Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Eksistensi Keragaman Indonesia di Mata Dunia

Pengantar

Indonesia Terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama dan itu bagian dari kekayaan negara kita. Seperti yang kita ketahui, perkembangan budaya indonesia salalu saja naik dan turun. Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal seperti itulah yang harus dibanggakan oleh penduduk indonesia sendiri, akan tetapi dewasa ini telah banyak yang melupakan apa itu budaya Indonesia. Gencarnya arus globalisasi di tambah lagi dunia informasi yang tiada batas maka berdampak pada generasi muda kita tentang  rasa cinta terhadap budaya semakin berkurang, dan ini sangat berdampak tidak baik bagi masyarakat asli Indonesia. Terlalu banyaknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, masyarakat kini telah berkembang menjadi masyarakat modern, buktinya, masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia.

Argumentasi

Apakah hal diatas benar? sebagai refleksi, terdapat statement menarik untuk menjadi pertimbangan, yaitu “buktinya, masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia.” Untuk mengetahui hal ini, maka saya mencoba mencari tahu jumlah dari masyarakat Indonesia yang mengenal budaya Indonesia yang beragam tersebut.

Salah satu bentuk budaya adalah kearifan lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pandangan hidup yang mengakomodasi kebijakan dan kearifan hidup (Kemdikbud, 2016). Sedangkan menurut Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.

Selaras dengan pernyataan argumentatif dalam pembuka pengantar, Kemdikbud menyatakan bahwa Arus Globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh negatif terhadap perkembangan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari. Arus globalisasi yang deras menawarkan gaya hidup yang cenderung pragmatis serta bergaya hidup konsumtif terbukti secara perlahan lahan telah mereduksi nilai-nilai yang diajarkan dalam kearifan lokal.

Berdasarkan publikasi Analisis Kearifan Lokal Ditinjau dari keragaman Budaya terbitan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2016, terdapat paparan data sebagai berikut yang saya pandang relevan dalam mencari terlebih dahulu jumlah masyarakat Indonesia yang lebih mengenal kebudayaan nya :

  1. Penggunaan Bahasa pendapat dari Edward Sapir (1884-1939) yang merupakan seorang ahli bahasa yang memiliki pendapat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh bahasa yang digunakan dan mempengaruhi cara pandang dunia secara kognitif, dan secara selektif individu interaksi sensorik yang terjadi adalah menggunakan bahasa yang dipakainya. Sehingga hal yang dapat diterima oleh seseorang selaras dengan bahasa yang dimilikinya, Benjamin Lee Whorf dan Sapir selanjutnya menemukan atas pembelajaran terhadap bahasa Suku Hopi yang merupakan suku Indian Amerika, bahwa karakteristik dari Suku Hopi yang menekankan konsep waktu dan ruang ternyata berpengaruh pada perilaku mereka terhadap alam semesta. (Ensiklopedia Britanika). Teori yang disebut Sapir-Whorf ini selanjutnya menekankan bahwa ada hubungan yang kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran pengguna bahasa tersebut terhadap kondisi kebudayaannya.Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengumpulkan  data yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang meliputi kondisi kesehatan, pendidikan, fertilitas, Keluarga Berencana, perumahan dan kondisi sosial ekonomi lainnya. Data dan indikator dari Susenas telah dipergunakan secara luas dan dipandang sebagai salah satu bukti penting yang dapat berguna untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program pembangunan pemerintah. Susenas bulan September 2015 menggunakan kuesioner Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP) serta Konsumsi Pengeluaran (KP) (BPS, 2015). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memaparkan hasil Survei MSBP tahun 2015 tersebut dalam diagaram sebagai berikut dibawah ini untuk menjelaskan bahwa secara umum mayoritas penduduk menggunakan bahasa Daerah (75.14%), dibandingkan Bahasa  Indonesia (24,63%), dan Bahasa asing (0,23%) :
    Gambar 1 Persentase Penduduk Menurut Jenis Bahasa Yang Paling Sering Digunakan Di Rumah

    Bila data tersebut digunakan terhadap Data jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 milik BPS sebanyak 237.641.326, maka jumlah penduduk yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut diatas di rumah adalah terinci sebagai berikut :

    • Bahasa Daerah : 178.563.692 (seratus tujuh puluh delapan ribu lima ratus enam puluh tiga ribu enam ratus sembilan puluh dua) orang
    • Bahasa Indonesia : 58.531.059 (lima puluh delapan juta lima ratus tigapuluh satu ribu lima puluh sembilan) orang
    • Bahasa asing : 546.575 (lima ratus empat puluh enam ribu lima ratus tujuhpuluh lima) orang.

    Pada interaksi luar rumah atau pergaulan, berikut ini adalah data dari sumber yang sama :

    Gambar 2 Persentase Penduduk Menurut Jenis Bahasa Yang Paling Sering Digunakan Dalam Pergaulan (tempat Bekerja Sekolah Lingkungan)

    Bila data tersebut digunakan terhadap Data jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 milik BPS sebanyak 237.641.326, maka jumlah penduduk yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut diatas di pergaulan adalah terinci sebagai berikut :

    • Bahasa Daerah : 153.136.070 (seratus lima puluh tiga juta seratus tigapuluh enam ribu tujuh puluh) orang
    • Bahasa Indonesia : 84.267.614 (delapan puluh empat juta dua ratus enampuluh tujuh ribu enam ratus empat belas) orang
    • Bahasa asing : 237.641 (dua ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus empat puluh satu) orang.
  2. Jumlah Penduduk Yang Memiliki Kedekatan dengan KebudayaanBerikut ini adalah jumlah penduduk yang pernah menonton pertunjukan/pameran seni dalam tiga bulan terakhir :
    Gambar 3 Persentase Penduduk Menurut Status Pernah Atau Tidaknya Menonton Pameran Seni Budaya
    Gambar 4 Persentase Penduduk Yang Pernah Menonton Pertunjukan Seni Menurut Pertunjukan Atau Pameran Seni

    Bila data tersebut digunakan terhadap Data jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 milik BPS sebanyak 237.641.326, maka jumlah penduduk dan kaitannya dengan kedekatannya terhadap kebudayaan adalah terinci sebagai berikut :

    • Pernah menonton pameran seni budaya 55.204.080 (lima puluh lima juta dua ratus empat ribu delapan puluh orang), dengan rincian sebagai berikut :
      • Tari tradisional Indonesia 20.613.203 (dua puluh juta enam ratus tigabelas ribu dua ratus tiga) orang
      • Seni/Musik/Suara 34.088.519 (tiga puluh empat juta delapan puluh delapan ribu lima ratus sembilan belas) orang
      • Seni teater/Pedalangan 4.598.500 (empat juta lima ratus sembilan puluh delapan ribu lima ratus) orang
      • Seni lukis 458.194 (empat ratus lima puluh delapan ribu seratus sembilan puluh empat) orang
      • Seni Patung 237.378 (dua ratus tiga puluh tujuh ribu tiga ratus tujuh puluh delapan) orang
      • Seni Kerajinan/Kriya 1.645.082 (satu juta enam ratus empat puluh lima ribu delapan puluh dua) orang
      • Lainnya 8.142.602 (delapan juta seratus empat puluh dua ribu enam ratus dua) orang.

     

    • Tidak pernah menonton pameran seni budaya 182.437.246 (Seratus delapan puluh dua juta empat ratus tigapuluh tujuh ribu dua ratus empat puluh enam) orang
  3. Kedatangan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Negara Asal :Berikut ini adalah data dari BPS untuk data kunjungan wisatawan ke Indonesia tahun 2002 hingga 2014 dari minimal 39 Negara Amerika, Eropa. Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Asia Pasifik:
    Sumber Bps

     

  4. Perbandingan masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia
    Perbandingan Masyarakat Luar Lebih Mengenal Budaya Indonesia Dibandingkan Masyarakat Indonesia

    Bila ditilik dari kedatangan mancanegara selama 13 tahun, jumlah tersebut memang melebihi jumlah penduduk Indonesia yang menghadiri kegiatan kebudayaan, namun bila ditinjau dari penggunaan Bahasa Daerah di rumah dan di lingkungan pergaulan masih lebih banyak jumlah penduduk Indonesia yang menggunakan Bahasa Daerah sebagai salah satu manifestasi Budaya dibandingkan jumlah wisatawan mancanegara selama 13 tahun, hal ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia masih lebih mengenali budaya nya sendiri dibandingkan wisatawan mancanegara.

    Adapun asumsi tersebut memang dapat diberikan argumentasi lain apabila menyodorkan perhitungan lain yang diluar pengetahuan saya, namun terlepas dari keterbatasan penggunaan data tersebut, secara pribadi saya menganggap bahwa bangsa Indonesia masih lebih mengenali kebudayaannya dibandingkan kebudayaannya sendiri, dalam konteks globalisasi maka apabila kita melihat jumlah kedatangan wisatawan mancanegara yang angkanya relatif cukup besar selama 13 tahun tersebut, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh kunjungan tersebut juga turut “melunturkan” secara perlahan kebudayaan kita dikarenakan adanya interaksi sosial.

    bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang  memiliki kebutuhan untuk masuk dalam bagian orang-orang lain, merupakan karakteristik dari sekelompok orang, memiliki hubungan antar orang-orang, melakukan interaksi-interaksi antar orang, terdapat keanggotaan dari suatu kelompok orang atau suatu komunitas orang, karakteristik manusia untuk saling berkerja sama, dan saling ketergantungan, interaksi sosial ini dilakukan secara asosiatif dan disosiatif, dan pada konteks globalisasi terjadi interaksi secara asosiatif karena terdapat penyesuaian yang dilakukan dalam bentuk usaha bersama.

    Sebagai contoh, sebagai contoh Globalisasi membuat perubahan budaya dalam penggunaan bahasa, penggunaan kata jamban atau kakus yang menurut kamus besar bahasa Indonesia merupakan tempat buang air sudah jarang digunakan dalam istilah sehari-hari, masyarakat Indonesia sudah lebih mengenal istilah Toilet dan/atau water closet yang lebih umum disingkat WC yang merupakan bahasa Inggris, bahkan tidak jarang pada pusat perbelanjaan modern atau tempat keramaian kita lebih mengenal istilah Restroom. Hal ini merupakan contoh perubahan karena kontak dengan kelompok lain, hal ini sengaja dilakukan sebagai bentuk interaksi asosiatif, karena penggunaan istilah WC, Restroom, atau toilet di tempat-tempat keramaian adalah untuk mempermudah wisatawan asing dan secara perlahan lebih menjadi bahasa yang lebih dikenali oleh masyarakat Indonesia.

    Mengembangkan contoh tersebut diatas, komersialisasi obyek wisata sebagai dampak globalisasi untuk memfasilitasi kenyamanan wisatawan mancanegara juga membuat ruang bagi Kebudayaan secara perlahan semakin sedikit, pertumbuhan hotel berbintang dan kamar hotel dari tahun 2006 ke tahun 2015 yang meningkat dari 147 hotel menjadi 281 hotel berbintang dan penginapan non berbintang semula tahun 2006 1.635 penginapan menjadi 2.079 penginapan pada tahun 2015 (http://bali.tribunnews.com/2017/04/20/jumlah-hotel-di-bali-naik-jadi-2079disparda-dan-phri-usulkan-moratorium?page=all)

    Hal ini berdampak pada banyaknya lahan sawah, kebun, ataupun lahan hijau lainnya tergerus dan digantikan hotel, vila, dan sejenisnya. Sehingga kebiasaan dalam melaksanakan mata pencaharian dalam bercocok tanam yang merupakan salah satu cara hidup bergeser ke sektor industri jasa hospitality, kebiasaan bercocok tanam ini erat dengan kebudayaan, terutama bila kita menilik hampir seluruh daerah memiliki upacara adat yang dilaksanakan sebelum melakukan penanaman.

    Globalisasi memberi pengaruh positif, juga memberikan pengaruh negatif, hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, namun juga berbagai negara lain dan sebagaimana contoh penggunaan kata pengganti jamban/kakus yang telah saya sebutkan diatas, secara makro sektor kehidupan yang lain dalam bidang budaya, politik, ekonomi, sosial, ideologi, dan lain-lain akan secara perlahan-lahan terpapar pengaruhnya. Globalisasi memberikan pengaruh positif seperti transparansi, prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance), dan keterbukaan informasi sebagai salah satu sebagian kecil contoh dampak positif globalisasi.

    Dampak negatif dari globalisasi sebagaimana disebutkan dalam tajuk utama topik ini adalah salah satunya terkait informasi yang tak terkendali yang berujung kepada masuknya budaya asing, perilaku individualisme, dan konsumerisme.Informasi yang tidak terkendali yang masuk langsung bersinggungan dengan kebudayaan adalah lebih banyak buku, musik, dan film dari asing yang beredar di Indonesia, dan walaupun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hubungan korelasi antara informasi tak terkendali dan individualisme dan dengan konsumerisme. Saya mengasumsikan bahwa terdapat hubungan kuat antara informasi tak terkendali di era globalisme ini dengan individualisme.

    Terkait individualisme terdapat data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memaparkan hasil Survei MSBP tahun 2015 tersebut dalam diagaram sebagai berikut dibawah ini untuk menjelaskan bahwa secara umum mayoritas penduduk Tidak pernah hadir dalam pertemuan/rapat sebanyak 71.88% dan pernah hadir sebanyak 28.12%.

    Gambar 5 Persentase Penduduk Menurut Status Keikutsertaan Dalam Pertemuan Rapat Di Lingkungan Sekitar

    maka jumlah penduduk yang yang semakin individualisme diatas terinci sebagai berikut :

    • Menghadiri pertemuan/rapat di lingkungan sekitar (28.12%) : 66.824.741 (enam puluh enam juta delapan ratus dua puluh empat ribu tujuh ratus empat puluh satu) orang
    • Tidak menghadiri pertemuan/rapat di lingkungan sekitar (71.88%) : 170.816.585 (seratus tujuh puluh juta delapan ratus enam belas ribu lima ratus delapan puluh lima) orang.

    Dengan menunjukkan kesenjangan tersebut maka terindikasi bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar menjadi semakin individualisme, cenderung eksklusif dan semakin menjauhi inklusifisme dalam keragaman yang menjadi semangat Bhinneka Tunggal Ika.

    Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.( https://id.wikipedia.org/wiki/Konsumerisme)

    Abdur Rohman dalam tulisannya Budaya Konsumerisme dan Teori Kebocoran di Kalangan Mahasiswa menulis bahwa aktifitas mahasiswa semakin lama semakin mengkhawatirkan, sehingga mengarah pada budaya konsumerisme, dan budaya ini menjadi ideologi dan menjadi tuntutan gaya hidup mahasiswa yang semakin tidak terkontrol. Sekalipun mereka menyadari bahwa perilaku konsumtif merupakan sikap negatif, yang kurang bisa diterima dalam hubungan sosial maupun agama, terlebih dalam agama Islam. Penetlitan yang dilakukan pada Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura dengan sampel sebanyak 100 subjek penelitian menyimpulkan perilaku konsumtif ada pada 58 mahasiswa dengan tingkatan konsumtif sebanyak 22,22% super konsumtif, 44,45% konsumtif biasa, dan 33,33% konsumtif lemah.

    Baudrilad sebagaimana dikemukakan oleh Mutia Hastiti Pawanti dalam tulisan Masyarakat Konsumeris Menurut Konsep Pemikiran Jean Baudrillard menyatakan yang dikonsumsi masyarakat konsumerisme bukanlah komoditas, melainkan konsumsi tanda dari suatu produk. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan melalui iklan. Peran media terutama iklan sangat mempengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat, karena melalui iklan sebuah produk diperkenalkan kepada masyarakat, dengan bahasa yang sangat persuasif agar masyarakat membeli produk tersebut. Gaya hidup masyarakat pun mengarah pada gaya hidup yang hedonis, selalu ingin mengonsumsi, dan hidup bermewah-mewahan.

    Keterbukaan informasi sebagaimana disebutkan sebelumnya salah satunya adalah iklan sebuah produk, dan hal ini sebagaimana konsep pemikiran Jean Baudrillard merupakan salah satu yang mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk menjadi konsumerisme, dan hal ini menggeser budaya masyarakat Indonesia. Sehingga bila dibandingkan dengan penelitian skala kecil Abdur Rohman maka tidak heran budaya konsumerisme mendominasi. Pada tingkat nasional Konsumerisme sudah menjadi Budaya dan jadi persoalan serius (http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/23/konsumerisme-sudah-menjadi-budaya-dan-jadi-persoalan-serius), Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, DR Karlina Supelili menyatakan, saat ini konsumerisme menjadi budaya di lingkungan masyarakat Indonesia, dalam artikel ini Penelitian LIPI menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 106 negara di dunia yang diukur terkait tingkat kepercayaan diri untuk berbelanja,”

    Karlina membandingkan Indonesia dengan dua negara kaya, Skandinavia dan Swiss yang justru menempati urutan ke 60 dan 70 dalam hal kepercayaan diri untuk berbelanja. “Ini memunculkan lingkaran setan, masyarakat menjadi tidak produktif dan cenderung menjadi konsumen dan ini harus mendapat perhatian,” kata Karlina.

Kesimpulan

Berdasarkan data yang telah dipaparkan diatas, secara kuantitas memang masyarakat Indonesia masih lebih mengenali budaya nya sendiri dibandingkan wisatawan mancanegara. Namun masyarakat Indonesia memang telah terpengaruhi globalisme sehingga semakin individualis dan konsumerisme sebagai akibat daya beli masyarakat yang semakin membaik mengarahkan masyarakat Indonesia untuk semakin hedonisme dengan tingkatan konsumtif terukur pada penelitian skala kecil, pada penelitian skala Internasional oleh LIPI Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 106 negara di dunia terkait kepercayaan diri untuk berbelanja.

Tentu saja angka masyarakat Indonesia masih mengenali budaya sendiri dan menggunakan nya dalam kehidupan sehari-hari memang masih menggembirakan, namun menilik dari pergeseran budaya akibat globalisasi diatas, bukan tidak mungkin angka masyarakat Indonesia masih mengenali budaya sendiri dan menggunakan nya dalam kehidupan sehari-hari akan perlahan-lahan berkurang dan bila tidak terdapat upaya konkrit untuk meminimalisir hal ini maka bukan tidak mungkin kedepannya bangsa Indonesia akan tiba pada kondisi yang tidak diharapkan, yaitu masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia.

 

Exit mobile version