Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Ketidakberdayaan Peraturan Pengadaan

perpres12 2021

perpres12 2021

Peraturan mempengaruhi cara pikir, dan cara pikir mempengaruhi cara membaca aturan, dulu ada limitasi tenggat waktu Jabfung PPBJ, ketika ada yang ngga sanggup, diasumsikan pukul rata semua yang gak sanggup memenuhi dipandang salah dan sengaja…. padahal ada kewenangan yang ngga dimiliki oleh K/L/Pemda dan adanya limitasi dari komposisi jumlah ASN PNS. Kemudian didalam PerLKPP UKPBJ diatur juga kondisi bahwa kalau memang tidak bisa dilaksanakan maka ada jalur yang bisa diambil dan kemudian jadilah pasal-pasal di PerLKPP UKPBJ itu naik menjadi Perubahan di Perpres 12/2021, padahal itu regulasi satu nenek moyang dari Perpres ke PerLKPP.
 
Kembali saat ini ada limitasi yang diatur Oleh suatu Kementerian, lagi-lagi muncul dan menjadi pertentangan, kemudian LKPP sibuk menjelaskan hal tersebut, tapi apalah arti flyer-flyer digital itu kalau di forum terpisah yang tidak bersama LKPP sesuatu dipaksakan tidak ada? keadaan ini yang memang membuat rumit, dulu kalau JF PPBJ diupayakan ada tapi ada lembaga lain yang strategis yang ngga pandang itu prioritas, kali ini peran PPK dilebur dalam peran Keuda yang lebih tinggi di APBD lebih didorong hadir.
Beberapa Surat Edaran yang dikeluarkan Pemerintah Daerah muncul bukan karena pemikiran dari pihak UKPBJ saja, jangan dikira para pihak yang ada di UKPBJ itu senang dengan adanya penjelasan dari pihak Kementerian terkait, tapi ya manut aja, toh juga sudah ada penjelasan yang logis dan kenyataannya adalah Pemerintah Daerah dipandang tidak memiliki beban kerja yang mahaberat diatas para Menteri sebagai Pengguna Anggaran.
Contoh dalam sebuah forum tertentu saya sering mendengar betapa Konsolidasi itu begitu diagungkan, kalau Level Kabupaten / Kota ngga perlu paket terlalu banyak, konsolidasikan saja! Permasalahannya pembangunan di Republik kita ini tidak merata, ada beberapa Daerah yang belum tersentuh pembangunan sejak merdeka hingga saat ini dan luasannya puluhan ribu kilometer persegi, jangan dipikir seolah Kabupaten itu seolah-olah hanya puluhan kilometer persegi seperti di pulau kecil yang memang sudah terbiasa dibangun, konsolidasi tidak serta merta dapat dilakukan dan paket yang banyak itu perlu dilaksanakan, sudah dilaksanakan saja pemerataan pembangunan masih minimum dampaknya.
 
Bahkan ada ujaran dalam forum tertentu yang menyatakan bahwa bila Pemda masih banyak paket konstruksinya, maka kepala dinasnya ngga pintar, duh….. ini bukan masalah pintar atau tidak, ngga semua daerah di Indonesia itu sama kondisinya, tidak semua daerah memiliki keadaan terpusat karena wilayahnya terpencar karena kondisi geografis, dan tidak semua wilayah yang terpencar itu penghuninya bebek semua, masih manusia dan sebangsa yang masih perlu diperjuangkan bersama untuk benar-benar menghayati bahwa “NKRI harga mati”, makanya pembangunan diperjuangkan kepelosok, bila daerah yang walau levelnya adalah Kabupaten tapi luasannya besar seperti sebuah Provinsi di pulau lain punya banyak pekerjaan konstruksi untuk membuka keterisoliran, menurut saya wajar saja.
Jadi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah itu memang babak belur, di sisi lain selalu dipandang serba salah (kalau tidak mutlak salah) dan menjadi area intervensi yang besar dan rawan menurut salah satu lembaga, disisi lain ada lembaga yang menganggap PBJP masih perlu perbaikan berkelanjutan, dan disisi lain ada lembaga yang menganggap proses PBJP adalah sesuatu yang berlebihan.
Sama seperti para penggiat regulasi Jabfung PPBJ yang menganggap regulasinya adalah sesuatu yang mutlak dipenuhi, maka para penggiat peraturan pengelolaan di Daerah juga menganggap regulasinya adalah sesuatu yang mutlak dipenuhi, lagi-lagi Peraturan Pengadaan hanya menjadi area yang menuliskan sesuatu “ada” tapi masih kalah dengan aturan lainnya.
Mungkinkah sudah waktunya Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah digariskan sebagai sebuah Undang-Undang agar menjadi kuat?
Exit mobile version