Kajian Pajak Daerah yang berkeadilan, Perlukah?

Kajian Pajak Daerah yang berkeadilan, Perlukah?

Pajak Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009

Selanjutnya untuk penerapan Undang-Undang tersebut, untuk melaksanakannya maka Pemerintah Daerah bersama DPRD membentuk Peraturan Daerah. Artikel ini akan membahas tentang mengapa ketentuan Pajak Daerah perlu dikaji secara sungguh-sungguh, Legislatif (baik calon maupun yang memang menduduki) perlu mengkaji kembali apakah keberpihakan tersebut telah benar-benar terwujud atau hanya jargon kampanye semata.

Pajak Restoran dan DKI Jakarta sebagai Benchmark

Perlu dianalisis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dimanifestasikan dalam Peraturan Daerah masing-masing Kabupaten / Kota, khususnya terkait Pajak Daerah: Pajak Restoran dan rasa keadilan pengenaan tarifnya.

DKI Jakarta memiliki kewenangan yang khusus sebagai pemberlakuan status khususnya tersebut, dalam hal ini karena struktur Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota berstatus Pemerintah Kota / Kabupaten Administrasi, maka dalam provinsi DKI Jakarta tidak terdapat Pemerintahan Daerah Kota / Kabupaten yang merujuk pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal ini untuk Pajak Daerah Kabupaten/Kota di DKI dilaksanakan dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI saja dan tidak dibuat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, namun pada prinsipnya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap dapat diterapkan di DKI Jakarta.

Parameter dari pemberlakuan Pajak Daerah yang berkeadilan dapat merujuk kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah, diatur dalam Pasal 2 bahwa Pajak Daerah yang dipungut Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah Pajak Restoran, dalam Perda Ketentuan Umum ini terdapat Pasal 44 yang berbunyi :

Ayat (1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan pajak kepada Wajib Pajak atau terhadap objek pajak tertentu berdasarkan azaz keadilan dan azaz timbal balik (reciprocitas).

Ayat (2) Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau seluruhnya dari pajak yang terutang.

Maksud Penjelasan Pada Bagian Penjelasan Perda tersebut adalah :

Penjelasan Ayat (1) Yang dimaksud pembebasan pajak berdasarkan azas keadilan adalah ditujukan bagi Wajib Pajak golongan ekonomi lemah atau lembaga-lembaga internasional tertentu yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di Indonesia dan memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.

Contoh :

Azaz keadilan kepada ekonomi lemah yaitu terhadap Wajib Pajak Restoran yang beromzet di bawah 60 juta pertahun dibebaskan dari pengenaan pajak.

Yang dimaksud dengan pembebasan pajak berdasarkan azas timbal balik adalah perlakuan yang sama berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961.

Contoh :

Pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor kepada Korps Diplomatik.

Penjelasan Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pengaturan lebih rinci terkait Pajak Restoran di DKI Jakarta adalah pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 tahun 2011 tentang Pajak Restoran, dalam hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 UU 28/2009 berbunyi :

“Restoran  adalah  fasilitas  penyedia  makanan  dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah  makan,  kafetaria,  kantin,  warung,  bar,  dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.”

Maka Pasal 1 angka 10 Perda DKI 11/2011 memuat ketentuan yang mutatif mutandis dengan UU 28/2009 dengan bunyi : Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Dalam hal ini cakupan Pajak Restoran yang membuka kewenangan pemungutan atas pelayanan tidak hanya rumah makan dan kafetaria namun hingga kantin dan warung sebagai bagian dari Objek Pajak memerlukan kecermatan di tahapan Eksekutif maupun Legislatif masing-masing daerah dalam menyusun Peraturan Daerah, mengingat warung dan kantin adalah “wadah” pelayanan penjualan makanan dan minuman bagi masyarakat menengah kebawah yang bila dibebani pajak daerah akan menjadi biaya baru bagi masyarakat yang dibebani pelaku usaha, dalam hal ini tulisan ini menyoroti keadilan pengenaan tarif yang diberlakukan.

Bagaimana Daerah lain dalam Melaksanakan UU 28/2009

Pelaksanaan penelitian ini adalah menganalisa Peraturan Daerah yang diwakili oleh masing-masing 2 Kabupaten/kota yang dipilih secara acak dari 8 Provinsi yang juga dipilih secara acak, kecuali DKI Jakarta yang menjadi parameter, DKI Jakarta memberlakukan Pajak Daerah Restoran bagi Wajib Pajak dengan omset 60juta Rupiah pertahun atau 5juta Rupiah perbulan, dengan demikian pembagian dari 16 Daerah Kabupaten/Kota ini dibagi menjadi 2 Klaster yaitu Daerah dengan batasan pemberlakuan sama/diatas dari Provinsi DKI Jakarta (lebih longgar), dan Daerah yang pemberlakuan Pajak Daerah nya menggunakan nomimal omzet yang lebih kecil dari DKI (lebih ketat dalam penerapannya).

  1. Kabupaten/Kota yang memberlakukan Pajak Daerah dengan pemberlakuan yang lebih longgar meliputi :
    • Pandeglang, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 6juta perbulan.
    • Kepulauan Meranti, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 7,5juta perbulan
    • Kota Depok, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 10juta perbulan
    • Kota Yogyakarta, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 5juta perbulan
    • Kulon Progo, tarif 7.5%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 5juta perbulan
    • Klungkung, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 17.5juta perbulan
    • Kota Tanggerang Selatan, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 15juta perbulan
    • Kota Dumai, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 10juta perbulan
  2. Kabupaten/Kota yang memberlakukan Pajak Daerah dengan pemberlakuan yang lebih ketat dalam penerapannya meliputi :
    • Sukabumi, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 2,5juta pertahun atau nilai penjualan 208ribu perbulan
    • Kota Banjarmasin, tarif 10%, berlaku bagi Cafe, Bar, Bakery, Rumah Makan, Jasa Boga/Catering, Jamuan Makanan Hotel, Puja Sera, Pondok Lesehan, Depot, Warung Makan, Warung Makan Kaki Lima dan atau usaha lain yang sejenis, dikecualikan dengan omzet dibawah 1juta perbulan
    • Tanah Laut, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 4juta perbulan.
    • Kota Kendari, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 1juta perbulan.
    • Muna, tarif 10%, berlaku bagi objek pajak dengan nilai penjualan diatas 200ribu perbulan
    • Kota Denpasar, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 3juta perbulan.
    • Kota Pontianak, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 2juta perbulan.
    • Kota Singkawang, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 2juta perbulan.

Mengapa Perlu diperhatikan?

Peraturan Daerah adalah salah satu Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Republik Indonesia, dalam penyusunannya dilakukan Kepala Daerah bersama DPRD masing-masing Daerah, pada Pasal 15 UU 12/2011 tentang disebutkan Ketentuan Pidana terdapat pada Perda hanya boleh mencakup pada ancaman Pidana kurungan atau pidana denda, berdasarkan pengamatan kami atas sampel yang kami tinjau terdapat 10 (sepuluh) atau 62,5% Peraturan Daerah yang mengenakan ancaman Pidana Penjara, dalam hal ini melihat dari UU 12/2011 lahir pada tahun yang sama atau belakangan dengan Perda-Perda yang dianalisa, namun kami menemukan pada prinsipnya di Perubahan Perda yang lahir pasca UU 12/2011 tidak mencabut/merubah ketentuan terkait Pidana Penjara tersebut.

Dari sisi keadilan ke-16 Sampel yang kami analisis Perdanya menghasilkan perimbangan bila merujuk pada norma yang ditetapkan Pemda DKI Jakarta dalam mengenakan Pajak Daerah pada Objek Pajak dengan omzet penjualan diatas 5 juta perbulan, dalam hal ini yang terbesar memberikan kelonggaran adalah Kab. Klungkung Prov. Bali yang mengenakan pajak 10% untuk penjualan diatas 17,5juta perbulan, selain itu Kab. Kulon Progo Prov. D. I Yogyakarta menggunakan tarif dibawah tarif maksimal yang diatur UU 28/2009 yaitu sebesar 7,5%.

Daerah yang relatif ketat dalam Pajak Daerah Restoran adalah Kab. Muna Prov. Sulawesi Tenggara dengan pengecualian terhadap Pajak pada Objek dengan penjualan diatas Rp200ribu perbulan, dan Kab. Sukabumi Prov. Jawa Barat dengan pemberlakuan pajak pada objek dengan penjualan diatas 208ribu perbulan atau 2,5juta pertahun.

Concern Artikel ini kearah mana?

Pajak menurut saya pribadi adalah sarana bagi orang yang lebih mampu untuk mendistribusikan “kelebihan” kemampuannya tersebut melalui negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Tentu saja definisi ini adalah menurut penulis pribadi, bagaimana dengan pendapat lainnya terkait pajak?

Amerika serikat mengumpulkan pajak untuk digunakan sebagai pengeluaran mulai dari pembangunan hingga perbaikan infrastruktur negaranya untuk meningkatkan pendidikan dan transportasi publik dan penanggulangan bencana pada negara-negara federasi dibawahnya, terlepas dari terdapat sembilan negara bagian federasi yang tidak memiliki pajak penghasilan. Persepsi publik federal menganggap pajak federal (tidak hanya sebatas pajak penghasilan) sebagai “uang sewa” yang dipungut untuk dapat hidup di negara-negara bagian di Amerika Serikat atau biaya yang digunakan untuk membiayai pengelolaan sumber daya di negara, ketika seseorang membayar pajak pada pemerintah Amerika Serikat, maka secara efektif pembayar pajak berinvestasi pada negara dan negara menggunakannya untuk : 1. Membangun, memperbaiki atau memelihara infrastruktur; 2. Membiayai dana pensiun dan manfaat dari pegawai pemerintah; 3. Menyediakan bantuan makanan dan tempat tinggal bagi orang miskin terlantar; 3. Meningkatkan sektor-sektor seperti pendidikan, pertahanan dan keamanan, kesehatan, pertanian, utilitas, dan transportasi publik; 4. Mengembangkan potensi baru seperti penjelajahan luar angkasa; dan 5. Menyediakan penanggulangan bencana. (Referensi : https://www.investopedia.com/terms/f/federal_income_tax.asp)

Pajak di Kerajaan Inggris raya pada zaman kolonialisasi di tahun 1798-1799 digagas untuk membiayai negara Inggris raya untuk membeli senjata dan peralatan dalam persiapan perang Napoleon, kemudian pada tahun 1842 diterapkan pajak penghasilan sebagai salah satu upaya konservatif mengatasi defisit pembiayaan negara yang memerlukan sumber pendanaan baru. (Referensi : https://en.wikipedia.org/wiki/Taxation_in_the_United_Kingdom#Napoleonic_wars), bila melihat peruntukannya sebagai pembiayaan negara, maka aspek yang dibiayai dalam pengelolaan anggaran negara di Inggris Raya pun tidak berbeda jauh dengan di Amerika Serikat.

Ditilik dari Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 23 yang berbicara tentang Keuangan berbunyi sebagai berikut :

Pasal 23

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara

ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung

jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.*** )

(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk

dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan

Daerah. ***)

(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja

negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara tahun yang lalu.***)

 

Terlihat bahwa prinsipnya Pajak yang selanjutnya di amandemen pada Pasal 23A sebagai sebuah pasal baru berbunyi :

 

Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.***)

APBN didalamnya bersumber salah satunya adalah Pajak, bila menilik dari sejarah pada Inggris Raya yang menambahkan pajak penghasilan sebagai salah satu sumber pendanaan, amandemen UUD 1945 yang memunculkan Pasal 23A menunjukkan bahwa terjadi pergeseran paradigma pengelolaan keuangan selaras dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat maupun Inggris Raya, dan dalam pembentukannya sebagai salah satu “instrument” maka wajib ditetapkan sebagai Peraturan Perundang-Undangan yang bentuknya berupa UU dan peraturan lainnya.

Penulis memiliki pendapat dengan mereferensikan pada Peraturan Pajak Daerah yang secara anatomi memiliki kebijaksanaan serupa dengan Pajak-Pajak lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana secara regulasi ditetapkan UU 28/2009 di pusat untuk menetapkan kewenangan pada pemerintah daerah dan besaran maksimal tarif yang dapat diambil, dalam pelaksanaannya diperlukan pembentukan Peraturan Daerah, dalam Peraturan Daerah ini tadi diatur kebijakan masing-masing antara Kepala Daerah otonom dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah otonom yang masing-masing membentuk kebijakan secara otonom berdasarkan karakteristik daerah sendiri.

Berbicara masalah keadilan tentu saja juntrungannya tidak melulu langsung pada sanksi, sanksi merupakan langkah terakhir, pada praktiknya sanksi dapat tidak perlu dilakukan apabila sebuah Peraturan Daerah dirancang berdasarkan kebijakan yang memang memperhatikan aspek pasar dan karakteristik usaha di suatu daerah untuk diterapkan dan dipandang adil sehingga disepakati oleh sejumlah besar pelaku di daerah tersebut. Namun praktiknya pembahasan program legislasi daerah terkadang memang tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hal ini akan menjadi permasalahan ketika sebuah Prolegda diterapkan menjadi Perda kemudian diikuti Peraturan Kepala Daerah, khususnya bila Peraturan tersebut memang tidak diterima oleh sebagian besar warga di wilayah tersebut.

Salah satu obyek Wajib Pajak yang “dapat” menjadi polemik atas ketidak-adilan adalah Pajak Rumah Makan, dimana obyek yang dapat dikenakan Pajak Rumah Makan oleh suatu daerah bersifat sangat luas, mulai dari kantin yang sifatnya sederhana hingga restoran pada restoran bintang 5. Pada UU 28/2009 ditetapkan tarif maksimal adalah 10%, aturan ini apabila tidak disikapi dengan kebijaksanaan dan umumnya hal ini yang relevan terjadi, maka saat ditetapkan sebagai Peraturan Daerah ditetapkan pada beberapa pemerintah daerah sebagai pasal dalam Perda bahwa tarif pajak restoran adalah sebesar 10%, sesederhana itu dengan hanya menghilangkan kata “maksimal” pada UU 28/2009, dari sampel yang ada hanya Kab. Kulon Progo yang tidak menggunakan tarif maksimal 10% tersebut.

Hal ini akan menimbulkan polemik karena memukul rata seluruh pelaku usaha yang terkategorikan dalam Pajak Restoran, padahal struktur pasar dan karakteristik setiap daerah memiliki kemampuan tidak sama, sangat tidak adil apabila restoran Bintang 5 dikenakan pajak daerah sebesar 10% namun kantin yang berada dekat kantor Kecamatan yang jauh dari pusat keramaian seperti ibukota kabupaten/kota dikenakan besaran tarif yang sama. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan adanya sanksi yang diatur apabila Pajak Daerah tersebut tidak dibayar, umumnya Pajak Daerah memiliki peraturan turunan dari Peraturan Daerah yang dijalankan pada Peraturan Kepala Daerah bahwa setelah kurun waktu tertentu maka wajib pajak yang tidak melaporkan pajak yang dilaporkan dan dibayarkan sendiri (self assessment) akan dapat dilakukan penetapan pajak daerah secara jabatan (official assessment) yang juga memberikan denda bulanan dan denda dengan besaran tertentu berdasarkan regulasi yang diacu masing-masing.

Selain itu dalam pengalaman saya pengenaan sanksi ini dapat mudah dilakukan bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum pada Kejaksaan Negeri setempat, praktik ini pernah saya lihat dilakukan, walaupun yang ditindak adalah perusahaan catering dengan omset penjualan milyaran rupiah perbulannya yang menunggak hingga bertahun-tahun, namun dengan peraturan yang secara desain tidak memperhatikan keadilan di masyarakat seperti ini, maka pemberlakuan penindakan yang sama bukan tidak mungkin dilakukan kepada masyarakat kecil yang seharusnya dilindungi.

Menurut R. Otje Salman sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris dan analitis, berangkat dari definisi sosiologi hukum tersebut maka dapat kita deteksi bahwa dengan menggunakan analisis sederhana diatas maka akan timbul potensi gejala sosial lainnya di masyarakat, khususnya bila menggunakan sudut derita dari pelaku usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki kapasitas operasional keuangan yang minim.

Sudah jatuh tertimpa tangga, bagi pelaku usaha dengan kapasitas operasional minim membayar pajak sebesar 10% sudah merupakan beban yang relatif tinggi, hal ini tentu akan berbeda dengan restoran berbintang, dari sisi kompetisi saja sudah tidak sama margin keuntungan nya, sebagai contoh kita biasa dan sangat wajar melihat bahwa Waralaba Kopi Internasional menjual secangkir kopi nya sebesar Rp70.000 dengan demikian terdapat kewajiban bagi waralaba tersebut membayarkan Rp7.000 untuk masuk dalam kas daerah, keuntungan yang diperoleh masih dapat diperdebatkan dengan biaya impor atau operasional yang juga bernilai ekonomi tinggi, namun bila mengesampingkan hal tersebut dan  memperhitungkan rantai pasoknya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Waralaba :

  1. Biji Kopi diperoleh langsung dari pemasok
  2. Biji Kopi dari pemasok diolah di pabrikan
  3. Sebagian dikemas sebagai komoditas dijual untuk umum dan dijual dengan harga berbeda (lebih mahal) dibandingkan dengan sebagian lagi harga komoditas untuk franchisee (lebih rendah)
  4. Franchisee menjual segelas kopi dari harga berbeda (biasanya lebih rendah) untuk disajikan kepada konsumen akhir sehingga mendapatkan keuntungan yang mencukupi untuk menutupi operasional, termasuk pajak
  5. Konsumen membeli dari waralaba tersebut termasuk pajak.

Warung Kopi :

  1. Kopi untuk disajikan dibeli melalui jalur distribusi umum (lebih mahal)
  2. Kopi disajikan kepada konsumen akhir dan karena kapasitas serta struktur pasar nya tidak mungkin melakukan diferensiasi seperti franchisee waralaba harganya sudah homogen dengan pasaran.
  3. Konsumen membeli dari warung tersebut termasuk pajak.

Sebagaimana disebutkan diatas warung kopi sudah tidak memiliki keunggulan kompetitif sebagaimana halnya warung waralaba, sebut saja segelas kopi tersebut diwarung dibanderol Rp5.000 memberlakukan pajak daerah sama dengan pemain besar yaitu sebesar 10% maka Pajak yang harus dibayarkan adalah Rp500, sekilas terlihat adil namun bila diperhatikan dari jalur rantai pasokan, pihak waralaba memiliki keunggulan kompetitif untuk biaya operasional berdasarkan kekuatan jalur distribusi dan kemampuan menjual produk terhadap 2 pasar yang berbeda, dan dalam pasar yang dipersaingkan secara langsung dengan usaha kecil dengan besaran tarif pajak yang tidak ada perbedaan hal ini akan menjadi kurang adil, kemampuan warung kopi untuk mendiferensiasikan usaha nya tidak akan sekuat waralaba, kita bisa berkilah bahwa warung kopi harus kreatif, ini era industri 4.0 namun praktiknya tidak semudah kata-kata motivator.

Bila kita melihat secangkir kopi di warung diberi harga Rp5000, dalam sehari terdapat 5 pengunjung saja, maka omset penjualan adalah Rp25ribu perhari, asumsikan saja dalam sebulan berkerja 20 hari maka sudah terdapat omset Rp500.000 hanya dari secangkir kopi dan belum termasuk menu lainnya, maka dari sisi regulasi Perda Kab. Sukabumi dan Kab. Muna sudah menyamakan warung sekecil ini dengan waralaba Coffee Shop bertaraf Internasional dalam hal pemungutan Pajak Daerah dan gagal melindungi pelaku usaha mikro. Disisi lain kemampuan finansial Waralaba memiliki kemampuan yang luar biasa dan omsetnya dapat mengalami peningkatannya dan tidak bisa disamaratakan, sehingga otomatis peluang bersaing tidak sama dan secara tidak langsung sebenarnya regulasi Pajak Daerah mematikan usaha kecil.

Bila kita kutip lagi kalimat pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia selain mencerdaskan kehidupan bangsa, juga memiliki arah untuk memajukan kesejahteraan umum, kesejahteraan umum ini sifatnya perlu dikaji kembali, keadilan yang seperti apa yang sekiranya dapat memajukan kesejahteraan umum? Apabila berdasarkan ilustrasi diatas, apakah benar kesejahteraan umum dapat dicapai? Penulis secara pribadi berpendapat lain, Pajak Daerah secara tidak langsung mematikan usaha kecil memang masih debatable dan menurut penulis terjadi dengan catatan kecil bahwa pembahasan Peraturan Daerah nya seperti yang telah disampaikan diatas.

Bagaimana tidak mematikan usaha kecil, margin keuntungan dari satu cangkir kopi tersebut sangatlah tipis, bila satu sachet kopi dibanderol Rp2.000 di supermarket dan dijual kembali dengan harga Rp5000 maka margin keuntungannya hanya Rp3.000, ketika di potong pajak 10% senilai Rp 500, maka keuntungannya berupa laba kotor hanya menjadi Rp2.500, menurut penulis hal ini akan kontras dengan produsen yang memiliki model bisnis waralaba, bila dipukul rata saja biaya perkemasan untuk penyajian secangkir sama, yaitu Rp2000 persachet, apabila waralaba tersebut melalui franchisee nya menjual sebesar Rp 70.000 dan dikurangi pajak menjadi Rp63.000 maka laba kotornya menjadi Rp61.000, mari kita simak lagi bagi pihak yang memiliki laba kotor sebesar 61.000 pajak sebesar Rp7000 hanya 11,47% hal ini berbanding terbalik dengan warung kecil yang pajak nya Rp500 dengan laba kotor senilai Rp2500 atau setara 20%, jadi walau secara nominal pemberlakuan pajak ini sebesar 10% terlihat adil dan dari besarannya bagi pemain besar membayar besar dan pelaku kecil membayar kecil namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Alhasil karena porsi pajak menyita cukup tinggi maka tidak jarang para pelaku usaha kecil memilih “bersembunyi” dengan berdiam diri, namun pada dasarnya berdiam diri tidaklah menjadi solusi jangka panjang yang baik, para teman-teman dari Aparatur yang bertugas di bidang keuangan di Daerah juga memiliki beban tanggung-jawab untuk memungut dan semakin besarnya tuntutan sebuah daerah untuk berinovasi melahirkan tuntutan atas pendapatan daerah yang semakin intensif, maka dilakukan lah pemberlakuan penetapan denda secara jabatan, yaitu penilaian yang dilakukan oleh aparatur untuk memperkirakan para wajib pajak yang “diam” ini tadi, ditambah dengan denda pokok dan denda bulanan, dan potensi sanksi pidana, serta kemungkinan dari birokrat yang menjalankan regulasi tanpa pandang bulu, sudah jatuh tertimpa tangga pula, itu yang mungkin dialami sebagian besar pelaku usaha, denda yang merupakan sanksi ini akan menjadi tidak adil bila penyebab kemunculan tersebut adalah penetapan tarif yang tidak adil karena tidak proporsional pemberlakuannya.

Adapun penulis tidak lantas menyalahkan Undang-Undang Pajak Daerah, Pajak Daerah tidak salah dan tidak keliru hanya saja pemberlakuan sanksi dan penerapannya perlu dievaluasi, sangat tidak bijak bila Pemerintah Daerah terus bergerak tanpa mengevaluasi materiil pemberlakuan peraturannya tanpa memperhatikan lingkungannya khususnya masyarakat dan terutama struktur pasar yang terjadi di daerahnya, bukankah semangat otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan bagi daerah otonomi untuk menghadirkan kesejahteraan dengan memanfaatkan serangkaian regulasi yang diatur secara optimal untuk menghadirkan kesejahteraan umum di wilayahnya?

Solusi dan Apa yang Sebaiknya dilakukan

Penulis tidak menampik bahwa ada “kepentingan” yang memang telah mempertimbangkan karakteristik kondisi daerah dalam penetapan tarif di masing-masing daerah, namun penulis berpendapat bahwa terdapat berbagai cara untuk membuat pajak daerah yang atraktif dan menarik serta bercitarasa keadilan yang tinggi, sebagaimana ditemukan pada bagian awal terdapat 50% dari sampel yang diteliti dan ternyata memberlakukan pengenaan pajak yang wajar. penulis yakini ada banyak daerah yang memang membutuhkan inovasi sebagai akibat belum berlakunya regulasi yang baik. Sudah waktunya bagi seluruh Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia untuk memberikan dan memaparkan kajian yang dianjurkan dalam mengolah regulasi yang ada di Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, setiap Pemerintah Provinsi dapat mengolah data yang dapat dijadikan referensi bagi masing-masing Pemerintah Kabupaten / Kota untuk menentukan proporsi secara bertingkat di tiap-tiap Kabupaten / Kota, data tersebut dapat dijadikan sebagai bahan bagi Kepala Daerah dalam membahas bersama DPRD setempat untuk menghasilkan Peraturan Daerah yang optimal bagi daerahnya dalam mengoptimalkan Pajak Daerahnya secara jangka panjang.

Menggunakan tarif maksimal memang menguntungkan secara jangka pendek, menutup mata usahanya besar ataupun kecil nilai tarifnya akan sama dan pendapatannya maksimal, bila tidak dilaksanakan maka dikenakan sanksi atas penetapan pajak daerah yang dirilis dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar beserta denda pokok dan denda bulanan, hasilnya akan sangat bombastis diatas kertas bagi Daerah dan merupakan jalur cepat mengejar target, namun dampak dari sisi keberlangsungan secara jangka menengah/jangka panjang bagaimana? Perlu kajian lebih mendalam sebagaimana yang penulis telah ungkapkan diatas yang mana peran Pemerintah Provinsi sangat besar andilnya disini, namun boro-boro memikirkan Kabupaten/Kota toh Pemerintah Provinsi memiliki polemiknya sendiri dalam menjalankan amanat UU 28/2009 dan dalam pelaksanaannya tidak juga terdapat pembinaan dengan ketersediaan data kajian dari instansi vertikal diatasnya, kok ya ditambahin beban dari Pemkab/Pemkot.

Dikembalikan dari kalimat awal yang dulu seringkali penulis ucapkan saat memberikan sosialisasi hingga 28 Desember 2016 silam bahwa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, atau apapun bentuk Pendapatan Asli Daerah seyogianya merupakan sarana bagi orang yang lebih mampu untuk mendistribusikan “kelebihan” kemampuannya tersebut melalui negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan bermanfaat bagi lebih banyak orang, tentu saja hal ini harus dilakukan secara proporsional dan berimbang khususnya dalam penetapan tarifnya, dalam memformulasi tarif pajak daerah hendaknya terdapat keadilan dalam penyusunan dalam Peraturan Daerah dalam bentuk “gradasi” pemberlakuan pajak daerah, secara gamblang sebut saja terdapat batasan berupa range minimal dimana wajib pajak dengan omset bulanan hingga nilai tertentu contoh, sebut saja warung kelas tertentu dengan omset terendah yaitu sebut saja Rp2.000.000 dan karakteristik rupa penyajian berada dalam gradasi terendah dikenakan pajak 0% atau di nihilkan, gradasi berikutnya dengan nilai omset bulanan diatas Rp2.000.000 hingga 5.000.000 dikenakan pajak 2%, omset perbulanan diatas Rp5.000.000 hingga 10.000.000 dikenakan 4% dan seterusnya hingga yang tertinggi adalah 10%.

Data tersebut dihimpun tiap bulannya, sehingga usaha kecil yang berkembang diberikan kesempatan untuk bersaing dan bertahan, hal ini akan memberikan keadilan yang lebih baik apabila gradasi nya memiliki nilai range nominal yang semakin tipis, misal menggunakan satuan 0.5% sehingga pajak dimulai dari 0%, 0.5%, 1%, 1.5%, 2% dan seterusnya hingga 10% dengan memperhitungkan keberlangsungan usaha kecil menengah, apabila unit pengelola pendapatan asli daerah tidak dapat melakukan kajian analisa pasar maka dapat berkerjasama dengan unit kerja yang mengelola bidang Perdagangan sehingga diperoleh penetapan pajak yang tarif nya lebih berkeadilan, penetapan pajak dengan terif berkeadilan ini tentunya akan meminimalkan kemungkinan potensi sanksi, artinya apabila aturannya sudah sangat memperhatikan keadilan tersebut ditemukan masih terjadi pelanggaran, maka pihak wajib pajak yang melanggar tersebut memang nakal dan layak dikenakan sanksi.

Menihilkan pajak daerah bagi usaha yang baru berkembang memberikannya kesempatan bersaing, lama kelamaan usaha tersebut akan berkembang karena beban saat merintis tidak akan tergerus pajak secara besar-besaran seperti usaha yang sudah kokoh dan mapan sejak lama, ketika sudah mencapai taraf omset tertentu maka mustahil akan nihil selamanmya, naiknya omset berimbang dengan kewajiban pajak, ibarat pesan Paman Ben pada Peter Parker di serial Spider-Man, “from great power comes great responsibility” terdapat semangat keadilan dalam kehidupan di masyarakat dan hal ini akan berdampak baik secara berkesinambungan jangka panjang yaitu dengan kenaikan omset yang semakin besar maka datang pula kewajiban yang (semakin) besar, nah pada ranah ini apabila dianalogikan si “Spider-Man” tersebut berperilaku kurang tepat maka wajar saja Tony Stark memberi hukuman untuk mengambil kembali kostum Spider-Man seperti terjadi di film Spider-Man Homecoming.

Bila suatu daerah sangat ramah terhadap investasi dengan regulasinya maka secara strategis instrumen pajak daerah ini bisa menjadi suatu upaya bagi kepala daerah untuk berinovasi agar daerahnya menjadi “sexy” dimata para pengusaha. Salah satu instrumen untuk meningkatkan pajak daerah sebagai salah satu sumber pendapatan jangka panjang adalah menerapkan tarif berjenjang/bergradasi yang berkeadilan secara proporsional dan memberikan sanksi yang bila perlu pun bersifat proporsional, perlakukan sistem multi tarif! Sayang nya apabila saya boleh mengkritisi, masa jabatan Kepala Daerah maupun anggota DPRD yang relatif singkat tidak menunjang untuk terbentuknya regulasi semacam ini, diperlukan komitmen sangat kuat untuk melakukan hal ini dan aspek kebijakan ini jarang terbentuk karena akan menjadi kurang strategis untuk mengambil langkah mundur bagi seorang Kepala Daerah karena masa jabatan yang relatif singkat dan dampaknya akan kemunduran mewujudkan visi dan misinya, namun pada dasarnya bagi Kabupaten/Kota beban membentung aturan ini bukan melulu dari Eksekutif, dalam hal ini peran Legislator dalam mencermati keberadaan di masyarakat menjadi vital, Legislator yang duduk di DPRD kiranya dapat memberikan masukan untuk revisi atas Perda yang dipandang kurang berkeadilan dalam hal Pajak Daerah Restoran ini.

Kajian dan pengamatan ini masih menjadi perhatian bagi penulis, bahkan sejak saya pribadi sudah tidak berkerja lagi di Badan Pendapatan Daerah sejak akhir 2016 silam, pendapat pribadi saya kepada pimpinan di Badan Pendapatan Daerah, maupun para Kepala Daerah, dan Anggota DPRD sepertinya kurang menarik dari sisi pemasukan APBD, dan melihat data yang dikumpulkan berdasarkan Perda yang saya himpun pada tanggal 11 April 2020 di masing-masing JDIH Kab/Kota terlihat 50% sampel acak menunjukkan gejala yang sama dan tidak kunjung merevisi, seandainya keluar Peraturan Perubahan maka terlihat bahwa yang dirubah adalah regulasi terkait 10 Pajak selain Pajak Restoran, maka pada dasarnya keberpihakan pada rakyat bagi para Pejabat Politik Kepala Daerah maupun Legislator hanyalah retorika, mengapa saya katakan retorika? Terdapat 50% Daerah yang menerapkan Perdanya secara proporsional, beberapa diantaranya bahkan tidak mengambil kesempatan dalam keistimewaannya sebagai daerah destinasi wisata seperti Kota Yogyakarta dan Kab. Kulon Progo yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maupun Kab. Klungkung yang berada pada Provinsi Bali.

Permasalahan lainnya adalah ketika Perangkat Daerah pelaksana harus memaksakan sebagaimana sifat dari Pajak yang berupa pungutan yang dapat dipaksakan, hal ini akan menjadi polemik di masyarakat, apabila masyarakat tersebut memang dari kalangan tidak mampu, saya pribadi sendiri pada tahun 2015 menemui bahwa pengelola Objek Pajak di sebuah wilayah yang memang cukup terpencil, berjualan di kampung yang memang karena lumayan terisolir maka bahan bakunya relatif mahal sehingga seporsi tahu tek menjadi relatif mahal sebesar Rp.20.000, harga tersebut berada di lingkungan perkebunan kelapa sawit dan memang memungkinkan omset nya berada diatas dari pengecualian Kab. Kutai Barat sebesar Rp.1 juta perbulan, bila kita breakdown rata artinya dalam sebulan terjual 50 bungkus tahu tek, namun secara riil penjualannya kurang lebih sekitar 3-5 bungkus perhari dan untuk ibu tersebut menjual sebagai perorangan dan satu-satunya diwilayah tersebut, dari kacamata ekonomi menunjukkan bahwa pasar jasa boga di wilayah tersebut kurang menarik karena tidak ada persaingan dan omsetnya tidak terlalu tinggi, namun pemungutan pajaknya dikenakan sama besarnya 10%.

Pada prinsipnya saya memandang baik pajak Daerah maupun pajak diatasnya merupakan hal yang mempertimbangkan prinsip keadilan yang serupa bila penyusun regulasinya memang memikirkan kebaikan bersama, sebagai contoh saya coba sajikan bagaimana pemberlakuan tarif Pajak Penghasilan di bidang konstruksi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2008, secara umum klasifikasi nya dibagi menjadi lima yakni :

–      2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.

–      4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

–      3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam kedua poin diatas

–      Untuk pekerjaan perencanaan dan pengawasan konstruksi dengan kepemilikan kualifikasi usaha diberikan tarif 4%.

–      Untuk pekerjaan perencanaan dan pengawasan konstruksi dengan tanpa kepemilikan kualifikasi usaha diberikan tarif 6%.

Melihat dari esensi diatas maka pemberlakuan pajak penghasilan diberlakukan berbeda dengan adanya pertimbangan aspek keadilan dimana kecil diberikan tarif 2% (pekerjaan fisik) dan 4% (untuk jasa pengawasan/perencanaan) selebihnya dikenakan tarif berbeda yang lebih tinggi, dalam hal kualifikasi usaha tidak tersedia dikenakan tarif tertinggi sebagaimana tertera diatas, secara kasat mata hal ini dipandang wajar oleh penulis karena memiliki kualifikasi serupa dengan membangun reputasi dan pekerjaan konstruksi merupakan bidang usaha padat modal dan memiliki aspek keamanan yang diperhatikan hingga taraf tertentu sehingga memiliki kualifikasi usaha yang baik memerlukan usaha yang  berbanding lurus dengan semakin kecilnya kegagalan konstruksi sehingga wajar dikenakan tarif lebih tinggi bagi pelaku usaha yang tidak mengembangkan kualifikasi usahanya, namun pada prinsipnya penulis dapat memaklumi bahwa alasan klasifikasi atau gradasi tersebut wajar adanya dengan menggunakan logika, berdasarkan logika tersebut akan sangat mudah apabila pihak berwenang menjelaskan latar belakang penetapan tarif tersebut, hal ini akan sangat kontras apabila dibandingkan dengan contoh Pajak Daerah yang penulis kemukakan diatas tadi bila Pajak Daerah dalam Perda nya hanya menganut satu tarif tunggal yang latar belakangnya hanya “menghapus kata maksimal” dari UU yang dirujuk tanpa memikirkan dampak pada perkembangan usaha mikro dan usaha kecil dengan memukul rata dan menyamakan nya pada pelaku usaha menengah dan non-kecil.

Sanksi tidak serta merta timbul akibat dari niat “menghindari” ketika ada wajib pajak yang menghindari maka pantas lah diberikan sanksi, namun perlu kembali kita kaji masing-masing pemberlakuan pajak daerah kita yang mungkin saja bila sampel nya diperbesar volumenya akan menunjukan gejala umum yang cenderung tidak berpihak pada usaha mikro dan usaha kecil, maka pembuatan peraturan ini perlu kita pertanyakan apakah sudah selaras dengan apa yang dicita-citakan oleh bangsa ini saat merdeka?

Esensi Pembahasan

Pajak Restoran adalah salah satu Pajak Daerah berdasarkan UU 28/2009, dimana cakupan Restoran  adalah  fasilitas  penyedia  makanan  dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah  makan,  kafetaria,  kantin,  warung,  bar,  dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering, pengenaan tarif nya adalah “maksimal” 10% dari nilai penjualan dalam periode bulanan, pada praktiknya Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPRD lebih memperhatikan kondisi sosial di daerahnya masing-masing, gejala yang saya amati selama bertugas di bidang Pajak Daerah adalah “pukul rata” antara usaha kecil dan usaha mikro yang biasanya hadir dalam bentuk warung dan kantin, dengan besaran tarif yang sama-sama 10% dan pengecualian yang besarannya dinilai dari omzet yang tidak rasional.

Menurut R. Otje Salman sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris dan analitis, semula saya berpikir bahwa kejadian ini adalah kejadian di beberapa daerah saya semata, dalam hal terkait tugas ini telah dikumpulkan sampling acak dari 8 provinsi dan masing-masing provinsi di acak lagi untuk mendapatkan 2 Kabupaten/Kota, dalam hal ini temuan yang ada dari literatur menunjukkan pola yang berimbang antara daerah yang ketat dalam pengaturan Perda Pajak Daerah – Pajak Restoran maupun yang longgar dan pro pada usaha mikro dan usaha kecil, bila memperhitungkan jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia, terdiri atas kabupaten (415), kabupaten administrasi (1), kota (93), dan kota administrasi (5) dalam 34 provinsi di Indonesia atau total 514 Kabupaten/Kota dengan masing-masing Perda, maka berdasarkan temuan yang ada dari sampel yang relatif kecil tersebut dapat disimpulkan terdapat potensi separuh dari 514 Kab/Kota atau 257 Kab/Kota yang berpotensi dimatikan usaha nya dalam hal Perda Pajak Daerah yang kurang berkeadilan.

Solusi yang bisa diambil adalah melakukan kembali rekalkulasi, data ini bisa dihimpun dari data eksisting Objek Pajak di masing-masing Badan Pendapatan Daerah atau melibatkan Dinas Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kabupaten/Kota masing-masing atau Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Pusat membina kembali dan mengkaji secara menyeluruh kluster segmentasi yang berkeadilan dalam hal pemungutan Pajak Daerah khususnya Pajak Restoran yang berkeadilan seperti apa disesuaikan dengan karakteristik dan local wisdom masing-masing daerah, perlakuan segmentasi tentunya dapat dilakukan dengan menilik kembali pemberlakuan pajak sebagai contoh dalam pembahasan adalah pajak penghasilan di bidang usaha jasa konstruksi yang diterapkan Pemerintah Pusat.

Dalam perspektif hukum, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini Perda dipandang sebagai medium atau instrumen untuk mencapai kebebasan individu tertentu di bidang politik dapat terjadi pada gejala sosial adanya peraturan produk hukum yang dipandang dari sisi kedudukan pada orang-orang yang diberikan kewenangan dan memiliki hak untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa tertentu apabila ada aturan utama yang dilanggar masyarakatnnya kepada orang-orang, dalam hal ini dari sisi politik peraturan dibuat untuk menghukum dan dibuat oleh orang yang berwenang juga sekaligus memberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat mengatur, dalam hal ini mengatur dan melaksanakan kebijakan, sehingga dapat kita lihat adanya potensi ketidak-adilan bagi pemberlakuan peraturan tertentu yang cenderung pro pada ”kepentingan“ kebebasan individu tertentu, dalam hal ini bila memang dilakukan secara sungguh-sungguh pada keberpihakan individu / pelaku usaha kecil dan mikro maka yang harusnya dilakukan adalah mengeluarkan kebijakan Peraturan Daerah untuk kembali memberlakukan ketentuan segmentasi pengenaan tarif pajak restoran yang berkeadilan dan berdampak positif pada sisi sosial dan ekonomi, Pengaturan dan pemberlakuan Pajak Daerah: Pajak Restoran yang berkeadilan melalui instrumen Peraturan Daerah dengan mencontoh dan bercermin pada daerah-daerah sebagai berikut :

  • Pandeglang, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 6juta perbulan, atau setara dengan omset Rp300.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kepulauan Meranti, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 7,5juta perbulan atau setara dengan omset Rp375.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kota Depok, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan nilai penjualan diatas 10juta perbulan atau setara dengan omset Rp500.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kota Yogyakarta, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 5juta perbulan atau setara dengan omset Rp500.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kulon Progo, tarif 7.5%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 5juta perbulan atau setara dengan omset Rp500.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Klungkung, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 17.5juta perbulan atau setara dengan omset Rp875.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kota Tanggerang Selatan, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 15juta perbulan atau setara dengan omset Rp750.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)
  • Kota Dumai, tarif 10%, berlaku bagi objek dengan penjualan diatas 10juta perbulan atau setara dengan omset Rp500.000 perhari (1 bulan = 20 hari kerja)

 

Referensi :

Buku Materi Pokok Sosiologi Hukum, Yoyok Hndarso, Universitas Terbuka, Tanggerang Selatan, 2019.

Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah melalui UU 15/2019

Peraturan Daerah Kab. Muna No. 14 tahun 2011 tentang Pajak Restoran

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 tahun 2011 tentang Pajak Restoran

Peraturan Daerah Kab. Kepulauan Meranti Nomor 10 tahun 2011 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 7 tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 11 Tahun 2011 Pajak Restoran

Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 6 tahun 2010 tentang Kota Pontianak

Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kab. Klungkung Nomor 2 tahun 2012 tentang Pajak Restoran

Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran

Peraturan Daerah Kab. Ksukabumi nomor 17 tahun 2011 tentang Pajak Restoran

Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No. 1 Tahun 2011 Pajak Daerah

Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Laut Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Kab. Kulonprogo Nomor 6 tahun 2011 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah

Sebelumnya Pengadaan Selalu Berubah karena Dinamis
Selanjutnya Keberpihakan kepada UMKM pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Cek Juga

Perubahan UU Rantaskor pada UU KUHP (UU 1/2023)

Pada ayat (4) Pasal 622 dari UU KUHP / UU 1/2023 adalah : (4) Dalam ...

2 Komentar

  1. First of all, I’m on your side, totally agree with you. Saya juga merasa hal yang sama tentang Pajak Restoran yang proporsional bergradasi sesuai dengan “kelas” usahanya dengan range yang bisa dimulai dari 0,5%. Sama persis pemikiran dan usul kita. Saya juga sudah mencari banyak referensi tentang gradasi tarif pajak. But, there is one paradox left : Pajak Restoran tidak sama dengan Pajak Penghasilan atau Pajak Konstruksi. Tidak bisa disamakan dengan Pajak yang dihitung dari Laba Bersih. Karena Subjek Pajak nya BUKAN penghasilan si pengusaha. Kalau Pajak Penghasilan sudah diatur oleh Dirjen Pajak Pemerintah Pusat. Sedangkan Pajak Restoran adalah Pajak Daerah. Subjek dari Pajak Restoran adalah Konsumen, bukan pengusahanya. Pengusaha hanyalah pemungut. Yang dibebankan pajak adalah konsumen, bukan pengusahanya. Pajak Daerah tidak mengusik penghasilan/laba pengusaha. Jika alasannya “Pajak Restoran membebani pengusaha”, maka lebih tepat adalah “membebani konsumen”. Jika untuk restoran memang tidak masalah karena konsumennya sudah aware bahwa di restoran akan ada pajak tambahan selain harga yang tertera. Namun jadi masalah ketika di rumah makan dan kantin yang konsumennya tidak aware akan hal ini. Sudah sepatutnya pengusaha rumah makan dan kantin “menaikkan” harga jualnya 10% dari harga yang mereka tetapkan. Jika nasi bungkus di rumah makan seharga Rp. 10.000, maka sudah seharusnya dituliskan besar-besar pengumuman “Nasi bungkus Rp. 11.000 include Pajak (Rp.10.000 adalah harga dari saya, Rp. 1.000 adalah pajak daerah disetor ke kas daerah)”.
    Agar konsumen rumah makan mengerti kenapa harganya segitu. Dengan demikian pengusaha rumah makan dan kantin sudah bisa memisahkan 10% nya untuk Pajak Daerah.
    Namun, paradoxnya adalah jika dalam bulan itu omset mereka berada dibawah PTKP, maka mereka tidak wajib bayar Pajak Restoran untuk bulan tersebut. Lantas kemana uang pajak yang sudah dibayarkan konsumen dalam bulan itu? Tentu ini menjadi mau tak mau direlakan masuk ke pendapatan bagi si pengusaha. Padahal uang 10% itu merupakan hak untuk negara.
    Saya juga sudah banyak baca Perda beberapa daerah, karena saya adalah praktisi pajak daerah langsung. Semua daerah mereka memang “pukul rata”. Termasuk di Pajak Daerah lainnya, bukan hanya Pajak Restoran. Banyak peraturan yang memberatkan pengusaha kecil.
    Ini harusnya direvisi. Namun revisi tidaklah gampang karena mengubah Peraturan Perundang-undangan sekalipun level Perda Perbup harus melalui berbagai tahap yang ribet.
    I’d like to discuss more but i

  2. Terima kasih sudah mampir dan berkomentar baik, betul pajak Restoran itu pembebanannya pada konsumen… tidak salah pendapat anda dan senang sekali ada yang berkomentar kritis seperti ini, Pajak Restoran diberlakukan bagi pelaku usaha meliputi restoran, warung, kantin, dan lain-lain…

    Tentunya hal ini akan membebani “kelas” konsumen yang sensitif dengan harga pada kelas pelaku usaha mikro kecil.

    Ilustrasinya begini, makan di resto waralaba perporsi sekitar Rp.75.000 dengan pajak daerah Restoran Rp7.500 (tarif 10%) pada sebuah resto waralaba yang menyasar masyarakat menengah keatas tentu tidak masalah dong ya…

    Nah hal ini tentu tidak bisa sama rasa dengan warga pekerja informal yang menerima upah Rp10.000 sd Rp30.000 di warung yang menjual menu Nasi Pecel Rp10.000 yang dikenakan pajak daerah 10% menjadi Rp1.000 untuk Pajaknya, itu lumayan memukul penghasilan hariannya.

    Jangan lupa ada juga ketentuan pasal pada tiap Perkada Pajak Daerah apabila harga yang disebutkan tidak menyebutkan bahwa harga belum termasuk pajak daerah, maka harga jual produknya sudah termasuk Pajak Daerah, otomatis bila pengusaha kecil ini kurang cermat berhitung di awal maka ketika ditagih oleh petugas pajak daerah maka yang menanggung adalah pelaku usaha tersebut 😁

    Terlepas dari siapa yang menanggung dan ditanggung, tarif yang proporsional ini perlu diatur secara berkeadilan, karena adanya beban pajak yang tarif nya sama untuk kelas usaha secara pukul rata itu akan membatasi margin keuntungan yang wajar yang dapat diperoleh.

    Brand ayam goreng waralaba bisa menjual sepotong ayam goreng puluhan ribu rupiah dan dapat diterima di pasar menengah atas Dan tetap laris, namun ayam goreng di warung kecil kalau jumlah yang di bayarkan menjadi semakin besar karena pengenaan tarif pajak yang tidak proporsional maka bisa menjadikan turun nya minat pembeli untuk datang.

    Kurang lebih begitu ya, sekali lagi terima kasih sudah berkomentar dan berdiskusi dengan berkualitas. Tetap semangat, tetap sehat, dan sukses selalu.

Punya pendapat terkait artikel ini? mohon berkenan berdiskusi, terima kasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Open chat
1
Hubungi saya
Halo, apa yang bisa saya bantu?
%d blogger menyukai ini: