A. Latar Belakang
Sebagaimana di kutip dari buku NKRI Dari Masa ke Masa disebutkan ketika Indonesia diproklamirkan sebagai negara yang merdeka, batas wilayah laut Indonesia mengikuti “Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939” (Staatsblad. 1939 No. 442). Dalam Peraturan Zmaan Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai, ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Untuk memperjuangkan NKRI, pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja mengumumkan suatu pernyataan tentang wilayah Perairan Republik Indonesia. Dalam pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan sebagai berikut : Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau termsuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian dari perairan pedalaman atau perairan Nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia (pengumuman ini selanjutnya dikenal dengan Deklarasi Djoeanda yang diresmikan menjadi Undang-Undang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia) yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan. Semula Deklarasi Djoeanda merupakan pernyataan sepihak dari Pemerintah Indonesia yang mendapatkan pertentangan besar dari beberapa negara, namun berkat perjuangan Pemerintah Indonesia pada akhirnya konsepsi Negara Kepulauan ini mendapatkan pengakuan di dalam Konvensi PBB mngenai hukum laut tahun 1982 yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 dengan konsekuensi Indonesia harus menetapkan Garis Pangkal Batas Laut Teritorial, Batas Zona Tambahan, Batas Zona Ekonomi Eksklusif, dan Batas Landas Kontingen. Demikian dikutip dari Buku NKRI Dari Masa ke Masa.
Dalam membahas judul dari artikel ini dan sebagaimana Kutipan Buku NKRI dari Masa ke Masa diatas, maka untuk membahas tentang Kepentingan Indonesia dalam sengketa Laut Cina Selatan kami bertolak kepada Hukum Internasional Konvensi PBB mengenai Hukum Laut yang dikenal di dunia Internasional dengan nama United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982, berangkat dari ide yang dikemukakan dalam buku NKRI Dari Masa Ke Masa kami sependapat bahwa UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dalam UU 17/1985 bukan menjadi akhir penyelesaian dari perjuangan wilayah NKRI, bahwa fakta Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga meliputi Australia, India, Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Republik Palau, dan Timor Leste yang memungkinkan terjadinya sengketa pada negara-negara tersebut, disamping itu Indonesia juga berbatasan dengan laut lepas di Samudera India dan Samudera Pasifik dimana batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dapat dilakukan secara unilateral. Dengan berlakunya UNCLOS1982 yang juga telah mengatur Terkait degan kesepakatan Batas Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga khususnya dalam kepentingan Indonesia pada Laut China Selatan.
UU 17 Tahun 1985 yang meratifikasi UNCLOS1982 menyebutkan terkait dengan Penyelesaian Sengketa bahwa konvensi menentukan bahwa setiap Negara Peserta Konvensi harus menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut : Mahkamah Internasional (I.C.J) , Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus. Terkait dengan sengketa Laut Cina Selatan, Tempo Media Group melalui artikel Di Laut Kita Ribut menyebutkan bahwa inisiasi forum dialog telah dimulai sejak 1990-an namun Indonesia belum berhasil merumuskan resolusi untuk sengketa tersebut, sehingga sejak satu dekade lalu, Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara Indonesia berkali-kali diterabas kapal berbendera asing.
B. Pembahasan Pustaka
B.1 Pengaturan Hukum Internasional Tentang Hukum Laut Dalam Sejarah
Pengaturan tentang Laut Internasional telah terdapat beberapa kali dalam sejarah Hukum Internasional, dikutip dan dirangkum dari buku Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri I permasalahanan dilaut yang mempengaruhi hubungan diplomatik berkaitan dengan kemasalahatan ekonomi, yakni perikanan sebagai salah satu saja diantara sekian kepentingan yang berhubungan dengan lebar laut wilayah suatu bangsa, dan sejak dari dulu bangsa-bangsa di jagat ini pusing mencari kesepakatan berapa lebar laut teritorial yang bisa diterima bersama, terdapat tiga kali konferensi internasional namun hasilnya kurang memuaskan, diantaranya Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, kemudian Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dan 1960 pertama adalah apakah batas maksimum tiga mil yng lazim dianut sebagai batas maksimum (merujuk Konvensi Jenewa 1958), kedua yang masih mempersoalkan batas 12 mil yang (merujuk pada konvensi Jenewa 1960) telah pula merupakan praktek banyak negara dapat pula diterima sebagai batas lebar laut teritorial yang maksimum, dalam hal ini bagi negara dengan kepentingan antara lain Indonesia dan juga Malaysia dengan pemasaranan perikanan Malaysia mencapai 300 ribu ton (artikel ditulis 10 November 1973), maka kecenderungan untuk melebarkan kedaulatan di laut, namun Jepang yang konon merupakan negara penghasil ikan terbesar di dunia semata-mata atang dengan kepentingan Konferensi Den Haag 1930 hingga sekarang (1973) menolak gagasan melebarkan lebar laut wilayah dari batas 3 mil, di depan Konferensi Jenewa 1958 delegasi Sakura ini bilang bahwa tradisi perikanan Jepang telah membuat para nelayannya mencari ikan ke seluruh pelosok dunia, di sisi lain negara-negara Amerika Latin menginginkan hal lebih lanjut lagi dengan terlebih dahuu mengklaim lebar 200 mil bagi kepentingan negara nya dalam persetujuan di Santiago tahun 1952 dan di Lima di tahun 1954 demikian dikutip dan dirangkum dari buku Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri I.
Berdasarkan kutipan diatas yang dirangkum maka sejak lama dapat disimpulkan bahwa permasalahan batas lebar lautan yang diakui sebagai Hukum Internasional menjadi pelik karena keterkaitan dengan kepentingan ekonomi, bila pada rangkuman diatas hanya mengulik permasalahan perikanan saja, maka berkaitan dengan sumber daya alam yang lain yang terkandung di lautan dapat memicu sengketa-sengketa lebih lanjut. Kembali mengutip pada buku Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri I, berdasarkan data terkait permasalahan di Selat Malaka Indonesia mendasarkan kewenangannya dia tas Undang-Undang Nomor 4 tahun 1960 yang antara lain menyebutkan bahwa lebar laut teritorial adalah 12 mil dihitung dari garis lurus yang menghubungkan titik terluar dari ujung ke ujung, sedangkan Mlaysia lewat Emergency Ordinance 1969 pun menyatakan lebar laut teritorialnya sama seperti Indonesia, maka tak pelak selat Malaka pun jadilah wilayah teritorial dari kedua negara. Menurut yang empunya hukum internasional, kedaulantan di kawasan itu tak kurang kalahnya dengan kedaulatan di atas tanah atau perairan pedalaman (dalam hal Indonesia, laut yang menghibingkan pulau-pulau sungai serta danau), yang berkeberatan atas klaim Indonesia ini adalah Jepang, Amerika, Uni Soviet beserta negara maritim lainnya, mereka tetap menginginkan internasionalisasi selat tersebut, dasarnya adalah bahwa lebar laut teritorial yang diakui dunia adalah 3 mil, bukan 12 mil (sekalipun, yang menarik Uni Soviet dalam kasus ini sebab dia sendiri menganut lebar laut 12 il)mil). Sebetulnya apa yang diinginkan oleh Indonesia tak lain merupakan kecenderungan umum negara-negara baru di dunia, terutama negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan etelah perang dunia kedua. Sikap Nasionalisme yang masih hangat akhirnya melebar pada keinginan memperlebar kawasan laut teritorial, biarpun sebetulnya ini memberikan dampak adanya kemampuan ketahanan laut yang efektif. Selain itu ada alasan ekonomi, supaya kekayaan laut yang menjadi wilayahnya semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan bagi kepentingan rakyatnya.
Catatan lain dari artikel Majalah Tempo tanggal 10 Agustus 1974 yang termaktub dalam buku Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri I, konferensi Internasional mengenai hukum laut yang akan berakhir di penghujung bulan ini (Agustus 1974), namun belum menampakan tanda-tanda akan menghasilkan banyak putusan, dalam kegiatan tersebut usaha ini besar makna nya bagi Indonesia karena meyakinkan 148 negara mengenai konsep Wawasan nusantara yang dilakukan oleh perutusan Indonesia dibawah pimpinan Menteri Kehakiman Prof. Muchtar Kusumaamadja, tidak lah mengejutkan bahwa pada waktu itu RRT termasuk diantara ke-46 negara yang mendukung konsep Indonesia, di samping itu masih tercatat lagi 79 negara yang cenderung mendukung termasuk di dalamnya Rusia yang sebenarnya prinsip mendukung asal dipenuhi syarat-syarat tertentu dengan agenda kapal-kapanya diperkenankan melintas, Amerika Serikat juga mengungkapkan “perlu dijamin lalu lintas kapal-kapal perang dan penerbangan kapal-kapal militer” sehingga belum menyatakan pendapat menolak atau mendukung konsep ini. Untuk negara yang sebelumnya menolak adalah Jepang yang ternyata cenderung mendukung disertai permintaan agar kapal-kapal niaga bia lewat an kapal kapal ikan bisa diberi izin. Yang masih cenderung menolak diantaranya adalah Belanda dan Jerman Barat.
Perkembangan selanjutnya adalah sebagaimana di rangkum dari buku Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif seri I, bahwa pembahasan di Karakas, berlanjut ke Jenewa, dan berlanjut lagi di Newyork mulai 15 Maret 1976 pada masa ini Indonesia sudah melakukan penyelesaian secara bilateral dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, India, dan Australia yang ikut membantu pengakuan konsepsi “Nusantara” yang akan mulai dibahas di New York sejak 15 Maret 1976. Dalam laporan terpisah yang masih dirangkum dari buku yang sama berdasarkan artikel tanggal 4 Juni 1977 disebutkan sejak konvensi sebelum-sebelumnya pembahasan penataan laut sangat tidak mudah, dalam masa artikel ini ditulis disebutkan kegagalan konferensi sehingga tersiar secara luas bahwa Amerika Serikat akan segera mengambil tindakan unilaterl untuk melindungi kepentingan perusahaan pertambangan mereka, sekalipun lokasi perusahaan tersebut di samudera dalam dan hal ini diklaim diluar batas yuridiksi nasional negara pantai. Namun pada prinsipnya Indonesia tetap menjalankan konsepsi sendiri di bidang laut terlepas dari fakta bahwa Konferensi hukum Laut PBB I dan II pada tahun 1958 dan 1960 tak berhasil merumuskan ketentuan tersebut secara internasional dimana batas 200 mil dari pantai menjadi konsepsi yang dianut.
Taufan Nugraha dan Irman (2014) dalam jurnalnya Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terhadap Eksistensi Indonesia sebagai Negara Maritim yang berkaitan dengan wilayah laut Indoensia memiliki nilai strategis dalam segala bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu menciptakan wilayah laut yang aman, lestari, menjaga serta memanfaatkan segala potensi besar yang dimiliki oleh laut Indonesia merupakan hal terpenting dan mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah indonesia, potensi kekayaan laut Indonesia yang ada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah pasti menarik pelaku-pelaku tidak bertanggung jawab untuk mengambil kekayaan tersebut. Upaya yang dilakukan untuk membentuk dan melahirkan ketetnuan yang dapat diterapkan secara internasional terus dilakukan dengan melihat gambaran keadaan praktek tersebut diatas, lebih lanjut Taufan Nugraha dan Irman (2014) dalam jurnalnya Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terhadap Eksistensi Indonesia sebagai Negara Maritim, telah merangkum dasar Hukum Internasional yang berkaitan dengan keadaan praktek penentuan batas wilayah laut dari masing-masing negara pantai, yaitu :
1. Pada tahun 1936 telah diadakan KonferensiKodifikasi di Den Haag.
2. Pada tahun 1939, dikeluarkan Ordonansi yangmengatur batas lebar laut teritorial sejauh 3 mil laut.
3. Pada tahun 1958, diadakan Konferensi Hukum Lautdi Jenewa belum mampu menghasilkan kesepakatan internasional dalam jarak 3 mil laut.
4. Pada tahun 1960, diadakan konferensi di Jenewa(Hukum Laut II) belum menghasilkan kesepakatan.
5. Pada tahun 1974, diadakan Konferensi Hukum Lautdi Caracas Venezuela yang menentukan jarakwilayah laut teritorial sejauh 12 mil.
6. pada tahun 1982, diadakan Konferensi Hukum Laut III dan diperoleh kesepakatan bersama dalam jaraksejauh 12 mil laut
Dengan demikian menurut kami motivasi kepentingan ekonomi sebagaimana disadur dari kedua bahan bacaan yang penulis sadur diatas memperjelas bahwa lautan tidak lagi sekedar dipandang sebagai batas kewilayahan yang sekedar membatasi jaur lalu-lintas semata, di dalamnya terdapat berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan terkait ekonomi namun juga terkait dengan pertahanan dan keamanan yang beririsan dengan kedaulatan sebuah negara, sehingga permasalahan lautan tidak sekedar menjadi permasalahan di bidang Hukum semata namun dalam hal ini masing-masing negara memiliki kepentingan nilai strategis dalam segala bidang meliputi politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.
B.2 Negara-Negara Yang Bersengketa dalam Sengketa Laut Cina Selatan
Berdasarkan artikel dari Majalah Tempo Edisi 11 Januari 2020, “Di Laut Kita Ribut”, disebutkan bahwa dalam sengketa Laut Cina Selatan, negara-negara yang bersengketa adalah :
1. Indonesia : sebagian Laut Natuna Utara diklaim sebagai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Klaim Cina atas wilayh di perairan itu berpotensi menghilangkan sekitar 83 ribu kilometer persegi uas laut Indonesia di Natuna.
2. Cina : Negara itu mendasari klaimnya dengan peta pelayaran tradisional Cina pada abad ke-15. Pemerintah Cina memperkenalkan standar “Nine Dash Line” atau sembilan garis putus di bawah rezim Partai Kuomintang untuk menandai wilayahnya di Laut Cina Selatan pada 1947. Memakai patok itu, Cina merasa memiliki Kepulauan Paracel, Spratly, Pratas, dan karang Scarborough.
3. Filipina : mengklaim area Karang Scarborough dan sebagian besar wilayah di Kepulauan Spratly di sisi barat negeri itu. EKSPLORASI Filipina di wilayah itu sudah dimulai pada 1956. Pada 2016, pengadilan Arbtrase Permanen menyetujui gugatan Filipina dan menyatakan Cina tak berhak mengklaim wilayah yang masuk Zona Eksklusif Filipina.
4. Taiwan : Seperti Cina, Taiwan memakai peta historis yang dibuat pemerintah Kuomintang pada 1947. Taiwan pun menginginkan area yang diklaim Cina.
5. Vietnam : Mengaku berhak atas wilayah di Kepulauan Paracel dan Spratly. Vietnam menyebut wilayah itu warisan dari Prancis, yang menguasai dua pulau tersebut pada 1930-an.
6. Brunei Darussalam : Brunei tak secara formal menginginkan Kepulauan Spratly atau Paracel. Negara itu meratifikasi hasil Konvensi PBB tentang Hukum Laut.
7. Malaysia : Sama sepertiIndonesia dan Brunei, Malaysia mengakui hasil Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 1982 di wilayah Laut Cina Selatan.
Demikian disadur dari artikel dari Majalah Tempo Edisi 11 Januari 2020, “Di Laut Kita Ribut”.
B.3 Kepentingan Indonesia Dalam Sengketa
Sebagimana disebutkan pada Latar Belakang, menurut kami Indonesia memiliki kepentingan dalam Sengketa Laut Cina Selatan atas wilayah yang dinyatakan sebagai Laut Natuna Utara berdasarkan perjuangan historisnya untuk memperoleh pengakuan di dalam Konvensi PBB mengenai hukum laut tahun 1982 yang dikenal dengan UNICLOS 1982 dan seanjutnya diratifikasi dalam UU 17/1985, perjuangan untuk memperoleh pengakuan ini menurut kami setelah membaca, menyadur, dan merangkum beberapa kegiatan inisiasi di lembaga Hukum Internasional yang dalam sejarah tercatat berulang kali terdapat jatuh-bangun dalam proses perjuangan diplomasi unilateral tersebut.
Bahwa permasalahan terkait batas lebar lautan yang diakui sebagai Hukum Internasional menjadi pelik dikarenakan teritorial Laut Lepas menjadi strategis tak hanya berkaitan dengan luas wilayah dan kedaulatan sebuah negara semata, namun juga masing-masing negara memiliki kepentingan nilai strategis dalam segala bidang meliputi politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan. Kita telah melihat secara bersama sebagian kecil dalam sejarah bahwa beberapa Negara menegosiasikan ketentuan-ketetuan yang ada yang mengkomunikasikan kepentingan masing-masing negara secara terbuka maupun secara tersembunyi pada tiap-tiap tahapan perundingan.
Adapun tercatat dari dinamika yang terjadi bahwa tidak kurang dari 6 (enam) kali perundingan hingga pada Konferensi Hukum Laut III diperoleh kesepakatan bersama jarak sejauh 12 Mil laut yang digunakan, yang dikenal dengan UNICLOS 1982. Adapun pasca dari UNICLOS1982 ternyata permasalahan sengketa masih dapat terjadi di Natuna yang diklaim dalam satu dekade ini. Setelah dari awal bagian B.3 ini kami mengutarakan pendapat, kembali kami sampaikan Fakta yang kami sadur dari artikel dari Majalah Tempo Edisi 11 Januari 2020, “Di Laut Kita Ribut” sebagai berikut :
Sejak satu dekade lalu, Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara berkali-kali diterabas kapal berbendera asing. Sering kapal yang ditangkap akhirnya dilepaskan. Kronologis nya kami sadur dengan sedikit koreksi redaksional seperti penyebutan Presiden dengan nama panggilan yang kami perbaiki, kami sampaikan saduran dari Tempo Edisi 11 januari 2020 dari artikel “Di Laut Kita Ribut” sebagai berikut :
Mei 2019 : Cina menggambar “Nine Dash Line” di Peta Laut Cina Selatan, yang diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprotes garis demarkasi “Nine Dash Line” versi Cina ke Komisi Landas Kontinen PBB.
5 Mei 2010 : Pelepasan secara paksa kapal Ikan Cina seusai pengejaran di ZEE Indonesia.
22 Juni 2020 : Pemerintah Indonesia melepaskan kapal penangkap ikan Cina.
26 Maret2013 : Kapal penangkap ikan milik Cina yang masuk ke ZEE Indonesia dilepaskan.
19 Maret 2016 : Patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap kapal Cina, KM Kway Fey 10078.
20 Maret 2016 : Kapal penjaga pantai Cina sengaja menabrak badan Kmway Fey agar tak bisa ditarik dan dilepaskan otoritas Indonesia.
28 Mei 2016 : KRI Oswald Siahaan 354 menangkap kapal Cina, Gui Bei Yu, disaksikan kapal penjaga pantai Cina.
20 Juni 2016 : Indonesia mengerahkan empat kapal perang untuk mengejar dan menagkap 12 Kapal Cina yang berlayar di Laut Natuna Utara. Kapal TNI Angkatan Laut sempat mengeluarkan tembakan peringatan yang mengenai satu kapal, Cina melayangkan nota protes.
23 Juni 2016 : Presiden Joko Widodo mengunjungi Kab. Natuna dan memimpin rapat diatas KRI Imam Bonjol.
6 November 2016 Presiden Joko Widodo meresmikan Bandar Udara Rani di Natuna.
20 Mei 2017 Presiden Joko Widodo menyaksikan latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI di Tanjung Datuk, Natuna.
27 April 2019 K,apal berbendea Vietnam menabrak KRI Tjiptadi 381. Kapal pengawas Vietnam sengaja menabrak kapal ikan ilegal itu hingga tenggelamdan tak ada proses hukum.
Desember 2019-Awal Januari 2020 : Kapal Penjaga Pantai Cina mengawal beberapa Kapal Nelayan yang masuk ZEE Indonesia.
8 Januari 2020: Presiden Joko Widodo kembali mengunjungi Natuna.
Berdasarkan kronologis diatas bersama bahan-bahan yang kami sadur maka kami menyimpulkan Indonesia memiliki kepentingan utama dalam hal kedaulatan wilayahnya yang memang telah diperjuangkan sejak tanggal 13 Desember 1957 dimana Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja mengumumkan suatu pernyataan yang selanjutnya dikenal dengan Deklarasi Djoeanda yang diresmikan menjadi Undang-Undang No. 4/PRP/1960 dan serangkaian kegiatan diplomasi perundingan unilateral melalui konvensi-konvensi yang selanjutnya dikenal dengan UNICLOS 1982 dan seanjutnya diratifikasi dalam UU 17/1985.
Bahwa terdapat negara-negara yang tidak selalu mematuhinorma dan aturan Internasional pada satu dekade terakhir selain Vietnam adalah Negara Cina dengan Nine Dash Line yang merupakan klaim sepihak berdasarkan semata catatan sejarah dari Cina secara sepihak dan memiliki unsur historis yang berbeda karena dasarnya semata pada catatan yang tidak berkekuatan hukum apapun tanpa dasar yang kuat yang mendasari klaimnya hanya dengan peta pelayaran tradisional Cina pada abad ke-15.
Data yang kami sadur pada Majalah Tempo Edisi 11 Januari 2020, “Di Laut Kita Ribut” menunjukkan pada Laut Cina Selatan yang memiliki luas 3.685.000 kilometer persegi dengan kedalaman rata-rata 1.212 meter dan titik terdalam Lubuk Laut Cina sedalm 5.016 meter memiliki potensi Minyak sebanyak 11 miliar barel, poteni Gas Bumi sebanyak 190 triliun kaki kubik, selain sumber daya alam tak terbarukan itu kami juga menyoroti bahwa terdapat potensi perikanan sebesar 16,6 juta ton, biodiversitas sebanyak 3.365 spesies ikan.
Selain potensi sumber daya alam tersebut kami menyoroti juga dari sisi perdagangan terdapat potensi perdagangan sebesar US$ 3,7 triliun yang merupakan sepertiga dari total perdagangan dunia, dari sisi pertahanan keamanan wilayah laut Cina Selatan merupakan tempat tersebarnya 74 pulau berbasis militer, dengan batas Laut Cina Selatan yang bersinggungan di Timur antara Taiwan dan Filipina, Barat dengan Malaysia, Utara dengan Vietnamdan Cina, dan Selatan berada dalam wilayah Indonesia dan Brunei Darussalam maka dapat dipastikan kepentingan Indonesia berada pada kepentingan nilai strategis dalam bidang meliputi politik, hukum, ekonomi, dan pertahanan serta keamanan.
C. Kepentingan Indonesia pada Sengketa Laut Cina Selatan
C.1 Analisis
Wilayah Perairan Nusantara dalam cakupan lingkup Hukum Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selain merupakan kedaulatan Indonesia, perjuangan wilayah NKRI dalam kedaulatan wilayahnya menjadi vital menurut kami karena fakta Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga meliputi Australia, India, Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Republik Palau, dan Timor Leste yang memungkinkan terjadinya sengketa pada negara-negara tersebut, disamping itu Indonesia juga berbatasan dengan laut lepas di Samudera India dan Samudera Pasifik dimana batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dilakukan secara unilateral terlepas dari fakta bahwa sudah ada Hukum Internasional yang mengatur hal tersebut.
Menurut kami dalam membaca Pasal 10 ayat 6 UNICLOS 1982 yang berbunyi “The foregoing provisions do not apply to so-called “historic” bays,or in any case where the system of straight baselines provided for in article 7is applied” bahwa klaim kepemilikan pantai berdasarkan sejarah merupakan hal yang tidak berlaku karena negara-negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan memiliki hak untuk menerapkan Pasal 7 yang berbunyi tentang hak yang berlaku dengan Garis Dasar Garis Lurus dari penentuan laut teritorial diukur lebarnya.
Wilayah Perairan laut sebagaimana merujuk pada UNICLOS 1982 mengatur lautan teritorial berjarak 12 mil, kemudian terdapat zona laut tambahan berjarak 12 mil, dan terdapat Zona Ekonomi Eksklusif yang berjarak 200 mil dari garis pangkal laut wilayah Indonesia dan berdasarkan potensi bernilai ekonomis yang terkandung di Indonesia menimbulkan kepentingan bagi Negara Indonesia untuk dapat melakukan supaya kekayaan laut yang menjadi wilayahnya semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan bagi kepentingan rakyatnya baik elalui kegiatan eksplorasi, konservasi, dan eksploitasi. Kami memperhatikan naskah UNICLOS 1982 dan menemukan bahwa Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Article 24
1. Duties of the coastal State1.The coastal State shall not hamper the innocent passage of foreignships through the territorial sea except in accordance with this Convention.In particular, in the application of this Convention or of any laws orregulations adopted in conformity with this Convention, the coastal Stateshall not : ( a) impose requirements on foreign ships which have the practicaleffect of denying or impairing the right of innocent passage; or(b) discriminate in form or in fact against the ships of any State oragainst ships carrying cargoes to, from or on behalf of anyState.
2.The coastal State shall give appropriate publicity to any danger tonavigation, of which it has knowledge, within its territorial sea.
Berdasarkan Pasal 24 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa berkaitan dengan batas lautan teritorial sepanjang 12 mil ditambah zona tambahan selebar 12 mil maka menjadi berarti dalam hal penindakan pelanggaran terkait hal-hal yang tidak bersifat pelanggaran lalu-lintas, sehingga kewenangan negara Indonesia berkutat pada kepabeanan, pajak, imigrasi, dan hal-hal yang tidak dilarang lainnya sebagai hak negara yang penuh atau mutlak dari lalu lintas yang tidak melanggar tersebut.
Setelah membahas Lautan Teritorial / Wilayah beserta tambahan, selepas dari lautan teritorial juga terdapat Zona Ekonomi Eksklusif, namun dalam proses pembelajaran kami akan lebih mudah memahami kepentingan Zona Ekonomi Eksklusif secara lebih lanjut setelah mengetahui Lautan Lepas yang diatur dalam Pasal 86 UNICLOS 1982 yang berbunyi sebagai berikut :
Article 86
Application of the provisions of this Part
The provisions of this Part apply to all parts of the sea that are notincluded in the exclusive economic zone, in the territorial sea or in theinternal waters of a State, or in the archipelagic waters of an archipelagicState. This article does not entail any abridgement of the freedoms enjoyedby all States in the exclusive economic zone in accordance with article 58.
Lautan lepas sebagaimana disebutkan dalam Pasl 86 UNICLOS 1982 menyebutkan bahwa pengaturan dalam Bagian-bagian selepas dari Pasal 86 meliputi Paal 87 yang mengatur kebebasan laut lepas, Pasal 88 yang mengatur reservasi laut lepas untuk tujuan damai, Pasal 89 yang mengatur tidak berlakunyaklaim kedaulatan atas lautan lepas, Pasal 90 yang mengatur kebebasan hak utuk berlayar di lautan lepas, dan seterusnya hingga Pasal 115 yang mengatur tentang ganti rugi atas kerugian yang terjadi karena adanya kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut di lautan lepas menunjukkan bahwa pada lautan lepas terdapat kebebasan yang dapat digunakan negara manapun.
Dengan adanya kebebasan di Lautan Lepas dan kedalaman yang menurut kami membuat rumitnya pemberdayaan bernilai ekonomis di lautan lepas, maka kembali perlu dibahas Pasal 58 UNICLOS 1982 yang berbunyi sebagai berikut :
Article 58
Rights and duties of other States in the exclusive economic zone
1.In the exclusive economic zone, all States, whether coastal orland-locked, enjoy, subject to the relevant provisions of this Convention, thefreedoms referred to in article 87 of navigation and overflight and of thelaying of submarine cables and pipelines, and other internationally lawfuluses of the sea related to these freedoms, such as those associated with theoperation of ships, aircraft and submarine cables and pipelines, andcompatible with the other provisions of this Convention.
2.Articles 88 to 115 and other pertinent rules of international lawapply to the exclusive economic zone in so far as they are not incompatiblewith this Part.
3.In exercising their rights and performing their duties under thisConvention in the exclusive economic zone, States shall have due regard tothe rights and duties of the coastal State and shall comply with the laws andregulations adopted by the coastal State in accordance with the provisions ofthis Convention and other rules of international law in so far as they are notincompatible with this Part.
Berdasarkan uraian dari Pasal 58 diatas khususnya Pasal 58 ayat 3 negara lain wajib mematuhi hak dan kewajiban negara yang berhak atas hak Zona Ekonomi Eksklusif tersebut, dalam hal ini hak berupa kekuasaan sebagai negara yang berhak atas hak Zona Eksklusif ini menjadi sumber konflik menurut kami, lebih lanjut terkait dengan konflik diatur dalam Pasal 59 yang berbunyi sebagai berikut :
Article 59
Basis for the resolution of conflictsregarding the attribution of rights and jurisdictionin the exclusive economic zone
In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdictionto the coastal State or to other States within the exclusive economic zone, anda conflict arises between the interests of the coastal State and any other Stateor States, the conflict should be resolved on the basis of equity and in thelight of all the relevant circumstances, taking into account the respectiveimportance of the interests involved to the parties as well as to theinternational community as a whole.
Dengan demikian berdasarkan pasal 59 UNICLOS 1982 apabila terdapat sengketa, maka sengketa diselesaikan berdasarkan kesetaraan dan situasi yang televan dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing dari pihak yang bersengketa dan melibatkan komunitas Internasional, dalam hal ini apabila berlangsung sengketa berkepanjangan maka dampak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia akan beririsan dengan negara lain dan merujuk pada UNICLOS 1982 Pasal 59 diatas maka kepentingan dari masing-masing pihak menjadi relevan dan perlu diperjuangkan. Mengingat kepentingan negara yang menjadi hal yang relevan dan perlu diperjuangkan ini berkaitan dengan pengaturan terhadap kepentingan kebutuhan akan sumber daya dan potensi ekonomi yang termaktub di dalamnya meliputi sumber daya perikanan, sumber daya alam seperti minyak gas dan minyak bumi, serta sumber daya keuangan yang bersumber dari kepabeanan, perpajakan, dan pungutan lainnya atas Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak mungkin dikelola selepas dari Zona Ekonomi Eksklusif dari wilayah lautan sebuah negara. Kepemilikan atas Zona Ekonomi Eksklusif terutama memperhatikan Pasal 58 ayat 3 menjadikan sebuah negara berhak mengatur wilayah tersebut berdasaran instrumen Hukum Nasional dan menjadikan Negara lain menjadi tidak berhak, sehingga semakin jelas lah bahwa kepentingan dari Indonesia dalam Sengketa Laut Cina Selatan atas wilayah Laut Natuna Utara tidak hanya sekedar permasalahan hukum dan kedaulatan wilayah semata, namun merupakan permasalahan yang menyangkut pada kepentingan berkaitan dengan kekayaan di dalamnya.
C.2 Kesimpulan
Berdasarkan dari apa yang dipelajari melalui sejarah pembentukan hingga UNICLOS 1982 diratifikasi di Indonesia sebagai UU 17/1985 terlihat bahwa sebelum dittapkannya UNICLOS 1982 terdapat berbagai kepentingan negara-negara yang tidak mengkehendaki pemberlakuan Zona Ekonomi Eksklusif maupun batas laut wilayah / lautan teritorial yang sebelumnya hanya berjarak 3 mil secara terbatas yang merugikan kepentingan Negara Indonesia sejak tahun 1960 saat Deklarasi Djoenda ditetApkan sebagai Undang-Undang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, pasca pemberlakuan UU 17/1985 yang meratifikasi UNICLOS1982 permasalahan pun tidak lantas tereliminasi sepenuhnya mengingat potensi yang ada di dalam Laut Cina Selatan dipandang cukup menggiurkan secara ekonomis tidak hanya bagi Indonesia namun bagi negara-negara yang berada di area Laut Cina Selatan, dengan semakin memperluas cakupan wilayahnya maka semakin besar kemungkinan untuk memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang semakin lebar sehingga cakupan penerapan Undang-Undang menjadi dapat semakin lebih luas.
Menjawab diskusi diatas maka kepentingan di Indonesia terkait batas teritorial laut wiayah hingga Zona Ekonomi Eksklusif tidak hanya sekedar permasalahan hukum dan kedaulatan wilayah semata, di dalamnya terdapat berbagai pertimbangan strategis meliputi pertahanan dan keamanan, potensi ekonomi dari lalu lintas perdagangan, dan potensi kegiatan eksplorasi, konservasi, dan eksploitasi. Indonesia sebagai salah satu negara dari negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan setelah perang dunia kedua memiliki sikap Nasionalisme yang mengupayakan kedaulatan wilayahnya hingga melebar pada keinginan memperlebar kawasan laut teritorial yang tidak hanya memberikan dampak adanya kemampuan ketahanan dan keamanan laut juga menjamin kepastian hukum di bidang ekonomi agar kekayaan laut yang menjadi wilayahnya semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan bagi kepentingan rakyatnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan berdasarkan apa yang saya pelajari dari berbagai sumber dan menelaah serta memaknai kepentingan Indonesia dalam sengketa Laut Cina Selatan, mohon masukan kiranya apabila terdapat hal yang luput dan belum tercakup, terima kasih.
Daftar Pustaka
A. Buku
Karsidi, Asep., Sutisna, Sobar., dan Poniman, Aris. “NKRI Dari Masa ke Masa”. Sains Press, 2013.
Pusat Data dan Analisa Tempo. “Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri I”. Tempo Media Group. 2019.
B. Jurnal, Artikel, Makalah, Internet dan Sumber Lainnya
Taufan Nugraha, Aditya., Irman. “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terhadap Eksistensi Indonesia sebagai Negara Maritim”. Jurnal Selat, Oktober 2014.
Majalah Tempo Edisi 11 Januari 2020, “Di Laut Kita Ribut”. Tempo Media Group, 2020.
C. Dokumen
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNICLOS 1982)