Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Karakteristik Organisasi Jepang

Kyary Pamyu Pamyu (竹村 キリコ Takemura Kiriko), penyanyi, dan blogger asal Jepang

Sebelumnya melalui artikel https://christiangamas.net/organisasi-jepang-keberhasilan-negara-dalam-mempertahankan-identitas-budaya-yang-berpengaruh-pada-manajemen-organisasi-covid-19-dan-pola-interaksi-organisasi-di-masa-mendatang/ kami telah membahas mengapa Gaya Organisasi dan Manajemen Jepang berhasil, pada artikel kali ini akan membahas lebih rinci karakteristik budaya organisasi manajemen Jepang.

1. Sistem Kerja Seumur Hidup

Salah satu yang penting dalam organisasi Jepang ialah sistem kerja seumur hidup, namun kenyataannya tidak semua perusahaan yang menerapkan sistem kerja seumur hidup, tetapi perusahaan-perusahaan besar dan birokrasi pemerintah menerapkannya. Dalam sistem ini, pengangkatan pegawai atau pekerja dilakukan sekali setahun ketika lulus sekolah menengah atas tamatan universitas keluar dari pendidikannya. Sekali diangkat maka seseorang akan tinggal dalam organisasi atau perusahaan itu sampai mencapai umur 55 tahun.

Pemberhentian pegawai hanya dilakukan menjelang umur 55 tahun. Semua pegawai diberi kesempatan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi untuk menggantikan atasan yang pensiun. Para pensiunan diberi pesangon sebanyak lima atau enam tahun gaji sebagai hadiah pensiun. Tetapi mereka tidak menerima uang pensiun atau jaminan sosial lainnya.

Walaupun demikian perusahaan tidak akan membiarkan mereka yang telah pensiun begitu saja, apalagi mengingat umur 55 tahun itu orang masih mampu berproduktivitas. Mereka masih dipikirkan nasibnya. Sesudah Perang Dunia II, perusahaan-perusahaan di Jepang melakukan pengelompokan diri dengan sistem Zaibatsu. Pengelompokan tersebut ada yang bersifat horizontal dan ada yang bersifat vertikal yang diikat oleh suatu bank sebagai sentralnya. Setiap kelompok kadang-kadang terdiri antara 20 sampai 30 perusahaan besar dan kecil. Setiap perusahaan mengonsentrasikan dirinya pada satu perdagangan dan sebagainya. Sekeliling suatu perusahaan besar itu ada perusahaan menengah atau kecil yang diusahakan oleh keluarga yang menyalurkan satu macam komponen barang yang digunakan oleh perusahaan besar untuk perlengkapan produksinya. Perusahaan penyalur ini disebut dengan istilah satelit.

Satelit ini bukanlah merupakan anggota keluarga perusahaan tetapi erat kaitannya dengan perusahaan besar karena tugasnya menyalurkan atau melayani kepentingan perusahaan besarnya. Hubungan yang terjadi antara perusahaan besar dan setelitnya ialah berupa hubungan monopoli bilateral, artinya satelit hanya mempunyai satu langganan yang dilayaninya dan tidak boleh melayani langganan lain. Sebaliknya perusahaan besar yang dilayani satelitnya hanya mempunyai satu penyalur yaitu satelitnya. Hubungan ini didasarkan kepada saling percaya-mempercayai bahwa masing-masing akan memenuhi tugasnya dalam kerja sama tersebut. Satelit-satelit perusahaan di Jepang cukup mengerjakan barang-barangnya untuk sejumlah kira-kira tiga jam produksi perusahaan besar sehingga tidak diperlukan gudang untuk penampungan barang yang berlebih. Cara kerja ini menguntungkan kedua belah pihak.

Mekanisme kerja ini dapat berhasil secara terpadu karena adanya suatu bank sebagai sentral yang menangani dana keuangan semua perusahaan besar dan satelit-satelitnya dalam kelompok tersebut. Hubungan kerja antara perusahaan besar dan satelit-satelitnya ini erat sekali sehingga membuka kemungkinan untuk pekerja atau pegawai untuk bekerja seumur hidup.

Setelah seseorang diberi pesangon pensiun, maka perusahaan mengirim mereka yang masih ingin melanjutkan kerja untuk bekerja di salah satu perusahaan satelit sebagai tenaga honorer selama sepuluh tahun dengan uang tabungan dan hasil honorarium yang diterimanya dia tidak akan terlantar di hari tuanya.

Biasanya mereka yang bekerja pada perusahaan satelit pada usia selepas 55 tahun kurang terjamin hari tuanya. Mereka biasanya membuka toko makanan atau mengikuti anak-anaknya. Oleh sebab itu para pekerja dapat memperkirakan bagaimana nasibnya kalau sudah pensiun sejalan dengan tempat dia mendapatkan kerja. Sistem kerja seumur hidup ini erat kaitannya dengan sistem pendidikan di Jepang.

Pada umumnya, mereka diterima bekerja pada perusahaan-perusahaan besar di Jepang adalah lulusan universitas yang telah terkenal seperti Universitas Tokyo. Sedangkan lulusan universitas lain yang ingin bekerja harus mendapat rekomendasi dari universitas negeri. Akibatnya, mulai taman kanak-kanak orang Jepang telah berusaha memasukkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah yang bermutu sehingga kelak dapat diterima di Universitas Tokyo. Kalau sudah memasuki Universitas Tokyo maka terbukalah peluang untuk hidup cerah karena nantinya setelah tamat dapat memasuki perusahaan-perusahaan besar dan dapat bekerja seumur hidup.

Berdasarkan sistem Zaibatsu yang memungkinkan Kerja Seumur Hidup ini menjadikan titik kuat fokus sebagai salah satu kekuatan dari sistem kepegawaian di Jepang ini, bahwa sekali seseorang masuk menjadi pekerja pada suatu perusahaan tertentu maka dia akan tetap tinggal selama hidup bekerja pada keluarga perusahaan besar tersebut. Perusahaan lain tidak mau melakukan pembajakan pegawai dari perusahaan lain dalam arti tidak mau menerima mereka yang ingin pindah dari suatu keluarga perusahaan besar.

2. Evaluasi dan Promosi

Setiap karyawan akan dievaluasi sekali dalam sepuluh tahun. Selama masa itu tidak akan ada promosi. Promosi yang lambat ini akan menghambat permainan yang tidak wajar dari pekerja karena seluruh karyawan tahu dan menyadari kapan masanya dia dinilai dan dipromosikan. Akibat yang lain ialah tidak akan timbul usaha karyawan untuk menonjolkan dirinya sendiri secara individual untuk menarik perhatian pimpinan.

Evaluasi dan promosi yang lama ini memberi kesempatan kepada para manajer muda untuk mengembangkan sikap terbuka dalam bekerja sama, mengokohkan penampilan dan menilai dirinya sendiri. Apalagi ditunjang dengan kondisi kantor yang mendorong orang saling berhubungan dengan dekat atau intim satu sama lain. Kebanyakan kantor disusun dalam bentuk yang memungkinkan orang saling kontak misalnya manajer, staf dan sekretaris serta pegawai-pegawai lainnya duduk bersama dalam satu meja yang disusun panjang.

Dengan selalu kontak antara sesama mereka maka masing-masing orang akan dapat memperhatikan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Setiap orang akan menjadi intim karena setiap orang tahu dengan siapa dia bekerja dan apa yang sedang dikerjakannya. Salah satu hal lagi yang mendukung manajemen Jepang ialah pandangan hidup masyarakat yang tidak menyenangi orang yang bernilai santai. Salah satu dari nilai Jepang adalah kerja keras. Misalnya kalau ada seorang pekerja yang pulang ke rumah sebelum waktunya maka masyarakat sekitar rumah akan ribut bertanya tentang apa yang terjadi dengan pekerjaannya. Orang cenderung memandangnya telah berbuat kesalahan sehingga pimpinan telah menghukumnya. Akibatnya martabat keluarganya akan turun dalam pandangan masyarakat.

Contoh: ada kasus tentang seorang pegawai bank yang selalu pulang malam selama beberapa bulan karena ada proyek yang harus diselesaikan. Ketika proyek itu selesai maka kepala seksinya memberi kelonggaran kepada pegawai tersebut untuk pulang lebih siang selama satu minggu. Setelah menjalani kompensasi itu selama dua hari maka ibunya mengeluh dan menegur anaknya supaya jangan pulang ke rumah terlalu siang. Dia menganjurkan supaya anaknya pulang malam saja seperti biasa karena ibu tersebut mempunyai kesulitan untuk menjawab pertanyaan para tetangga mengapa anaknya pulang siang.

Dengan melihat kasus ini dapat diketahui bagaimana pandangan masyarakat Jepang terhadap kerja yang mana masyarakat akan menganggap seseorang penting kalau orang tersebut setiap hari pulang kerja sampai malam, sehingga martabat keluarga meningkat. Salah satu kebiasaan di Jepang ialah bahwa tutup kantor pada jam 5 sore sedangkan para manajer meninggalkan kantor pada jam 6 sore. Sehabis kerja biasanya orang menghabiskan waktunya selama satu jam untuk berbelanja atau membaca buku di perpustakaan atau bermain. Jadi, budaya masyarakat Jepang sendiri ikut mendorong orang Jepang untuk bekerja giat atau keras.

Efek dari evaluasi dan promosi lambat ini ialah bahwa jabatan formal nampaknya dipisahkan dari tanggung jawab yang aktual. Sering terjadi seorang pegawai senior yang memegang jabatan sebagai kepala bagian tetapi yang bertanggung jawab atas segala kejadian dalam bagian tersebut adalah seorang yang masih yunior. Hal ini dapat terjadi karena dalam perusahaan diberlakukan sistem kerja kelompok. Setiap karyawan mulai dari tingkat atas sampai ke tingkat bawah menjadi anggota kelompok yang terdiri dari delapan sampai 12 orang. Masing-masing kelompok mempunyai tugas yang berbeda-beda. Walaupun anggotanya berganti secara periodik namun anggota kelompok intim satu sama lain. Setiap orang akan mengalami kerja pada banyak kelompok. Biasanya pada satu bagian ada seseorang yang memahami seluk beluk tugas pekerjaan pada perusahaan tersebut sehingga kalau diperlukan koordinasi kerja maka tidak akan ada kesulitan yang dialami

3. Sistem Bonus dan Kemudahan Kerja

Dalam bidang ekonomi ada dua hal yang menonjol dalam perusahaan-perusahaan besar Jepang yaitu:

Pertama, setiap perusahaan besar di Jepang memberikan bonus kepada karyawannya sekali dalam enam bulan. Di samping itu diadakan pula bonus tahunan yang jumlahnya 5 atau 6 kali gaji. Besar bonus tidak tergantung pada keadaan atau kecakapan seseorang tetapi bergantung kepada keadaan perusahaan. Kalau perusahaan untung maka bonusnya besar dan kalau perusahaan sedang memburuk maka bonusnya kecil dan bahkan tidak mendapatkannya sama sekali. Kalau perlu gaji mereka dapat dipotong sekian persen dalam keadaan perusahaan memburuk ini.

Sistem ini menjadikan semua yang terlibat dalam perusahaan merasa ikut bertanggung jawab atas maju mundurnya perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh karena itu risiko perusahaan tidak terletak pada pemilik perusahaan saja tetapi lebih banyak diletakkan pada pundak karyawan secara keseluruhan. Akibatnya seluruh karyawan akan bekerja keras memajukan perusahaannya karena mereka merasa memiliki perusahaan tersebut atau hidup matinya tergantung pada kemampuan semua peserta dalam mengembangkan perusahaan. Dengan demikian, Jepang telah dapat membagi dan memberikan  bonus yang fleksibel. Perasaan memiliki ini akan semakin dirasakan bila mengingat bahwa mereka tidak mungkin pindah ke perusahaan yang lain kalau telah bekerja pada satu perusahaan karena sistem kerja seumur hidup. Perpindahan kerja hanya dapat dilakukan dalam perusahaan sendiri.

Kedua, Jepang mengenal sistem karyawan sementara terutama bagi karyawan wanita. Setiap perusahaan Jepang jarang mempekerjakan wanita seumur hidup dan selektif dalam memberikan jabatan tinggi pada wanita. Seorang gadis diharapkan dapat bekerja selama 5 atau 6 tahun dalam perusahaan karena mereka harus kawin dan mengurus anak-anak mereka. Kalau anak-anaknya telah memasuki sekolah maka ia diperbolehkan kembali bekerja di perusahaan semula. Di samping itu juga diterapkan sistem waktu atau jadwal kerja yang lebih fleksibel. Wanita dapat memilih kapan mereka mau mulai kerja sesuai dengan jadwal-jadwal kerja yang telah diatur. Kombinasi antara sistem bonus dan cara kerja sementara serta perasaan senasib dan sepenanggungan mulai dari pemilik perusahaan sampai kepada pekerja tingkat terendah telah mendorong Jepang memiliki perusahaan-perusahaan yang kuat dan bersaing di seantero dunia.

4. Jalan Karier yang tidak Berdasarkan pada Spesialisasi

Perkembangan karier seseorang tidak diperoleh melalui kecakapan atas keahlian dalam satu bidang tugas tetapi dilalui melalui jalan yang berliku dalam perusahaan tempat dia bekerja. Sebagai contoh seseorang lulusan universitas yang baru saja bekerja pada sebuah perusahaan Bank, ia akan dididik untuk mengenal seluk-beluk daerah tersebut. Tahapan yang umumnya harus dilalui adalah:

Tahap pertama, dia akan mengikuti latihan manajemen dengan menghabiskan waktunya untuk menemui orang-orang dan berusaha mempelajari cara-cara kerja orang-orang tersebut dalam menerima tugas yang bermacam-macam. Waktu untuk tahap pertama ini dihabiskan kira-kira satu tahun. Setelah itu dia dikirim ke cabang untuk mempelajari operasi atau kegiatan di bank cabang tersebut dengan terjun langsung untuk pelatihan tentang bagaimana mengatur arus informasi, kertas-kertas kerja, hubungan manusia, dan sebagainya. Dari sini dia dikirim kembali ke pusat untuk mempelajari seluk-beluk perniagaan, proses meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan besar yang merupakan relasi bank tersebut dan sebagainya.

Tahap kedua, dia dikirim ke kantor cabang lain dan dia dimasukkan ke dalam bagian pengecer pinjaman untuk mempelajari proses pemberian pinjaman dalam jumlah kecil kepada individu-individu. Dari sini ia akan dikembalikan lagi ke pusat dan ditempatkan di bagian personalia, yaitu suatu bagian penting yang nantinya akan banyak berhubungan dengan tugasnya. Waktu yang dihabiskan oleh seseorang tersebut dalam kerja secara berpindah-pindah itu sudah mencapai sepuluh tahun. Sekarang tibalah saatnya dia dinilai dan dipromosikan untuk pertama kalinya dengan menduduki jabatan sebagai kepala seksi. Dengan kemampuan yang dimilikinya dia masih akan dikirim ke cabang lain untuk mempelajari perniagaan bank yang baru yang menuntut suatu kreativitas untuk menarik langganan yang potensial.

Kemudian dia akan dikembalikan ke kantor pusat dan ditempatkan di bagian internasional. Di sini dia akan membantu menangani masalah perbankan bagi perusahaan Jepang yang ada di Amerika atau Perancis. Begitu ia mencapai puncak karier, dia akan menjadi seorang yang ahli dalam segala bidang tugas dalam kantor bank tersebut dengan menghimpun semua pengetahuannya mengenai keseluruhan bank. Oleh sebab itu seseorang yang bekerja dalam perusahaan Jepang diusahakan sebanyak mungkin ahli dalam semua tugas yang dilakukan dalam perusahaan tersebut.

Perusahaan Jepang tidak akan mempunyai seorang yang ahli dalam satu bidang tugas saja. Mungkin inilah kelemahan sistem kerja di Jepang. Tetapi sebaliknya, sistem kerja yang demikian juga mempunyai banyak keuntungan antara lain bahwa seseorang tidak akan terbuang dari pekerjaannya karena perusahaan tersebut tidak lagi mengelola suatu tugas tertentu. Dia dapat dipindahkan ke tempat lain. Setiap pejabat, ahli dalam seluruh tugas perusahaan dan hal yang demikian memudahkan untuk melakukan koordinasi dan pengawasan, karena semua yang terlibat dapat memahami masalah apa yang menjadi hambatan dan sebagainya.

Setiap orang yang bekerja dalam perusahaan akan saling hormat-menghormati karena siapa tahu bahwa orang yang berstatus pembantu saat ini, mungkin menjadi orang hebat pada masa yang akan datang. Jadi, jalan karier seseorang diusahakan supaya mempunyai keahlian dalam segala bidang tugas dalam perusahaan dan bukanlah berdasarkan satu keahlian saja. Keahlian secara menyeluruh ini dapat dijalani seseorang karena ditunjang oleh sistem kerja seumur hidup dan promosi yang lama. Di samping itu manajemen tidak akan ragu-ragu untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian seseorang seperti mengeluarkan dana untuk latihan pegawai karena setelah terampil pegawai tersebut akan tetap tinggal dalam perusahaan dan tidak akan pindah-pindah ke luar perusahaan sampai pensiun.

Dengan perkataan lain, keterampilan yang dipunyai seseorang karyawan sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan tanpa bimbang bahwa dia akan pindah dari perusahaan tersebut. Jadi, pengembangan karier dan keahlian akan berlangsung dalam satu organisasi saja. Proses pengembangan karier dan rotasi kerja yang abadi seperti yang telah diuraikan di atas tetap berlaku bagi semua pegawai dalam perusahaan Jepang mulai dari tingkat atas sampai ke tingkat bawah. Sistem rotasi dan pengembangan karier yang demikian akan dapat memberi semangat baru bagi pekerja untuk memulai tugas barunya sehingga produktivitas akan meningkat. Suatu hasil penelitian dari MIT, Columbia University mengemukakan bahwa pekerja pada tingkat mana pun yang secara terus-menerus menghadapi tugas baru akan merasa tugas itu lebih penting dan dikerjakan secara berhati-hati, lebih produktif, dan lebih merasa puas terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang hanya mengerjakan satu tugas saja, walaupun perpindahan itu tidak disertai kenaikan jabatan.

5. Mekanisme Pengawasan

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap peserta organisasi akan tergabung dalam kelompok-kelompok yang sangat intim serta terikat akan norma-norma kelompok. Setiap orang perlu menjaga tindakannya karena selalu memperkirakan bagaimana pandangan rekan-rekan terhadap dirinya. Ketidaksetiaan terhadap norma-norma kelompok dapat mengurangi dukungan kelompok terhadap dirinya dan pada akhirnya dia dapat dilemparkan keluar dari keanggotaan kelompok. Dengan demikian kontrol terhadap sikap dan tindakan seseorang tidaklah semata-mata dilakukan melalui hierarki organisasi, pembayaran bonus atau kenaikan pangkat saja, melainkan yang utama justru oleh anggota-anggota kelompok.

Jadi, pengawasan dalam organisasi bukanlah bersifat eksternal yaitu menggunakan sistem ancaman dan imbalan tetapi bersifat internal yaitu melalui keintiman kelompok sendiri yang tidak kentara dan halus sehingga masing-masing orang berusaha untuk mengendalikan sikap dan tindakannya yang tidak sesuai dengan norma-norma kelompok. Dengan demikian nilai kontrol akan lebih besar karena yang mengontrol adalah teman-teman dari satu kelompok. Sistem kontrol yang bersifat internal ini adalah salah satu segi yang mendasari kokohnya organisasi di Jepang.

Di samping itu, tidak ada target atau tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tetapi apa yang akan dicapai tergantung kepada situasi yang dihadapi perusahaan, sehingga target-target yang akan dicapai itu juga bersifat khusus. Oleh sebab itu pengawasannya juga lebih banyak diserahkan kepada individu-individu yang terlibat dalam bekerja sama secara keseluruhan. Di sinilah letaknya saling percaya-mempercayai orang dalam usaha meningkatkan produktivitas karena semua pihak merasa memiliki atau berkepentingan dengan perusahaan terutama kesungguhan setiap orang dalam usaha meningkatkan produktivitas karena semua pihak merasa memiliki atau berkepentingan dengan perusahaan. Jadi, tujuan atau target yang akan dicapai perusahaan tidak dinyatakan secara jelas tetapi lebih bersifat filosofis.

vi. Proses Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah salah satu fungsi yang menjadi kunci dalam manajemen. Dewasa ini, proses pengambilan keputusan pada organisasi Jepang baik negara maupun niaga banyak diteliti orang secara mendalam karena mereka beranggapan bahwa proses tersebut unik dan erat kaitannya dengan pengaruh tradisi Jepang.

Pengambilan keputusan Berdasarkan Sistem Ringi Ringi Saido atau sistem ringi adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan bagaimana terjadinya proses pengambilan keputusan dalam perusahaan-perusahaan dan organisasi pemerintahan Jepang. Sistem ringi ini tidak hanya menunjukkan pada prosedur pengambilan keputusan tetapi lebih jauh lagi yaitu bersifat filosofis yang berakar pada tradisi Jepang. Kata ringi berasal dari dua bagian yaitu rin dan gi. Rin artinya penyerahan suatu usul atau proposal kepada atasan dan menerima kembali hasil persetujuannya. Gi artinya diskusi dan keputusan. Ringi adalah suatu proposal yang telah didiskusikan mulai dari tingkat organisasi bawah sampai ke atas sehingga akhirnya menjadi suatu keputusan.

Prosedur ringi saat ini diperbarui namun bukan dihilangkan dengan demikian terjadi modifikasi dari proses pelaksanaannya, dalam hal tertentu ringi diserahkan langsung kepada pucuk pimpinan yang biasanya dalam hal permasalahan yang sangat penting. Perubahan yang lain ialah membicarakan usulan ringi dalam rapat pejabat secara keseluruhan. Jadi bukan membubuhkan tanda persetujuan secara orang- perorang tetapi didiskusikan secara bersama-sama. Prosedur yang demikian tentu dapat menghemat waktu dan lebih efisien. Jadi, dalam hal ini yang diperbaiki hanya prosedur ringi supaya lebih cepat dan efisien tetapi tidak mengganti ringi dengan sistem yang lain. Walaupun sistem manajemen Amerika popular di Jepang tetapi mereka menganggapnya asing karena tidak semuanya dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajemen dalam organisasi di Jepang. Oleh sebab itu pengetahuan dan teknologi barat khususnya Amerika mereka serap, tetapi dalam proses modernisasi manajemen harus dilakukan oleh mereka sendiri tanpa meninggalkan unsur-unsur nilai tradisional yang melekat dalam tubuh manajemen.

Ringi dan ringinsho ada di Organisasi Pemerintahan Indonesia sebagai bentuk dokumen yang di paraf berjenjang dengan hirarkis, tentu saja ada perbedaan antara ringi di Indonesia dengan di Jepang adalah pada filosofis yang memandang bahwa dokumen tersebut bukan sekedar instrumen semata, bila di Jepang sebuah keputusan yang diambil persetujuan bersama menjadi bentuk persetujuan masing-masing individu dan tanggung-jawab berdasarkan jenjang, seorang pimpinan di Jepang tidak akan menyalahkan orang lain atas sesuatu yang sudah disetujui (paraf) nya sendiri, oleh karena itu ketika ada kesalahan seorang pimpinan di Jepang akan mengakui kesalahan sendiri alih-alih mempermalukan bawahannya karena hanya turut memberikan persetujuan melalui dokumen ringinsho di depan orang banyak selama berulang-ulang untuk sesuatu yang sebenarnya dia telah setujui sendiri. Tidak heran bila kita melihat setiap petinggi di Jepang melakukan kesalahan maka dia akan mengambil tanggung jawab dan mengundurkan diri secara ksatria.

vii. Tanggung Jawab dalam Manajemen

Dalam teori manajemen bahwa tanggung jawab tertinggi berada pada pucuk pimpinan organisasi karena daripadanyalah semua keputusan atau perintah keluar. Tetapi kalau ditanyakan kepada pejabat Jepang tentang siapa yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab tertinggi dalam organisasi maka mereka akan bingung menunjukkannya. Pucuk pimpinan perusahaan tidak akan berpikir bahwa tanggung jawab terletak di pundaknya seorang karena dia merasa bahwa tindakan yang diambil adalah berdasarkan usulan yang disampaikan oleh para bawahannya.

Sebaliknya para bawahan berpendapat bahwa sekalipun dia membubuhkan tanda persetujuan pada ringinsho dalam ringi maka tidak berarti tanggung jawab ada pada dirinya karena dia hanyalah salah seorang saja dari yang memberikan tanda persetujuannya. Jadi, semua orang berpendapat bahwa dia bukanlah orang yang lebih penting daripada orang lain dalam suatu organisasi. Oleh sebab itu tanggung jawab organisasi tidak terletak pada tangan satu orang saja tetapi menyebar pada semua orang yang ada dalam organisasi. Artinya seluruh tanggung jawab atas suatu keputusan yang diambil dalam organisasi menjadi tanggung jawab bersama atau kolektif.

Dengan demikian sifat tanggung jawab ini tidak jelas pada siapa. Semua orang yang ada dalam kelompok tugas mengetahui bahwa mereka secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab atas penyelesaian tugas mereka. Kalau seandainya ada salah satu anggota kelompok yang tidak dapat hadir maka teman-teman akan mengerjakan bagiannya. Mereka akan bekerja lebih keras daripada biasanya, sehingga tidak ada pekerjaan terbengkalai karena tidak hadirnya seseorang dalam bekerja.

viii. Keterlibatan Seluruh Anggota

Organisasi Jepang berpandangan bahwa bekerjanya mekanisme organisasi tidak hanya ditunjang oleh faktor-faktor dalam organisasi saja tetapi juga ditunjang oleh faktor-faktor yang ada di luar organisasi. Artinya seluruh orang, menunjang organisasi tersebut sehingga dapat berjaya mencapai sasarannya. Faktor di luar tersebut ialah faktor sosial yang merasa ada keterlibatan dengan pertumbuhan sesuatu organisasi, seperti konsumen, pensuplai, dan bahkan orang tua para pekerja.

Contoh: Berhasilnya seseorang memasuki kerja pada suatu organisasi adalah karena pendidikannya. Berhasilnya dia mempunyai pendidikan adalah karena berkat orang tua yang menyediakan segala sesuatu yang diperlukannya untuk mencapai suatu tingkat pendidikan dalam suatu lembaga tertentu. Oleh sebab itu dalam penobatan calon karyawan menjadi karyawan sesuatu perusahaan atau organisasi, orang tua karyawan diundang dan diberi ucapan terima kasih atau usahanya mendidik anaknya sehingga dapat memasuki organisasi perusahaan tersebut. Dengan demikian, terjadilah hubungan yang erat di mana semua orang terlibat secara keseluruhan dalam menunjang berhasilnya sesuatu organisasi mencapai tujuannya.

 

Sumber Referensi :

Organisasi dan Manajemen oleh Mirrian Sofyan Arif, Tanggerang Selatan, 2014

Exit mobile version