Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Grasi Presiden Republik Indonesia ditinjau dari Perspektif Tata Usaha Negara

Pendahuluan

Menurut UU No. 22/2002 dan UU No. 5/2010, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi adalah salah satu dari empat hak istimewa yang dimiliki Presiden Indonesia. Karena sifat alamiah Grasi yang memberikan “pengampunan” dan “pemaafan” diberikan kepada terpidana oleh Presiden, maka tak pelak pemberian Grasi selalu menuai pro dan kontra.

Pertanyaan berikutnya apakah grasi yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia merupakan keputusan Tata Usaha Negara (TUN) sehingga bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

Pembahasan

Untuk mengetahui apakah grasi merupakan termasuk keputusan Tata Usaha Negara, maka perlu dilakukan penelaahan secara yuridis normatif atas literatur peraturan perundangan yang tertulis dan mendasari penerapan dari pemberian grasi.

Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan kewenangan Presiden untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Pasal 33a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi “Jika orang yang ditahan sementara di jatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.”, putusan Presiden atas permohonan ampun ini merupakan Grasi.

Grasi disebutkan juga pada Pasal 196 ayat (3) huruf c Unfang Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hak minta penangguhan pelaksanaan putusan.

Pelaksanaan Grasi pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1948, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1947 dengan nama Peraturan Pemerintah tentang Permohonan Grasi.

Pada masa Republik Indonesia Serikat, pernah diterbitkan UU Nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang berlaku pada hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman baik militer maupun sipil yang tidak dapat diubah lagi, maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.

Peraturan yang berlaku hingga saat ini terkait Grasi adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, dimana dalam Pasal 11 UU 5/2010 ini Grasi ditetepkan dalam bentuk Keputusan Presiden yang dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

Berkaitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tata Usaha Negara diselenggarakan dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana disebutkan di Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah.

Dalam hal sebagaimana disebutkan dalam persolan tentang Grasi dari Presiden, maka apakah dimungkinkan Grasi Presiden digugat?

proses “digugat” mengacu pada Pasal 1 Angka 11 UU 51/2009 adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Pihak yang menjadi subyek dari gugatan adalah tergugat, dimana mengacu pada Pasal 1 angka 12 UU 51/2009 Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Dimana lebih lanjut lagi berdasarkan Pasal 1 angka 8 Badan atau Pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Obyek yang menyebabkan subyek tergugat sebagaimana mengacu pada Pasal 1 angka 9 adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Grasi ditetapkan dalam bentuk Keputusan, oleh Presiden atas suatu permohonan grasi dari terpidana yang berupa permohonan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Keputusan Grasi oleh Presiden salah satunya adalah Keputusan Presiden terkait grasi adalah Keppres 1/G Tahun 2017

Presiden sebagaimana disebutkan dalam fakta-fakta yang mempengaruhi diatas adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, dan terkait pemegang kekuasaannya apabila dikaitkan dengan fakta bahwa Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, dalam hal ini Presiden selaku pemegang kekuasaan maka penyelengggaraan pemerintahan oleh Presiden dalam ranah administrasi termasuk dalam kategori tata usaha negara.

Dalam tugas administrasi nya untuk mengeluarkan keputusan dan kewenangan dalam memberikan grasi sebagaimana disebutkan diatas, maka keputusan presiden berupa Grasi, dapat dikategorikan bersifat konkret, individual, dan final. Sehingga Keputusan Presiden yang dalam hal pemberian grasi merupakan Obyek yang dapat digugat secara yuridis normatif.

Gugatan atas tergugat merupakan proses Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 yang berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”. Grasi dapat memberikan akibat hukum, dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (Presiden) sesuai kewenangannya yang diatur oleh UUD, dan ditetapkan secara tertulis sebagai sebuah penetapan dalam bentuk Keputusan Presiden, tentu saja tindakan hukum pemberian grasi merupakan sebuah keputusan yang didasarkan oleh Peraturan Perundangan berlaku. Berdasarkan pemenuhan seluruh unsur tersebut, maka sengketa TUN dapat dilakukan atas Keputusan Presiden, dimana salah satunya Keputusan presiden terkait Grasi.

Salah satu Keputusan Presiden terkait grasi adalah Keppres 1/G Tahun 2017, dimana sifat dari keputusan itu didasarkan pada UU 5/2010 tentang Grasi, bersifat konkret yaitu memberikan pengurangan jumlah pidana, bersifat individual artinya tidak ditujukan untuk umum dan hanya berlaku bagi individu yang disebutkan dalam Keputusan tersebut, dan bersifat Final dikarenakan dalam keputusan Presiden ini telah langsung diberlakukan dan tidak membutuhkan persetujuan pihak lain lagi.

Sebagai salah satu keputusan pejabat tata usaha negara, mengacu kepada Pasal 53 UU 5/1986 jo. UU 9/2004 yang berbunyi : “(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. ”, maka Keputusan Presiden sebagai salah satu Keputusan Tata Usaha dapat digugat, dan dapat dinyatakan batal atau tidak sah apabila terbukti sebagaiaman alasan penggugat yang diatur dalam ayat (2) Pasal 53, yaitu Keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau keputusan yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kesimpulan

Presiden adalah pejabat tata usaha negara, dan dalam melaksanakan kewenangannya untuk memberikan grasi dalam wujud Keputusan Presiden, maka Presiden sudah mengeluarkan penetapan tertulis yang memberikan tindakan hukum yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Oleh karena terpenuhinya Keputusan Presiden sebagai bentuk dari pemberian Grasi yang merupakan obyek keluaran administrasi tata usaha negara memberikan potensi untuk dapat digugat melalui PTUN. Dan apabila dalam proses pembuktiannya selama sengketa berlangsung terbukti bahwa Keputusan Presiden tersebut, secara spesifik lagi Keputusan Presiden terkait Pemberian Grasi dalam pemberiannya terbukti memenuhi pertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku dan / atau bertentangan dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, maka gugatan tersebut dapat dikabulkan.

Tentunya untuk menggugat sebuah keputusan Administrasi Negara maka tetap perlu memperhatikan apakah Keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau keputusan yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keputusan untuk memberikan Grasi adalah merupakan pengampunan, bila dikaitkan dengan Pasal 53 UU 5/1986 jo. UU 9/2004 maka pihak yang merasa dirugikan perlu membuktikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Dengan demikian menggugat Grasi tentunya dapat dilakukandalam kaitannya Keputusan Grasi merupakan produk administrasi tata usaha negara dan membatalkan keputusan tersebut dapat dilakukan ketika terdapat kesalahan prosedur yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan AUPB. Terutama bila dalam pelaksanaannya Grasi tersebut tidak dilakukan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan kewenangan Presiden untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

 

Exit mobile version