ketiga, seperti sebelumnya pada tahapan presentasi perkembangan pertama dan kedua, tim leader berangkat ke lokasi menggunakan kendaraan operasional perusahaan dan ternyata pada saat akan mempresentasikan tahapan perkembangan ketiga terjadi kecelakaan yang menjadikan presentasi ketiga tidak dapat dilakukan seperti presentasi pertama dan kedua, kejadian ini selain membatalkan presentasi kali ketiga juga besar kemungkinan membatalkan presentasi berikutnya, dalam hal ini penyedia sama sekalit tidak mempunyai itikad buruk sebab selama ini telah melakukan kerjasama dengan baik pada presentasi waktu pertama dan kedua, dalam hal ini kecelakaan tersebut juga tidak diinginkan penyedia dan telah terbukti bahwa penyedia sebenarnya telah menugaskan tim leader untuk berangkat memenuhi kewajibannya di waktu yang telah ditentukan dan seharusnya terjadi dengan baik apabila tidak ada kecelakaan tersebut.
Prinsipnya apabila terjadi keadaan memaksa maka debitur mempunyai kewajiban untuk membuktikan berdasarkan Pasal 1244 KUHPer dengan menggunakan salah satu dari unsur diatas dan/atau menggunakan semua unsur untuk membuktikan bahwa debitur memang tidak bersalah.
Lebih lanjut masih menurut Prof. Subekti berdasarkan Pasal 1245 KUHPer yang berbunyi “tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang” dengan demikian unsur keadaan memaksa menurut Pasal 1245 KUHPer adalah unsur-unsur sebagai berikut:
- hal yang terjadi secara kebetulan, contoh penyedia alat laboratorium kesehatan tengah mengirimkan produk laboratorium kepada pemerintah, dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan pengepakan dengan rapi dalam box serta menggunakan packing kayu dan menyewa mobil box secara khusus tidak mencampur dengan pengiriman barang lain, pada saat pengiriman tersebut secara kebetulan terjadi gempa sehingga tidak hanya mobil box tersebut yang hancur namun seluruh muatannya juga ikut hancur, Penyedia menyatakan bahwa telah terjadi keadaan memaksa yang menimpa dirinya dan meminta kepada pemerintah agar dirinya tidak membayar ganti rugi dan termasuk dikenakan sanksi.
- debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, contoh penyedia mengadakan perjanjian dengan pemerintah untuk mengirimkan komputer sebanyak 50 unit yang diantar ke perkantoran Kabupaten X, penyedia segera menyiapkan pengiriman, namun saat akan mengirim di Kabupaten X terjadi kerusuhan dan situasi menjadi kacau dan rusuh sehingga penyedia tidak dapat mengirim barang tersebut, penyedia terhalang melaksanakan prestasi karena situasi kerusuhan sehingga mengajukan permohonan agar dinyatakan dalam keadaan memaksa. Dengan diakui adanya keadaan memaksa maka Penyedia tidak perlu membayar ganti rugi dan termasuk dikenakan sanksi.
- melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang bagi debitur, contoh penyedia melakukan kontrak pengadaan komoditas bunga anggrek hitam yang akan digunakan untuk penelitian pengembangan sebuah produk kesehatan kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, spesifikasi spesimen anggrek hitam yang dituangkan dalam kontrak adalah anggrek hitam dari Negara Wakanda dan kontrak dilaksanakan pada Januari 2020 dan berakhir pada April 2020, ditengah pelaksanaan kontrak pada Februari 2020 negara Wakanda menetapkan dengan Undang-Undang Konservasi Anggrek Hitam dan menjadikan kegiatan membawa anggrek hitam dari Negara Wakanda dapat dikenai hukuman penjara dan terparah hukuman mati, dalam hal ini penyedia terkena kondisi sesuatu perbuatan terlarang sebagai keadaan memaksa dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Selain KUHPer Pasal 1244 dan pasal 1245 juga dapat dinyatakan dalam keadaan kahar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1444 KUHPer dan Pasal 1445 KUHPer, yaitu dalam hal :
- Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
- kelalaian menyerakan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga sehingga mengakibatkan barang tidak dapat diperjualbelikan.
Unsur Keadaan Kesukaran/Kesulitan diluar dari Keadaan Memaksa (Kahar)
Pada Sistem Common Law atau yang dianut dalam Hukum Amerika Serikat (Anglo American) Sensitifitas Keadaan dapat dilihat dari perspektif subyektif, yaitu terbagi menjadi dua jenis yaitu :
- Obyektif (Force Majeur), dimana keadaan memaksa/Overmacht/force majeur/Keadaan Kahar sebagaimana dijelaskan oleh Prof Subekti yang saya telah tuliskan di Bagian IV diatas merujuk pada KUHPer Pasal 1244 dan Pasal 1245
- Subyektif (Hardship), dimana keadaan memaksa yang terjadi apabila pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan pelaksanaan hanya bagi debitur tertentu, dalam hal ini debitur masih dapat dimungkinkan memenuhi prestasi, tetapi dengan potensi dan/atau realisasi kerugian yang besar secara berlebih atau ekstrim dan tidak seimbang sehingga bila dipaksakan akan menimbulkan kerugian yang besar sekali bagi debitur.
Dalam keadaan Hardship yang sangat subyektif ini salah satu jalan keluar-nya adalah melakukan renegosiasi, dalam hal ini Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak mengatur tentang negosiasi ulang atau renegosiasi dalam keadaan subyektif ini.
Konteks Keadaan Kahar dan Keadaan Sulit dalam Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam Keadaan Kahar berdasarkan Pasal 55Perpres 16/2018 tindakan yang dapat diambil sudah diatur dengan jelas, yaitu :
- kontrak dapat dihentikan
- dalam hal kontrak dapat dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan kontrak
- perpanjangan waktu untuk penyelesaian Kontrak disebabkan keadaan kahar dapat melewati Tahun anggaran
- Tindak lanjut setelah terjadinya keadaan kahari diatur dalam kontrak.
Bagaimana dengan keadaan sulit yang memerlukan renegosiasi harga sebagai klausula jalan keluar (escape clause)? khususnya berkaitan dengan operasional pelaksanaan pekerjaan yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak akibat fluktuasi harga pasar? hal ini menjadi lebih rumit untuk dilakukan karena dasar hukum untuk melakukan perubahan kontrak adalah tertera pada Pasal 54 ayat (2) ditetapkan tidak melebihi 10% dari harga yang tercantum dalam kontrak awal dengan syarat di Pasal 54 ayat (1) dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis/KAK yang ditentukan dalam dokumen kontrak yang cakupannya meliputi salah satu dari hal berikut ini :
- menambah atau mengurangi volume yang tercantum dalam Kontrak;
- menambah dan/atau mengurangi jenis kegiatan;
- mengubah spesifikasi teknis sesuai dengan kondisi lapangan; dan/atau
- mengubah jadwal pelaksanaan.
Melakukan renegosiasi berdasarkan Pasal Perubahan Kontrak untuk mengatasi Hardship adalah hal yang tidak sekedar berisiko tinggi, melainkan dilarang dan tidak boleh dilakukan menggunakan Pasal Perubahan Kontrak semata-mata pada Pasal 54 Perpres 16/2018 dengan alasan yang menurut saya dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Tidak ada kalimat secara harafiah dan letterlijk persis berupa perubahan kontrak dilakukan dengan re-negosiasi harga yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak pada Pasal 54 Perpres Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; dan
- konsepsi Hardship adalah ketidakseimbangan kontrak yang tidak terduga dan mengakibatkan kerugian besar bagi Penyedia dengan taraf besar atau ekstrim sehingga kerugiannya besar kemungkinan diatas 10% (sepuluh persen) sudah menjelaskan fungsi keberadaan Pasal 55 Perpres 16 tahun 2018 bukan dimaksudkan untuk menangani kondisi Hardship.
Tujuan saya menuliskan hubungan renegosiasi dan Pasal 54 terkait Perubahan Kontrak Pengadaan yang jelas-jelas tidak relevan bermaksud untuk mencegah jangan sampai terjadi perubahan kontrak pengadaan dengan tujuan mencari solusi yang baik bagi Penyedia agar tidak rugi dalam keadaan susah berbalik menyakiti Pejabat Penandatangan Kontrak, ingat maksud, niat, dan itikad baik dalam sebuah situasi terkadang dapat menjadi menyakiti diri sendiri.
Selanjutnya mengolah pendapat dari Agusَ Yudhaَ Hernoko (2006) yang membedakan keadaan kahar (force majeur) dan keadaan sulit (Hardship), dengan menghubungkannya dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat saya paparkan sebagai berikut :
- pada keadaan kahar (force majeur) apabila terbukti maka pada saat itu juga kontrak berakhir, karena apabila merujuk substansi Pasal 1381 KUHPer, keadaan kahar yang tersebar di Pasal-pasal dalam KUHPer yang telah saya kutip dari Prof. Subekti menjadi salah satu dari beberapa alasan yang menyebabkan hapusnya perikatan, dengan demikian debitor menjadi tidak lagi bertanggung-gugat atas risiko yang timbul, secara filosofis hal ini merupakan substansi dari Pasal 55 ayat (1) Perpres 16 tahun 2018 yang dengan mutlak menyatakan dalam hal terjadi keadaan kahar kontrak dapat dihentikan.
- pada keadaan sulit (hardship) yang terjadi adalah peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi yang empasis penekanannya lebih kepada peristiwa yang merubah keseimbangan kontrak secara fundamental, baik karena biaya pelaksanaan atau karena nilai pelaksanaan yang akan diterima berubah secara signifikan sehingga :
- Akan menimbulkan kerugian secara tidak wajar kepada pihak lain;
- perubahan fundamental ini bila terbukti maka kontrak tidak berakhir dan dapat dilanjutkan namun dapat dilakukan dengan jalan di negosiasi ulang (renegosiasi) oleh para pihak untuk kelanjutannya secara non-litigasi;
- apabila renegosiasi gagal maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan;
- hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi kontrak untuk mengembalikan keseimbangan secara proporsional.
Pendapat diatas bila kita cermati tentunya sekilas terlihat berlebihan bila melihat bermuara pada keputusan hakim, perlu kembali saya ingatkan bahwa prinsip Hardship atau “Rebus Sic Stantibus” dalam kontrak yang digunakan pada kontrak di negara dengan sistim Common Law atau Anglo American yang memandang Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum utama (primer) dan dengan demikian peran hakim memungkinkan kondisi diatas tercapai secara kontekstual berkaitan dengan re-negosiasi kontrak sebagai muara-nya.
Muhammad Riduan (2019) berkaitan dengan Kontrak Kerja Konstruksi telah meneliti bahwa dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi maupun peraturan lainnya belum terdapat ketentuan yang mengatur tentang Hardship ini, adapun menurutnya Re-negosiasi dalam kontrak dalam upaya dalam mengatasi permasalah dalam pelaksanaan kewajiban kontraktual merupakan wujud dari upaya perbaikan (rectification) agar terciptanya stabilitas kedua belah pihak. Perbaikan yang dilakukan secara sukarela ini perlu dilakukan agar terciptanya suatu keadilan dalam hubungan bisnis.
Mengutip pendapat Agus Yudha Hernoko, renegosiasi harus dilakukan secara jujur dan tidak dilakukan sekedar sebagai taktik atau manuver mengulur waktu. Oleh karena itu tuntutan bonafiditas para pihak menjadi faktor yang utama keberhasilan proses renegosiasi ini. Walau hingga tulisan Muhammad Riduan pada tahun 2019 tidak menyebutkan adanya Hardship dalam negara kita, namun pada perkembangannya menilik Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia tahun 2013 keberadaan Hardship merupakan salah satu aspek perkembangan hukum modern yang berpengaruh dan menjadi bagian dalam Naskah tersebut.
Dalam RUU Kontrak disebutkan bahwa suatu keadaan Hardship dianggap ada dengan terjadinya suatu keadaan atau peristiwa yang secara mendasar merubah keseimbangan kedudukan kontraktual para pihak, baik karena :
- biaya pelaksanaan kontrak bagi salah satu pihak telah meningkat (secara signifikan);atau
- karena nilai pelaksanaan prestasi yang diterima oleh salah satu pihak telah berkurang, dan :
- peristiwa atau keadaan itu muncul atau diketahui adanya oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak,
- peristiwa atau keadaan itu wajar untuk tidak diperkirakan sebelumnya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak,
- peristiwa atau keadaan itu berada di luar jangkauan kemampuan kendali pihak yang dirugikan, dan
- risiko yang timbul dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan itu bukan risiko yang ditanggung oleh pihak yang dirugikan, dan
- hardship hanya dapat digunakan atas prestasi-prestasi yang masih harus dilaksanakan (future performances).
Walaupun dari segi perumusan, hardship hampir serupa dengan perumusan keadaan memaksa (force majeur), namun keduanya berbeda dari segi tujuan penggunaannya. Artinya juga, situasi-situasi tertentu dapat dikategorikan, baik sebagai hardship ataupun force majeur, tergantung dari tujuan utama yang hendak dicapai oleh pihak yang mengalami kerugian akibat situasi yang bersangkutan.
Force Majeur digunakan untuk mendapatkan pembenaran (excused) apabila pihak yang menghadapi situasi force majeur tidak dapat melaksanakan prestasinya. Hardship digunakan terutama untuk memberikan dasar bagi pihak tersebut untuk meminta renegosiasi persyaratan kontrak agar kontrak dapat tetap dilaksanakan namun dengan persyaratan yang lebih menguntungkan baginya.
Sifat Kontrak yang menjadi Undang-Undang yang mengatur pada kedua belah pihak yang menyepakatinya dapat dengan mudah ditambahkan klausula selain Keadaan Kahar juga diberlakukan dan ditambahkan Klausula Keadaan Sulit, namun selaras dengan apa yang disebutkan diatas bonafiditas para pihak menjadi faktor yang utama keberhasilan renegosiasi dalam melaksanakan penanganan Hardship, hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan. Kebingungan ini lebih lanjut dibahas oleh Brahmana (2015) dimana merujuk pada Hukum Kontrak Internasional UPICCs (Unidroid Principles for International Commercial Contracts) mengakui keberadaan keadaan sulit (Hardship) sedangkan hukum Positif di Indonesia tidak mengakomodir hal ini secara literal harafiah, namun Brahmana merujuk renegosiasi pada Eskalasi yang diatur dalam Pekerjaan Konstruksi pada Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Peraturan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana ketentuan Pasal 177 Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Sorotan dari Brahmana terkait dengan Eskalasi merujuk pada Pasal 23 ayat (1) huruf b angka 3) PP 29 tahun 2000 yang berbunyi “nilai pekerjaan dan ketentuan mengenai penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga untuk kontrak kerja konstruksi bertahun jamak;” dimana dalam bagian penjelasan disebutkan “Yang dimaksud dengan penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga adalah eskalasi/deeskalasi yang rumusannya sudah harus dicantumkan dalam dokumen pelelangan.”
Ketentuan terkait Penyesuaian Harga dalam PP 22 tahun 2020 yang ekuivalen dengan Pasal 23 ayat (1) huruf b angka 3) pada PP 29 tahun 2000 juga tetap terdapat dalam Penjelasan Pasal 76 huruf b poin v, yang mana dalam PP 22 tahun 2020 tersebut diatur dalam konteks Syarat Kontrak Kerja Konstruksi yang mana bunyi dari Pasal 76 huruf b tersebut adalah : syarat khusus kontrak yang berisi data informasi pekerjaan dan ketentuan perubahan yang diizinkan oleh syarat umum kontrak berdasarkan karakteristik khusus pekerjaan;
Poin kunci dalam melakukan renegosiasi secara implisit berupa eskalasi /de-eskalasi untuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, khususnya pekerjaan konstruksi adalah pada :
- Penyesuaian Nilai Pekerjaan
- berupa eskalasi/deeskalasi bertahun jamak
Bila menyelaraskan dengan Perpres 16 tahun 2018 dalam cakupan lebih luas tidak sebatas Pekerjaan Konstruksi maka hal ini merujuk pada Pasal 37 Perpres 16 tahun 2018 dalam hal ini Penyesuaian Harga yang juga berlaku untuk Kontrak Tahun Jamak, wajib harus dicantumkan tata cara penghitungannya dalam Dokumen Pemilihan dan/atau perubahan Dokumen Pemilihan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kontrak, dan berlaku untuk Kontrak Harga Satuan atau Kontrak Waktu Penugasan.
Solusi
Setelah mengetahui perbedaan antara Keadaan Kahar (force majeur) dan Keadaan Sulit (Hardship) maka kita dapat menerima konsepsi bahwa dalam praktik dan karakteristik dunia bisnis yang membutuhkan ruang gerak dinamis namun tetap menjaga kelangsungan hubungan bisnis menjadi relevan dan penting dalam menghadirkan sebuah solusi yang memberikan keuntungan kepada para pihak-pihak secara berimbang dan akomodatif dalam sebuah solusi berupa aktifitas yang bernama renegosiasi.
Renegosiasi berakibat pada eskalasi/deeskalasi pada kontrak tahun jamak, dengan kata lain untuk menghadapi hardship ciri yang tepat untuk mengidentifikasi kondisi ini adalah :
- Terjadi Kondisi yang secara fundamental mengakibatkan kerugian besar bagi Penyedia sehingga perlu dilakukan renegosiasi agar biaya pelaksanaan kontrak bagi salah satu pihak telah meningkat (secara signifikan) tersebut dapat diatasi untuk penerapan eskalasi;atau
- karena nilai pelaksanaan prestasi yang diterima oleh salah satu pihak telah berkurang untuk penerapan de-eskalasi.
Kemudian terdapat peristiwa atau kejadian yang :
- peristiwa atau keadaan itu muncul atau diketahui adanya oleh pihak yang dirugikan setelah penetapan kontrak,
- peristiwa atau keadaan itu wajar untuk tidak diperkirakan sebelumnya oleh pihak yang dirugikan pada saat penetapan kontrak,
- peristiwa atau keadaan itu berada di luar jangkauan kemampuan kendali pihak yang dirugikan, dan
- risiko yang timbul dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan itu bukan risiko yang ditanggung oleh pihak yang dirugikan, dan
- hardship hanya dapat digunakan atas prestasi-prestasi yang masih harus dilaksanakan (future performances) dan oleh karena itu akan signifikan dan erat kaitannya dengan kontrak tahun jamak.
Dalam Kontrak Konstruksi pada SSKK disebutkan salah satu ketentuan Penyesuaian Harga yang krusial menurut saya adalah “Pembayaran Penyesuaian Harga dilakukan oleh Pengguna Jasa, apabila Penyedia telah mengajukan tagihan disertai perhitungan beserta data-data dan telah dilakukan audit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini menunjukkan adanya unsur kehati-hatian dalam penyesuaian harga.
Selaras dengan apa yang diberlakukan dalam Pekerjaan Konstruksi, untuk Pengadaan Barang/Jasa secara umum sebagaimana dalam ketentuan Penyesuaian Harga yang disebutkan dalam Perpres 16 tahun 2018 diatur dalam dalam Dokumen Pemilihan dan/atau perubahan Dokumen Pemilihan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kontrak, dalam hal ini merujuk pada Standar Dokumen Pemilihan pada Keputusan Deputi I Nomor 3 tahun 2018 ketentuan serupa berkaitan dengan kehati-hatian penyesuaian harga menyebutkan bahwa Hasil perhitungan Penyesuaian Harga dituangkan dalam Adendum Kontrak setelah dilakukan audit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian Renegosiasi untuk menangani Hardship secara implisit sebenarnya sudah hadir dalam kondisi kontrak-kontrak dalam skala besar dan dalam rentang waktu jangka panjang dimana kondisi ekonomi, politik dan situasi sosial pada saat implementasi kontrak-kontrak semacam itu berubah secara drastis, radikal dan fundamental dalam bentuk Penyesuaian Harga, pengaturan seperti ini tentunya membatasi kita para pelaku pengadaan khususnya ahli kontrak bahwa taraf Hardship sebenarnya” tidak mudah” diberlakukan dalam kondisi Keadaan Kahar, terdapat unsur subyektifitas terbatas pada kontrak yang menimbulkan kesulitan pelaksanaan hanya bagi debitur tertentu dalam hal ini adalah pihak penyedia yang kontraknya memberlakukan escape clause pada ketentuan Penyesuaian Harga yang dilaksanakan dengan hati-hati setelah dilakukan audit.
Tentunya dalam hal pelaksanaan penyesuaian harga ini apabila terjadi perselisihan atau sengketa, jalan non-litigasi maupun litigasi dalam penyesuaian harga ini juga dapat menjadi solusi paling akhir untuk keberlangsungan kontrak.
Kesimpulan
Diharapkan dengan adanya telaahan ini, maka kita dapat mengenali bahwa :
- Dalam situasi terdapat peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi, yang sama-sama tidak diduga saat penetapan/penutupan kontrak, dan bukan disebabkan kesalahan atau risiko salah satu pihak, terdapat kondisi yang dapat menimpa semua orang secara objektif dan disebut dalam keadaan kahar (force majeur), namun terdapat juga kondisi yang hanya menimpa pihak tertentu dalam berkontrak secara subyektif karena sifat kontraknya terdampak sangat fundamental dan tidak seimbang sehingga merugikan dalam jumlah besar yang disebut keadaan sulit (hardship).
- Escape Clause dalam kontrak yang termasuk dalam kategori Hardship salah satunya adalah renegosiasi untuk mengembalikan keseimbangan kontrak, namun jangan disalah artikan dapat menggunakan Ketentuan Perubahan Kontrak dalam hal ini pada Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018.
- Karena sifatnya yang sangat subyektif ini tadi ciri khusus dari kontrak yang berpotensi mengalami Hardship adalah kontrak-kontrak dalam skala besar dan dalam rentang waktu jangka panjang dimana kondisi ekonomi, politik dan situasi sosial pada saat implementasi kontrak-kontrak semacam itu berubah secara drastis, radikal dan fundamental.
- Kontrak yang mengalami hal seperti ini secara implisit diatur regulasinya untuk menggunakan solusi “Penyesuaian Harga” sebagai mekanisme renegosiasi dalam mengatasi Hardship.
- Penyesuaian Harga wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan yang berlaku, dan pelaksanaannya dilaksanakan dengan hati-hati setelah dilakukan audit.
- Dalam hal Penyesuaian Harga sebagai bentuk implisit renegosiasi tidak berhasil berfungsi sebagai Escape Clause maka potensi Sengketa tidak lagi terhindarkan, langkah penyelesaian Sengketa dapat menggunakan solusi Non-Litigasi ataupun Litigasi.
- Keberadaan Hardship untuk menghadapi ketidakpastian dalam Kontrak perlu diatur dalam serangkaian regulasi yang lebih eksplisit dan sebenarnya mendorong urgensi keberadaan Undang-Undang tentang Kontrak mengingat RUU Kontrak telah melihat potensi untuk meratifikasi ketentuan Hardship dengan memperhatikan UPICCs (Unidroid Principles for International Commercial Contracts).
Harapannya adalah dengan tulisan ini selain dapat mengidentifikasi secara praktis Keadaan Kahar (Force Majeur) dan Keadaan Sulit (Hardship) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penanganan Hardship pun harus dilakukan secara hati-hati dan perlu dipahami bahwa tidak terlalu banyak ruang gerak untuk menanganinya dan jangan sampai azas kebebasan berkontrak digunakan sebagai alasan untuk melakukan penanganan Hardship secara sembrono sehingga mengabaikan ketentuan Peraturan Perundangan lainnya yang berdampak pada Kerugian Negara besar dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Demikian hal yang dapat disampaikan berdasarkan keterbatasan saya, mohon masukan bila terdapat keliru pikir, tetap sehat, tetap semangat, dan salam pengadaan!
Referensi
- Adi, Dwi Prilmilono. Absorbsi Prinsip “Rebus Sic Stantibus” dalam Kerangka Pembaharuan Hukum Perjanjian Nasional, Jurnal Hukum Jatiswara, Universitas Mataram, 2017.
- Agusَ Yudhaَ Hernoko,َ “Force Majeur Clause atau Hardship Clause, Problematikan Dalam Perancangan Kontrak Bisnis”, Volume XI No.3, 2006.
- Brahmana, Nasution, dkk, Eskalasi dan Force Majeur dalam Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, USU Law Journal, Vol 3 No.2 , Agustus 2015.
- Hardjowahono, Bayu Seto, dkk, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2013.
- Riduan, Muhammad, Keadaan Sulit (Hardship) dalam Kontrak Kerja Konstruksi yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2019.
- Nurhadianto, Fajar. Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs Vol 11 Nomor 1 Januari-Juni, 2015.
- Simanjuntak, Enrico. Peran Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Konstitusi Vol 16 Nomor 1, 2019.