Optimalisasi Pemerintahan demi Memajukan Bangsa

Burnout sebagai Permasalahan Sosial Terstruktur Masif dan Sistematis

Burnout Bukan Masalah Para Milenial Semata

Burnout Bukan Masalah Para Milenial Semata

Terstruktur Masif dan Sistimatis

Terstruktur berarti tertata dengan baik secara rapi dan mendukung sesuatu terjadi, dimana sesuatu itu sudah dalam keadaan disusun dan diatur rapi. Masif adalah grup penyanyi eh bukan, masif adalah sesuatu yang utuh dan padat, kuat atau kokoh. Sedangkan Sistematis adalah teratur menurut sistem, memakai sistem, dengan cara yang diatur baik-baik. Jadi Terstruktur Masif dan Sistematis adalah keadaan disusun diatur rapi sebagai satu kesatuan yang utuh dan padat tanpa celah sehingga kuat dengan memakai sistem sebaik-baiknya.

Penulis ini mau nulis soal Pemilihan Umum ya kok membahas Terstruktur Masif dan Sistematis? ih salah! tidak selalu sebuah kalimat yang di konotasikan melekat pada sebuah peristiwa lantas ketika diucapkan langsung membahas itu, pikirannya jangan traveling ya, saya akan membahas Keletihan Mental atau burnout yang jangan dibahas dengan mengartikan mentah-mentah burnout sebagai “terbakar habis” ya!

Keletihan Mental

burnout adalah istilah Psikologi yang diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974 yang meneliti bidang pendidikan dimana spesifiknya para guru mengalami penurunan kinerja yang disebabkan oleh keletihan mental, keletihan mental adalah perasaan dalam kondisi lelah berkepanjangan, nyaris tanpa harapan, dan kesulitan untuk melakukan fungsi produktif secara efektif yang diakibatkan akumulasi perasaan dan kondisi fisik negatif secara perlahan-lahan yang diikuti dengan usaha yang dilakukan tidak menghasilkan dan membawa perubahan sedikitpun, hal yang lumrah terjadi namun tidak terlalu menjadi pehatian dalam kehidupan sosial modern.

Kehidupan Sosial Modern

Burnout dapat terjadi pada tiap bidang, contoh bagi “atlit wannabe” padahal pekerjaannya bukan atlit, namun karena ambisi dan target nya maka melakukan rangkaian aktifitas selaiknya atlit melakukan triathlon dan latihan beban setiap hari, kemudian evaluasi dilakukan dan karena genetiknya tidak support dan tidak bisa mencapai apa yang di targetkan diri sendiri maka muncul akumulasi rasa kecewa akibat perubahan yang diharapkan tidak menghasilkan ekspektasi dan perlahan-lahan bertumpuk sehingga menjadi perasan dan kondisi fisik negatif, akhirnya jenuh berkepanjangan tersebut menjadi stres, solusinya? take it easy, kalau pekerjaannya bukan atlit profesional ya jadikan olahraga sebagai sarana rekreasi dan target fisik yang diharapkan dijadikan bonus dari aktifitas positif olahraga tersebut yang dilaksanakan secara wajar dan tidak berkespektasi berlebihan.

Kehidupan Sosial

Burnout disebutkan diatas adalah akumulasi kekecewaan yang tidak terbatas hanya pada hal negatif yang dilakukan berulang-ulang, contoh tentang “atlit wannabe” diatas sudah jelas aktifitasnya adalah kegiatan positif, maksudnya kegiatan positif disini adalah kegiatan yang berfaedah dan bukan aktifitas yang setelah 9 bulan akan melahirkan. Maka jangan dianggap bahwa burnout hanya terjadi untuk aktifitas yang negatif saja, dengan demikian Keletihan Mental alias burnout dapat terjadi dalam Kehidupan Sosial kita secara umum dan bukan sebatas sesuatu yang negatif seperti Kecurangan Pemilihan Umum yang Terstruktur, Masif, dan Sistematis semata.

Humanisme

Bagaimana sih Kehidupan Sosial manusia moderen yang saat ini di amplified oleh Sosial Media? Budaya Sosial Media di hari modern ini mem-viralkan informasi sepele secara berlebihan dan hal-hal sepele tersebut menjadi viral dengan kecenderungan over the top alias exaggerated alias Lebay. Secara Terstruktur Masif dan Sistematis kehidupan sosial kita sehari-hari sudah dirancang untuk Lebay melalui keberadaan perangkat seluler yang selalu aktif, keberadaan monetisasi lewat internet (termasuk si penulis nih yang dapat endorse produk kesehatan dan peralatan skin care secara rutin dan memonetisasi blog ini dengan adsense yang dalam sebulan tidak bisa beli segelas Frappuccinno di Starbucks eh kok jadi curcol) membuat informasi di media sosial berhamburan kemana-mana tanpa juntrungan dan sedikit banyak memberikan dampak yang terakumulasi perlahan-lahan.

Dalam Pekerjaan sehari-hari burnout bisa terjadi karena dua hal yang saya polarisasi secara gamblang dan berlawanan satu sama lain, yaitu :

penjelasannya akan dibahas satu persatu pada bagian berikutnya.

The Bad : Tidak memiliki target dan tidak berusaha

Lho? bukannya orang yang tidak memiliki target dan tidak berusaha itu malah hidupnya lebih plong? lebih santai dan tidak terjadi apa-apa? itu menurut anda yang tidak menjadi diri orang tersebut, tanpa bermaksud mendiskreditkan orang lain, terkadang seseorang yang tidak memiliki target dan tidak berusaha dengan pekerjaannya terlihat sangat aman dan santai, padahal dalamnya hati orang siapa yang tahu? Orang yang menghindar dari pekerjaan harus selalu kreatif dalam artian jelek untuk membuat “alasan” baru setiap harinya, karena niatannya adalah sesuatu yang tidak benar sejak awal maka burn out untuk orang seperti ini malah lebih cepat terjadi dan lebih konsisten.

Kosong

Mengapa sih orang menghindar? bisa jadi penempatan pekerjaannya tidak sesuai dengan bakat dan hasrat nya, bisa jadi karena memang tidak terdapat dorongan motivasi yang baik, bisa jadi karena lingkungan kerja yang tidak seimbang, dan hal-hal lain yang bisa diketahui akar permasalahannya oleh para psikolog dan/atau psikiater (para psikolog atau psikiater endorse saya dong, atau kolab, udah saya sebut nih profesinya), di sisi lain organisasi manapun akan mengupayakan capaian target tujuan organisasi sebagai sesuatu yang digaungkan berulang untuk mencapai optimalisasi, nah konflik kebatinan ini bila berlangsung terus menerus akan mendera The Bad ini sedikit demi sedikit, walau tidak terlihat setidaknya pasti terpikir sesuatu hal yang membuat orang tersebut tidak aman, terutama di era hal remeh saat ini bisa cepat jadi viral secara lebay, dalam benak nya bisa saja ketika melihat orang lain yang terlalu mengikuti target dan berusaha memenuhi ekspektasi ada rasa minder yang kompensasinya menjadi perilaku bervariasi, bisa dengan menjadi bahan gibah kolektif atau hanya dipendam saja.

Kompensasi yang dilakukan The Bad ini terlihat dilakukan dengan ceria, namun tidak ada orang yang waras yang menyadari bahwa apa yang salah dan dilakukan itu tidak disadari sebagai suatu kesalahan, manusia secara natural punya apa yang disebut hati nurani untuk membedakan baik atau buruk, dengan demikian kebiasaan negatif yang terstruktur masif dan sistimatis ini menggerogoti perlahan-lahan dan akumulasi nya menjadi keletihan mental, berujung pada stres dan kompensasi berupa perbuatan yang semakin lama semakin negatif, jadi jangan dikira orang yang tidak bekerja dan tidak melaksanakan fungsinya itu hidupnya tidak ada beban alias burdenless.

The Good : terlalu mengikuti target dan berusaha memenuhi ekspektasi

Orang seperti ini juga kalau secara  over the top alias exaggerated alias Lebay juga kurang baik, beberapa orang yang terlalu Obsesif Kompulsif terhadap produktifitas terkadang dipandang baik dalam lingkungan produktifnya, padahal menjadi orang seperti ini tidak mudah dan terkadang bagi orang yang melakukannya tidak memiliki kepribadian tersebut, melakukan aktifitas mengikuti tatanan sosial yang menuntut kita bertindak dan produktif secara seamless itu sangat mudah memicu burnout, kebalikan dari The Bad orang seperti ini saya sebut sebagai The Good juga memiliki permasalahannya sendiri dimana orang ini tidak akan pernah menghindar dari penugasan pekerjaannya, semua pekerjaan diterima dengan baik dan energinya dilakukan secara kreatif dan konsisten untuk menyelesaikan tugasnya alias produktif.

Produktif

Mengapa sih orang menerima? bisa jadi memang penempatan pekerjaannnya sesuai dengan bakat dan hasratnya, hal ini menjadi dorongan motivasi yang baik dan menjadi orang kunci karena mendukung capaian target tujuan organisasi, namun jangan dikira tidak muncul konflik kebatinan bagi orang seperti ini karena sesuatu yang dapat dilakukan dengan baik oleh seseorang kalau terdapat hal yang tidak memuaskan orang tersebut maka akan muncul perasaan kurang puas yang bila terakumulasi menjadi burnout juga, yang seperti ini malah lebih tidak terdeteksi karena bagi orang lain dalam kesehariannya The Good terlihat baik-baik saja, bahkan banyak orang yang ingin menjadi seperti The Good.

Perbuatan Kompensasi bagi The Good juga ada, bisa jadi karena tidak puas dengan apa yang ditargetkan maka dilakukan aktifitas lain yang bila tidak terkendali malah menjadi menyimpang. Kembali disini peran para psikolog dan/atau psikiater (endorse dan kolab yuk para psikolog dan/atau psikiater wkwkwkwk) menjadi strategis dan penting, agar segala sesuatu tidak dilakukan secara Over the Top. Karena orang seperti ini bila tidak diperhatikan akan terlalu terbebani.

Peran Organisasi dalam Memanusiakan

Terstruktur Masif dan Sistematis dalam menunjang Terjadinya Burnout ini dapat terjadi karena ketidakjelasan dan sifat reaktif sebuah organisasi dan hal negatif lainnya yang tidak disadari, contoh yang tidak disadari adalah membuat rapat dengan tujuan hanya ngomong sendiri, ngomong sendiri ini adalah adanya sebuah keputusan yang telah ditetapkan sejak awal dan tidak dapat diganggu gugat namun dikemas dalam sebuah rapat yang seolah demokratis, bila dalam sebuah rapat sudah ada ketetapan yang sudah tidak dapat dirubah sama sekali maka secara terstruktur organisasi sudah terstruktur dalam menunjang burnout bagi pekerjanya, dengan demikian budaya yang ada dalam organisasi tersebut akan tidak mendukung untuk mencapai capaian yang sehat bagi individu dan jelas akan berpengaruh bagi organisasi secara jangka panjang.

Masif dalam sebuah organisasi adalah upaya penyeragaman secara mikroskopis yang berlebihan, penstandaran segala sesuatu secara berlebihan tidak baik, lihat saja upaya untuk menginternalisasi agar pakai masker dan cuci tangan serta menjaga jarak yang seandainya dilaksanakan tanpa Covid-19 tentunya akan menjadi hal yang tidak mudah diterima, toh kita bisa lihat sendiri hal tersebut dilaksanakan secara paksaan dalam era pandemi Covid-19 ini saja masih sulit dilakukan, demikian juga organisasi yang masih kaku dan mengerjakan hal secara rinci dan serba prosedural, yang kalau prosedural tersebut tidak dilaksanakan dengan baik oleh pihak eksternal yang menurut kita tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, hal ini akan berpotensi menimbulkan akumulasi kekesalan yang berujung pada burnout secara sistematis.

Organisasi seharusnya memanusiakan untuk produktifitas, jadikan produktifitas sebagai upaya untuk menyenangkan dan menjadi leader humanis adalah sesuatu keharusan, bukan cuma sekedar lipservices baik di mulut namun mengabaikan kondisi psikologis orang. Beruntung dalam Covid-19 para leader seperti ini mendapatkan “batunya” mereka menjadi tidak berdaya untuk terlalu gila kendali, kalaupun masih berusaha gila kendali dan nekat, ya pada akhirnya mereka terkena Covid-19 itu sendiri, dan ketika berjatuhan korban karena tindakan “konyol” nya itu sendiri maka mereka pasti merasakan beban bahwa sudah tidak bisa lagi terlalu gila kendali dan kegilaan mereka untuk tetap melakukan hal biasa sesukanya berdampak pada nyawa orang lain, jadi bagi para pimpinan hobi seremonial yang nekat memaksakan diri untuk seremonial di berbagai daerah dan akhirnya jatuh korban, saat ini pasti sedikit banyak berpikir bahwa tindakan mereka itu signifikan pengaruhnya.

Terstruktur, Masif, dan Sistimatis dalam hal burnout ini memang terjadi, ketika produktifitas dibatasi dalam pembatasan sosial karena Covid-19 ekonomi tergoyahkan cukup signifikan, artinya kehidupan sosial kita memang selama ini sangat menuntut kita secara over the top untuk produktif hingga lupa memanusiakan sesama.

Mencegah Burnout

Sebagai manusia modern kita sangat mudah dan terbiasa dengan melakukan kompatementalisasi atau memilah-milah dengan mengucapkan dan melakukan :

Seperti katak hidup yang tengah direbus, burnout telah menjadi hal yang biasa kita lakukan, saat ini kita telah mengalami pandemi global Covid-19 dan menyadarkan bahwa kita sangat terbiasa dengan kondisi sosial untuk burnout. Dengan pandemi ini kita semakin menyadari bahwa kita dapat melalui hal sulit ini dan tidak memiliki pilihan lain untuk tidak melaksanakan hal sulit dan tidak memiliki pilihan lain tersebut sehingga kita melaksanakan hal yang tidak sulit dan memiliki pilihan lain.

Boiling Frog Syndrome

Membaca dan mempelajari tentang orang lain membuat kita memiliki empati, sesuatu yang sudah lama kita abaikan dan kita lupakan sebagai manusia, dengan memiliki empati maka akan membuat kita mengetahui bahwa burnout bukan sekedar masalah pribadi namun merupakan masalah terstruktur masif dan sistimatis dalam tatanan sosial dan struktru kehidupan kita, biar bagaimanapun dalam sebuah komunitas sosial kehidupan bermasyarakat kesehatan menjadi penting dan tidak terkecualikan kesehatan mental, dengan mempelajari bahwa ketika seseorang mengalami burnout entah sebagai the good atau the bad sebagai masalah yang sama, memahami dan menerima hal tersebut akan menghasilkan solidaritas dan secara bersama kita akan menemukan dan mencari esensi substansi bagaimana mengatasi hal tersebut secara bersama-sama untuk semua orang.

Solidaritas

Secara individu untuk mencegah burnout maka jadikan segala sesuatunya fun dan rekreasional, saya pribadi menganggap pekerjaan saya sebagai sarana yang menyenangkan dan dengan demikian pekerjaan dapat menjadi sarana yang membuat saya gembira dalam pelaksanaannya. Bila terpaksa harus melakukan tindakan kompensasi saya lakukan dengan melakukan hal yang saya sukai, bukan melakukan tindakan destruktif seperti gibah atau menyalahkan orang lain, biasanya untuk saya olahraga 30 menit sehari dengan 150 BPM secara stabil sudah lebih dari cukup, melakukan kelola akumulasi keletihan mental ini  juga perlu latihan sih…….

 

Kesimpulan

Burned Out dalam dunia sehari-hari terjadi secara terstruktur, masif, dan sistematis tanpa disadari kita dapat menimbulkan hal tersebut dengan menyepelekan aspek psikologis organisasi dan individu didalamnya, seringkali para ahli yang memang berkutat selama bertahun-tahun mempelajari psikologi manusia (endorse dan kolab yuk, please para psikolog dan/atau psikiater wkwkwkwk) tidak dimanfaatkan dan diabaikan, yang penting mau nya saya terlaksana tanpa memperhatikan kondisi orang lain, Covid-19 sepertinya muncul untuk menegur orang-orang seperti ini, manusia itu simpel dan bukan mesin yang dapat dieksploitasi sepenuhnya dan ada hal yang diluar kendali manusia.

Turut berduka cita kepada para korban yang berjatuhan akibat menghandle para manusia yang dapat mengambil keputusan tinggi namun masih hobi jalan-jalan seremonial, semoga kejadian-kejadian selama Covid-19 ini menyadarkan bahwa memanusiakan sesama manusia itu penting dan ada hal yang perlu diperhatikan sebagai esensi dalam memanusiakan sesama. Semoga Covid-19 ini juga cepat berlalu namun setelah Covid-19 ini berlalu saya masih berharap bahwa kesadaran untuk memanusiakan sesama manusia karena ada hal yang tidak dapat dipaksakan diluar kendali manusia.

Gembira

Burnout perlu menjadi perhatian karena semua manusia tidak terlepas dari hal ini, walaupun yang menulis soal burnout adalah milenial, tapi permasalahan ini sebenarnya merupakan sesuatu yang bisa dirasakan oleh semua manusia, menghilangkan 100% burnout dalam tatanan sosial kita sebenarnya relatif mudah, caranya adalah :

Tetap Semangat, Tetap Sehat, dan Salam Positif!

 

Exit mobile version