Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Bertanda tangan kontrak, siapa?

syarat sahnya suatu kontrak

syarat sahnya suatu kontrak

Bila Pelaku Usaha saja kita perhatikan sungguh-sungguh, tidak semua yang namanya Direktur itu boleh bertanda-tangan kontrak, contoh skenarionya adalah dalam beberapa ADRT badan usaha sebagai berikut :

Kombinasi Pihak-Pihak dalam Badan Usaha untuk bertanda-tangan kontrak

sebagaimana diatur di ADRT masing-masing Badan Usaha bisa bervariasi, hal diatas yang perlu kita cermati, pelaku usaha fleksibel kalau ada Surat Kuasa dan memungkinkan maka ya bisa saja diwakili pihak lain sesuai jabatan dalam ADRT.

Demikian juga dari sisi Pemerintah, untuk APBN masih diberikan fleksibilitas Pejabat Penandatangan Kontrak itu bisa PA/KPA/PPK, untuk Pemerintah Daerah sudah dibatasi PA/KPA dan pihak lain hanya dapat membantu, membantu salah satunya adalah menyiapkan dokumen, bukan membantu bertindak atas nama, dari sisi aspek ini bila dilanggar akan menjadi bermasalah sehingga perlu kehati-hatian. Dalam hal tidak ada PA/KPA di proses Pengelolaan Keuangan di Daerah, maka kewenangan berkontrak/melakukan perikatan naik ke atas dalam hal PA/KPA tidak ada maka atasan nya Pejabat PA yang tanda tangan (bukan PLT), kalau ada KPA tapi tidak ada pejabat PA maka KPA yang tanda tangan, dan sebaliknya kalau tidak ada Pejabat KPA maka PA yang tanda tangan.

Tidak bisa diwakilkan oleh bawahan, atau dikuasakan untuk ke bawahan, setidaknya saya belum menemui hal tersebut dalam Permendagri 77/2020, membantu menurut saya tidak bisa disamakan dengan memberikan kuasa ke bawahan, jadi tidak dimungkinkan adanya kapasitas hukum selain PA/KPA di Permendagri 77/2020, apalagi pihak lain yang disebutkan adalah Pihak yang hanya dapat membantu.

Lho dalam Permendagri 77/2020 nyebutin hal tersebut, tapi kalau tidak disebutkan boleh ada pihak lain ya jangan diada-adakan.

Kan dalam UU 30/2014 disebutkan adanya Kewenangan atributif, delegasi, dan mandat.

Bener….. itu untuk Administrasi Pemerintahan secara keseluruhan, AUPB nya jangan dilupakan juga, kepatuhan terhadap aturan dalam rangka menegakkan dan mewujudkan Kepastian Hukum harus dijalankan, kalau sudah ada aturan yang jelas ya gak perlu dibantah, kalau mau ambil diskresi ya tentunya menggunakan izin.

Bicara soal Kepastian Hukum, terkait kewenangan tanda tangan/melakukan perikatan dalam Pemda diatur dalam PP 12/2019 yang hirarkinya lebih tinggi dari Perpres, lalu dalam Peraturan Pelaksanaan PP 12/2019 disebutkan hanya PA/KPA yang dapat bertindak melakukan Perikatan maka jangan dilakukan yang lain-lain.

Lho dalam Perpres Pengadaan kan dimungkinkan????

Perhatikan Pasal 11 ayat (2) Perpres Pengadaan itu pilihan pelimpahan kewenangan, nah itu mandat pelimpahan kewenangan adalah pilihan, kalau di APBN bila diatur boleh ditandatangani PPK maka silakan, nah kalau di Pemda sudah diatur hanya PA/KPA saja dalam hirarki aturan yang lebih tinggi ya sebaiknya tidak usah dipaksakan.

Pak, kenapa sih kalimat di Perpres tidak dihapus saja? atau dituliskan PPK yang bertanda tangan di APBD hanya PA/KPA? atau sekalian ditulis dilarang gitu?

Dalam ilmu Pembentukan Peraturan Perundangan menggunakan kalimat “dilarang” itu berimplikasi sanksi, biasanya…….

Kalau dihapus terlalu ekstrim, mengingat Perpres Pengadaan itu adalah untuk APBN dan APBD.

Kalau dipisah aturannya? bisa jadi dipisah aturannya, kelak bukan tidak mungkin, tapi sebelum jauh-jauh kesitu bisa jadi Permendagri dan/atau PP Keuda nya yang direvisi duluan, ketika di revisi maka PPK yang bertanda tangan kontrak kedepannya boleh ada lagi dong di Pemda, saat ini diatur PPTK yang merupakan Pejabat Struktural/Personil lain dan memiliki kompetensi yang melaksanakan tugas PPK untuk bertugas dengan batasan “hanya” membantu PA/KPA bertindak sebagai PPK.

Itu menurut saya……

Tapi yang jelas sekarang untuk berkontrak, bila kita hati-hati dan membaca ADRT Badan Usaha terkait kewenangan berkontrak dari sisi penyedia, maka dari sisi pemerintah pun kita harus sama-sama berhati-hati sebelum meloncat ke sebuah kesimpulan, walaupun sifatnya kontrak dapat dibatalkan / voidable bila salah satu tidak cakap / tidak memiliki kapasitas mengikatkan diri, tapi ngapain sih kita membiasakan keliru sejak awal kalau kita sudah tahu bahwa hal tersebut keliru?

Itu pendapat saya, bisa jadi saya keliru, mohon masukannya.

Exit mobile version