Merdeka!!!! dan berhenti “Playing Victim”

Playing Victim

adalah strategi yang umum digunakan di sosial media atau dunia internet untuk menunjukkan bahwa saya ini benar secara mayoritas warga internet (netizen) yang umum terjadi, sehingga hampir semua dari kita pernah mendengar ungkapan “netizen maha benar”, padahal kebenaran ini subyektif dan diraungkan dengan kebenaran yang sifatnya keroyokan, suka tidak suka, pola ini lumrah terjadi di era post-truth atau pasca kebenaran.

Post Truth

Era Pasca Kebenaran secara ringkas memanfaatkan internet dengan cara yang salah untuk membuat kebenaran baru terlepas dari fakta yang sebenarnya terjadi, contoh paling pas adalah hubungan mahasiswa tahap akhir, bila di era sebelumnya peredaran informasi untuk Mahasiswa yang tidak bertanggung-jawab untuk menyalahkan dosen nya dengan segudang alasan, pada era sebelumnya informasi keliru dengan segudang alasan itu bersirkulasi di orang tua dan kerabat orang tua mahasiswa yang gak bertanggungjawab tersebut secara lisan diantara orang yang dikenalnya, tentu saja informasi yang tidak akurat tersebut akhirnya dengan mudah disaring, misalkan Arif mengumbar bahwa dosen pembimbingnya sukar ditemui karena gak pernah ada di tempat sebagai alasannya pada orang tua, ketika sang orang tua pergi ke arisan dan teman orang tua arif bertanya gimana kabar Arif? orang tua nya menceritakan hal tersebut maka yang tahu hanya sekedar para orang tua peserta arisan, informasi itu juga bisa di filter lagi dengan lingkungan orang tua tersebut, terlebih lagi bila lingkungan nya kecil, kalau ternyata dalam lingkungan tersebut ada teman orang tua Arif yang sering melihat kalau Arif lebih banyak nongkrong di Warung Kopi setiap harinya, maka informasi tersebut terbantahkan dengan sendirinya.

Berbeda dengan zaman sekarang, setiap orang dengan sosial media nya mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, dan kanal media online lainnya bisa mengumbar informasi pada orang yang gak dikenal, orang yang gak dikenal yang gak tahu kekonyolan dari si pembuat topik di awal ini mengiyakan dan membagikan tanpa pikir panjang, dan bersimpati dengan Arif yang tengah bermain peran sebagai korban alias playing victim menjadikan Arif sang mahasiswa ini sebagai penerima simpati terbanyak, terlepas dari fakta bahwa dia tidak sedang mengerjakan Skripsi nya dan lebih banyak sibuk nongkrong di Starbucks dengan sosial media nya alih-alih mengerjakan Skripsinya, kebenaran ini tidak terkuak dan yang disoroti adalah perilaku Playing Victim sebagai kebenaran yang diyakini, ilustrasi ini menggambarkan kita bagaimana persepsi dibentuk pada era Pasca Kebenaran alias Post Truth, bahwa yang terjadi sebenarnya tidak penting, tapi yang penting adalah pendapat mana yang dominan dan menjadi meme.

Meme

Definisi Meme adalah elemen dari kebudayaan atau sistem perilaku yang dibagikan dan dianggap kebenaran dari satu orang ke orang lain tanpa ada hubungan genetika, biasanya bersifat tidak mencerminkan yang sebenarnya dan penuh kekosongan, definisi tersebut tentunya singkat sekali karena merupakan bahasa pribadi saya, namun pendapat pakar yang menjelaskan meme dengan baik adalah berikut ini :

Meme (baca: mémé) adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya. Meme merupakan neologisme yang diciptakan oleh Richard Dawkins. Berikut merupakan contoh meme: gagasan, ide, teori, penerapan, kebiasaan, lagu, tarian dan suasana hati.

Richard Dawkins menuliskan hal ini dalam bukunya “The Selfish Gene” dan konsep meme ini dicetuskan dalam Game Hideo Kojima yang berjudul Metal Gear Solid 2 : Sons of Liberty pada tahun 2000an, untuk membedakan Meme dengan Genetika, maka terdapat Game Metal Gear Solid yang rilis pada tahun 1990an, dan menyempurnakan hubungan keduanya (antara Meme dan Gene) lahirlah game Metal Gear Solid 3 : Snake Eater yang menjelaskan tentang Scene, dengan memainkan secara mendalam dan membaca semua percakapan bila anda mainkan ketiganya, maka anda bisa membedakan antara Meme dan Gene dalam satu kesatun Scene dimana Kebenaran tidak lagi dibentuk berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi, melainkan mainpulasi yang kita kenal saat ini sebagai Social Engineering.

Trilogi Game yang sudah diadaptasi menjadi berbagai media, tidak hanya dalam Game saja, melainkan Novel, audiobook, dan Graphic Novel ini memiliki filosofis mendalam yang bila dikonsumsi oleh “bocah” tentu tidak dapat dipahami filosofisnya, akhirnya game ini tidak terlalu mainstream dibandingkan game lainnya, apalagi game mobile yang sederhana untuk mengisi waktu tunggu di antrian, saya pribadi merasa bersyukur dari dulu hobi membaca teks berat sehingga di era sebelum tahun 2005an saya sudah mulai memahami keberadaan konsep era post-truth sebelum benar-benar terjadi.

Post Truth dan playing victim Mahasiswa Zaman Now

Saya termasuk orang yang berpendapat, tidak semua orang yang terlahir di dunia ini harus menjadi ahli dan menempuh pendidikan tinggi non-vokasional, menurut saya pendidikan tinggi rumpun keahlian saat ini telah dijadikan ajang komoditas untuk gengsi dan mengabaikan bahwa “keahlian” merupakan penguasaan terhadap keilmuan yang tidak bisa dikuasai semua orang yang memang sudah gifted sejak awal, pola pendidikan saat ini khususnya di perguruan tinggi sudah menjadi proses pembuatan keilmuan dengan cara duplikasi semu.

Duplikasi semu ini bila di Metal Gear Solid 2 disebut program S3 atau akronim dari Solid Snake Simulation yaitu sebuah simulasi untuk membuat prajurit one man army legenda Solid Snake dimana program simulasi ini belakangan terkuak menjadi Selection for Societal Sanity atau dengan kata lain Seleksi untuk kewarasan sosial.

Di Youtube sebenarnya sudah ada banyak video playthrough untuk trilogi Metal Gear Solid, jadi saya tidak akan menjelaskan secara rinci, namun pada dasarnya apa yang dianggap “waras” dalam kehidupan sosial atau normal di masyarakat hari ini merupakan sesuatu yang semu.

Peran Sarjana atau Scholar di masa lalu tidak banyak dan merupakan orang pilihan, memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa, dan dengan kemampuan tersebut dapat menghasilkan manfaat di masyarakat luas, kepemilikan gelar Sarjana di masa lalu dilalui dengan adanya penelitian yang diuji dalam forum panel yang tinggi dan bermartabat dan menempuh waktu yang panjang.

Berbeda dengan era saat ini, komersialisasi Sarjana membuat proses perolehan gelar menjadi sederhana, Sarjana merupakan orang-orang yang telah memenuhi indikator berupa mata kuliah yang sudah dibobot dalam bentuk SKS, kemudian membuat sebuah penelitian yang selanjutnya diuji dalam forum panel “tiruan” dari para penguji yang menduplikasi proses yang dulu dilakukan dalam waktu tertentu saja namun kini diduplikasi menjadi banyak sekali dan tiap Perguruan Tinggi bisa melakukannya.

Pada prinsipnya para Sarjana “sejati” di masa lalu seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Sukarti, Fakih Usman, Hamka, Ilyas Ruhiat, Maria Ulfah, Mas Mansoer, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Quraish Shihab, Siti Noordjannah Djohantini, Mr.N.H Tirtaamidjaya, dll bisa disetarakan dengan tokoh Solid Snake dari Metal Gear Solid, mereka adalah Sarjana sejati yang memang menempuh proses panjang di era Pendidikan Tinggi belum di jadikan sebuah Industri.

Kemudian sarjana masa kini, seperti saya, ya merupakan bentuk imitasi dari proses “Industri” pendidikan tinggi, saya menempuh sekian ratus Sistem Kredit Semester yang ditebus dalam mata kuliah dengan bobot SKS tertentu hingga terakumulasi dan menjadi Sarjana hingga Magister, proses perkuliahan yang merupakan simulasi dari proses pembelajaran sarjana masa lalu ini boleh disebut sebagai Solid Snake Simulation sehingga dalam gelar akademik, saya bisa disetarakan dengan tokoh Raiden dari Metal Gear Solid 2, imitasi hasil simulasi yang fungsinya belum tentu sebaik aslinya dan masih memerlukan pengalaman lapangan lebih banyak.

Mengapa Solid Snake Simulation di bidang Pendidikan Tinggi alias Universitas menjadi hal yang lumrah di zaman now? selain karena adanya kebutuhan SDM Tangguh (kalau dalam Seri Game MGS adanya kebutuhan Prajurit tangguh secara efektif dari sisi waktu dan biaya) hal ini juga terjadi karena Selection for Societal Sanity atau dengan kata lain Seleksi untuk kewarasan sosial, dimana saat ini yang lumrah dan waras untuk dilakukan di zaman sekarang adalah setelah melalui pendidikan dasar kita perlu lanjut Pendidikan Menengah, setelah itu lanjut Pendidikan Tinggi, kalau tidak melakukan itu maka anda akan dipandang aneh dan keliru.

Diawal tulisan ini saya sempat menyebutkan bahwa :

tidak semua orang yang terlahir di dunia ini harus menjadi ahli dan menempuh pendidikan tinggi non-vokasional

karena tidak semua orang terlahir ahli, maka untuk menempuh “simulasi” menjadi ahli di Perguruan Tinggi ini terkadang tidak mudah dilalui oleh orang yang memang tidak berbakat disitu. Biasanya unit-unit kompetensi dalam bentuk mata kuliah yang ditebus dengan SKS bisa dilalui, namun pada proses akhir untuk membuat sebuah Skripsi/Tugas Akhir menjadi kendala.

Setiap Sarjana besar di masa lalu untuk dapat diakui penelitiannya memerlukan bimbingan guru dan diuji panelis, prosedur ini dulu dilakukan secara tidak terstandar dan mengandalkan kebesaran nama status sosial dari sarjana sejati, jadi Scholar besar di masa lalu seperti Plato merupakan murid dari Socrates, para aristokrat ini dulu dengan “eksklusif” menemukan sesuatu yang menjadi karya besar, hal ini ditiru sebagai “miniatur” di era komersialisasi Sarjana, proses nya ditiru dan menjadi “simulasi” di masa kini, dan walaupun sifatnya simulasi, namun untuk melakukan hal ini tetap perlu komitmen dan dedikasi yang kuat.

Tanpa bermaksud menunjukkan saya benar, namun lebih kepada contoh, filosofis menulis Tugas Akhir/Skripsi/Tesis yang pernah saya lakukan sebenarnya masih jauh bila saya membayangkan bagaimana para Sarjana di masa lalu membuat sebuah penelitian, pengalaman yang saya tuliskan untuk memberikan gambaran bagaimana seharusnya proses yang saya lalui dan tidak seberapa dan saya sadari tidak sebanding dengan Sarjana di masa lalu untuk menyadarkan pada generasi baru bahwa “yang anda lakukan itu tidak seberapa, dan mohon jangan selalu playing victim

pengalaman saya dulu waktu jadi mahasiswa satu dekade lalu, mau konsultasi harus isi buku daftar tunggu, itupun seminggu kemudian karena ada mahasiswa lain, dan tingkatan nya biasanya diprioritaskan oleh dosen berdasarkan senioritas, artinya saya yang angkatan 2003 terkadang harus “nrimo” kalau saya ditempatkan diurutan keempat walau mendaftar pertama ketika ada angkatan tahun 1995 yang walaupun mendaftar belakangan.

Biasanya dalam satu minggu ada 2 hari misal selasa dan kamis untuk bimbingan, daftar/list bimbingan ini karena berbagai hal itu baru bisa dibaca 1 hari sebelumnya dan bisa berubah, termasuk pada hari H.

Dulu, mahasiswa itu sangat wajib memaklumi karena dosen itu sibuk, di kampus saya, dosen punya tugas lain misal ngajar di Univ lain, atau di hari bimbingan ada kegiatan di jurusan, jadi yang urutan 1 hari selasa harusnya mulai jam 10 pagi, mundur jadi jam 14 siang, dan dulu hal ini biasa saja, berbeda dengan jaman sekarang, di era pasca kebenaran hal ini kalau dilakukan dan viral bisa jadi posisi Dosen yang terbalik dan di cap tidak profesional, hanya karena persepsi publik dari meme yang tersebar di internet.

Padahal dahulu kala ketika Sarjana masih berharga, ketika proses menjadi sarjana melalui mentoring para dosen, dalam bimbingan urutan berubah dan hal itu biasa, zaman itu belum umum perangkat mobile dan bergerak, sehingga ada ruang tunggu untuk standby bagi mahasiswa/i untuk kerja dengan PC tersedia yang perlu antri, dan kami para Calon Sarjana cukup tahu diri untuk bersabar terlepas di rumah, ada desakan orang tua yang bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa kok tidak kunjung lulus?

Zaman sekarang, tinggal sok main perasaan, posting chat di sosial media, dan anda mendapat dukungan bahwa anda di dzolimi dosen, dosen yang salah, dan hal ini benar karena sekarang ini yang seperti ini yang “waras” era komersialisasi Pendidikan Tinggi, produksi lebih perlu digenjot untuk menghasilkan “Gelar Sarjana” alih-alih manusia yang benar-benar ahli dan layak disebut “Sarjana”, dengan kata lain kebenaran dalam proses menjadi tidak signifikan yang penting gelarnya dapat dan selesai prosesnya sesuai proses bisnis Perguruan Tinggi, dengan demikian maka Pendidikan Tinggi kita sudah masuk dalam komersialisasi dan menyatu dengan Era Pasca Kebenaran.

Proses Menjadi Sarjana

Dahulu untuk proses kerja baik tugas akhir maupun tesis, saya banyak melakukan di ruang tunggu yang disediakan tersebut, kadang karena yang urutan 1 gak hadir, saya bisa “nikung” jadwal, tidak ada ceritanya dosen yang nyari-nyari saya untuk bimbingan Tugas Akhir. dalam 1 minggu saya biasanya bimbingan itu 4 kali, logika saya masih ada di masa lalu dalam hal berkaitan dengan menempuh penyelesaian pendidikan tinggi, untuk sebuah laporan yang membuktikan kemampuan dan kelayakan saya sebagai Sarjana/Magister  kalau ada waktu 4 bulan artinya saya 16 kali bimbingan, jadi di masa saya itu kartu bimbingan saya perlu ditambah hingga 3 lembar, ada banyak proses disitu, menelaah bahan penelitian sebagai landasan teori itu dari paper jurnal penelitian yang relevan, bukan sekedar Copy paste dan secara harafiah saya harus dapat menghubungkan antara teori yang relevan dengan apa yang saya ingin buat untuk dimanifestasikan secara relevan dalam model rencana penelitian, dan untuk hal ini proses nya panjang! perlu strategi pengelolaan waktu dan sumber daya, tidak mudah! dan perlu menjaga hubungan baik dengan pembimbing.

Dalam menjaga hubungan baik dengan pembimbing, saya sama sekali saya tidak pernah mendesak dosen saya di dua kali proses kuliah, Dale Carnegie pernah menyebutkan kira-kira yang saya ingat “bila ingin mendapatkan madunya, jangan tendang sarang lebahnya agar anda tidak disengat”, maka menjaga komunikasi yang baik dilakukan secara tatap muka, walaupun telepon seluler sudah ada tahun 2000an, sangat haram bagi saya untuk berkomunikasi tanpa tatap muka, dengan tatap muka saja bisa terjadi salah paham dan ucapan, maka sebagai pihak yang memerlukan dosen pembimbing, saya sebagai mahasiswa tahap akhir lebih banyak mengalokasikan waktu untuk berada di Kampus, dan dulu sepertinya semua memaklumi hal tersebut, namun di era sosial media yang serba bising dan suara yang kuantitasnya lebih banyak walaupun suaranya itu sumbang alias gak berkualitas, bila hal ini dilakukan seolah dosen itu dianggap tidak manusiawi.

padahal di balik itu ada perilaku yang tidak tepat dan terjadi, diantaranya :

  1. diberikan rentang waktu yang cukup sekitar 5 bulan untuk bimbingan, tapi dalam 1 bulan paling datang hanya 1 kali
  2. ketika waktu bimbingan sudah dekat, baru pada panik dan pekerjaan itu bertumpuk di bulan yang padat
  3. ketika tidak dapat terlayani dengan baik karena antriannya padat, langsung playing victim, dosen dianggap berperilaku tidak adil dan diumbar di sosmed, dosen “difitnah” mempersulit
  4. Mahasiswa bisa mendesak dosen, termasuk lewat Kampus, dalam hal yang dikejar adalah kuantitas dan bukan lagi kualitas, hal ini saya kritisi sebagai efek samping komersialisasi Perguruan Tinggi yang merupakan efek samping lagi dari Pendidikan Tinggi saat ini “hanyalah” proses “Simulasi menjadi Scholar

Perilaku kurang tepat dari filosofis Pendidikan Tinggi Keahlian yang memang “ampas” ini dibawa ke dunia kerja, ketika dia bekerja di Pemerintah, misal sebagai PPK, sudah tahu waktu pekerjaan paket Pengadaannya misal 4 bulan, proses tender perlu waktu 1 bulan, nah datang nya di bulan 5 ke UKPBJ, tanpa memikirkan kemampuan UKPBJ, terus karena kualitas persiapan pemilihannya buru-buru, tidak mau di revisi, tender berpotensi gagal, diulang lagi karena gak dapat penyedia, tapi laporan kepada PA/KPA UKPBJ nya yang “difitnah” mempersulit.

Playing Victim di Dunia Kerja

Jreng…. Ketika saya sudah lulus S1 saya sudah bergelar “Sarjana” horeee bagi saya….. kebanggan bagi orang tua, hal ini tidak salah, di dunia yang seperti ini hal ini yang menjadi wajar, dalam hal ini, yang seperti ini adalah hal yang waras terjadi di dunia kita, saya telah melalui pola Selection for Social Sanity, namun disisi lain saya merasa ada “kekosongan” dimana proses saya ada yang masih kurang.

Proses yang masih kurang ini saya jadikan usulan untuk mengambil pendidikan lebih tinggi lagi, saya termasuk orang yang “beruntung” dan diberikan kesempatan, di kesempatan kedua saat mengambil Magister Manajemen, saya melakukan effort 4 kali lipat, bila biasanya saya berada di Perpustakaan hingga pukul 16:00-18:00 pada masa S1, saat S2 saya berada di Ruang Baca 24 Jam hingga dini hari bahkan subuh, memanfaatkan akses internet dan langganan jurnal Internasional di kampus, pola yang sama juga saya lakukan di 2 tahun belakangan ini ketika kembali “turun” ke Pendidikan Sarjana Ilmu Hukum, dengan proses yang ada setelah total 17 tahun berkutat di Pendidikan Tinggi, untuk menjawab 1 pertanyaan, saya terbiasa memerlukan analisa/telaah literasi terhadap minimal 3 sumber, dan perlu dilakukan dengan membaca cepat, membaca cepat ini juga merupakan sebuah skill yang saya mulailatih sejak 2007 dimana dalam 1 tahun saya wajib sudah membaca minimal 20 literatur, jumlah ini sebenarnya tidak seberapa, karena ada Sarjana sejati lainnya yang melakukan itu hanya dalam hitungan minggu.

Proses ini perlu dibawa ke dunia kerja, tidak sekedar anda lolos “simulasi” alias lulus Pendidikan Tinggi anda menjadi manusia tanpa arah dengan gelar Sarjana tanpa perilaku yang mencerminkan keahlian, permasalahannya adalah komersialisasi Pendidikan Tinggi yang didukung dengan perilaku Playing Victim ini dibawa juga ke dunia kerja, wajar….. proses input/masukannya sebelumnya adalah “ampas” alias sampah, maka outputnya mohon maaf juga sampah, atau terkenal dengan Garbage in Garbage Out. Maka perilaku ini dibawa ke dunia kerja, anda tidak mampu kerja sesuai keahlian yang diharapkan di dunia kerja berdasarkan latar belakang keilmuan yang menyatakan anda ahli, tidak dapat mengimbangi ritme kerja, tapi karena terbiasa playing victim maka orang lain yang anda salahkan, entah rekan kerja, entah atasan anda, perilaku anda dulu menyalahkan dosen pembimbing anda, anda ulangi lagi dengan rekan dan atasan anda di lingkungan kerja.

Kesimpulan

The Selfish Gene yang diterjemahkan dalam Trilogi Metal Gear Solid, sebuah Game yang memiliki tema filosofis yang mendalam ternyata relevan di tahun 2020 ini, siapa sangka Game yang serinya pertama kali rilis sebagai sebuah waralaba dengan pembuka pada tahun 1987 (Metal Gear) di MSX ini menyajikan pembelajaran filosofis yang mendalam sebagai salah satu Pop Culture yang memudahkan saya memandang dunia dengan perspektif berbeda.

Meme, Gene, dan Scene merupakan tema yang dibawa pada era 1997-2006 dalam seri Metal Gear Solid yang berakar dengan Meme Gene dan Scene/Society yang bila ketiga tema filosofis tersebut disingkat juga sama sama MGS, disini saya belajar bahwa ketiganya membentuk sebuah simulasi yang relevan dengan komersialisasi pendidikan tinggi dan bagaimana seleksi untuk tampak waras secara sosial ternyata dapat dirancang hingga saat ini kita mengenal Social Engineering untuk memilah mana benar dan mana salah dan membawa kita hingga berada pada Era Post-Truth.

Walk the Talk alias melakukan apa yang kita ucapkan itu memang tidak mudah, saya menuliskan hal ini bukan berarti saya tidak punya kelakuan buruk tanpa cela, bila dicari ya akan ada aja blunder dan cela yang saya lakukan, namun tulisan ini saya buat untuk ditujukan kepada para Calon Ahli yang tengah menjadi atau berusaha lulus menjadi Sarjana untuk mulai berperilaku sebagai seorang “Ahli” sejati alih-alih playing victim dan mencari kesalahan eksternal.

Bisa jadi sumber masalah nya bukan di orang lain, bisa jadi kita sendiri yang salah sudah memasukkan diri ke bidang yang memang tidak tepat, bisa jadi juga karena berusaha mendapatkan pengakuan sosial sebagai orang yang wajar maka kita masuk dalam sesuatu yang tidak menjadi bakat kita, karena dipaksakan dan lebih mudah untuk Playing Victim maka jadilah kita produk “imitasi” hasil simulasi yang ternyata tidak sebaik aslinya, dan sebagai produk imitasi untuk diuji secara waktu oleh dunia nyata bila kita tidak kapabel maka menjadi waste bagi organisasi dan bangsa secara keseluruhan.

Jadi….. perilaku mengapa negara kita ini tidak bisa cepat maju, sebenarnya sudah ada sejak kebiasaan buruk perilaku kita di masa Pendidikan….. selalu dikumandangkan lagu “Belanda masih jauh” dan kita terbiasa sibuk buru-buru saat “Belanda sudah dekat”

Era Post-Truth memungkinkan bahwa apa yang benar belum tentu menjadi benar, dalam hal keterlambatan, asal bunyi, dan perilaku tidak bertanggung-jawab bisa dipersepsikan sebagai hal yang benar, maka tugas kita para Sarjana untuk menjadi Ahli yang benar-benar “Ahli” dalam mengisi kemerdekaan dan memberikan manfaat bagi Negara.

Semoga dengan perayaan hari Kemerdekaan kita, menjadi momen reflektif bahwa sudah waktunya kita dewasa dan tidak seperti bocah yang terbiasa playing victim dan menyalahkan orang lain melulu….. Merdeka!

 

 

 

Sebelumnya Karakteristik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Selanjutnya Beda Keadaan Kahar dan Keadaan Darurat

Cek Juga

Perubahan UU Rantaskor pada UU KUHP (UU 1/2023)

Pada ayat (4) Pasal 622 dari UU KUHP / UU 1/2023 adalah : (4) Dalam ...

Punya pendapat terkait artikel ini? mohon berkenan berdiskusi, terima kasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Open chat
1
Hubungi saya
Halo, apa yang bisa saya bantu?
%d blogger menyukai ini: