Kerusakan Lingkungan, dan penyatuan persepsi atas dikotomi Peran Pemerintah Pusat atau Peran Pemerintah Daerah dalam Pembangunan berkelanjutan demi Keberlangsungan Lingkungan

Keberlangsungan lingkungan hidup pada negara Republik Indonesia tidak hanya menjadi perhatian dari Era Otonomi Daerah, dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah memiliki pengaturan perlindungan atas pengelolaan lingkungan hidup yang mana pada Pasal 28(H) disebutkan”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
,
Upaya pengelolaan lingkungan hidup inpiun memiliki peraturan lex specialis yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memperbaharui dengan menggantikan Undang-Undang nomor 23 tahun 1997, dengan demikian sebelum adanya era otonomi daerah keberlangsungan lingkungan hidup telah menjadi perhatian sejak awal.
,
Era otonomi daerah pasca orde baru memberikan pelimpahan kewenangan, khususnya terkait perizinan dan pemanfaatan sumber daya alam, namun drastisnya peningkatan penerbitan perizinan pemanfaatan lahan ini dipandang perlu ditekan laju nya sehingga diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dilakukan pembatasan pemberian kewenangan izin mengeluarkan pemanfaatan hutan pada hutan produksi dan hutang lindung yang karakternya tidak espoltatif dan ekstraktif, kemudian izin yang secara signifikan mempengaruhi tutupan hutan, kewenangan pengelolaan tahura diatur ulang dengan pembatasan-pembatasan, sehingga sebagian besar kewenangan pengelolaan hutan sebagai salah satu sumber daya alam dan aspek lingkungan hidup di negara Indonesia dikelola oleh Pemerintah Pusat.
,
Dengan berlakunya regulasi tersebut kewenangan yang diberikan terkait pengelolaan hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup pada Pemerintah Provinsi adalah kewenangan dalam pelaksanaan perencanaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta beberapa perizinan non-kayu, untuk Pemerintah Kab/Kota hanya diserahkan tugas perbantuan yang mengacu kepada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam mengelola implementasi Kesatuan pengelolaan hutan.
,
Hutan bukan satu-satunya aspek dalam lingkungan hidup, pola dan gaya hidup sederhana sebagaimana menghemat listrik, mengurangi penggunaan produk yang menghasilkan sampah, dan hal lain-lain juga digaungkan Pemerintah melalui Peraturan Pelaksanaan yang diterbitkan di lingkungannya masing-masing, sehingga kerusakan lingkungan dapat diminimalisir.
,
Dalam pembangunan berkelanjutan apakah kerusakan lingkungan menjadi tanggung-jawab Pemerintah Daerah semata? Jawabannya tentu tidak, Instansi Pemerintah Vertikal yang tidak terkait dengan Pemerintahan Daerah sekalipun ketika melakukan pembangunan sarana prasarana juga turut mempengaruhi kerusakan lingkungan, besar-kecilnya memang relatif oleh karena itu setiap Instansi manapun ingin membangun gedung maka wajib memenuhi persyaratan administrasi dengan melampirkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dimana pada prinsipnya akan ada dampak negatif dari pembangunan tersebut dengan kriteria-kriteria yang masih dapat diterima sehingga sebuah bangunan pun dapat diizinkan untuk dibangun, kriteria yang masih dapat diterima ini “menyiratkan” bahwa tidak ada satupun gedung dibangun di muka bumi ini yang tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
,
Oleh karena Pembangunan Berkelanjutan bukan hanya sekedar peran dari Pemerintah Daerah, dan hal ini seringkali terlupakan oleh Pemerintah yang bukan unsur Pemerintah Daerah (vertikal) maupun Pemerintah Daerah, maka dalam proses pengadaan barang/jasa oleh Pemerintah secara nasional Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah menambahkan kebijakan baru dalam beleid tersebut, bahwa proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa baik berupa kegiatan swakelola yang dilaksanakan sendiri, dilaksanakan bersama pemerintah lainnya, dilaksanakan bersama organisasi masyarakat, ataupun dilaksanakan bersama kelompok masyarakat, maupun kegiatan yang dilakukan bersama pelaku usaha, yang diatur dalam Peraturan Presiden Pengadaan Barang/Jasa ini, maka setiap pekerjaan pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi dan/atau jasa lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah baik melalui swakelola maupun pelaku usaha yang menjadi penyedia salah satu tujuannya adalah mendorong pengadaan berkelanjutan, dengan kebijakan melaksanakan pengadaan berkelanjutan.
,
Pengadaan berkelanjutan ini perlu didorong dan dilaksanakan sebagai amanat Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 yang telah diarahkan terlebih dahulu dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah baik dalam melakukan aktifitas dalam penggunaan barang paling sederhana sekalipun wajib mengedepankan aspek lingkungan secara berkelanjutan, sehingga bukan hanya mencari produk yang paling murah namun berdampak buruk bagi lingkungan.
,
Dengan demikian maka dasar hukum yang sudah jelas, bahwa seluruh unsur Pemerintah baik APBN maupun APBD wajib memikirkan perlindungan lingkungan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan yang di dalam pembangunan berkelanjutan tersebut terdapat pengadaan berkelanjutan.
,
Bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang memang diakibatkan sebagai sebuah proses bisnis / operasional yang harus dilakukan dan pelaksanaannya tersebut pencemar wajib membayar? Apakah ketentuan tersebut optimal?
,
Menurut saya ketentuan tersebut optimal pada taraf tertentu, sebagai contoh saya mengambil praktik nyata yang selalu ada diseluruh Indonesia, yaitu pengelolaan limbah rumah sakit/fasilitas kesehatan dan pemusnahan alat kesehatan yang telah digunakan, kita semua dapat membayangkan apabila penanganan pengelolaan limbah rumah sakit dan pemusnahan alat kesehatan memerlukan fasilitas tertentu dan fasilitas tersebut pengoperasiannya membebani pihak pemohon baik dari fasilitas kesehatan maupun rumah sakit, baik pemerintah ataupun swasta untuk mengeluarkan sejumlah biaya tertentu yang dikenal sebagai retribusi, bukan hanya sekedar biaya untuk memastikan peralatan pengolahan limbah/pemusnah tersebut berjalan dengan baik namun juga dampak yang diakibatkan sebagai akibat dari aktifitas tersebut yang memberikan pengaruh tidak baik bagi lingkungan.
,
Biaya retribusi tersebut biasanya telah ditetapkan dalam Peraturan di tingkat daerah dan pasca penetapannya diberlakukan dan dilaksanakan melalui skema pembayaran yang langsung masuk dalam kas daerah, peruntukan dari retribusi tersebut digunakan untuk biaya pemeliharaan maupun pembelian bahan habis pakai untuk fasilitas tersebut, dan sebagian lagi disisihkan (bergantung pada kebijakan daerah) untuk aktifitas lainnya yang memperhatikan keberlangsungan lingkungan.
,
Pada taraf pelaksanaan kerusakan atau pencemaran lingkungan seperti ini saya sepakat pihak yang terkait wajib membayar, walaupun dengan alasan limbah dan/atau alat kesehatan yang terpakai tersebut digunakan dan akhirnya perlu dimusnahkan untuk alasan kemanusiaan, namun pengelolaan pemusnahannya harus sesuai prosedur dan tetap memperhatikan aspek keberlangsungan lingkungan.
Namun pada kerusakan lingkungan yang disengaja dan benar-benar dilakukan hanya untuk segelintir kepentingan tertentu, maka membayar akibat kerusakan sebagai denda menjadi tidak layak untuk diberlakukan, kebakaran hutan pada lokasi dengan izin bisnis agrikultural sangat rentan dengan kebijakan seperti ini, membuka lahan untuk ditanami akan membutuhkan biaya relatif besar bila tidak dilakukan dengan membakar, jalan paling praktis adalah membakar yaitu dengan menunggu cuaca saat kering yang terjadi pada musim kemarau, membeli bahan bakar kendaraan bermotor, dan menyuruh masyarakat sebagai perpanjangan tangan perusahaan untuk membakar pada wilayah tertentu, pada akhirnya akan terjadi siklus 5 hingga 10 tahunan dimana Negara kita menjadi eskportir asap bagi negara tetangga.
,
Apabila negara tetangga saja terganggu dengan asap, apalagi penduduk setempat, salah satu gugatan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2015-2016 silam kepada salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan hutan dan bahan baku kertas terkait pembakaran hutan yang semula digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 7,9 triliyun dinyatakan oleh Hakim sebagai kegiatan yang “Tidak Merusak Lingkungan Hidup, karena masih bisa ditanami lagi” dan hanya mewajibkan perusahaan tersebut untuk membayar sebesar 79 Milyar saja.
,
Dalam menyikapi kondisi bahwa pembakaran hutan tidaklah kegiatan merusak lingkungan karena hutan bisa di tanami lagi, perlu diperhatikan bahwa keputusan hakim tersebut mengabaikan kerusakan yang diakibatkan selama proses kebakaran tersebut berlangsung dari sisi sosial khususnya kondisi kesehatan masyarakat selama proses kebakaran tersebut terjadi, dari sisi ekonomi memang benar untuk menanami kembali wilayah membutuhkan biaya yang relatif kecil dan sangat masuk akal untuk dilakukan, sebagai contoh Kementerian Lingkungan Hidup dalam tahun 2019 menargetkan penanaman 230.000 hektar dan dari situ dapat kita hitung rata bahwa “hanya” memerlukan biaya 0,034Milyar atau hanya sekitar 34 juta perhektar untuk menanam kembali satu hektar wilayah. Namun proses kerusakan lingkungan tidak hanya diukur dengan berapa biaya yang diperlukan untuk menanami kembali, ada banyak aspek kerugian seperti kesehatan, dan kemudian bagaimana bisa kita memberikan efek jera apabila penindakan pelanggaran tersebut hanya di ganjar relatif murah seperti ini?
,
Membakar dengan biaya relatif ringan untuk membumi hanguskan puluhan hingga ratusan ribu hektar hutan “kalau” ketangkap tangan dikenakan denda, itupun “kalau” ketangkap dan digugat, kalau tidak ditangkap ya tidak masalah, pada akhirnya spekulasi ini bisa menghemat bagi para pelaku usaha dan andai tertangkap pun biaya yang diberikan masih lebih murah, jauh lebih murah keimbang mempersiapkan lahan dengan menggunakan metode tanpa pembakaran.
,
Sehingga dalam beberapa kasus kerusakan atau pencemaran lingkungan yang dikenakan pembayaran, baik dalam bentuk retribusi ataupun denda memang sebaiknya dilakukan untuk menjadi sarana pemasukan bagi keberlanjutan lingkungan dan sekaligus menjadi modal untuk melakukan perbaikan/restorasi baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun Dinas Lingkungan Hidup yang ada di tiap daerah. Namun penegakan hukum atas pengerusakan dalam taraf yang luar biasa masif seharusnya diberlakukan juga pendekatan yang sama besarnya dan mengedepankan tidak hanya sekedar biaya pemulihan nya dengan menanami kembali semata, namun juga memperhatikan aspek lainnya, bukankan bunyi Pasal 28(H) UUD 1945 telah jelas bahwa ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, pengalaman saya sebagai warga Kalimantan Timur ketika terjadi kebakaran hutan lahan dalam jumlah besar ini sungguh tidak memberikan kesejahteraan batin dan bukan hanya tempat tinggal saya saja yang terpapar tapi seluruh wilayah tidak terkecuali terpapar sehingga lingkungan hidup tidak baik dan tidak sehat, dan tentunya karena kewenangan dalam kelangsungan lingkungan hidup lebih banyak terdapat pada Pemerintah Pusat, tidak serta merta walaupun kerusakan lingkungan hidup terjadi di daerah lantas kerusakan lingkungan hidup dianggap sebagai akibat dari era otonomi daerah, tidak serta merta juga kesalahan sepenuhnya berasal dari terbitnya perizinan dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
,
Perlu kolaborasi antara pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dan penindakan terhadap pelaku pelanggaran lingkungan hukum dilakukan bukan oleh lembaga Pemerintah Daerah, sehingga pembangunan berkelanjutan saat ini baik di daerah maupun di pusat sangat wajib memperhatikan ketentuan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek pengadaan berkelanjutan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian tulisan ini saya kemukakan pada tanggal 12 Oktober 2019 untuk menjadi bahan diskusi kita bersama.
Sebelumnya Pembangunan Daerah, Aktifitas Ekonomi, Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dan Dampak Pada Sosial Budaya dan Lingkungan
Selanjutnya Sengketa Kontrak berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Cek Juga

Perubahan UU Rantaskor pada UU KUHP (UU 1/2023)

Pada ayat (4) Pasal 622 dari UU KUHP / UU 1/2023 adalah : (4) Dalam ...

Open chat
1
Hubungi saya
Halo, apa yang bisa saya bantu?
%d blogger menyukai ini: