Masih bersumber dari buku yang karena keterbatasan waktu saya tak kunjung habis saya baca, yaitu :
Excellence in Public Sector Procurement: How to control costs and add value
“The sources of risk can be as follows:
• Poor planning
• Insufficient competent resources
• Unrealistic timescales
• Evolving technology
• Poor communication
• Insufficient task definition
• Financial restrictions
• Legislative requirements”
— Excellence in Public Sector Procurement by Stuart Emmett, Paul Wright
https://a.co/4skM6t2
Sebagai salah satu risiko dalam Procurement, seperti apa komunikasi yang buruk?
Satu contoh yang saya temui, dari berbagai konsultasi yang saya pernah tanggapi langsung adalah adanya ego dan sifat subyektif yang lebih karena hal-hal bersifat pribadi.
Sebagai unsur yang menangani advokasi di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, saya pernah menghadapi situasi dan “curhatan” berdasarkan permasalahan suka dan tidak suka.
Unsur pelaksana komplain dengan sifat pribadi PPK yang seenaknya, marah-marah, dan pada akhirnya berpendapat, untuk apa saya melakukan koordinasi dengan dia, PPK tersebut memang Pejabat Eselon 3, tapi kan dia bukan atasan saya, dan anggaran ada di bidang saya.
Saya menjelaskan, PPK ini tidak sekedar tanda tangan namun dia juga punya kewenangan dan tanggung jawab berdasarkan Perpres 16/2018. Yang curhat menyampaikan lagi bahwa sering PPK tersebut bertindak yang kurang etis dan menyakiti perasaan, si pen-curhat menyatakan bahwa saya tidak akan mau berkomunikasi dengan baik dengan orang “seperti itu”.
Jelas ini permasalahan ego sektoral, di satu sisi PPK boleh dikatakan frustasi karena tugas tambahannya sebagai PPK, di satu sisi lainnya pihak lain cuma menganggap PPK sebagai unsur yang cuma tukang tanda tangan saja.
Saya cuma menenangkan dan tidak mengkonfrontasikan ego sektoral, saya jelaskan bahwa PPK sebenarnya bisa saja menjadi seperti itu karena beban dan rentang kendalinya menjadi lebih besar dibandingkan cakupan tugas sebagai pejabat struktural nya.
Sehingga saya merekomendasikan bila terdapat kesulitan seperti ini, ada baiknya di komunikasikan dengan lebih baik, selalu ada solusi dengan berkomunikasi pada pemberi mandat PPK yaitu PA/KPA.
Komunikasikan dengan baik-baik kepada PA/KPA bahwa bisa saja rentang kendali tugas selaku PPK oleh Pejabat Struktural Eselon 3 tersebut menjadi terlalu berat ketika dibebankan pada 1 PPK untuk 1 Dinas.
Maka dengan demikian akan lebih baik bila PPK tersebut bertugas pada bidang yang menjadi cakupan kewenangannya, sedangkan untuk Bidang lainnya dan Sekretariat maka yang bertindak sebagai PPK adalah PA/KPA, tentunya dibantu oleh para Kepala Bidang dan Sekretaris, dalam tiap urusan teknis terkait komitmen pelaksanaan kontrak kegiatan Barang/Jasa Pemerintah memang menjadi dikembalikan pada PA/KPA namun paraf hirarkis alias ringisho nya tetap dilakukan oleh Kepala Bidang masing-masing, berjenjang kepada para Kepala Seksi/Kepala Sub-Bagian selaku PPTK.
Kemudian akar masalah dimana kelangkaan pemilik sertifikat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga perlu digenjot, ditambah, dan diperbanyak dalam Dinas tersebut.
Setelah bertambah, tentunya perlu melakukan sertifikasi Kompetensi saja, karena kelak Sertifikasi PBJP Tingkat Dasar tidaklah cukup untuk menjadi syarat sebagai PPK.
Sertifikat Kompetensi ini apa? sering dikenal sebagai Okupasi Pejabat Pembuat Komitmen dan akan digantikan dengan Standar Komunikasi Jabatan, para PPK menerima pelatihan untuk tiap butir unit kompetensi yang ada, dimana dilatih untuk memiliki pengetahuan dan sikap kerja yang memadai sebagai PPK, termasuk cara berkomunikasi.
Komunikasi yang buruk seringkali terjadi dalam sebuah organisasi, satu pihak dengan pihak yang lainnya bersikukuh bahwa dirinya benar, kalau seperti ini maka tidak ada ujung dan pangkal nya, tujuan organisasi tidak akan bisa tercapai. Rekomendasi yang saya berikan diatas sebenarnya terselubung makna bahwa pen-curhat tersebut hendaknya berdiskusi dengan atasan tertinggi dalam organisasi, bahwa pada dasarnya saya berharap apabila saran saya diikuti, dengan komunikasi pada PA/KPA tersebut, PA/KPA dapat menengahi dan mengelola konflik agar saling pengertian antar satu pihak dengan pihak lain dapat terselesaikan.
Kompetensi dalam mengelola konflik memang telah diajarkan dalam diklat-diklat, salah satunya adalah diklat Kepemimpinan IV (PIM IV) yang dimiliki oleh Pejabat Struktural Eselon IV, selain saya memiliki kompetensi tersebut yang pada waktu itu diajarkan dengan simulasi yang cukup menarik, saya juga pernah mengajar Manajemen Organisasi, dan sebelum saya menjadi Aparatur Sipil Negara sekitar 12 tahun yang silam saya pernah mengelola organisasi profit di sektor perdagangan dengan ratusan orang di dalam kepemimpinan saya, pada dasarnya saya memahami dan mengimani apa yang dituliskan Dale Carnegie dalam bukunya how to win friends and influence people, “jika kamu ingin mengumpulkan madu,. jangan tendang sarang lebahnya“.
“jika kamu ingin mengumpulkan madu,. jangan tendang sarang lebahnya“.
Mengelola konflik memang merupakan sebuah keterampilan dan keahlian yang menarik dan memerlukan cara tersendiri, tidak akan ditemukan sebuah solusi apabila kita grasa-grusu, marah-marah, dan memaksakan kehendak kita kepada orang lain, prinsipnya adalah perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, pada dasarnya hal ini memang sulit dilakukan, namun sejauh pengalaman karir saya, sejauh ini saya tidak mengalami kesulitan berarti dalam berkomunikasi dengan orang lain, namun bisa jadi juga saya yang memang belum bertemu dengan orang “sulit”.
Kembali lagi pada soal Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kesulitan dan kendala dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak sekedar berkutat pada hal-hal teknis semata atau permasalahan peraturan perundang-udnangan saja, ternyata dapat juga mencakup hal yang bersifat personal yang sumber permasalahannya adalah “Komunikasi yang buruk”, hal ini merupakan salah satu sumber risiko yang mungkin sukar dituliskan saat menuliskan identifikasi risiko dikarenakan kultur kita yang suka merasa tidak enak dalam situasi formal saat rapat resmi, namun hal ini terjadi.
Oleh karena itu Manajemen Risiko bersifat inklusif, menyeluruh, dan memerlukan komitmen pimpinan, dalam pengelolaan risiko yang menunjang perbaikan berkelanjutan, seorang pimpinan hendaknya menggunakan kemampuannya untuk mengelola konflik dan memperhatikan faktor komunikasi yang buruk sebagai salah satu sumber risiko dan memiliki rencana yang jelas dalam mengelola dan meminimalisir dampaknya.
Bagaimana caranya?
Kalau dituliskan dalam satu artikel ini bakalan panjang, ada beberapa cluster trik pengelolaan konflik, akan saya tuliskan di lain waktu, pada dasarnya artikel saya ini menunjukkan bahwa Komunikasi yang buruk terjadi dan menghambat keberhasilan tujuan pengadaan, itu baru komunikasi internal, belum keluar pada pelaku usaha, dengan demikian sikap kerja dan cara berkomunikasi yang baik merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengembangan SDM untuk menjadi bekal bagi para pelaku Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Tetap Semangat, Tetap Sehat, dan Salam Pengadaan!