Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Perspektif Hukum Internasional dalam Pengelolaan Kemaritiman Republik Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan

Perspektif Hukum Internasional Dalam Pengelolaan Kemaritiman Republik Indonesia Yang Merupakan Negara Kepulauan

Perspektif Hukum Internasional Dalam Pengelolaan Kemaritiman Republik Indonesia Yang Merupakan Negara Kepulauan

Perairan Pedalaman

Dalam Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 tahun 1982, disepakati United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang mengatur perihal hukum laut. Konvensi ini efektif berlaku pada 16 November 1994. Penggerak konvensi ini adalah negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius.

Dalam konvensi tersebut, diatur cara menentukan batas teritorial di laut, yakni maksimal 12 mil laut atau 22,2 kilometer dari muka laut terendah. Bila dua negara tetangga memiliki garis pantai kurang dari 24 mil, batas teritorial antar dua negara adalah garis median atau garis tengah (equidistance). Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritorialnya diukur dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut. Titik-titik ini kemudian dihubungkan dan kemudian membentuk garis batas teritorial yang memberlakukan penuh kedaulatan negara.

Selain laut teritorial terdapat zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, batas landas kontinen, dan kawasan laut meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial, lebih lanjut soal Perairan Pedalaman ini, Tempo Media Group melalui Pusat Data dan Analisa dalam salah satu bagian bukunya menyebutkan di Perairan Pedalaman Kapal Asing tidak mempunyai hak lewat secara damai (innocent passage). Ketentuan tersebut diatas berkaitan dengan hak lewat secara damai/hak lintas damai disebutkan dalam Pasal 17 dan Pasal 18 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNICLOS 1982) yang berbunyi sebagai berikut :

 

Article 17

Right of innocent passage

Subject to this Convention, ships of all States, whether coastal or land-locked, enjoy the right of innocent passage through the territorial sea.

Article 18

Meaning of passage

  1. Passage means navigation through the territorial sea for the purpose of:

(a) traversing that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port facility outside internal waters; or

(b) proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility.

  1. Passage shall be continuous and expeditious. However, passage includes stopping and anchoring, but only in so far as the same are incidental

 

Pasal 18 UNICLOS 1982 tersebut diatas kami maknai sebagai berikut :

 

“Lewat/Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:

(a) Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau sing-gah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasillitas pelabuhan di luar perairan pedalaman: atau

(b) Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan ter-sebut.”

Kemudian pada Pasal 18 ayat (2) bahwa:

“Membuang sauh dan berhenti juga termasuk dalam pengertian lintas. tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure.”

 

Dengan demikian maka berkaitan dengan hak lintas/lewat secara damai, kami menyimpulkan bahwa perairan pedalaman memiliki perhatian khusus dalam kedaulatan negara berdasarkan pengaturan yang termaktub didalamnya terhadap hak melintas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Uniclos diatas.

Sebagaimana di kutip dari buku NKRI Dari Masa ke Masa disebutkan ketika Indonesia diproklamirkan sebagai negara yang merdeka, batas wilayah laut Indonesia mengikuti “Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939” (Staatsblad. 1939 No. 442). Dalam Peraturan Zmaan Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai, ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Untuk memperjuangkan NKRI, pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja mengumumkan suatu pernyataan tentang wilayah Perairan Republik Indonesia. Dalam pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan sebagai berikut : Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau termsuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian dari perairan pedalaman atau perairan Nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia (pengumuman ini selanjutnya dikenal dengan Deklarasi Djoeanda yang diresmikan menjadi Undang-Undang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia) yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan.

Dengan demikian sesuai dengan isi Deklarasi Juanda 1957, maka lebar laut teritorial menurut Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939 Stb. 1939 Nomor 442 (TZMKO) selebar 3 mil yang ditarik berdasarkan sistem penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia. Dengan pelebaran laut teritorial serta dengan adanya penggantian sistem penarikan garis pangkal, maka laut teritorial Indonesia tidak lagi hanya sebatas mengelilingi setiap pulau, tetapi mengelilingi seluruh kepulauan Indonesia. Dengan sistem penarikan garis pangkal lurus ini maka bagian perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal lurus oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai perairan pedalaman.

 

Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939 Stb. 1939 Nomor 442 (TZMKO) sebagai hukum kebiasaan internasional telah mengatur hak lintas damai bagi kapal-kapal niaga asing di laut teritorial sudah diakui keberadaannya sejak lama, namun karena pemberlakuan Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939 Stb. 1939 Nomor 442 (TZMKO) tersebut hanya sebatas mengelilingi setiap pulau, perjuangan Indonesia dan beberapa negara lainny yang memperjuangkan Deklarasi Djoeanda hingga menjadi UNICLOS 1982 mendorong diakuinya perairan pedalaman sebagai rasa tanggung jawab Indonesia dan ketaatannya pada hukum internasional. maka di perairan pedalaman tersebut yang dulunya sebagian merupakan laut teritorial dan laut lepas dijamin adanya lintas damai untuk kapal niaga asing.

 

Dengan demikian, berdasarkan Deklarasi Juanda 1957, lintas damai di bagian laut yang oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai perairan pedalaman, bukan merupakan hak, melainkan hanya dijaminkan. Dengan dikeluarkannya Deklarasi Juanda 1957 ini maka lahirlah konsepsi negara kepulauan Indonesia. Pemberlakuan Uniclos 1982 dan UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia merupakan perjuangan dalam pengakuan konsep negara kepulaian Indonesia diakui oleh negara-negara tentagngga seperti Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini, perjuangan ini di dalam forum Internasional dilakukan bersama-sama oleh Indonesia bersama Filipina, Fiji, dan Mauritius serta Jepang.

konsep negara kepulauan berhasil dimasukkan dalam ketentuan Pasal 46-54 Konvensi Hukum Laut 1982. Dengan demikian. konsep negara kepulauan semakin kuat eksistensinya di dalam masyarakat internasional. Sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982, pengertian negara kepulauan adalah negara yang terdiri atas satu atau lebih gugusan pulau dimana didalamnya terdapat pulau pulau lain yang merupakan satu kesatuan politik secara historis dalam satu ikatan.

Deklarasi Juanda dan Uniclos berkaitan dengan rasa tanggung jawab Indonesia dan ketaatannya pada hukum internasional. maka di perairan pedalaman tersebut yang dulunya sebagian merupakan laut teritorial dan laut lepas dijamin adanya lintas damai untuk kapal niaga asing memiliki latar belakang yang dapat dipahami dari tulisan Adji Samekto sebagai berikut ini :

“Akan tetapi,  jelas bahwa pengaturan negara kepulauan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia berbeda dengan ketentuan di dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Misalnya, tentang perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau yang ada dalam negara kepulauan; menurut Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 disebut sebagai perairan pedalaman. sedangkan menurut konvensi disebut sebagai perairan kepulauan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960, di dalam perairan itu kedaulatan Indonesia bersifat absolut. Akan tetapi. apabila diterapkan Konvensi Hukum Laut 1982. di dalam perairan tersebut kedaulatan negara masih dibatasi oleh adanya hak lintas damai melalui perairan kepulauan dan hak lintas alur laut kepulauan.

Masalahnya peraturan perundang-undangan mana yang harus diterapkan untuk wilayah laut Indonesia. Dengan telah diratifikasikannya Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. maka konvensi tersebut telah menjadi hukum positif di Indonesia. Dalam pada itu, menurut asas perundang-undangan di Indonesia. undang-undang yang lahir kemudian (belakangan) membatalkan undang-undang yang telah ada terlebih dahulu. Dalam ilmu hukum tata negara, asas ini dikenal sebagai lex poteriore derogat lex priori, yang berarti undang-undang yang telah ada dan berlaku terlebih dahulu di mana diatur suatu objek hukum tertentu menjadi tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang lahir kemudian dan mengatur tentang objek hukum yang sama (dikutip dari Etty R. Agoes, 1991: 237). Dengan demikian, berdasarkan asas tersebut maka yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkandalam Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 jelas tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana di-tentukan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982. Maka dari itu untuk memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, pemerintah telah mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.”.

 

 

Rezim hukum negara kepulauan yang diatur dalam UNICLOS 1982/Konvensi Hukum Laut 1982 tidak memuat ketentuan tentang perairan pedalaman (internal waters) dalam bab tersendiri, namun pasal tentang perairan pedalaman dimasukkan dalam Bab II yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan dan Bab IV tentang Negara Kepulauan. Menurut Churchill, perairan pedalaman, yakni “internal water”, atau “national waters” (atau perairan kepulauan menurut Adji Samekto dengan kemudian merujuk pada Pasal 46 UNICLOS 1982), atau “interior water”.3 Pengertiannya yang tercantum dalam ketentuan Bab II Pasal 8 Ayat (1) tentang Perairan Pedalaman, Konvensi Hukum Laut 1982, adalah :

 

Article 8

Internal waters

  1. Except as provided in Part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State.
  2. Where the establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth in article 7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not previously been considered as such, a right of innocent passage as provided in this Convention shall exist in those waters.

 

Sri Setianingsih dan Wahyuningsih dalam buku Hukum Internasional memaknai pasal tersebut dan menuliskan berkaitan dengan Perairan Pedalaman sebagai berikut :

 

“Pasal 8 Uniclos 1982 : Kecuali sebagaimana diatur datam Bab IV, perairan pada sisi darat garis pangkat taut teritorial merupakan bagian perairan pedataman Negara tersebut.”

 

Yang dimaksud dengan perairan pedalaman, adalah wilayah-wilayah perairan yang ada di bagian dalam garis pangkal, yaitu muara sungai, teluk, pelabuhan. Sebelumnya, dalam Pasal 5 Ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1958 Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan perairan pedalaman didefinisikan sebagai “Waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State”, yang artinya kurang lebih, bahwa perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan perairan pedalaman suatu negara.

Status hukum perairan pedalaman suatu negara pantai adalah di bawah kedaulatan penuh negara pantai. Status hukum perairan pedalaman diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya. Kedaulatan perairan pedalaman adalah milik Negara Pantai.

Dengan kata lain, karena negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas perairan pedalamannya maka negara pantai berhak untuk melarang masuknya ke pelabuhan-pelabuhannya kapal asing, kecuali kapal dalam keadaan darurat, misalnya kapal pencari orang-orang sebagai akibat bencana alam, kapal dalam keadaan rusak berat, dan dalam keadaan khusus hak lintas damai (right to innocent passage) bagi kapal asing jika perairan pedalaman negara tersebut dahulunya adalah laut bebas atau laut teritorial, yang karena pemakaian sistem straight baselines menjadi laut pedalaman.

Meskipun demikian, negara pantai tetap memberi izin masuknya kapal-kapal dagang, dengan tetap tunduk pada berlakunya hukum nasional dari negara pantai. Perlu diketahui, bahwa sesuai ketentuan hukum internasional yang berlaku, suatu negara dapat menetapkan pelabuhan-pelabuhan dalam wilayahnya sebagai pelabuhan-pelabuhan internasional sehingga dianggap terbuka untuk lalu lintas perdagangan internasional.” Setelah masuk di pelabuhan-pelabuhan suatu negara atau perairan pedalaman suatu negara, berlakulah yurisdiksi negara pantai. Negara pantai berhak untuk sepenuhnya menerapkan dan memaksa berlakunya hukum nasional negaranya terhadap kapal-kapal dagang yang berada pelabuhan atau di perairan pedalamannya, seperti aturan tentang bea masuk, keimigrasian.

Namun demikian, negara pantai wajib tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum misalnya tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Negara pantai juga mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan polusi terhadap lingkungan laut di perairan pedalaman, untuk itu negara pantai berhak melakukan tindakan hukum berdasarkan Pasal 218, Pasal 220 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan Pasal 218 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang pemaksaan penaatan oleh Negara pelabuhan. Ayat 1 Pasal 218 menyatakan bahwa: apabila sebuah kendaraan air, dengan sukarela berada dalam pelabuhan atau pada suatu terminal lepas pantai suatu Negara, Negara tersebut dapat mengadakan pemeriksaan dan di mana terdapat bukti-bukti yang cukup kuat, mengadakan penuntutan berkenaan dengan setiap pelepasan dari kendaraan air tersebut di luar perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari negara itu yang melanggar ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku dan ditentukan melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konferensi diplomatik yang umum.

Ketentuan hukum dalam Pasal 220 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur mengenai pemaksaan penaatan oleh negara pantai. Pasal 220 juga memberi kewenangan kepada negara pantai untuk melakukan tuntutan atas setiap pelanggaran peraturan yang ditetapkan dan standar-standar internasional yang berlaku untuk pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kendaraan air apabila pelanggaran itu terjadi di dalam laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif negara pantai, yang dilakukan oleh kendaraan air yang berada di pelabuhan atau terminal lepas pantai negara pantai.

Terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas kapal asing yang berada di pelabuhannya, seperti bila terjadi pembunuhan di atas kapal asing tersebut, negara pantai tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa perairan pedalaman adalah wilayah-wilayah perairan yang ada di bagian dalam garis pangkal, seperti muara sungai, teluk-teluk dan pelabuhan. Untuk menetapkan batas perairan pedalaman yang berupa muara sungai, maka jika sungai mengalir langsung ke laut, menurut ketentuan hukum Pasal 9 Konvensi Hukum Laut 1982 garis pangkalnya ditetapkan berdasarkan garis lurus yang memotong mulut muara sungai antara titik-titik garis air surut dari muaranya.

Sedangkan pengaturan tentang teluk (bay), yang penting diperhatikan adalah jarak antara daratan yang membentuk mulut teluk. Untuk itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal 10 Ayat (4) bahwa jika jarak antara garis air surut pada mulut teluk tidak melebihi 24 mil dari daratan di dalam teluk, maka garis pangkal akan menutup teluk tersebut dan perairan di dalam teluk itu akan dianggap sebagai perairan pedalaman. Mengenai pelabuhan-pelabuhan (ports) sebagai wilayah perairan pedalaman, maka harus diperhatikan ketentuan dalam Pasal 11 Konvensi bahwa untuk menetapkan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian daripada pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan permanen. Yang dimaksud dengan instalasi lepas pantai dan pulau buatan, adalah instalasi penambangan minyak di lepas pantai (rig).

Definisi mengenai Kepulauan (Archipelago); Negara Kepulauan (Archipelagic State) dalam Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat pengertian tentang Kepulauan (Archipelago) sebagai berikut:

“Suatu gugusan pulau-putau, termasuk bagian dari pulau-pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan wujud-wujud alamiah tainnya yang satu sama tain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah tainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dipandang sebagai demikian.”.

Dengan demikian kaitan tentang Perairan Pedalaman ini semakin erat konsep nya bila dikaitkan dengan Kepulauan (Archipelago) sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Uniclos 1982. Dengan demikian Perairan Pedalaman atau Internal Water adalah bagian dari perairan nasional yang terletak di sebelah dalam (pada sisi darat) dari garis pangkal laut teritorial dan meliputi laut pedalaman (inland sea) dan perairan darat (inland waters). Status hukum perairan pedalaman suatu engara pantai adalah di bawah keaulatan penuh negara pantai. Konvensi menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu negara kepulauan perairan kepulauannya dikenal sebagai konsep negara kepulauan atau archipelagic state dan negara kepulauan mempunyai kedaulatan atas laut kepulauannya ini, sehingga kebiasaan sebelumnya yang merujuk pada lebar laut teritorial menurut Territoriale Zee en Marieteme Kringen Ordonnanti 1939 Stb. 1939 Nomor 442 (TZMKO) selebar 3 mil yang ditarik berdasarkan sistem penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia menjadi tidak lagi digunakan pasca UNICLOS 1982 dan terjadi pelebaran laut teritorial serta dengan adanya penggantian sistem penarikan garis pangkal, maka laut teritorial Indonesia tidak lagi hanya sebatas mengelilingi setiap pulau, tetapi mengelilingi seluruh kepulauan Indonesia dengan sistem penarikan garis pangkal lurus ini maka bagian perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal lurus oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai perairan pedalaman dan diakui dalam UNICLOS 1982 sebagai internal waters.

Landas Kontinen, Laut Teritorial, Laut Tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif, dan pengelolaan berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Negara Kepulauan

Dalam membahas wilayah perairan (laut) suatu negara, maka pada bagian awal harus disebutkan bahwa ada negara yang memiliki laut (coastal state atau fittoral state) dan ada negara yang tidak memiliki laut (landlocked countries). Mengutip pendapat Sri Setianingsih dalam bukunya Hukum Internasional disebutkan Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan beberapa zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda. Hukum Internasional Konvensi PBB mengenai Hukum Laut yang dikenal di dunia Internasional dengan nama United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982, mengatur apa yang disebut dengan Landas Kontinen, Laut Teritorial, Laut Tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif termasuk di dalamnya adalah hak dan kewajiban bagi negara pantai (coastal state) yang akan dibahas sebagai berikut :

Landas Kontinen

UNICLOS 1982 Pasal 76 berbunyi sebagai berikut :

Article 76

Definition of the continental shelf

  1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.
  2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits provided for in paragraphs 4 to 6.
  3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.
  4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by either:

(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to the foot of the continental slope; or

(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental slope.

(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient at its base.

  1. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
  2. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.
  3. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of latitude and longitude.
  4. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical representation. The Commission shall make recommendations to coastal States on matters related to the establishment of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these recommendations shall be final and binding.
  5. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall give due publicity thereto.
  6. The provisions of this article are without prejudice to the question of delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts.

Berdasarkan Pasal 76 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah :

 

UNICLOS 1982 Pasal 77 berbunyi sebagai berikut :

Article 77 Rights of the coastal State over the continental shelf

  1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources.
  2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities without the express consent of the coastal State.
  3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation.
  4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil.

Berdasarkan Pasal 77 UNICLOS 1982, maka hak dari Negara Pantai adalah :

UNICLOS 1982 Pasal 77 berbunyi sebagai berikut :

Article 78

Legal status of the superjacent waters and air space and the rights and freedoms of other States

  1. The rights of the coastal State over the continental shelf do not affect the legal status of the superjacent waters or of the air space above those waters.
  2. The exercise of the rights of the coastal State over the continental shelf must not infringe or result in any unjustifiable interference with navigation and other rights and freedoms of other States as provided for in this Convention.

Berdasarkan Pasal 78 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah :

UNICLOS 1982 Pasal 79 berbunyi sebagai berikut :

Article 79 Submarine cables and pipelines on the continental shelf

  1. All States are entitled to lay submarine cables and pipelines on the continental shelf, in accordance with the provisions of this article.
  2. Subject to its right to take reasonable measures for the exploration of the continental shelf, the exploitation of its natural resources and the prevention, reduction and control of pollution from pipelines, the coastal State may not impede the laying or maintenance of such cables or pipelines.
  3. The delineation of the course for the laying of such pipelines on the continental shelf is subject to the consent of the coastal State.
  4. Nothing in this Part affects the right of the coastal State to establish conditions for cables or pipelines entering its territory or territorial sea, or its jurisdiction over cables and pipelines constructed or used in connection with the exploration of its continental shelf or exploitation of its resources or the operations of artificial islands, installations and structures under its jurisdiction.
  5. When laying submarine cables or pipelines, States shall have due regard to cables or pipelines already in position. In particular, possibilities of repairing existing cables or pipelines shall not be prejudiced.

Berdasarkan pasal 79 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

 

UNICLOS 1982 Pasal 80 berbunyi sebagai berikut :

Article 80

Artificial islands, installations and structures on the continental shelf Article 60 applies mutatis mutandis to artificial islands, installations and structures on the continental shelf.

Berdasarkan pasal 80 UNICLOS 1982, maka hak dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

Berdasarkan pasal 80 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

 

UNICLOS 1982 Pasal 81 berbunyi sebagai berikut :

Article 81

Drilling on the continental shelf The coastal State shall have the exclusive right to authorize and regulate drilling on the continental shelf for all purposes.

Berdasarkan pasal 81 UNICLOS 1982, maka hak dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

UNICLOS 1982 Pasal 82 berbunyi sebagai berikut :

Article 82

Payments and contributions with respect to the exploitation of the continental shelf beyond 200 nautical miles

  1. The coastal State shall make payments or contributions in kind in respect of the exploitation of the non-living resources of the continental shelf beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.
  2. The payments and contributions shall be made annually with respect to all production at a site after the first five years of production at that site. For the sixth year, the rate of payment or contribution shall be 1 per cent of the value or volume of production at the site. The rate shall increase by 1 per cent for each subsequent year until the twelfth year and shall remain at 7 per cent thereafter. Production does not include resources used in connection with exploitation.
  3. A developing State which is a net importer of a mineral resource produced from its continental shelf is exempt from making such payments or contributions in respect of that mineral resource.
  4. The payments or contributions shall be made through the Authority, which shall distribute them to States Parties to this Convention, on the basis of equitable sharing criteria, taking into account the interests and needs of developing States, particularly the least developed and the land-locked among them.

 

Berdasarkan pasal 82 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

 

UNICLOS 1982 Pasal 83 berbunyi sebagai berikut :

Article 83

Delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts

  1. The delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.
  2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
  3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.
  4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions relating to the delimitation of the continental shelf shall be determined in accordance with the provisions of that agreement.

Berdasarkan pasal 83 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

UNICLOS 1982 Pasal 84 berbunyi sebagai berikut :

Article 84 Charts and lists of geographical coordinates

  1. Subject to this Part, the outer limit lines of the continental shelf and the lines of delimitation drawn in accordance with article 83 shall be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of delimitation.
  2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with the Secretary-General of the United Nations and, in the case of those showing the outer limit lines of the continental shelf, with the Secretary-General of the Authority.

Berdasarkan pasal 84 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

 

UNICLOS 1982 Pasal 85 berbunyi sebagai berikut :

Article 85

Tunnelling

This Part does not prejudice the right of the coastal State to exploit the subsoil by means of tunnelling, irrespective of the depth of water above the subsoil

Berdasarkan pasal 85 UNICLOS 1982, maka hak dari Negara Pantai adalah sebagai berikut :

Hak melakukan pengejaran berdasarkan Pasal 11 Unicos 1982 :

Dengan demikian berdasarkan apa yang telah di kumpulkan berkaitan dengan hak dan kewajiban terhadap Landas Kontinen Berdasarkan Uniclos 1982 adalah sebagai berikut :

Hak Negara Pantai terkait Landas Kontinen :

Kewajiban Negara Pantai terkait Landas Kontinen :

Laut Teritorial

Berdasarkan Bagian 2  UNICLOS 1982, maka hak dari Negara Pantai adalah :

Hak melakukan pengejaran berdasarkan Pasal 11 Unicos 1982 :

 

Berdasarkan Bagian 2 UNICLOS 1982, maka kewajiban dari Negara Pantai adalah :

(a) rekomendasi dari organisasi internasional yang kompeten;

(b) setiap saluran yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional;

(c) karakteristik khusus kapal dan saluran tertentu; dan

(d) kepadatan lalu lintas.

Laut Tambahan

Berdasarkan Bagian 3 dari UNICLOS 1982 maka Hak dari Negara Pantai adalah

 

Hak melakukan pengejaran berdasarkan Pasal 11 Unicos 1982 :

Zona Ekonomi Eksklusif

Berdasarkan Bagian V Uniclos 1982, maka Hak Negara Pantai adalah :

 

Hak melakukan pengejaran berdasarkan Pasal 11 Unicos 1982 :

Berdasarkan Bagian V Uniclos 1982, maka Kewajiban Negara Pantai adalah :

Artikel lainnya yang berkaitan dengan artikel ini :

Kepentingan Republik Indonesia dalam Sengketa Laut Cina Selatan

Referensi  :

Pusat Data dan Analisa Tempo. “Sejarah Zona Ekonomi Eksklusif Seri III”. Tempo Media Group.  2019.

  1. FX . Adji Samekto, Negara dalam dimensi Hukum Internasional, Bandung, 2009.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNICLOS 1982)

Karsidi, Asep., Sutisna, Sobar., dan Poniman, Aris. “NKRI Dari Masa ke Masa”. Sains Press, 2013.

Sri Setianingsih, Wahyuningsih. 2014. Hukum Internasional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Exit mobile version